Selasa, 03 Desember 2013

99.57 Qana’ah





RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH                    






Qana’ah
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Qana’ah adalah sifat mulia seorang mukmin terhadap rezeki yang diberi Allah, dia menerima berapapun jumlahnya sambil terus berusaha memperbaiki nasibnya. Jangan sekali-kali tamak pada milik orang lain, tidak pula menginginkan sesuatu yang ada di tangan orang, jangan pula berhati loba untuk mencari harta itu dengan segala jalan yang ada tanpa melihat baik buruknya serta halal haramnya.

Thalq bin Habib rahimahullah, seorang tabi’in pernah menuturkan:Beliau menggambarkan bahwa, ”Taqwa adalah engkau mengamalkan ketaatan di atas cahaya dari Allah, engkau mengharapkan rahmat-Nya. Engkau meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, di atas cahaya Allah, engkau takut terhadap siksa-Nya.”
Demikianlah ketaqwaan ini harus tumbuh dalam jiwa setiap muslim, sehingga akan lahir dan muncul pribadi-pribadi muslim yang istiqamah dan komitmen terhadap agamanya, serta dapat membentuk satu keluarga dan komunitas masyarakat yang Islamy, yaitu masyarakat yang terbina dan berjalan di atas manhaj dan jalan yang lurus dan benar.

Terhadap golongan yang demikian Allah Ta’ala telah memberikan khabar gembira dan janji yang agung. Sebagaimana yang termaktub di dalam surat an-Nahl ayat 97, Allah Ta’ala berfirman:Artinya:"Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia). dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (di akhirat kelak)" (Q.S an-Nahl: 97).

 Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalhah, Ikrimah dan Wahab bin Munabbih dan selainnya dari kalangan Shahabat radhiyallahu ‘anhum pernah menuturkan sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ketika memberikan penjelasan terhadap ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik di dunia adalah Allah akan memberikan rizki yang halal dan baik, timbulnya rasa qana'ah (perasaan cukup) dengan apa yang telah Allah anugerahkan dan karuniakan, serta mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan di dalamnya. 

Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberikan penegasan sebagaimana yang termaktub dalam hadits riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak akan mendhalimi kebaikan seorang mukmin, dengan kebaikan itu ia akan diberi rizki di dunia dan diberi balasan diakhirat. Adapun orang kafir maka dengan kebaikan-kebaikan amal yang ia kerjakan karena Allah, ia diberi rizki di dunia, sehingga ketika ia memasuki akhirat ia tidak memiliki satu kebaikan yang harus dibalasnya karenanya.” (HR. Muslim).

           Dengan demikian seorang mukmin yang senantiasa berada di atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya Shallallaahu 'alaihi wasallam dia akan mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat yang abadi. Sebaliknya bagi orang kafir dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka, meskipun di dunia juga Allah berikan kenikmatan, namun di akherat kelak ia akan mendapatkan kehidupan yang sempit.[Rizki Hanyalah Hak Allah,Ust. Khusnul Yaqin: Compiled by oRiDo™ ::].
  
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 57 dengan judul “Qana'ah — Puas Dengan Apa Adanya Dan Tetap Berusaha, 'Afaf — Enggan Meminta-minta, Berlaku Sederhana Dalam Kehidupan Dan Berbelanja Serta Mencela Meminta Tanpa Dharurat”

Allah Ta'ala berfirman:"Tiada sesuatupun binatang yang bergerak di bumi itu, kecuali atas tanggungan Allah jualah keadaan rezekinya." (Hud: 6).

Allah Ta'ala juga berfirman:"Berikanlah sedekah itu kepada kaum fakir yang terkepung dalam menjalankan jihad fi-sabilillah, mereka tidak dapat berjalan keliling negeri. Orang-orang yang tidak mengetahui akan mengira bahwa mereka itu adalah orang-orang yang kaya karena bersikap ta'affuf - enggan meminta-minta. Engkau dapat mengenal mereka itu dengan tanda-tandanya yakni bahwa mereka itu tidak mau meminta kepada para manusia secara berulang kali - yakni menyangat-nyangatkan permintaannya." (al-Baqarah: 273).

Juga Allah Ta'ala berfirman: "Dan mereka - hamba-hamba Allah yang berbakti - itu apabila menafkahkan hartanya, maka mereka itu tidak melampaui batas - terlalu boros - dan tidak pula bersikap kikir, tetapi pertengahan antara keduanya itu." (al-Furqan: 67).

Allah Ta'ala berfirman pula: "Tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia itu melainkan supaya menyembah padaKu. Aku tidak hendak meminta rezeki kepada mereka dan Aku tidak hendak meminta supaya mereka memberi makanan kepadaKu." (adz-Dzariyat: 56-57).

 Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Bukannya yang dinamakan kaya itu karena banyaknya harta, tetapi yang dinamakan kaya - yang sebenarnya - ialah kayanya jiwa." (Muttafaq 'alaih)

Dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sungguh berbahagialah orang yang masuk Agama Islam dan diberi rezeki cukup serta dikaruniai sifat qana'ah oleh Allah dengan apa-apa yang direzekikan kepadanya itu." (Riwayat Imam Muslim)

Dari Hakim bin Hizam r.a.,katanya: "Saya meminta kepada Rasulullah s.a.w., lalu beliau memberikan sesuatu padaku, lalu saya meminta lagi pada beliau, kemudian beliaupun memberikan pula sesuatu padaku, selanjutnya beliau bersabda: "Hai Hakim, sesungguhnya harta ini adalah sebagai benda yang kehijau-hijauan - yakni enak dirasakan dan nyaman dipandang juga manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya itu dengan jiwa kedermawanan - dari orang yang memberikannya serta memintanya itu dengan tidak memaksa, tentulah harta itu memperoleh berkah Tuhan, tetapi barangsiapa yang mengambilnya itu dengan jiwa kelobaan - atau ketamakan, maka tidak memperoleh berkah Tuhan dalam harta tadi. Ia adalah sebagai seseorang yang makan, namun tidak kenyang-kenyang. Tangan yang bagian atas - yang memberi - adalah lebih mulia daripada yang bagian bawah - yang diberi."

Hakim lalu berkata: "Ya Rasulullah, demi Zat yang mengutus Tuan dengan membawa kebenaran, saya tidak akan suka lagi menerima sesuatu dari seseorangpun sepeninggal Tuan nanti, sehingga saya akan berpisah dengan dunia - yakni sampai mati."
Abu Bakar r.a. pernah mengundang Hakim karena hendak memberikan sesuatu padanya, tetapi Hakim menolak untuk menerima sesuatupun dari pemberian itu. Seterusnya Umar r.a. pernah pula memanggilnya untuk memberikan sesuatu pada Hakim itu, tetapi ia juga enggan menerima pemberian tadi. Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma itu memanggil di kala keduanya menjabat sebagai khalifah secara bergantian. Umar lalu berkata: "Hai sekalian kaum Muslimin, saya mempersaksikan kepadamu semua atas diri Hakim ini, bahwasanya saya menawarkan padanya akan haknya yang saya wajib membagikan untuknya dari harta rampasan, tetapi ia enggan mengambil haknya itu. Hakim memang tidak pernah menerima sesuatu pemberian dari seseorangpun setelah wafatnya Nabi s.a.w., sehingga ia meninggal dunia. (Muttafaq 'alaih)

Dari Abu Burdah dari Abu Musa al-Asy'ari r.a., katanya: "Kita semua keluar bersama Rasulullah s.a.w. dalam melakukan sesuatu peperangan. Kita semua ada enam orang banyaknya - yakni yang menyertai Nabi s.a.w. itu, di antara kita ada seekor unta yang kita gunakan untuk ganti-berganti menaikinya. Maka berlobang-lobanglah kaki-kaki kita, juga kakikupun berlobang-lobang pula dan jatuhlah kuku-kukuku. Oleh sebab itu kita lalu membalutkan beberapa helai kain pada kaki-kaki kita itu dan dengan demikian peperangan itu dinamakan perang Dzatu riqa' - mempunyai beberapa balutan kain, karena kita membalutkan beberapa helai kain pada kaki-kaki kita tadi."
Abu Burdah berkata: "Abu Musa menceriterakan Hadis ini, kemudian ia merasa tidak senang dalam menguraikannya itu dan ia mengatakan: "Apa yang dapat saya lakukan dengan menyebut-nyebutkannya itu?" Abu Burdah melanjutkan katanya: "Seolah-olah Abu Musa itu tidak senang kalau menyebutkan sesuatu amalannya, lalu disiar-siarkannya." (Muttafaq 'alaih).

Maksudnya: Oleh sebab adanya bala' sampai kaki-kaki menjadi rusak dan kuku-kuku lepas itu adalah semata-mata urusan antara manusia dengan Tuhan, maka menurut anggapan Abu Musa r.a. tidak perlu diterang-terangkan, supaya tidak dianggap sebagai memamerkan jasa atau amalan."

