RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH
Boleh Mengambil Tanpa Meminta
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Rezeki
manusia sudah ditentukan Allah sejak zaman azali, namun demikian dia hanya
diwajibkan untuk berusaha mencarinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran,
walaupun turunnya rezeki itu lambat kepadanya maka tidak merubah ketaatan
kepada Allah dengan melakukan transaksi maksiat," Sesungguhnya Ruhul
Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat
sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan
memperbaiki mata pencaharianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat,
janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah karena apa yang
ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya. (HR.AbuZardanAlHakim).
Apapun
profesi seseorang tidak jadi masalah karena sesuai dengan kapasitasnya dia akan
memperoleh imbalan dari kerjanya, yang dilakukan secara baik, rapi dan
profesional serta bertanggungjawab, bahkan kerjanya itu dalam rangka memenuhi
kebutuhan untuk keluarga disamakan dengan seorang muajhid "Sesungguhnya Allah suka kepada
hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa
bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang
mujahid di jalan Allah Azza wajalla.
(HR. Ahmad)
Siapapun yang telah melangkahkan kakinya, mengayunkan tangannya, mencurahkan tenaganya, memeras keringatnya karena mengerjakan suatu pekerjaan yang berat sekalipun untuk kebutuhan pribadi dan keluarganya maka tidaklah sia-sia, selain memperoleh pahala dari Allah dia juga akan diampuni, tentu semuanya dilandasi dengan keimanan yang mantap dan amal yang disertai keikhlasan, "Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah" (HR. Ahmad)
Semua manusia punya salah dan
dosa, yang harus diupayakan agar dosa dan kesalahan itu dapat hapus karena akan
mengganggu perjalanan kehidupan seseorang hingga akherat kelak, ada dosa yang
dapat hapus dari satu shalat ke shalat lainnya, ada dosa yang bisa diampuni
dari satu jum'at ke jumat lainnya dan dari satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya
dari satu umrah ke umrah selanjutnya, kesusahan mencari nafkah dapat juga
menghapuskan dosa seseorang sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah "Sesungguhnya
di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat,
sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam
mencari nafkah'' (HR. Ath-Thabrani)
Hikmah dari kemampuan mencari nafkah [qadirun alal kasbi] yaitu dapat memenuhi kebutuhan pribadi sehingga terjauh dari mengharapkan pemberian dari orang lain, hidupnya mandiri bahkan mampu untuk membantu orang yang membutuhkan, digambarkan dalam hadits Rasulullah, seorang lelaki yang sibuk setiap waktu untuk beribadah di masjid, sementara semua kebutuhannya dibiayai oleh adiknya, maka Rasuk menyatakan, adikmu lebih baik darimu, "Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak. (Mutafaq'alaih).
Rasulullah bersabda, "Allah
memberi rezeki kepada hambaNya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya
serta ambisinya"HR. Aththusi)
Rasulullah bersabda "Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan dan dari hasil keterampilan tangan" (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)
Rasulullah bersabda,"Sebaik-baik
mata pencaharian ialah hasil keterampilan tangan seorang buruh apabila dia
jujur (ikhlas). (HR. Ahmad)
Hasil usaha sendiri kemudian dinikmati mendatangkan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri walaupun tidak banyak, daripada banyak tapi hasil pencaharian orang lain, yaitu hasil dari pemberian, apalagi hasil dari meminta-minta, Rasulullah menyatakan,"Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri'' (HR.Bukhari), salah satu hikmah kenapa Nabi Muhammad mampu menolak tawaran dari pamannya Abu Thalib berkaitan dengan datangnya kafir Quraisy yang menawarkan agar tidak lagi menyebarkan da'wah islam maka beliau akan diberi tiga hal yaitu harta yang banyak sehingga jadi orang kaya di Mekkah, diangkap sebagai pemimpin dan dicarikan wanita cantik sebagai isterinya, tapi hal itu dia tolak dengan ucapan “Wahai paman, seandainya mereka meletakkan bulan di pundakku sebelah kiri dan matahari sebelah kananku, agar aku meninggalkan da’wah ini, sungguh tidak akan berhenti sehingga aku mendapatkan kejayaan islam atau aku binasa karenanya”.
Kenapa Muhammad berani begitu kepada pamannya ? karena
dia tinggal di rumah pamannya tidak gratis, dia ikut bekerja mencari nafkah,
sejak kecil bekerja mengembalakan kambing dan setelah remaja hingga dewasa dia
berdagang dengan Abu Thalib, artinya punya penghasilan dengan bekerja akan
menimbulkan kemerdekaan dari pribadi seseorang, tidak mudah ditekan atau
dijajah orang lain.
Islam
mencela pengangguran dan peminta-minta. Agama Islam yang bersifat universal
tidak saja berbicara masalah ritual dan spiritual tapi juga menyoroti segala
permasalahan sosial yang selalu dihadapi ummat manusia. Salah satunya adalah
masalah pengangguran dan peminta-minta yang sangat dicela oleh Islam, sebab hal
ini merugikan masyarakat.
Pertama,
pengangguran dan peminta-minta menyebabkan tenaga manusia bersifat konsumtif,
tidak produktif akibatnya mereka menjadi beban masyarakat.
Kedua,
pengangguran dan peminta-minta adalah sumber kemiskinan, sedangkan kemiskinan
merupakan bumi yang subur bagi tumbuh dan berjangkitnya berbagai macam kejahatan.
Karena
itulah Islam sangat menentang pengangguran dan mencela orang-orang yang tidak
mau bekerja padahal sebenarnya mereka mampu bekerja.
Islam
mengajarkan kita untuk selalu bersedekah dan memberikan pertolongan kepada
orang yang memerlukan tetapi Islam tidak mengajarkan pengikutnya menjadi
peminta-minta atau pengemis, bahkan Rasulullah sendiri pernah menjelaskan bahwa
orang yang membawa tambang pergi kegunung mencari kayu lalu dijual untuk makan
dan bersedekah lebih baik dari pada meminta-minta kepada orang, sebagaimana
sabdanya yang berbunyi:
“Demi
jiwaku yang berada di tanganNya sungguh seseorang yang mengambil tali di antara
kalian kemudian dia gunakan untuk mengangkat kayu di atas punggungnya lebih
baik baginya daripada ia mendatangi orang kemudian ia meminta-minta kepadanya
yang terkadang ia diberi dan terkadang ia tidak diberi olehnya”. (HR.
Al-Bukhari)
Dan
beliau juga memberikan uswah kepada kita agar jangan meminta pertolongan selama
kita masih mampu untuk mengerjakannya.
Bukan berarti kita ingin menghindari kewajiban kita sebagai muslim dan sebagai makhluk sosial, yang walau bagaimanapun diantara mereka yang meminta-minta tersebut memang pantas mendapatkan sedekah, tetapi kita hanya berhati-hati agar jangan sampai terjerumus dan terjebak pada orang-orang yang hanya menggunakan pekerjaan mengemis sebagai topeng dan menampak luaskan kemiskinan dan terlebih lagi yang kita takutkan adanya anggapan bahwa Islam adalah agama bagi orang miskin dan terbelakang. [M. Rusydi, Mengemis Bukan Tradisi Islam, www.alsofwah.or.id/khutbah].
Bukan berarti kita ingin menghindari kewajiban kita sebagai muslim dan sebagai makhluk sosial, yang walau bagaimanapun diantara mereka yang meminta-minta tersebut memang pantas mendapatkan sedekah, tetapi kita hanya berhati-hati agar jangan sampai terjerumus dan terjebak pada orang-orang yang hanya menggunakan pekerjaan mengemis sebagai topeng dan menampak luaskan kemiskinan dan terlebih lagi yang kita takutkan adanya anggapan bahwa Islam adalah agama bagi orang miskin dan terbelakang. [M. Rusydi, Mengemis Bukan Tradisi Islam, www.alsofwah.or.id/khutbah].
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 58 dengan judul
“Boleh
Mengambil Tanpa Meminta Atau Mengintai — Mengharap-harapkan”.
Dari Salim bin Abdullah
bin Umar dari ayahnya, yaitu Abdullah bin Umar dari Umar radhiallahu 'anhum,
katanya: "Rasulullah s.a.w. memberikan sesuatu pemberian kepada saya, lalu
saya berkata: "Berikanlah itu kepada orang yang lebih membutuhkan padanya
daripada saya sendiri." Kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Ambil
sajalah pemberian ini, jikalau ada sesuatu yang datang dari harta ini,
sedangkan engkau tidak mengharap-harapkan dan tidak pula memintanya - padahal
engkau diberi dengan keikhlasan hati, maka ambillah itu. Jadikanlah itu sebagai
hartamu - yang sah. Jikalau engkau suka, makanlah ia dan jikalau engkau suka
maka bersedekahlah dengannya. Tetapi jikalau tidak demikian -artinya datangnya
harta itu dengan sebab diharap-harapkan untuk diberi atau karena diminta, maka
janganlah engkau memperturutkan hawa nafsumu - yakni melakukan itu dan kalau
diberi jangan pula menerimanya."'
Salim berkata:
"Maka Abdullah tidak pernah meminta sesuatu apapun dari orang lain dan
tidak pernah pula menolak sesuatu pemberian, jikalau ia diberi. (Muttafaq
'alaih).
Yang tidak boleh adalah
meminta-minta atau mengharap-harapkan pemberian dari orang lain, tapi kalau mendapat sesuatu
pemberian dari orang lain tanpa memintanya maka hal itu dibolehkan.
Pada
suatu hari, sahabat Abu Sa`id al-Khudzri tidak memiliki apa pun untuk sarapan
pagi. Istrinya meminta al-Khudzri agar datang kepada Rasulullah SAW. Sudah umum
diketahui, siapa pun datang dan meminta sesuatu kepada Rasul, beliau pasti
memberikannya. Namun, al-Khudzri menolaknya, sampai suatu ketika ia
begitu terpaksa, lalu datang ke rumah Nabi. Sesampainya di kediaman Nabi,
beliau sedang memberi wejangan (khutbah). "Siapa merasa cukup, Allah
mencukupkannya. Siapa memelihara diri (dari minta-minta), Allah pun
memeliharanya." Mendengar nasihat Nabi itu, al-Khudzri mengurungkan
niatnya dan kembali pulang ke rumahnya. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Beberapa
pelajaran berharga bisa dipetik dari kisah ini. Pertama, al-Khudzri, seperti
para sahabat umumnya, memiliki tingkat kepatuhan yang sangat tinggi terhadap
seruan Nabi. Mereka tak pernah menawar, tetapi selalu taat dan patuh
(sami`na wa atha`na). "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS al-Hasyr [59]:
7).
Kedua,
al-Khudzri berusaha menjaga dan memelihara diri dari sikap minta-minta,
lantaran hal demikian termasuk perbuatan yang tercela. Seperti diceritakan
dalam Alquran, meski mendapat kesulitan, para sahabat pantang meminta-minta
(mengemis). (QS al-Baqarah [2]: 273).
Ketiga,
jalan untuk mendapatkan rezeki adalah bekerja dan berusaha, bukan minta-minta.
Sejak mendengar nasihat Nabi SAW, al-Khudzri tak pernah lagi berpikir
minta-minta, tetapi bekerja dan berusaha. Seperti diakui al-Khudzri dalam kisah
ini, bahwa dengan usaha dan kerja keras, ia dapat memenuhi semua kebutuhan
hidupnya, bahkan ia tergolong orang yang paling kaya di kalangaan sahabat
Anshar.
Kerja
menjadi penting karena ia merupakan indikator keberadaan manusia. Tanpa kerja,
manusia sama dengan tidak ada (wujuduhu ka `adamihi). Kerja juga penting,
karena ia menjadi satu-satunya jalan agar manusia bisa mengaktualisasikan
bakat-bakat dan kemampuan yang dimilikinya. [Dr A Ilyas Ismail, Bekerja, Jangan
Meminta, Republika.co.id. Minggu, 08 Januari 2012 04:30 WIB].
Diriwayatkan
dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Qabiishah!
Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga
orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta
sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah
yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan
sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada
tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa
kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup.
Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan
orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”
Jelas
sudah bahwa pada dasarnya hukum meminta-minta tanpa landasan udzur yang telah
dijelaskan di atas, merupakan perbuatan yang dilarang. Meskipun demikian,
jangan sampai, karena alasan kita masuk dalam salah satu dari ketiga kategori
tersebut, dengan seenaknya kita jadikan sebagai hujjah untuk melegalkan
meminta-minta sebagai profesi hidup. Ingat, bagaimanapun alasannya, hakekat
meminta-minta adalah perilaku yang akan mencederai kehormatan diri. Sabda
Rasulullah yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Minta-minta
itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika
seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat
perlu.” (HR. Tirmidzi)
Selanjutnya,
terhadap mereka yang menjadikan meminta-minta sebagai wasilah untuk memperkaya
diri, bukan karena kebutuhan yang mendesak, maka Allah telah mengingatkan
dengan peringatan yang tegas, melalui perantara lisan Rasulnya, “Siapa saja
di antara kalian senantiasa meminta-minta, nanti ia akan datang pada hari
Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (H.R.
Bukhari, Muslim)
Dalam
sabdanya yang lain yang diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang
siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah
ia memakan bara api; sehingga terserah padanya apakah cukup dengan sedikit saja
atau akan memperbanyaknya.” (HR. Muslim).[Robin Sah, Enyahkan Minta-Minta, Agar Tak Terhina, hidayatullah.com Sabtu, 12 Juni 2010].
Betapa
banyak ummat Islam yang hidupnya susah, perlu mendapat bantuan untuk keperluan
hidupnya, apakah untuk kebutuhan hidup sehari-hari, untuk pengobatan dan
pendidikan, tapi dia tidak mau
meminta-minta karena dia masih punya tenaga untuk berusaha walaupun penghasilan
tidak mencukupi, walaupun demikian dia tidak menolak kalau diberi bantuan,
dengan ucapan terima kasih dan syukur kepada Allah. Inilah pribadi yang disebut
dengan “iffah” yaitu orang yang berpantang untuk meminta-minta walaupun dia
sangat membutuhkan, tapi dia akan menerima pemberian itu dengan rasa syukur, Wallahu
A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 09 Zulqaidah 1434.H/14 September
2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar