Imam An Nawawi
Mereguk Hikmah di Telaga Karya Imam An Nawawi
Senin, 12 April 2021
Selasa, 03 Desember 2013
101.59 Makan Dari Hasil Usaha Sendiri
RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH
Makan
Dari Hasil Usaha
Sendiri
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Hidup
manusia di dunia ini nampaknya sibuk dengan kegiatan yang tidak kunjung
selesai, sejak dari bangun pagi hingga tidur
lagi, ada pekerjaan yang diprogram jangka pendek sehingga dalam waktu
singkat pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik, ada program jangka menengah yang membutuhkan waktu tidak terlalu cepat
tapi tidak terlalu lama dan program kerja jangka panjang yang berlansung sekian
generasi.
Selain setiap individu yang mengerahkan tenaga, fikiran
dan perasaannya untuk menyelesaikan pekerjaan, keluarga juga punya
target-target tertentu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, apalagi sebuah
bangsa dan Negara tentu tidak luput dari program kerja yang harus diselesaikan,
nampaknya manusia tidak lepas dirinya dari bekerja dan bekerja, apapun
pekerjaan akan dilakukan oleh manusia sesuai dengan kapasitasnya, bekerja
selain merupakan tuntutan hidup dia juga merupakan tuntutan untuk memenuhi
kehidupan di dunia ini, tanpa bekerja tentu sulit untuk memperoleh sesuatu yang
diinginkan.
Apapun profesi seseorang
tidak jadi masalah karena sesuai dengan kapasitasnya dia akan memperoleh
imbalan dari kerjanya, yang dilakukan secara baik, rapi dan profesional serta
bertanggungjawab, bahkan kerjanya itu dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk
keluarga disamakan dengan seorang muajhid "Sesungguhnya Allah suka kepada
hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa
bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang
mujahid di jalan Allah Azza wajalla.
(HR. Ahmad)
Siapapun
yang telah melangkahkan kakinya,
mengayunkan tangannya, mencurahkan tenaganya, memeras keringatnya karena
mengerjakan suatu pekerjaan yang berat sekalipun untuk kebutuhan pribadi dan
keluarganya maka tidaklah sia-sia, selain memperoleh pahala dari Allah dia juga
akan diampuni, tentu semuanya dilandasi dengan keimanan yang mantap dan amal yang disertai keikhlasan, "Barangsiapa
pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada
siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah" (HR. Ahmad)
Semua
manusia punya salah dan dosa, yang harus diupayakan agar dosa dan kesalahan itu
dapat hapus karena akan mengganggu perjalanan kehidupan seseorang hingga
akherat kelak, ada dosa yang dapat hapus dari satu shalat ke shalat lainnya,
ada dosa yang bisa diampuni dari satu jum'at ke jumat lainnya dan dari satu
Ramadhan ke Ramadhan berikutnya dari satu umrah ke umrah selanjutnya, kesusahan
mencari nafkah dapat juga menghapuskan dosa seseorang sebagaimana yang
disampaikan oleh Rasulullah "Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang
tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun
hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah'' (HR.
Ath-Thabrani)
Hikmah
dari kemampuan mencari nafkah [qadirun alal kasbi] yaitu dapat memenuhi
kebutuhan pribadi sehingga terjauh dari mengharapkan pemberian dari orang lain,
hidupnya mandiri bahkan mampu untuk membantu orang yang membutuhkan,
digambarkan dalam hadits Rasulullah, seorang lelaki yang sibuk setiap waktu
untuk beribadah di masjid, sementara semua kebutuhannya dibiayai oleh adiknya,
maka Rasuk menyatakan, adikmu lebih baik darimu, "Seorang yang membawa
tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke
pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah
dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang
yang terkadang diberi dan kadang ditolak. (Mutafaq'alaih).
Rasulullah bersabda, "Allah
memberi rezeki kepada hambaNya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya
serta ambisinya"HR. Aththusi)
Rasulullah
bersabda "Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh
kebajikan dan dari hasil keterampilan tangan" (HR. Al-Bazzar dan
Ahmad)
Rasulullah
bersabda,"Sebaik-baik mata pencaharian ialah hasil keterampilan tangan
seorang buruh apabila dia jujur (ikhlas). (HR. Ahmad)
Hasil
usaha sendiri kemudian dinikmati mendatangkan kebanggaan dan kebahagiaan
tersendiri walaupun tidak banyak, daripada banyak tapi hasil pencaharian orang
lain, yaitu hasil dari pemberian, apalagi hasil dari meminta-minta, Rasulullah
menyatakan,"Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan
sendiri'' (HR.Bukhari), salah satu hikmah kenapa Nabi Muhammad mampu
menolak tawaran dari pamannya Abu Thalib
berkaitan dengan datangnya kafir Quraisy yang menawarkan agar tidak lagi
menyebarkan da'wah islam maka beliau akan diberi tiga hal yaitu harta yang
banyak sehingga jadi orang kaya di Mekkah, diangkap sebagai pemimpin dan
dicarikan wanita cantik sebagai isterinya, tapi hal itu dia tolak dengan ucapan
“Wahai paman, seandainya mereka meletakkan bulan
di pundakku sebelah kiri dan matahari sebelah kananku, agar aku meninggalkan
da’wah ini, sungguh tidak akan berhenti sehingga aku mendapatkan kejayaan islam
atau aku binasa karenanya”.
Kenapa Muhammad berani begitu kepada pamannya ? karena
dia tinggal di rumah pamannya tidak gratis, dia ikut bekerja mencari nafkah,
sejak kecil bekerja mengembalakan kambing dan setelah remaja hingga dewasa dia
berdagang dengan Abu Thalib, artinya punya penghasilan dengan bekerja akan
menimbulkan kemerdekaan dari pribadi seseorang, tidak mudah ditekan atau
dijajah orang lain.
Bagi orang yang
dibukakan pintu rezeki melalui usaha apapun yang menguntungkan maka sebaiknya
ditekuni dengan maksimal, "Apabila dibukakan bagi seseorang pintu
rezeki maka hendaklah dia melestarikannya"(HR. Al-Baihaqi) Yakni
senantiasa bersungguh-sungguh dan konsentrasi di bidang usaha tersebut, serta
jangan suka berpindah-pindah ke pintu-pintu rezeki lain atau berpindah-pindah
usaha karena di khawatirkan pintu rezeki yang sudah jelas dibukakan tersebut menjadi
hilang dari genggaman karena kesibukkan nya mengurus usaha yang lain. Seandainya
memang mampu maka hal tersebut tidak mengapa.
Bekerja adalah upaya menjemput rezeki Allah SWT.
Tujuannya agar kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Oleh karenanya, Rasulullah SAW
mengajarkan prinsip-prinsip dalam menjemput rezeki. Yakni, yakin bahwa setiap
manusia mendapat bagian rezeki; selalu memperbaiki cara-cara dalam menjemput
rezeki; bersabar dengan rezeki yang belum kunjung datang; tidak menempuh
cara-cara yang menyimpang dari sunatullah.
Dalam
proses mencari rezeki, seseorang akan menghadapi berbagai kendala dan
rintangan. Rintangan terberat adalah ketika hati nurani tak lagi disertakan
dalam bekerja, dan lebih memilih menuruti hawa nafsu. Ketika nafsu lepas kendali,
rasa malu untuk melakukan keburukan tak ada lagi, segala macam cara dihalalkan,
norma dan etika tak lagi penting, bahkan iman akan mudah dikorbankan.
"Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari
perkataan para nabi adalah 'jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu'."
(HR Bukhari).
Bila
kondisi semacam ini terus berlanjut, akan timbul perilaku-perilaku impulsif
yang bisa menyeret pada kepribadian yang menyimpang (personality disorder).
Tidak ada kecemasan ketika melakukan kejahatan dan seusai berbuat tak tebersit
perasaan bersalah (guilty feeling), yang lebih ironis perbuatan jahatnya
dianggap sesuatu yang wajar.
Perilaku seperti itu merugikan banyak pihak
dan diri sendiri. Tidak saja lahan pekerjaan dan kepercayaan orang lain kepadanya
yang terancam lenyap, tapi kerugian yang amat besar telah menantinya yaitu
bangkrutnya kekayaan hakiki (hati nurani). Dan, pada saat hati nurani telah
mati, tak ada lagi ukuran untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk,
setiap tindakan cenderung melampaui batas, perbuatan baik dan ketaatan menjadi
sesuatu yang remeh, tak sadar bahwa hidup di dunia dalam genggaman Zat Pencipta
yang setiap saat siap untuk dicabut, dan lupa bahwa kehidupan dunia menjadi
penentu nasib di kehidupan akhirat yang kekal. [Republika
online, Muhammad Saifudin Kodiran, Bekerja
dengan Hati, Minggu, 10 April 2011 11:03 WIB].
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 59 dengan judul
“Anjuran Untuk
Makan Dari Hasil
Usaha Sendiri Dan Menahan Diri Dari Meminta Serta
Menuntut Agar Diberi”
Allah Ta'ala berfirman: "Jikalau
shalat telah diselesaikan, maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan
Allah," hingga habisnya ayat. (al-Jumu'ah: 10)
Dari Abu Abdillah yaitu
az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Niscayalah jikalau
seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya - untuk mengikat - lalu
ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali - di negerinya - dengan membawa
sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan
cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya - yakni dicukupi kebutuhannya, maka
hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu
pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya."
(Riwayat Bukhari)
Dari Abu Hurairah r.a.,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda "Niscayalah jikalau seseorang
dari engkau semua itu mencari sebongkokan kayu bakar dan diletakkan di atas
punggungnya, itu adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada seseorang,
kemudian orang yang dimintai itu memberinya atau menolak permintaannya."
(Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Hurairah r.a.
pula dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Adalah Nabi Dawud 'alaihis-salam itu
tidak suka makan sesuatu, kecuali dari hasil usaha tangannya sendiri - yakni
kerjanya." (Riwayat Bukhari)
Dari Abu Hurairah r.a. pula, bahwasanya
Rasulullah s.a.w. bersabda:"Nabi Zakariya 'alaihis-salam itu adalah
seorang tukang kayu." (Riwayat Muslim)
Dari al-Miqdad bin Ma'dikariba r.a. dari Nabi
s.a.w., sabdanya:"Tidaklah seseorang itu makan sesuatu makanan, sekalipun
sedikit, yang lebih baik daripada apa yang dimakannya dari hasil usaha
tangannya dan sesungguhnya Nabiullah Dawud 'alaihis-salam itu juga makan dari
hasil usaha tangannya." (Riwayat Bukhari).
Begitu yang dicontohkan
oleh para nabi kepada kita, untuk menikmati hasil dari usaha sendiri, tanpa meminta-minta dan tidak
mengharapkan pemberian orang lain, hal itu menjaga kepribadian sekaligus
bekerja itu merupakan ibadah yang mendatangkan pahala dari Allah Swt.
Mencari nafkah [ma'isyah]
adalah aktivitas manusia dalam rangka memenuhi kehidupannya dengan bekerja,
apapun jenis pekerjaan yang ditekuni selama baik dan halal adalah terpuji,
apakah sebagai pedagang, petani, buruh, pegawai negeri, anggota dewan, polisi,
tentara ataupun pengacara hingga menteri ataupun Presiden, kegiatan ini banyak mengandung pahala
didalamnya, dengan ma'isyah seseorang berupaya untuk mencari yang halal karena
memang demikian anjurannya,"Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah
menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll)''. (HR. Ath-Thabrani dan
Al-Baihaqi).
Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah mencontohkan
kepada ummatnya pentingnya mencari rezeki yang halal, sebab barang haram akan
mempengaruhi mental dan kepribadian seseorang. Idealnya, biarlah kita kaya raya
asal semua diperoleh dari yang halal, namun sangat rusak seseorang bila sedikit
atau banyak hartanya bergelimang dengan haram, baik haram zatnya, cara memperolehnya
atau membelanjakannya, Allah memperingatkan kita semuanya melalui nabinya;“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”[Al
Baqarah 2;172]
Seorang ummahat
dizaman Rasulullah dahulu, bila suaminya berangkat kerja mencari nafkah,
di depan pintu dia berpesan kepada suaminya,”Silahkan pergi mencari nafkah
sebanyak-banyaknya namun yang halal, jangan kau bawa ke rumahku ini harta yang
haram meskipun sedikit”.
Keluarga yang shaleh dan
shalehah akan menjaga dirinya dari rezeki yang haram, karena rumah tangga yang
baik adalah rumah tangga yang selalu mengumpulkan rezeki dari yang halal dan
hasil yang halal itu mengujudkan kebahagiaan bagi yang memperolehnya, demikian
pula halnya Allah menyukai hamba-Nya yang mencari rezeki halal walaupun dengan
sudah payah, "Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hambaNya
bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yanghalal.(HR.Ad-Dailami)
Bagi orang yang
dibukakan pintu rezeki melalui usaha apapun yang menguntungkan maka sebaiknya
ditekuni dengan maksimal, "Apabila dibukakan bagi seseorang pintu
rezeki maka hendaklah dia melestarikannya"(HR. Al-Baihaqi) Yakni
senantiasa bersungguh-sungguh dan konsentrasi di bidang usaha tersebut, serta
jangan suka berpindah-pindah ke pintu-pintu rezeki lain atau berpindah-pindah
usaha karena di khawatirkan pintu rezeki yang sudah jelas dibukakan tersebut menjadi
hilang dari genggaman karena kesibukkan nya mengurus usaha yang lain. Seandainya
memang mampu maka hal tersebut tidak mengapa.
Walaupun pahala melaksanakan
shalat fajar lebih baik dari dunia dan isinya, ditambah lagi dengan
melaksanakan shalat subuh maka untuk mencari nafkah mengais rezeki Allah dalam
berpagi-pagi sangat dianjurkan, selesai shalat subuh bersiap-siaplah untuk
bertebaran di muka bumi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah dalam
beberapa hadits; "Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur
sehingga melalaikan kamu untuk mencari rezeki"(HR. Ath-Thabrani)
"Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu. Sesungguhnya pada pagi hari terdapat barakah dan keberuntungan'' HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar)
"Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi hari mereka (bangun fajar). (HR. Ahmad).
Walaupun seseorang mempunya harta
yang banyak, tidak akan habis dimakan tujuh generasi, fasilitas hidup sudah
tersedia lengkap, anak-anaknyapun sudah berhasil dengan penghasilan yang tidak
sedikit, setiap bulan mendapat kiriman dari sang anak walaupun tidak diminta,
selain itu sebagai manusia berapalah yang dapat dimakan setiap hari, tapi
tidaklah enak kalau hidup hanya berdiam saja padahal fisik sehat dan masih kuat,
tidak punya aktivitas sama artinya dengan mati, orang yang bekerja memang lelah
tapi lebih lelah lagi orang yang menganggur, lebih jauh lagi Rasulullah
menyatakan tentang orang yang tidak bekerja, " Pengangguran menyebabkan
hati keras (keji dan membeku). (HR. Asysyihaab).
Alangkah
indahnya kehidupan seorang muslim, walaupun dia bekerja memenuhi kehidupan
pribadi dan keluarganya, mencukup keperluannya yang kesemuanya itu mendatangkan
kesenangan dan kebahagiaan bagi keluarga tersebut, tapi Allah memberikan pahala
atas semua usaha, tetesan keringat, ayunan cangkul, panas teriknya matahari,
lelah yang selalu menemani setiap malam, semuanya dinilai dengan pahala yang
tidak terhingga, Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 09 Zulqaidah 1434.H/14 September 2013].
100.58 Boleh Mengambil Tanpa Meminta
RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH
Boleh Mengambil Tanpa Meminta
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Rezeki
manusia sudah ditentukan Allah sejak zaman azali, namun demikian dia hanya
diwajibkan untuk berusaha mencarinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran,
walaupun turunnya rezeki itu lambat kepadanya maka tidak merubah ketaatan
kepada Allah dengan melakukan transaksi maksiat," Sesungguhnya Ruhul
Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat
sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan
memperbaiki mata pencaharianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat,
janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah karena apa yang
ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya. (HR.AbuZardanAlHakim).
Apapun
profesi seseorang tidak jadi masalah karena sesuai dengan kapasitasnya dia akan
memperoleh imbalan dari kerjanya, yang dilakukan secara baik, rapi dan
profesional serta bertanggungjawab, bahkan kerjanya itu dalam rangka memenuhi
kebutuhan untuk keluarga disamakan dengan seorang muajhid "Sesungguhnya Allah suka kepada
hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa
bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang
mujahid di jalan Allah Azza wajalla.
(HR. Ahmad)
Siapapun yang telah melangkahkan kakinya, mengayunkan tangannya, mencurahkan tenaganya, memeras keringatnya karena mengerjakan suatu pekerjaan yang berat sekalipun untuk kebutuhan pribadi dan keluarganya maka tidaklah sia-sia, selain memperoleh pahala dari Allah dia juga akan diampuni, tentu semuanya dilandasi dengan keimanan yang mantap dan amal yang disertai keikhlasan, "Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah" (HR. Ahmad)
Semua manusia punya salah dan
dosa, yang harus diupayakan agar dosa dan kesalahan itu dapat hapus karena akan
mengganggu perjalanan kehidupan seseorang hingga akherat kelak, ada dosa yang
dapat hapus dari satu shalat ke shalat lainnya, ada dosa yang bisa diampuni
dari satu jum'at ke jumat lainnya dan dari satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya
dari satu umrah ke umrah selanjutnya, kesusahan mencari nafkah dapat juga
menghapuskan dosa seseorang sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah "Sesungguhnya
di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat,
sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam
mencari nafkah'' (HR. Ath-Thabrani)
Hikmah dari kemampuan mencari nafkah [qadirun alal kasbi] yaitu dapat memenuhi kebutuhan pribadi sehingga terjauh dari mengharapkan pemberian dari orang lain, hidupnya mandiri bahkan mampu untuk membantu orang yang membutuhkan, digambarkan dalam hadits Rasulullah, seorang lelaki yang sibuk setiap waktu untuk beribadah di masjid, sementara semua kebutuhannya dibiayai oleh adiknya, maka Rasuk menyatakan, adikmu lebih baik darimu, "Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak. (Mutafaq'alaih).
Rasulullah bersabda, "Allah
memberi rezeki kepada hambaNya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya
serta ambisinya"HR. Aththusi)
Rasulullah bersabda "Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan dan dari hasil keterampilan tangan" (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)
Rasulullah bersabda,"Sebaik-baik
mata pencaharian ialah hasil keterampilan tangan seorang buruh apabila dia
jujur (ikhlas). (HR. Ahmad)
Hasil usaha sendiri kemudian dinikmati mendatangkan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri walaupun tidak banyak, daripada banyak tapi hasil pencaharian orang lain, yaitu hasil dari pemberian, apalagi hasil dari meminta-minta, Rasulullah menyatakan,"Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri'' (HR.Bukhari), salah satu hikmah kenapa Nabi Muhammad mampu menolak tawaran dari pamannya Abu Thalib berkaitan dengan datangnya kafir Quraisy yang menawarkan agar tidak lagi menyebarkan da'wah islam maka beliau akan diberi tiga hal yaitu harta yang banyak sehingga jadi orang kaya di Mekkah, diangkap sebagai pemimpin dan dicarikan wanita cantik sebagai isterinya, tapi hal itu dia tolak dengan ucapan “Wahai paman, seandainya mereka meletakkan bulan di pundakku sebelah kiri dan matahari sebelah kananku, agar aku meninggalkan da’wah ini, sungguh tidak akan berhenti sehingga aku mendapatkan kejayaan islam atau aku binasa karenanya”.
Kenapa Muhammad berani begitu kepada pamannya ? karena
dia tinggal di rumah pamannya tidak gratis, dia ikut bekerja mencari nafkah,
sejak kecil bekerja mengembalakan kambing dan setelah remaja hingga dewasa dia
berdagang dengan Abu Thalib, artinya punya penghasilan dengan bekerja akan
menimbulkan kemerdekaan dari pribadi seseorang, tidak mudah ditekan atau
dijajah orang lain.
Islam
mencela pengangguran dan peminta-minta. Agama Islam yang bersifat universal
tidak saja berbicara masalah ritual dan spiritual tapi juga menyoroti segala
permasalahan sosial yang selalu dihadapi ummat manusia. Salah satunya adalah
masalah pengangguran dan peminta-minta yang sangat dicela oleh Islam, sebab hal
ini merugikan masyarakat.
Pertama,
pengangguran dan peminta-minta menyebabkan tenaga manusia bersifat konsumtif,
tidak produktif akibatnya mereka menjadi beban masyarakat.
Kedua,
pengangguran dan peminta-minta adalah sumber kemiskinan, sedangkan kemiskinan
merupakan bumi yang subur bagi tumbuh dan berjangkitnya berbagai macam kejahatan.
Karena
itulah Islam sangat menentang pengangguran dan mencela orang-orang yang tidak
mau bekerja padahal sebenarnya mereka mampu bekerja.
Islam
mengajarkan kita untuk selalu bersedekah dan memberikan pertolongan kepada
orang yang memerlukan tetapi Islam tidak mengajarkan pengikutnya menjadi
peminta-minta atau pengemis, bahkan Rasulullah sendiri pernah menjelaskan bahwa
orang yang membawa tambang pergi kegunung mencari kayu lalu dijual untuk makan
dan bersedekah lebih baik dari pada meminta-minta kepada orang, sebagaimana
sabdanya yang berbunyi:
“Demi
jiwaku yang berada di tanganNya sungguh seseorang yang mengambil tali di antara
kalian kemudian dia gunakan untuk mengangkat kayu di atas punggungnya lebih
baik baginya daripada ia mendatangi orang kemudian ia meminta-minta kepadanya
yang terkadang ia diberi dan terkadang ia tidak diberi olehnya”. (HR.
Al-Bukhari)
Dan
beliau juga memberikan uswah kepada kita agar jangan meminta pertolongan selama
kita masih mampu untuk mengerjakannya.
Bukan berarti kita ingin menghindari kewajiban kita sebagai muslim dan sebagai makhluk sosial, yang walau bagaimanapun diantara mereka yang meminta-minta tersebut memang pantas mendapatkan sedekah, tetapi kita hanya berhati-hati agar jangan sampai terjerumus dan terjebak pada orang-orang yang hanya menggunakan pekerjaan mengemis sebagai topeng dan menampak luaskan kemiskinan dan terlebih lagi yang kita takutkan adanya anggapan bahwa Islam adalah agama bagi orang miskin dan terbelakang. [M. Rusydi, Mengemis Bukan Tradisi Islam, www.alsofwah.or.id/khutbah].
Bukan berarti kita ingin menghindari kewajiban kita sebagai muslim dan sebagai makhluk sosial, yang walau bagaimanapun diantara mereka yang meminta-minta tersebut memang pantas mendapatkan sedekah, tetapi kita hanya berhati-hati agar jangan sampai terjerumus dan terjebak pada orang-orang yang hanya menggunakan pekerjaan mengemis sebagai topeng dan menampak luaskan kemiskinan dan terlebih lagi yang kita takutkan adanya anggapan bahwa Islam adalah agama bagi orang miskin dan terbelakang. [M. Rusydi, Mengemis Bukan Tradisi Islam, www.alsofwah.or.id/khutbah].
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 58 dengan judul
“Boleh
Mengambil Tanpa Meminta Atau Mengintai — Mengharap-harapkan”.
Dari Salim bin Abdullah
bin Umar dari ayahnya, yaitu Abdullah bin Umar dari Umar radhiallahu 'anhum,
katanya: "Rasulullah s.a.w. memberikan sesuatu pemberian kepada saya, lalu
saya berkata: "Berikanlah itu kepada orang yang lebih membutuhkan padanya
daripada saya sendiri." Kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Ambil
sajalah pemberian ini, jikalau ada sesuatu yang datang dari harta ini,
sedangkan engkau tidak mengharap-harapkan dan tidak pula memintanya - padahal
engkau diberi dengan keikhlasan hati, maka ambillah itu. Jadikanlah itu sebagai
hartamu - yang sah. Jikalau engkau suka, makanlah ia dan jikalau engkau suka
maka bersedekahlah dengannya. Tetapi jikalau tidak demikian -artinya datangnya
harta itu dengan sebab diharap-harapkan untuk diberi atau karena diminta, maka
janganlah engkau memperturutkan hawa nafsumu - yakni melakukan itu dan kalau
diberi jangan pula menerimanya."'
Salim berkata:
"Maka Abdullah tidak pernah meminta sesuatu apapun dari orang lain dan
tidak pernah pula menolak sesuatu pemberian, jikalau ia diberi. (Muttafaq
'alaih).
Yang tidak boleh adalah
meminta-minta atau mengharap-harapkan pemberian dari orang lain, tapi kalau mendapat sesuatu
pemberian dari orang lain tanpa memintanya maka hal itu dibolehkan.
Pada
suatu hari, sahabat Abu Sa`id al-Khudzri tidak memiliki apa pun untuk sarapan
pagi. Istrinya meminta al-Khudzri agar datang kepada Rasulullah SAW. Sudah umum
diketahui, siapa pun datang dan meminta sesuatu kepada Rasul, beliau pasti
memberikannya. Namun, al-Khudzri menolaknya, sampai suatu ketika ia
begitu terpaksa, lalu datang ke rumah Nabi. Sesampainya di kediaman Nabi,
beliau sedang memberi wejangan (khutbah). "Siapa merasa cukup, Allah
mencukupkannya. Siapa memelihara diri (dari minta-minta), Allah pun
memeliharanya." Mendengar nasihat Nabi itu, al-Khudzri mengurungkan
niatnya dan kembali pulang ke rumahnya. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Beberapa
pelajaran berharga bisa dipetik dari kisah ini. Pertama, al-Khudzri, seperti
para sahabat umumnya, memiliki tingkat kepatuhan yang sangat tinggi terhadap
seruan Nabi. Mereka tak pernah menawar, tetapi selalu taat dan patuh
(sami`na wa atha`na). "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS al-Hasyr [59]:
7).
Kedua,
al-Khudzri berusaha menjaga dan memelihara diri dari sikap minta-minta,
lantaran hal demikian termasuk perbuatan yang tercela. Seperti diceritakan
dalam Alquran, meski mendapat kesulitan, para sahabat pantang meminta-minta
(mengemis). (QS al-Baqarah [2]: 273).
Ketiga,
jalan untuk mendapatkan rezeki adalah bekerja dan berusaha, bukan minta-minta.
Sejak mendengar nasihat Nabi SAW, al-Khudzri tak pernah lagi berpikir
minta-minta, tetapi bekerja dan berusaha. Seperti diakui al-Khudzri dalam kisah
ini, bahwa dengan usaha dan kerja keras, ia dapat memenuhi semua kebutuhan
hidupnya, bahkan ia tergolong orang yang paling kaya di kalangaan sahabat
Anshar.
Kerja
menjadi penting karena ia merupakan indikator keberadaan manusia. Tanpa kerja,
manusia sama dengan tidak ada (wujuduhu ka `adamihi). Kerja juga penting,
karena ia menjadi satu-satunya jalan agar manusia bisa mengaktualisasikan
bakat-bakat dan kemampuan yang dimilikinya. [Dr A Ilyas Ismail, Bekerja, Jangan
Meminta, Republika.co.id. Minggu, 08 Januari 2012 04:30 WIB].
Diriwayatkan
dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Qabiishah!
Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga
orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta
sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah
yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan
sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada
tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa
kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup.
Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan
orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”
Jelas
sudah bahwa pada dasarnya hukum meminta-minta tanpa landasan udzur yang telah
dijelaskan di atas, merupakan perbuatan yang dilarang. Meskipun demikian,
jangan sampai, karena alasan kita masuk dalam salah satu dari ketiga kategori
tersebut, dengan seenaknya kita jadikan sebagai hujjah untuk melegalkan
meminta-minta sebagai profesi hidup. Ingat, bagaimanapun alasannya, hakekat
meminta-minta adalah perilaku yang akan mencederai kehormatan diri. Sabda
Rasulullah yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Minta-minta
itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika
seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat
perlu.” (HR. Tirmidzi)
Selanjutnya,
terhadap mereka yang menjadikan meminta-minta sebagai wasilah untuk memperkaya
diri, bukan karena kebutuhan yang mendesak, maka Allah telah mengingatkan
dengan peringatan yang tegas, melalui perantara lisan Rasulnya, “Siapa saja
di antara kalian senantiasa meminta-minta, nanti ia akan datang pada hari
Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (H.R.
Bukhari, Muslim)
Dalam
sabdanya yang lain yang diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang
siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah
ia memakan bara api; sehingga terserah padanya apakah cukup dengan sedikit saja
atau akan memperbanyaknya.” (HR. Muslim).[Robin Sah, Enyahkan Minta-Minta, Agar Tak Terhina, hidayatullah.com Sabtu, 12 Juni 2010].
Betapa
banyak ummat Islam yang hidupnya susah, perlu mendapat bantuan untuk keperluan
hidupnya, apakah untuk kebutuhan hidup sehari-hari, untuk pengobatan dan
pendidikan, tapi dia tidak mau
meminta-minta karena dia masih punya tenaga untuk berusaha walaupun penghasilan
tidak mencukupi, walaupun demikian dia tidak menolak kalau diberi bantuan,
dengan ucapan terima kasih dan syukur kepada Allah. Inilah pribadi yang disebut
dengan “iffah” yaitu orang yang berpantang untuk meminta-minta walaupun dia
sangat membutuhkan, tapi dia akan menerima pemberian itu dengan rasa syukur, Wallahu
A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 09 Zulqaidah 1434.H/14 September
2013].
Langganan:
Postingan (Atom)