Kamis, 28 November 2013

80.38 Mendidik Keluarga



RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]
                

Mendidik Keluarga
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Keberadaan anak merupakan hal yang sangat diharapkan kehadirannya oleh orangtua, sehingga bila seseorang telah menikah, lama tidak dikaruniai anak, mereka akan sedih, resah dan tidak tentram. Dalam Al Qur’an dikisahkan, bagaimana Nabi Zakaria merasa gundah gulana lantaran telah lanjut usia belum juga diberi keturunan, ”Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku [penerus generasi] sepeninggalku, sedang isteriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’kub, dan jadikanlah dia ya Tuhanku, seorang yang diridhoi” [Maryam ;5-6].

            Ayat ini mengisahkan Nabi Zakaria yang resah karena umur telah tua, tulangnya telah lemah dan rambutnya telah beruban tapi belum diberi anak sementara isterinya mandul. Menurut Al Baidhawi, kala itu Zakaria telah berumur 60 tahun, bahkan ada yang mengatakan 99 tahun, ia khawatir tidak mempunyai anak, nantinya siapa yang akan jadi warisnya, warisan yang ditinggalkan adalah syariat agama dan ilmu.

            Orangtua harus khawatir dengan generasi yang ditinggalkannya. Anak disamping karunia Allah dia juga sebagai amanah yang harus dididik dengan nilai-nilai agama agar fithrah yang dibawanya sejak lahir dapat tumbuh dan berkembang sebagai generasi yang sempurna ketaqwaannya sebagaimana Nabi Ibrahim berdoa,”Wahai Tuhanku, jadikanlah aku ummat yang mendirikan shalat dan demikian juga anak cucuku dan keturunanku. Wahai Tuhanku, perkenankanlah doaku, wahai Tuhanku, ampunilah aku dan juga kedua ibu bapakku dan bagi orang-orang mukmin pada hari terjadi perhitungan”[Ibrahim;40-41].

            Do’a Nabi Ibrahim telah makbul, diterima Allah Swt, dan do’a untuk anak cucunya juga telah dikabulkan. Dari keturunan Nabi Ishaq lahirlah berpuluh nabi dan rasul seperti ; Ya’kub, Yusuf, Musa, Harun, Ayub, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Isa . dari keturunan nabi Ismail lahirlah seorang nabi terakhir, khatimul anbiya [nabi penutup] sayidul mursalin [penghulu para rarul] yaitu Nabi Muhammad Saw.

            Dalam hal mendidik anak, Ibnu Khaldun maupun Ibnu Shina memberikan satu konsep, yaitu pengajaran Al Qur’an adalah sebagai basis [dasar] bagi permulaan dari berbagai kurikulum pendidikan yang mesti diajarkan dan diterapkan kepada anak-anak sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, ”Didiklah anak-anakmu dengan tiga perangai; cinta kepada nabimu, cinta kepada kaum kerabatnya dan cinta dalam membaca Al Qur’an, bakal berada dalam naungan Allah kelak pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya” [HR. Thabrani].

            Dalam hadits lain beliau kembali menegaskan,”Suatu pahala akan diberikan kepada orangtua yang mengajarkan Al Qur’an kepada puteranya, pada hari kiamat nanti akan mendapat mahkota di dalam syurga”[Thabrani]. Disabdakan lagi,”Rumah yang sering dibaca Al Qur’an didalamnya akan terbayang oleh penghuni langit sebagaimana bintang-bintang terbayang oleh penduduk bumi” [HR. Al Baihaqi dan Aisyah].

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 38 dengan judul“Kewajiban Memerintah Keluarga Dan Anak-anak Yang Sudah Tamyiz, juga Semua Orang Yang Dalam Lingkungan Penjagaannya, Supaya Taat Kepada Allah Ta'ala Dan Melarang Mereka Dari Menyalahinya, Harus Pula Mendidik Mereka Dan Mencegah Mereka Dari Melakukan Apa-apa Yang Dilarang”

Allah Ta'ala berfirman:"Dan perintahlah keluargamu dengan sembahyang dan bersabarlah atasnya." (Thaha: 132).

Allah Ta'ala berfirman pula:"Hai sekalian orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka - Bahan bakarnya adalah para manusia dan batu." (at-Tahrim: 6)

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "al-Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma mengambil sebiji buah kurma dari kurma hasil sedekah lalu dimasukkannya dalam mulutnya. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Kakh, kakh - jijik, jijik -, lemparkan itu, adakah engkau tidak tahu bahwasanya kita - golongan Bani Hasyim dan Bani Muththalib - itu tidak halal makan benda sedekah." (Muttafaq 'alaih).

Dalam riwayat lain disebutkan "Bahwa bagi kita - golongan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib - tidak halal makan sesuatu yang dari hasil sedekah."

Sabda Nabi s.a.w.: "Kakh, kakh", dikatakan dengan sukunnya kha' dan ada yang mengatakan pula dengan kasrahnya kha' serta ditanwinkan - lalu menjadi kakhin, kakhin. Ini adalah kata melarang kepada anak-anak dari apa-apa yang dianggap jijik atau kotor. Al-Hasan di kala itu masih kecil sebagai anak-anak.

Dari Abu Hafsh yaitu Umar r.a. bin Abu Salamah, yakni Abdullah bin Abdul-asad. Ia adalah anak tiri Rasulullah s.a.w katanya: "Saya pernah berada di pangkuan Rasulullah s.a.w. dan tanganku - ketika makan - berputar di seluruh penjuru piring, lalu Rasulullah s.a.w. bersabda padaku, "Hai anak, bacalah Bismillahi Ta'ala - sebelum makan - dan makanlah dengan tangan kananmu, pula makanlah dari makanan yang ada di dekatmu saja." Maka senantiasa sedemikian itulah cara makanku sesudah itu." (Muttafaq 'alaih).

Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Semua orang dari engkau sekalian itu adalah penggembala dan semuanya saja akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang imam - pemimpin - adalah penggembala dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang lelaki adalah penggembala dalam keluarganya dan akan ditanya tentang penggembalaannya, seorang isteri adalah penggembala di rumah suaminya dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang pelayan juga penggembala dalam harta tuannya dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Maka semua orang dari engkau sekalian itu adalah penggembala dan akan ditanya tentang penggembalaannya." (Muttafaq 'alaih).

Hadis ini dengan jelas menyebutkan bahwa sekalipun sesuatu itu dipandang umum sangat remeh dan tidak perlu diperhatikan, seperti adab kesopanan di waktu makan-minum, duduk, bermain-main dan lain-lain sebagainya, tetapi Agama Islam tetap menyerukan kepada orang tua atau wali anak-anak, agar hal-hal itu diajarkan serla menegur mereka jika mereka berbuat yang tidak pantas. Mengajarkan ini wajib dilaksanakan sejak kecil, agar terbiasa nantinya apabila telah dewasa dan orang lain akan menamakan "Anak yang mengerti tatakerama".

Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari neneknya r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:"Perintahlah anak-anakmu untuk menjalankan shalat di waktu mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka, jikalau melalaikan shalat di waktu mereka berumur sepuluh tahun. Juga pisahkanlah antara mereka itu dalam masing-masing tempat tidurnya." Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad yang hasan.

Dari Abu Tsurayyah yaitu Sabrah bin Ma'bad al-Juhani r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Pelajarilah anak-anak itu akan bersembahyang ketika berusia tujuh tahun dan pukullah ia jikalau melalaikan shalat ketika berumur sepuluh tahun."
Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam-Imam Abu Dawud dan Termidzi mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan. Adapun lafaznya Abu Dawud yaitu: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Perintahlah anak-anak itu untuk bersembahyang ketika ia telah mencapai umur tujuh tahun."

Pada ayat enam dari surat At Tahrim menyatakan,”Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, didalamnya terdapat malaikat yang kasar lagi bengis, yang tidak maksiat kepada Allah dan taat atas perintah yang diperintahkan Allah dilaksanakannya”.

            Menurut Al Maraghi, yang dimaksud dengan keluarga yaitu isteri, anak dan siapa saja yang berada dalam tanggungjawab kita, sedangkan menurut Sayid Qutb, keluarga adalah anak, isteri, ibu dan kerabat lainnya.

            Bagaimana keadaan neraka yang digambarkan oleh Allah :
  1. Bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, yaitu manusia yang masih mempunyai dosa dan orang-orang kafir serta batu sembahan yang dijadikan Tuhan oleh manusia.
  2. Di dalam neraka tersebut terdapat malaikat yang kasar dan kejam, apa yang diperintahkan Allah mereka tidak pernah membantah, dia tidak memiliki rasa kasih sayang kepada penghuni neraka, dan tidak akan mau mendengarkan jerit tangis penghuninya.

            Dengan demikian tidaklah sesuai dengan pendapat anak muda sekarang, mereka senang hidup di neraka karena disana mereka akan bertemu dengan wanita-wanita cantik, bintang film yang seksi serta wanita yang tenggelam dalam kemaksiatan. Jangankan tentang kecantikan, sedangkan daging dan tulang manusia yang masuk neraka akan hancur dimakan api.

            Sehubungan dengan memelihara diri dan keluarga dari api neraka, Umar bin Khattab pernah mengadu kepada nabi Saw, untuk menjaga diri sendiri adalah hal yang mudah, lalu bagaimana cara menjaga keluarga?, apakah harus dikawal terus menerus, apakah selalu diawasi kemana dia pergi ?, Nabi memberikan jawaban yaitu,”Engkau tanamkan dalam jiwanya agar dia jangan melakukan perbuatan yang dilarang Allah, dan masukkan pula didadanya ajaran agar dia mengerjakan perbuatan yang diperintahkan Allah”.

            Lukmanul Hakim dalam membimbing anaknya terlebih dahulu dia tanamkan keyakinan, aqidah didada anaknya dengan landasan yang kuat, bila aqidah telah kokoh barulah dia membimbing anaknya untuk shalat. Karena aqidah merupakan pokok utama dalam agama, bila aqidah telah kuat;
  1. Jangankan hanya melaksanakan shalat, sedangkan bila nyawa yang diminta demi agama Allah akan dikerahkan.
  2. Jangankan untuk meninggalkan ucapan kotor, bahkan ketika kesempatan besar terbuka untuk korupsi dan maksiat kepada Allah dia mampu menahan.

Dalam satu hadits Rasulullah bersabda, ”Dari Amer bin Syuaib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, telah berkata Rasulullah Saw, perintahkanlah anak-anakmu untuk mendirikan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila belum mau shalat dikala berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tidur diantara mereka sejak berumur sepuluh tahun”[HR.Abu Daud].

            Hadits di atas memerintahkan bahwa anak umur sepuluh tahun yang belum mau  mengamalkan shalat harus dipukul. Pukulan itu adalah sebagai sangsi atau hukuman. Ini bukannya tindakan kejam, karena menurut penjelasan ahli agama, hukuman pukulan bagi anak tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali dengan alat pemukul kecil yang tidak menyakitkan sehingga tidak membawa penderitaan fisik bagi si anak. Lagi pula, sebelum hukuman pukul itu dilaksanakan, hendaklah telah dipergunakan segala cara dan taktik bagaimana agar si anak mau shalat. Ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya itu, sehingga cara-cara yang keras dari orangtua dihindari dulu.

            Maka orangtua hendaknya menjalankan segala siasat untuk membiasakan anaknya mengamalkan semua adat istiadat baik yang sesuaii dengan ajaran agama. Juga kewajiban-kewajiban dari agama yang telah patut diamalkannya. Segala siasat, artinya dengan nasehat, perangsang, motivasi, dorongan, pujian. Semuanya sebagai upaya agar anak mau berbuat baik dan meninggalkan perbuatan jelek. Sebaliknya, cara menakut-nakuti, ancaman, celaan dan gertakan semuanya itu bisa digunakan bilamana perlu. Tentu saja semuanya itu dilaksanakan oleh orangtua setelah memahami segala sifat-sifat dan watak sianak, sehingga tindakan orangtua bisa disesuaikan dengan kondisi pribadi dan perkembangan jiwa anak.

            Dalam memukul anak, janganlah dipukul pada tempat yang berbahaya dari tubuhnya sehingga berakibat fatal bagi anak. Namun jarang kita mendengar ada orangtua memukul anaknya karena anak tersebut tidak melaksanakan shalat. Bahkan sebaliknya banyak orangtua muslim yang tenang-tenang saja melihat keadaan anaknya tidak pernah melaksanakan shalat lima waktu dan tidak bisa membaca Al Qur’an. Tetapi ia merasa gelisah kalau anaknya tidak bisa berbahasa asing, tidak bisa menggunakan komputer atau  tidak menguasai salah satu alat musik.

            Sering kita mendengar orangtua yang memukul anaknya tanpa didasari jiwa agama tapi didorong oleh ambisi pribadi seperti anak gagal dalam kompetisi olahraga di sekolah,  raport anak nilainya rendah atau anak tidak sanggup meraih sesuatu yang diidam-idamkannya. Melaksanakan shalat sebagaimana firman Allah dalam surat An Nisa’  4;103 disebutkan bahwa waktu-waktu shalat tersebut sudah ditentukan sedemikian rupa, walaupun ummat islam terutama orangtua tahu waktu shalat berdasar kebiasaan yang ada hanya dijadikan sebagai waktu saja bukan untuk mendirikan shalat apalagi mengajak anaknya.

Orangtua harus khawatir dengan generasi yang ditinggalkannya. Anak disamping karunia Allah dia juga sebagai amanah yang harus dididik dengan nilai-nilai agama agar fithrah yang dibawanya sejak lahir dapat tumbuh dan berkembang sebagai generasi yang sempurna ketaqwaannya sebagaimana Nabi Ibrahim berdoa,”Wahai Tuhanku, jadikanlah aku ummat yang mendirikan shalat dan demikian juga anak cucuku dan keturunanku. Wahai Tuhanku, perkenankanlah doaku, wahai Tuhanku, ampunilah aku dan juga kedua ibu bapakku dan bagi orang-orang mukmin pada hari terjadi perhitungan”[Ibrahim;40-41].

            Do’a Nabi Ibrahim telah makbul, diterima Allah Swt, dan do’a untuk anak cucunya juga telah dikabulkan. Dari keturunan Nabi Ishaq lahirlah berpuluh nabi dan rasul seperti ; Ya’kub, Yusuf, Musa, Harun, Ayub, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Isa . dari keturunan nabi Ismail lahirlah seorang nabi terakhir, khatimul anbiya [nabi penutup] sayidul mursalin [penghulu para rarul] yaitu Nabi Muhammad Saw.

            Dalam hal mendidik anak, Ibnu Khaldun maupun Ibnu Shina memberikan satu konsep, yaitu pengajaran Al Qur’an adalah sebagai basis [dasar] bagi permulaan dari berbagai kurikulum pendidikan yang mesti diajarkan dan diterapkan kepada anak-anak sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, ”Didiklah anak-anakmu dengan tiga perangai; cinta kepada nabimu, cinta kepada kaum kerabatnya dan cinta dalam membaca Al Qur’an, bakal berada dalam naungan Allah kelak pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya” [HR. Thabrani].

            Dalam hadits lain beliau kembali menegaskan,”Suatu pahala akan diberikan kepada orangtua yang mengajarkan Al Qur’an kepada puteranya, pada hari kiamat nanti akan mendapat mahkota di dalam syurga”[Thabrani]. Disabdakan lagi,”Rumah yang sering dibaca Al Qur’an didalamnya akan terbayang oleh penghuni langit sebagaimana bintang-bintang terbayang oleh penduduk bumi” [HR. Al Baihaqi dan Aisyah].

Lingkungan keluarga adalah pembina utama dan pertama dalam pembinaan kepribadian anak, kemudian pada umur sekolah pertumbuhan anak dipengaruhi oleh guru, pada usia anak-anak suka hidup bermasyarakat, jika temannya baik maka ia cendrung akan baik pula demikian  sebaliknya, sehingga pergaulan bagi sianak akan mempengaruhi pertumbuhannya. Untuk itu orangtua agar berhati-hati dalam melepas anaknya hidup bergaul dengan anak-anak lain, Rasulullah bersabda’ ”Perumpamaan teman bergaul yang baik dan teman yang jahat ialah bagaikan pedagang minyak wangi dan tukang besi,bila berteman dengan pedagang minyak wangi akan memperoleh salah satu dari dua kemungkinan, membeli minyak wangi atau kena percikan harumnya minyak wangi tersebut, dan berteman dengan tukang besi akan memperoleh dua kemungkinan, badan akan terpercik api atau memperoleh bau yang tidak sedap”

            Lingkungan yang rusak akan menciptakan manusia yang rusak pula sebab si anak dengan muda meniru tingkah laku temannya, ahli hikmat berkata,”Bila kau berteman dengan pencuri, minimal cara mencongkel pintu dapat kau kuasai dan bila berteman dengan orang alim minimal membaca bismillah kau dapat”.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,”Setiap bayi yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci, maka orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi dan Nasrani”

            Artinya orangtua memegang peranan penting dalam mencetak anak agar jagi anak yang baik, kalau hal ini dilalaikan maka kehancuran manusia akan terjadi, dia akan terseret ke lembah kenistaan dan kemaksiatan karena terjerembab dalam pergaulan lingkungan yang tidak baik. Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 04 Zulqaidah 1434.H/09 September 2013].




79.37 Memberikan Nafkah Dari Yang Baik



RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]
                

Memberikan Nafkah Dari Yang Baik
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Mencari nafkah [ma'isyah] adalah aktivitas manusia dalam rangka memenuhi kehidupannya dengan bekerja, apapun jenis pekerjaan yang ditekuni selama baik dan halal adalah terpuji, apakah sebagai pedagang, petani, buruh, pegawai negeri, anggota dewan, polisi, tentara ataupun pengacara hingga menteri ataupun Presiden,  kegiatan ini banyak mengandung pahala didalamnya, dengan ma'isyah seseorang berupaya untuk mencari yang halal karena memang demikian anjurannya,"Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll)''. (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).

Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah mencontohkan kepada ummatnya pentingnya mencari rezeki yang halal, sebab barang haram akan mempengaruhi mental dan kepribadian seseorang. Idealnya, biarlah kita kaya raya asal semua diperoleh dari yang halal, namun sangat rusak seseorang bila sedikit atau banyak hartanya bergelimang dengan haram, baik haram zatnya, cara memperolehnya atau membelanjakannya, Allah memperingatkan kita semuanya melalui nabinya; “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang  baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”[Al Baqarah 2;172]

            Seorang ummahat  dizaman Rasulullah dahulu, bila suaminya berangkat kerja mencari nafkah, di depan pintu dia berpesan kepada suaminya,”Silahkan pergi mencari nafkah sebanyak-banyaknya namun yang halal, jangan kau bawa ke rumahku ini harta yang haram meskipun sedikit”.

Keluarga yang shaleh dan shalehah akan menjaga dirinya dari rezeki yang haram, karena rumah tangga yang baik adalah rumah tangga yang selalu mengumpulkan rezeki dari yang halal dan hasil yang halal itu mengujudkan kebahagiaan bagi yang memperolehnya, demikian pula halnya Allah menyukai hamba-Nya yang mencari rezeki halal walaupun dengan sudah payah, "Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yanghalal.(HR.Ad-Dailami)

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 37 dengan judul “Memberikan Nafkah Dari Sesuatu Yang Disukai Dan Dari Sesuatu Yang Baik”

Allah Ta'ala berfirman: "Tidak sekali-kali engkau semua akan dapat memperoleh kebajikan, sehingga engkau semua suka membelanjakan dari sesuatu yang engkau cintai." (ali-lmran: 92).

Allah Ta'ala berfirman pula:"Hai sekalian orang-orang yang berimah, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari apa-apa yang engkau semua usahakan dan dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi dan janganlah engkau semua sengaja memilihkan yang buruk-buruk di antara yang engkau semua nafkahkan itu." (al-Baqarah: 267)

Dari Anas r.a., katanya: "Abu Thalhah adalah seorang dari golongan kaum Anshar di Madinah yang terbanyak hartanya, terdiri dari kebun kurma. Di antara harta-hartanya itu yang paling dicintai olehnya ialah kebun kurma Bairuha'. Kebun ini letaknya menghadap masjid - Nabawi di Madinah. Rasulullah s.a.w. suka memasukinya dan minum dari airnya yang nyaman." Anas berkata: "Ketika ayat ini turun, yakni yang artinya: "Engkau semua tidak akan memperoleh kebajikan sehingga engkau semua suka menafkahkan dari sesuatu yang engkau semua cintai," maka Abu Thalhah berdiri menuju ke tempat Rasulullah s.a.w., lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: "Hai sekalian orang-orang yang berimah, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari apa-apa yang engkau semua usahakan dan dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi dan janganlah engkau semua sengaja memilihkan yang buruk-buruk di antara yang engkau semua nafkahkan itu." (al-Baqarah: 267)

Padahal hartaku yang paling saya cintai ialah kebun kurma Bairuha', maka sesungguhnya kebun itu saya sedekahkan untuk kepentingan agama Allah Ta'ala. Saya mengharapkan kebajikannya serta sebagai simpanan - di akhirat di sisi Allah. Maka dari itu gunakanlah kebun itu ya Rasulullah, sebagaimana yang Allah memberitahukan kepada Tuan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Aduh, yang sedemikian itu adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya - berlipat ganda pahalanya bagi yang bersedekah, yang sedemikian adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya. Saya telah mendengar apa yang engkau ucapkan dan sesungguhnya saya berpendapat supaya kebun itu engkau berikan kepada kaum keluargamu - sebagai sedekah." Abu Thalhah berkata: "Saya akan melaksanakan itu, ya Rasulullah." Selanjutnya Abu Thalhah membagi-bagikan kebun Bairuha' itu kepada keluarga serta anak-anak pamannya." (Muttafaq 'alaih).

Sabda Nabi s.a.w.: Malun raabihun, diriwayatkan dalam kitab shahih Raabihun dan ada pula yang mengatakan Raayihun, jadi ada yang dengan ba' muwahhadah dan ada yang dengan ya' mutsannat, maksudnya menguntungkan yakni keuntungannya itu kembali padamu sendiri.

"Bairuha"' adalah suatu kebun kurma, diriwayatkan dengan kasrahnya ba' atau dengan fathahnya - jadi Biruha' atau Bairuha'.

Karena ingin untuk meraih harta diluar kemampuannya, banyak orang yang harus melakukan sesuatu seperti menipu dan mencuri atau transaksi lain yang tidak dibenarkan oleh hukum manapun, bertentangan oleh agama apapun dan yang lebih penting hati nurani pelaku sendiri tidak menerima transaksi itu, tapi karena desakan nafsu, bisikan setan atau ajakan siapapun sehingga rela mengorbankan kepribadian, walaupun akhirnya harta yang diinginkan diperoleh juga.

Kisah klasik dalam sejarah peradaban manusia juga kita kenal, sebagaimana saudara sepupu Nabi Musa yang bernama Qarun, karena kepintarannya mencari harta sehingga kunci gudangnya saja harus ditarik gerobak untuk membawanya, dari hal itulah sehingga dia dekat dengan Fir'aun yang mengingkari kenabian Musa dan menolak ke Esaan Allah lantaran Musa dan pengikutnya orang-orang yang tidak punya harta, nampaknya harta bisa mendekatkan seseorang dengan kekuasaan. Tsa'labah yang hidup di zaman Nabi Muhammad yang bosan dengan kemiskinan sehingga bermohon kepada Allah melalui Nabi Muhammad agar diberikan harta yang banyak dengan harapan semakin taat menjalankan perintah Allah, tapi nyatanya karena hartalah dia akhirnya jauh dari agama dan mati dalam keadaan penyesalan.

''Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, Maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan kami Telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya Berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri"[Al Qashash 28;76]

Di tengah masyarakat, walaupun seseorang tidak berpendidikan tinggi, tidak punya kedudukan sosial yang baik dan tidak pula dari keluarga terpandang tapi dia akan dihargai karena punya harta yang banyak, orang yang cukup berada, orang kaya kata orang. Sangat mudah baginya untuk bisa dekat dengan siapapun hingga duduk dengan seorang pejabat, semua orang ingin dekat pula dengannya dengan berbagai keluhan kesusahan yang disampaikan dengan harapan dapat bantuan gratis atau pinjaman berjangka.

Karena harta pula pertengkaran bisa terjadi, perselisihan mengakhiri persaudaraan hingga harus berhadapan di pengadilan, saling gugat, saling mempertahankan harta masing-masing walaupun akhirnya harta itu habis dalam proses penyelesaian persengketaan itu, ibarat pepatah mengatakan yang menang jadi abu yang kalah jadi arang, sia-sia. Tragedi terbesarpun akan mengakhiri kehidupan manusia dalam penjara karena terlalu banyak punya harta yang diperoleh dengan cara tidak baik.

