Senin, 02 Desember 2013

86.44 Memuliakan Alim Ulama



RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH






Memuliakan Alim  Ulama

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros


Hadirnya ulama di tengah masyarakat selain menjelaskan tentang ajaran Ilahi, dia juga untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah masyarakatnya dengan penuh bijaksana. Dialah tempat orang mendapat solusi dari persoalan hidup yang dialami. Sebenarnya tak satupun persoalan hidup yang tidak dapat diselesaikan oleh ulama karena mereka punya ilmu yang bersandarkan pada dua sandaran yang kuat yaitu Al Qur'an dan Sunnah.

Gelar ulama bukanlah gelar yang mudah untuk disandang dan dipajang dalam bingkaian nama seseorang. Akan tetapi merupakan pemberian dari Allah  kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Ulama bukanlah sebuah gelar yang bisa dicari dalam jenjang pendidikan tinggi dengan nilai ijazah yang mumtaz (terbaik), bukan pula gelar yang dicari dan didapatkan dengan jumlah pengikut yang setia dan banyak. Sekali lagi, ia adalah pemberian Allah kepada siapa yang diridhai-Nya. Jika demikian, jangan anda salah alamat untuk mencarinya. Carilah di tangan pemiliknya yaitu Allah, dengan cara yang telah digariskan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Jika cara demikian yang ditempuh, kita akan mendapatkan gelar ulama yang hakiki, bukan buatan dan bukan hasil sogokan.
Terdapat beberapa ungkapan ulama dalam mendefinisikan ulama. Ibnu Juraij  menukilkan (pendapat) dari ‘Atha, beliau berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia adalah orang alim.” 

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin  dalam kitab beliau Kitabul ‘Ilmi mengatakan: “Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah.”
Badruddin Al-Kinani tmengatakan: “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan.” [Ciri-ciri 'Ulama, Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi, www.asysyari’ahTuesday, 12 July 2011 13:03].
 
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 44 dengan judul “Memuliakan Alim  Ulama,  Orang-orang  Tua, Ahli Keutamaan Dan Mendahulukan Mereka Atas Lain-lainnya, Meninggikan Kedudukan Mereka Serta Menampakkan Martabat Mereka”.

Allah Ta'ala berfirman:"Katakanlah - hai Muhammad, adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Hanyasanya yang mengingat ialah orang-orang yang menggunakan fikirannya." (az-Zumar: 9)

Dari Abu Mas'ud yaitu'Uqbah bin 'Amr al-Badri al-Anshari r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:"Yang berhak menjadi imamnya sesuatu kaum - waktu shalat ialah yang terbaik bacaannya terhadap kitabullah - al-Quran. Jikalau semua jamaah di situ sama baiknya dalam membaca kitabullah, maka yang terpandai dalam as-Sunnah - Hadis. Jikalau semua sama pandainya dalam as-Sunnah,maka yang terdahulu hijrahnya.Jikalau dalam hijrahnya sama dahulunya, maka yang tertua usianya.
Janganlah seseorang itu menjadi imamnya seseorang yang lain dalam daerah kekuasaan orang lain itu dan jangan pula seseorang itu duduk dalam rumah orang lain itu di atas bantainya- orang lain tadi, kecuali dengan izinnya - yang memiliki." (Riwayat Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan oleh Imam Muslim: "Maka yang terdahulu masuknya Islam" sebagai ganti "yang tertua usianya."

Dalam riwayat lain lagi disebutkan:"Yang berhak menjadi imamnya sesuatu kaum - waktu shalat ialah yang terbaik bacaannya terhadap kitabullah - al-Quran, dan orang yang terdahulu pandai membacanya. Jikalau dalam pembacaan itu sama - dahulu dan pandainya, maka hendaklah yang menjadi imam itu seorang yang terdahulu hijrahnya. Jikalau dalam hijrahnya sama dahulunya, maka hendaknya menjadi imam seorang yang tertua usianya."

Dari Abu Mas'ud r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. mengusap bahu-bahu kita dalam shalat dan bersabda:"Ratakanlah - saf-saf dalam shalat - dan jangan bersilih-silih lebih maju atau lebih ke belakang, sebab jikalau tidak rata, maka hatimu semua pun menjadi berselisih. Hendaklah menyampingi saya - dalam shalat itu - orang-orang yang sudah baligh dan orang-orang yang berakal di antara engkau semua. Kemudian di sebelahnya lagi ialah orang-orang yang bertaraf di bawah mereka ini lalu orang yang bertaraf di bawah mereka ini pula." (Riwayat Muslim).

Dari Abdullah bin Mas'ud r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hendaklah menyampingi saya - dalam shalat - itu orang-orang yang sudah baligh dan berakal, kemudian orang-orang yang bertaraf di bawah itu." Ini disabdakannya sampai tiga kali. Beliau s.a.w. lalu melanjutkan: "Jauhilah olehmu semua akan berkeras-keras suara seperti pasar. (Riwayat Muslim).

Dari Abu Yahya, ada yang mengatakan, namanya: Abu Muhammad, iaitu Sahal bin Abu Hatsmah - dengan fathahnya ha' muhmalah dan sukunnya tsa' mutsallatsah - al-Anshari r.a., katanya: "Abdullah bin Sahal dan Muhayyishah bin Mas'ud berangkat ke Khaibar dan pada saat itu antara penduduk Khaibar - dengan Nabi s.a.w. - ada persetujuan perdamaian. Kemudian kedua orang itu berpisah.Setelah itu Muhayyishah mendatangi tempat Abdullah bin Sahal, tetapi yang didatangi ini sudah dalam keadaan berlumuran darah dan telah terbunuh. Muhayyishah lalu menanamnya, terus berangkat kembali ke Madinah. Setelah itu Abdur Rahman bin Sahal, Muhayyishah dan Huwayyishah, yakni putera-putera Mas'ud, berangkat ke tempat Nabi s.a.w., lalu Abdur Rahman mulai berbicara, kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Yang tua saja yang berbicara, yang tua saja yang berbicara," sebab Abdur Rahman adalah yang termuda antara orang-orang yang menghadap itu. Abdur Rahman lalu berdiam diri dan kedua orang itulah yang berbicara. Sesudah itu Nabi s.a.w. lalu bersabda: "Adakah engkau semua bersumpah dan dapat menghaki orang yang membunuhnya itu?" Seterusnya Abu Yahya yang merawikan Hadis ini - menyebutkan kelengkapan Hadis di atas. (Muttafaq 'alaih)

Dari Jabir r.a. bahawasanya Nabi s.a.w. mengumpulkan antara dua orang lelaki dari golongan orang-orang yang terbunuh dalam peperangan Badar - yakni dikumpulkan dalam sebuah kubur, kemudian beliau bertanya - kepada sahabat-sahabatnya: "Manakah di antara kedua orang ini yang lebih banyak hafalnya pada al Quran?" Ketika beliau s.a.w. diberi isyarat antara salah satunya, maka yang dikatakan lebih banyak hafalannya al-Quran itulah yang lebih didahulukan untuk dimasukkan dalam liang lahad." (Riwayat  Bukhari).

Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda:"Saya pernah melihat diri saya sendiri dalam impian di waktu saya sedang bersugi dengan menggunakan sebatang kayu siwak. Kemudian datanglah padaku dua orang lelaki, yang satu lebih tua daripada yang lainnya. Lalu siwak itu hendak saya berikan kepada orang yang lebih muda, tiba-tiba ada seorang yang berkata padaku: "Berikanlah kepada yang tua." Oleh sebab itu, maka saya berikanlah kepada yang tertua di antara kedua orang tadi."Diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai musnad dan oleh Imam Bukhari sebagai ta'liq.

Dari Abu Musa r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Setengah daripada cara mengagungkan Allah Ta'ala ialah dengan jalan memuliakan orang Islam yang sudah beruban serta orang yang hafal al-Quran yang tidak melampaui batas ketentuan -dalam membacanya - dan tidak pula meninggalkan membacanya. Demikian pula memuliakan seorang sultan - penguasa pemerintahan  yang adil." Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.

Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari neneknya r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak termasuk golongan kita - ummat Islam - orang yang tidak belas kasihan kepada golongan kecil di antara kita - baik usia atau kedudukannya - serta tidak termasuk golongan kita pula orang yang tidak mengerti kemuliaan yang tua di antara kita." Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Termidzi. Imam Termidzi mengatakan bahawa ini adalah Hadis hasan shahih. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: "hak orang yang tua dari kita."

Dari Maimun bin Abu Syabib bahawasanya Aisyah radhiallahu 'anha dilalui oleh seorang peminta-minta lalu olehnya diberi sepotong roti, juga dilalui oleh seorang lelaki yang mengenakan pakaian baik serta berkeadaan baik, lalu orang itu didudukkan kemudian ia makan. Kepada Aisyah ditanyakan, mengapa berbuat demikian - yakni tidak dipersamakan cara memberinya. Lalu ia berkata: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Letakkanlah masing-masing manusia itu di tempatnya sendiri-sendiri." Diriwayatkan oleh Abu Dawud, tetapi kata Imam Abu Dawud: "Maimun itu tidak pernah menemui Aisyah."
Hadis ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam permulaan kitab shahihnya sebagai ta'liq, lalu katanya: "Dan disebutkan dari Aisyah, katanya: "Rasulullah s.a.w. memerintahkan kepada kita supaya kita menempatkan para manusia itu di tempatnya sendiri-sendiri - yakni yang sesuai dengan kedudukannya."Imam Hakim Abu Abdillah menyebutkan ini dalam kitabnya Ma'rifatu 'ulumil Hadis dan ia mengatakan bahawa ini adalah Hadis shahih.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, katanya: 'Uyainah bin Hishn datang - di Madinah - lalu bertemu di rumah anak saudaranya-sepupunya - yaitu Hurbin Qais. Hur ini adalah di antara golongan orang-orang yang dekat hubungannya dengan Umar r.a. dan memang para ahli membaca al-Quran itu menjadi sahabat dalam majlisnya Umar dan yang diajaknya bermusyawarat, baik pun mereka itu golongan orang-orang yang sudah tua ataupun yang masih pemuda.

'Uyainah berkata kepada sepupunya: "Hai anak saudaraku, engkau ini mempunyai wajah - yakni dikenal amat baik - di sisi Amirul mu'minin ini - maksudnya Umar, maka dari itu mintakanlah izin untukku supaya aku dapat bertemu dengannya. Hur memintakan izin lalu Umar mengizinkannya. Setelah 'Uyainah masuk lalu ia berkata: "Ingat hai anaknya Alkhaththab, demi Allah, engkau ini tidak dapat memberikan banyak keenakan pada kita dan engkau tidak memerintah kepada kita dengan cara yang adil."

Umar r.a. marah padanya sehingga hampir saja bermaksud akan memberikan hukuman pada 'Uyainah itu. Tetapi Hur kemudian berkata pada Umar: "Hai Amirul mu'minin, sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman kepada Nabinya s.a.w. - yang ertinya: "Berilah pengampunan, perintahkan dengan kebajikan dan janganlah menghiraukan kepada orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199) dan sesungguhnya orang ini - yakni 'Uyainah - adalah termasuk golongan orang-orang yang bodoh."
Demi Allah, maka Umar tidak suka melanggar ayat tersebut ketika dibacakan padanya dan Umar adalah orang yang paling dapat menahan dirinya - yakni paling mentaati - kepada isi kitabullah Ta'ala itu." (Riwayat Bukhari)

Dari Abu Said yaitu Samurah bin jundub r.a., katanya: "Niscayalah saya dahulu itu sebagai seorang anak-anak di zaman Rasulullah s.a.w., maka saya menghafal - berbagai ajaran - dari beliau. Juga beliau tidak pernah melarang saya berbicara, melainkan jikalau di situ ada orang yang lebih tua usianya daripadaku sendiri." (Muttafaq 'alaih)

Dari Anas r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidaklah seseorang pemuda itu memuliakan seseorang tua kerana usianya, melainkan Allah akan mengira-ngirakan untuknya orang yang akan memuliakannya nanti, jikalau ia telah berusia tua -maksudnya setelah tuanya pasti akan dimuliakan anak-anak yang lebih muda daripadanya." Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahawa Hadis ini adalah Hadis gharib.

Rasulullah bersabda:“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits riwayat Al-Imam At-Tirmidzi].

Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: “Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.”

Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: “Kita wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk  meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah r serta meremehkan  ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan  kaum muslimin. Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” [Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah, Ulama Pewaris Nabi, www.asysyari’ahTuesday, 12 July 2011 13:01].

Sebenarnya bila ummat ini melakukan kedurhakaan atas ajaran yang disampaikan para ulama, tidak mengindahkan  fatwa-fatwanya, tidak meneladani akhlak mulia yang dicontohkannya, maka Allah mendatangkan murkanya kepada ummat ini dengan berbagai musibah dan bencana, salah satu bencana yang dapat menyesatkan manusia adalah diwafatkannya para ulama, sebagaimana hadits Rasulullah menyatakan,"Dari Urwah, [dia berkata, "Kami diberi keterangan  Abdullah bin Amr bin Ash, [maka saya mendengar dia] berkata, 'Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta-merta dari hamba-hamba Nya. Tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan (mematikan) ulama, sehingga Allah tidak menyisakan orang pandai. Maka, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu, mereka ditanya, dan mereka memberi fatwa tanpa ilmu. (Dan dalam satu riwayat: maka mereka memberi fatwa dengan pikirannya sendiri). Maka, mereka sesat dan menyesatkan."

Dengan wafatnya para ulama saja dapat mendatangkan bencana bagi ummat ini apalagi terjadi pembunuhan terhadap mereka, sehingga dapat ditunggu bencana apa yang akan terjadi kelak. Pembunuhan terhadap ulama sudah terjadi di masa Rasulullah, ketika beliau mengirim 40 orang ulama untuk menyiarkan islam pada sebuah daerah dijazirah Arab, di tengah perjalanan empat puluh orang itu disiksa dan dibunuh, berkaitan dengan itulah Rasulullah berduka sehingga menyunnahkan membaca do'a qunut ketika shalat. Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 05 Zulqaidah 1434.H/10 September 2013].


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar