PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
IKHLAS
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن
إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن
مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
Arti Hadits / ترجمة
الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al
Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda : Sesungguhnya
setiap perbuatan
tergantung niatnya.
Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)
berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin
mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan)
Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya
atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai
sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain,
Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab
Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .
Catatan :
Hadits ini merupakan salah satu dari
hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’i
berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah
bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan,
sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam
Syafi’i bahwa dia berkata : Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh.
Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam.
Hadits ini ada sebabnya, yaitu: ada seseorang
yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang
wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah.
Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang
hijrah karena Ummu Qais).
Pelajaran yang terdapat
dalam Hadits / الفوائد من الحديث :
Niat merupakan syarat layak/diterima atau
tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali
berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal
ibadah dan tempatnya di hati.
Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena
Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah.
Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala
berdasarkan kadar niatnya.
Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah
(boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan
bernilai ibadah.
Yang membedakan antara ibadah dan adat
(kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan
bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut
pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan
dengan lisan dan diamalkan
Pembahasan
Dalam melaksanakan ajaran Islam diantaranya masalah
ibadah, secara luas atau ibadah yang sempit, diharapkan ialah ketulusan dalam
melaksanakannya. Amal yang dilaksanakan dengan ikhlas, semata-mata mengharapkan
ridha Allah, tetapi walaupun amal tersebut besar belum tentu membuahkan hasil
yang besar karena bukan didorong oleh niat yang ikhlas.
Ulama Salaf [ulama pada masa dahulu] pernah memberikan
suatu pendapat yang berhubungan dengan niat dalam beramal, ”Kerapkali amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan seringpula
amal yang besar menjadi kecil karena salah niatnya”.
Berhijrah dari Mekkah ke Madinah pada masa Rasulullah
merupakan amal yang besar, tiada balasannya selain syurga, nilainya akan kecil
bila dilaksanakan bukan karena Allah, dia pergi hanya mengikuti seorang wanita
yang akan dinikahinya. Sahabat menanyakan
kepada Rasul bagaimana pahalanya, kemudian Rasul menjawab, ”Sesungguhnya amal
itu terletak pada niatnya, barangsiapa yang berhijrah karena dunia maka dia
akan memperoleh dunia itu dan barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya
maka dia akan memperoleh pahala yang baik dari Allah”.
Ibadah yang ikhlas akan tertanam pada setiap jiwa mereka
yang beriman bila mereka telah mampu mengkaji dan menghayati kerangka ajaran
Islam yang kesatu yaitu Aqidah. Bila aqidah seseorang telah mapan dan kuat,
maka jangankan ikhlas dalam beribadah bahkan mengorbankan apa saja yang
dituntut agama dengan senang hati akan dilaksanakannya. Jangankan mengorbankan
waktu shalat yang hanya sekian menit, bahkan harta serta jiwanya dia rela
memberikan kepada Allah.
Lukmanul Hakim
seorang pendidik yang namannya terangkum indah dalam Al Qur’an, tidak buru-buru
mengajarkan shalat kepada anaknya. Dia lebih mengutamakan penanaman aqidah,
setelah keimanan ini mantap barulah meletakkan fungsi ibadah pada urutan
berikutnya, jelasnya kalau iman seseorang sudah mantap maka masalah ibadah,
masalah shalat, berbuat baik kepada orangtua tidak perlu lagi dipaksakan.
ikhlas adalah memusatkan pandangan [perhatian] manusia agar senantiasa berkonsentrasi kepada
Allah. Setiap mukmin senantiasa berkonsentrasi kepada Allah. Setiap mukmin
senantiasa melakukan perjanjian ikhlas dengan Rabb-nya, sebagaimana sering kita
baca beberapa ayat di dalam shalat, ’”Sesungguhnhya aku menghadapkan diriku
kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cendrung kepada agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menserikatkan Allah” [Al
An’am 6;79], ”Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata”.
Ibadah yang ikhlaslah yang diperhitungkan Allah walaupun
sedikit serta tidak disaksikan orang lain; ”Sekiranya kamu terangkan apa yang ada di
hatikmu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah akan memperhitungkan kamu juga”[Al
Baqarah 2;284].
Tidak ada artinya bila ibadah tersebut disandarkan kepada
yang lain, disamping beribadah kepada Allah juga kepada makhluk, masih mencari
tandingan-tandingan selain Allah, seperti yang dilakukan ummat islam di lapisan
masyarakat, mendatangi kuburan dan dan dukun-dukun untuk memohon do’a dan
berkah, percaya dengan batu-batu dan keris dengan segala keramatnya.
Puasa
dilaksanakan dengan baik ketika mertua ada di rumah, tentang amalan yang
dikerjakan dengan riya’, Allah berfirman; ”Jika
kamu mensekutukan Allah niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi”[Az Zumar 39;65].
”Dan janganlah kamu
hinakan aku dihari mereka dibangkitkan, yaitu ketika harta dan anak-anak tiada
berguna, kecuali mereka yang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih”[Asy
Syu’ara 26;87,89].
Keikhlasan hati tidak akan tercermin kecuali pada orang
yang amat dalam mahabbah [kecintaannya] kepada Allah, dan perhatiannya lebih
terfokus pada akherat, tanpa tertempel di hatinya tujuan dunia. Orang seperti
ini bila ia makan, minum, bekerja, bahkan buang hajat sekalipun akan tetap
ikhlas. Sedangkan orang yang tidak mencintai Allah dan meyakini akherat maka
pintu ikhlas tertutup baginya.
Fudhail bin
Iyadh merumuskan amal yaitu,” Meninggalkan amal karena manusia disebut ria,
beramal karena manusia disebut syirik”.
Dalam sebuah hadits, seorang lelaki datang kepada Rasul
tentang melakukan amal secara sembunyi-sembunyi karena ikhlas kemudian orang
lain melihatnya, orang yang melihat tadi mencontohnya, Nabi menerangkan,”Orang
yang beramal itu mendapat dua pahala, pahala karena disembunyikan [bukan pamer]
dan pahala karena terbuka [agar dicontoh orang].
Pada hari kiamat nanti akan dihadapkan dalam suatu
persidangan Maha Adil yaitu tiga orang tokoh yaitu; pejuang, cendikiawan dan
hartawan. Kelompok ini ditanya tentang perbuatannya oleh Allah dengan segala
kebenarab sesuai dengan niat dan hati nurani masing-masing;
Kaum pejuang berkata bahwa mereka berjuang dan
bertempur pada jalan Allah sehingga
tewas di medan jihad, Allah menghardik mereka dan memasukkan ke neraka karena
mereka berjuang bukan karena Allah dengan mempertahankan agama tapi hanya
mengharapkan supaya disebut pahlawan,diberi bintang jasa dan dimakamkan di
pekuburan para pahlawan.
Kaum cendikiawan dihadapkan pula di pengadilan dengan
pengakuan bahwa dia menuntut ilmu lalu mengajarkan ilmunya kepada orang lain
dan tidak lupa membaca dan mempelajari Al Qur’an, semua itu dilakukan mencari
ridha Allah. Tapi Allah tidak menerima amalnya , sebab dia belajar dan mengajar
agar disebut dan digelari orang pintar, selalu membaca AlQur’an agar disebut
sebagai qari dan qari’ah, maka tempat merekapun dalam neraka.
Kelompok ketiga yaitu hartawan juga ditempatkan ke neraka
karena memanfkahkan hartanya supaya disebut dermawan padahal habis sudah dana
yang dia kumpulkan, tapi sia-sia karena berbuat tidak ikhlas.
Sungguh sangat
kasihan orang yang berbuat demikian, ibarat fatamorgana, disangka pahala yang
telah banyak dikumpulkan tapi kosong hasilnya, atau seperti debu yang menempel
pada batu licin yang hitam, saat dihembus angin gugur semua nya, disangka
pahala sudah banyak padahal hangus ditelan oleh hati yang tidak suci, disangka
telah berbuat kebajikan yang banyak padahal membawa ke neraka, untuk itulah
niat, hati harus suci dari segala karat yang dapat mendatangkan kerugian, Allah
berfirman dalam surat Al Baiyyinah 98;5 ”Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Amal yang mereka perbuat di dunia dikira akan mendapat
pahala tetapi malah sebaliknya, ibarat fatamorgana bagi musafir di padang pasir yang luas, rasa haus dan letihnya
membayangi sebuah oase yang penuh dengan air tapi ketika didekati oase tadi hilang tak berujud,
atau seperti debu yang menempel di batu hitam yang licin, ketika hujan datang
maka debu-debu tadi luntur ke bumi tanpa meninggalkan bekas, ini ibarat bagi
orang-orang yang tidak ikhlas dalam berbuat; ”Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya
dipagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya” [Al Kahfi 18;28].
Rasulullah bersabda, ”Berhati-hatilah
terhadap amal yang kecil, siapa tahu ketika engkau melakukan amal kecil itu
lansung dicatat sebagai penghuni syurga selama-lamanya”. Amal kecil yang
ikhlas lebih baik dan menjaminnya untuk diterima Allah daripada yang besar tapi tidak ikhlas,
idealnya adalah amal besar tetapi ikhlas.
Seorang sufi wanita yang terkenal
bernama Rabi’ah Al Adawiyah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah karena
cintanya, sebagaimana yang tergambar dalam sebuah munajadnya kepada Allah, ”Ya Allah sekiranya aku beribadah kepada-Mu
karena takut kepada neraka, maka campakkanlah aku dalam jahanam. Seandainya aku
beribadah kepadamu karena mengharapkan syurga, maka jauhkanlah aku daripadanya,
akan tetapi bila aku beribadah kepada-Mu karena cinta maka janganlah ya Ilahi
Engkau sia-siakan aku”.
Salah satu sebab Allah tidak mau memandang manusia pada
hari kiamat ialah mereka yang beramal, berbuat kebaikan kemudian kebaikan
tersebut diungkit-ungkit kembali. Kalau dia tulus berbuat baik kepada manusia
maka dia tidak akan mengungkit – ungkit kebaikan apa yang pernah diberikannya
kepada orang lain, walaupun tidak diungkit-ungkit maka kebaikan itu akan tetap
terkenang oleh penerimanya. Kebaikan akan gugur dan sia-sia karena diungkit
kembali baik dengan ucapan maupun tindakan seperti, ”Anda tidak akan sejaya ini kalau tidak karena bantuan yang saya
berikan, kamu tidak akan jadi kaya kalau bukan karena saya, dia itu sukses
karena sumbangan dan bantuan baik kita” dan lain sebagainya ucapan yang
dilontarkan.
Semua amal apa saja yang kita lakukan, kecil apalagi besar membutuhkan
konsentrasi keikhlasan, semua kerjaan harus disandarkan kepada Allah, seperti
kita dianjurkan membela negara dari segala bentuk penjajahan tapi semua itu
dimotivasi karena Allah.
Mengangkat martabat dan harkat bangsa di mata dunia
apalagi dari tindasan penjajah bangsa lain, baik penjajah fisik, ekonomi,
politik, budaya dan penjajahan idiologi merupakan kewajiban setiap warga
negara, perbuatan ini disebut dengan jihad fisabilillah, kalau perjuangan
membela bangsa dan negara dilandasi ridha Allah, Allah berfirman dalam surat An
Nisa’ 4;76, ”Orang-orang yang beriman,
berperang dijalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang dijalan thaghut,
sebab itu perangilah kawan-kawan syaithan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan
itu adalah lemah”.
Jika seseorang menginfaqkan rezeki yang diperolehnya, ia
mengharapkan timbal baliknya, baik dari segi kehormatan atau materi di alam
fana, maka hal itu bukan ”Fisabilillah”
namun bila anda berbuat kebaikan terhadap fakir miskin dengan mengharapkan
keridhaan Allah, jangan disangsikan lagi pekerjaan anda itu mesti akan bernilai
fisabilillah. Dengan demikian fisabilillah adalah setiap pekerjaan dan
cita-cita anak manusia yang ikhlas dijalankan demi keselamatan dan
kesejahteraan sosial dengan mengharapkan ridha Allah tanpa disertai oleh rasa
hawa nafsu dan syahwat.
Silahkan membela kepentingan bangsa dan untuk menegakkan
negara berdaulat dengan segala kekuatan
dan daya upaya melalui profesi, prestasi tapi semata-mata karena Allah, tidak
dibungkus dengan maksud lain. Cinta kepada negara dan bangsa wajar dan boleh
saja tapi terlalu cinta kepada bangsa dan negara tidak dibenarkan dalam islam,
karena bagi ummat Islam tanah ummat Islam bukan Arab atau Indonesia saja,
dimana ada ummat Islam maka disanalah negeri Islam. Tentu maju dan mundurnya
menjadi tanggungjawab seluruh ummat Islam yang ada di dunia ini. Tanah Islam
jauh membentang, penderitaan yang dialami
ummat Islam Moro, Afghanistan, Chechnya, Bosnia, Kasymir, Dagestan,
Ambon, Aceh sejak dari Maroko sampai Merauke, dari India sampai Palestina
merupakan masalah ummat Islam, walaupun terletak dalam negeri suatu bangsa,
tetapi tanggungjawabnya meliputi seluruh ummat Islam, Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa yang tidak memperhatikan ummat
Islam berarti dia bukanlah ummatku”.
Tentang perjuangan membela negara dan bangsa sesuai
kemampuan yang ada dilandasi dari mencari ridha Allah agar kalimat Allah tegak
di negara itu, untuk itu semua perlu adanya pembinaan pribadi sebagaimana kata
Ustadz Musythafa Mashur, ”Tegakkanlah
Islam itu di dirimu niscaya dia akan
tegak di negaramu”.
Seorang sahabat bertanya kepada Rasul, bagaimana bila ada
orang yang berjuang dan membela agama Allah karena kegagahannya, mengharapkan
ghanimah ? maka Rasulullah mengatakan bahwa pahalanya tidak akan diperoleh,
tapi seluruh aktivitas apa saja dalam rangka mencari ridha Allah, sesuai dengan
ghayah [tujuan], manhaj [sistim] yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya maka dia
akan bernilai ibadah dan mendapat pahala dari-Nya. Jabatan diraih dengan KKN
jelas sebuah kecurangan, walaupun akhirnya diperoleh dan jaya juga maka
dihadapan Allah tidak bernilai, senantiasalah kita meraih segala kejayaan
dengan cara yang dituntunkan sistim Islam.
Aqidah atau
keyakinan Islam memberi pengaruh kepada hidup pemiliknya. Demikian pula sikap
ikhlas yang bersemayam di hati mukmin memberi manfaat bagi dirinya dalam
mengarungi lautan kehidupan. Manfaat ikhlas itu antara lain:
1. Ikhlas adalah syarat utama diterimanya amal seseorang
muslim di hadapan Allah, tanpa ikhlas maka amal akan ditolah dan sia-sia.
Seorang lelaki datang kepada Rasulullah dan berkata, ”Bagaimana pendapat tuan akan seorang laki-laki yang tampil ke medan
laga untuk berperang mencari harta rampasan dan karena popularitasnya ?
Rasulullah menjawab, ”Ia tidak memperoleh apa-apa” laki-laki itupun penasaran
dan bertanya sampai tiga kali, Rasul tetap menjawab, ”Ia tidak memperoleh
apa-apa” kemudian beliau bersabda, ”Allah tidak menerima suatu amal kecuali
apabila dilaksanakan dengan ikhlas demi mencari keridhaan-Nya semata’ [HR.
Abu Daud].
2. Ikhlas itu salah satu syarat seseorang untuk terjauh dari
godaan syaitan, surat Al Hijr 15;39-40 Allah berfirman, ”Iblis berkata, ”Ya Rabbku, sebab Engkau telah memutuskan aku sesat,
pasti aku akan jadikan mereka memandang baik perbuatan maksiat dimuka bumi, dan
pasti aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba Engkau yang
Mukhlis [ikhlas] diantara mereka”.
3. Dengan sikap ikhlas seorang muslim akan merasa tentram
di dunia, tanpa keraguan dan mencapai kebahagiaan hakiki, dalam surat Al An’am
ayat 82 Allah berfirman, ”Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman [syirik] mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan petunjuk”.
4. Mereka yang hidupnya dipenuhi dengan keikhlasan akan
diselamatkan dari neraka jahanam dan akan menghuni syurga jannatun na’im,
sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat berikut, ”Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu, yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya, padahal tidak
seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi dia
memberikan itu semata-mata karena mencari keridhaan Rabbnya Yang Maha Tinggi.
Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” [Al Lail 92;17-21].
Alangkah ruginya kita dalam hidup ini dengan amal yang
banyak sebagai bekal di akherat, negeri yang sangat dinanti-nantikan oleh orang
yang beriman, akan tetapi amal tersebut tidak akan pernah kita dapati karena
dilakukan bukan karena Allah, padahal dalam beramal Rasulullah telah memberikan
suatu pedoman, laksanakan dengan ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah, wallahu
a'lam [Cubadak Solok, 14 Ramadhan 1431.H/ 24 Agustus 2010.M]