Ketika kita punya sedikit harta saja, banyak orang yang mau dekat bersama kita bahkan mengaku sebagai saudara, ada hubungan kerabat dan hubungan lainnya, kemana pergi kita akan diikuti, apapun yang disuruh kepadanya akan dikerjakan, loyalitasnya dapat diandalkan, itu ketika punya harta, namun dikala harta itu sedikit-demi sedikit menghilang semua orang akan mengacuhkan kita, teman dan sahabat tidak ada lagi, semua semakin menjauh dengan alasan kesibukan masing-masing, maka tinggallah sendiri tanpa ada yang mau tau keberadaannya. Nampaknya harta bisa mendekatkan dan menjauhkan pertemanan, memang benar bahwa tidak ada teman yang abadi itu, yang ada hanya kepentingan dan kepentingan. Selama ada harta maka disana ada kepentingan, dikala harta sudah tidak ada lagi maka tidak ada lagi kepentingan.

Keinginan memiliki harta, nafsu untuk punya sesuatu, dibenarkan oleh Allah yang digambarkan dalam firman-Nya yang mengatakan bahwa manusia itu dihiasi keinginan kepada wanita, kepada anak-anak, binatang ternak dan harta serta perniagaan lainnya, yang intinya memang insting terhadap hal itu sudah ada pada diri manusia bahkan Islam menghargai hak hidup dan mencari kehidupan bagi manusia.bila seorang manusia berhasil dalam usahanya, maka pendapatannya itu menjadi haknya, tidak boleh diganggu gugat oleh orang lain, ”Manusia hanya mendapat menurut usaha atau kesanggupannya”

Semua manusia ingin memiliki harta yang berlimpah untuk kebutuhan hidupnya, untuk semua itu segala cara ditempuh. Dahulu ketika masih miskin, dia hanya berfikir, “Apa makan kita sekarang?’’, artinya untuk makan saja sulit. Sudah mulai maju penghasilannya dia berkata, ”Makan apa kita sekarang?’’. Maksudnya seseorang tadi sudah berfikir jenis makanan yang akan dikonsumsi. Semakin naik penghasilan dia akan berkata, ”Makan dimana kita sekarang?’’, dia sudah bosan kalau makan hanya di satu restoran saja sehingga untuk sarapan pagi di restoran A, makan siang di restoran B, dan makan malam di restoran C, tetapi setelah jadi pengusaha, pabrik sudah sekian jumlahnya, deposito selalu meningkat, rumah sudah cemerlang, kendaraan mahal selalu mengkilap, dia mulai berfikir, ” Makan siapa kita sekarang ?’’.

            Itulah gambaran orang-orang yang  tamak serta rakus dengan kehidupan dunia, sehingga sepak kiri terjang kanan, jilat atas injak bawah, sodok sana gosok sini, merupakan alat yang sah untuk mengeruk keuntungan. Memang benar bahwa setiap manusia itu  mempunyai watak loba, tamak serta kurang qana’ahnya sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, ”Andaikata seseorang itu sudah memiliki dua lembah dari emas, pastilah ia akan mencari yang ketiganya sebagai tambahan dari dua lembah yang sudah ada itu” [HR. Bukhari dan Muslim].

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Banyak sekali keinginan-keinginan tersembunyi dalam hati yang cukup merusak mahabbah dan ubudiyah kepada Allah serta keikhlasan beragama”. Kaab bin Malik meriwayatkan dari Nabi Saw. Ia bersabda, ”Tidak ada dua srigala lapar yang dilepaskan dari kandang kambing  yang justru sangat berbahaya baginya, selain kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan bagi agamanya” [HR. Ahmad].

            Tanpa harta tidak mungkin kita akan bahagia tapi harta bukanlah satu-satunya yang mendatangkan kebahagiaan, harta  sebagai fasilitas hidup yang harus dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, dia ibarat darah pada satu tubuh yang memerlukan kehidupan, berpandai-pandailah menggunakan darah bahkan bila kelebihan pada tubuh seseorang juga tidak baik bagi kesehatan sehingga perlu adanya penyaluran melalui pendonoran darah dalam rangka untuk membantu kehidupan orang lain.

Harta itu ibarat senjata bermata dua, kedua sisinya bisa melukai kita bila tidak hati-hati menggunakannya, dia dipersoalkan bukan saja darimana dan dengan apa diperoleh tapi kemana dipergunakan juga menjadi beban yang punya harta. Ke hati-hatian inilah yang mendorong sahabat Nabi bernama Abu Bakar untuk menginvestasikan hartanya dengan memerdekakan para budak, Umar bin Khattab tidak punya apa-apa lagi karena seluruh hartanya diserahkan untuk biaya jihad begitu juga Usman bin Affan milyaran rupiah hartanya untuk melepaskan ummat islam dari paceklik, nampaknya efektif harta itu bila di tangan orang-orang yang bijak.

            Tanpa harta memang sulit untuk bahagia, tapi harta bukanlah jaminan untuk mencapai bahagia. Jika kita miliki juga harta itu maka bersyukurlah dengan menginfaqkan ke jalan Allah, bila hari ini kita dalam kekurangan, maka bersabarlah sekaligus berusaha, Allah tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang mencucurkan keringat, membanting tulang demi mencari nafkah untuk kebutuhan keluarganya.

Dalam menerima rezeki sebenarnya yang penting bukan banyaknya tapi berkahnya, yaitu dengan harta itu dia bahagia sebab dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan harta itu pula dia harus berderma di jalan Allah, tidak gelisah dan tidak sesak nafasnya karena penghasilan yang dia terima, ini kriteria harta yang berkah. Betapa banyak orang yang memiliki harta melimpah tapi hidunya gelisah, resah, cemas, takut dan panik karena hartanya tidak berkah. Idealnya biarlah kita kaya tapi kita orang-orang yang shaleh diantara hamba-hamba-Nya yang shaleh.

            Menurut Imam Al Ghazali ada  lima hal untuk menghilangkan sifat loba, tamak dan rakus dalam kehidupan sehingga menjadi orang yang qana’ah yaitu;

            Pertama, membiasakan diri  hidup dalam keadaan sedang, sederhana dan tidak berlebih-lebihan, secukupnya saja dalam berbelanja dan menjauhi kemewahan.

            Kedua, hendaklah seseorang itu meyakinkan dengan seyakin-yakinnya bahwa rezeki yang ditentukan untuknya itu pasti akan dicapai dan diperolehnya. Rezeki itu pasti akan datang sekalipun ia tidak berhati tamak dan loba untuk meraihnya.

            Ketiga, hendaklah disadari bahwa dengan berbuat qana’ah itu seseorang akan memperoleh kemuliaan sebab tidak memerlukan atau mengharapkan pertolongan orang lain dan tidak sampai meminta-minta sesuatu untuk menutupi kebutuhannya, sedangkan bersifat loba dan tamak itu merupakan lambang kehinaan.

            Keempat, hendaklah memperbanyak pemikirannya perihal kehikmatan yang dimiliki oleh golongan kaum kafir dan kurang akal, selanjutnya hendaknya melihat prihidup para Rasul, Nabi dan orang-orang shaleh sebelumnya tentang kehidupan.

            Kelima, hendaknya disadari bahwa harta itu banyak sekali menyebabkan timbulnya bencana dan marabahaya.

            Dengan melaksanakan hal-hal sebagaimana yang tersebut di atas, insya Allah seseorang itu akan dapat mengusahakan sifat qana’ah, menerima dengan apa yang ada disisinya, tetapi harus berusaha untuk memperbaiki nasibnya, juga tetap berpegang teguh pada sifat sabar dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya karena sikap mulia yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad adalah bila yang berkaitan dengan rezeki maka lihatlah orang yang lebih miskin dari kita, tapi yang berkaitan dengan ibadah maka lihat dan teladanilah orang yang lebih shalehdari kita, bahkan watak seorang mukmin itu selalu baik, bila mendapatkan rezeki maka dia bersyukur dan itu baik baginya dan bila mendapatkan musibah dia bersabar maka itu juga baik baginya, yakinlah selama masih ada usia, masih bisa berusaha maka masih dapat untuk mengais harta Allah di dunia ini, jangankan manusia sedangkan ulat di dalam lubang batu saja masih mendapatkan rezeki dari Tuhannya. Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 04 Zulqaidah 1434.H/09 September 2013].