Dari Hakim bin Hizam r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Tangan yang bagian atas - yang memberi - adalah lebih mulia daripada tangan yang bagian bawah -yang diberi. Dan dahulukanlah dalam pemberian itu kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu - yakni yang wajib dinafkahi. Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan di luar kebutuhan - yakni keadaan diri sendiri dan keluarga sudah dicukupi. Barangsiapa yang enggan meminta, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya dan barangsiapa tidak membutuhkan pemberian manusia, maka Allah akan memberikan kekayaan padanya." (Muttafaq 'alaih).

  Dari Abu Abdir Rahman, yaitu 'Auf bin Malik al-Asyja'i r.a., katanya: "Kita semua ada di sisi Rasulullah s.a.w. dan kita ada sembilan, delapan atau tujuh orang, kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Tidakkah engkau semua berbai'at kepada Rasulullah?" Padahal kita semua baru beberapa hari saja melakukan pembai'atan pula pada beliau itu, oleh sebab itu kita berkata: "Kita semua telah membai'at Tuan, ya Rasulullah." Kemudian beliau s.a.w. bersabda lagi: "Tidakkah engkau semua berbai'at kepada Rasulullah?" Kita lalu membeberkan tangan-tangan kita dan kita berkata: "Kita semua dulu sudah berbai'at kepada Tuan, ya Rasulullah dan sekarang kita berbai'at lagi dalam hal apakah?" Beliau s.a.w. lalu bersabda: "Hendaklah engkau semua menyembah kepada Allah yang Maha Esa dan jangan menyekutukan sesuatu denganNya, tetapi tetaplah mengerjakan shalat lima waktu dan sampai engkau semua mendengarkan serta melakukan ketaatan," lalu beliau memperlahankan suaranya dan bersabda dengan berbisik: "Dan jangan meminta sesuatu apapun dari orang-orang."

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang meminta-minta kepada orang-orang dengan maksud supaya menjadi banyak apa yang dimilikinya - jadi sudah cukup tetapi terus saja meminta-minta, maka sebenarnyalah orang itu meminta bara api. Maka dari itu baiklah ia memilih hendak mempersedikitkan atau memperbanyakkan - siksanya." (Riwayat Muslim).

Hadis di atas dapat diartikan bahwa orang sebagaimana yang tersebut itu yakni yang meminta-minta lebih dari keperluannya atau untuk mencari yang sebanyak-banyaknya akan disiksa dalam neraka dan oleh Rasulullah s.a.w. dikiaskan sebagai orang-orang yang meminta bara api. Tetapi dapat pula diartikan dengan makna yang sebenarnya menurut lahiriyah sabda beliau s.a.w., yaitu bahwa bara api akan dimasukkan dalam seterika dan kepada orang sebagaimana di atas itu akan diseterikakan pada punggung dan lambungnya, seperti juga keadaan orang yang sudah berkewajiban zakat, namun enggan mengeluarkan atau menunaikan kewajiban zakatnya. Demikianlah yang diuraikan oleh al-Qadhi'lyadh dalam menafsiri Hadis di atas.
Dari Ibnu Mas'ud r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang dihinggapi oleh kemelaratan, lalu diturunkannya kepada manusia - yakni meminta tolong kepada sesama manusia agar dihilangkan kemelaratannya itu, maka tentu tidak akan tertutuplah kemelaratannya tadi. Tetapi barangsiapa menurunkannya kepada Allah - yakni mohon kepadaNya agar dihilangkan kemelaratannya, maka bersegeralah Allah akan memberinya rezeki yang kontan - cepat diberikannya - atau rezeki yang dilambatkan memberikannya."
Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud serta Termidzi dan Termidzi mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.
 Meminta kepada Sultan itupun tidak boleh sembarang minta, tetapi yang ada sangkut pautnya dengan soal-soal keagamaan, misalnya meminta zakat yang diwajibkan oleh Allah kepadanya atau seperlima bagian dari hasil rampasan peperangan atau memang karena untuk kepentingan ummat dan masyarakat.

Dari Abu Bisyr yaitu Qabishah bin al-Mukhariq r.a., katanya: "Saya mempunyai beban sesuatu tanggungan harta - hamalah, lalu saya datang kepada Rasulullah s.a.w. untuk meminta sesuatu padanya guna melunasi tanggungan itu. Beliau s.a.w. bersabda: "Berdiamlah di sini dulu sampai ada harta sedekah - zakat - yang datang pada kita, maka dengan harta itu kita akan menyuruh guna diberikan padamu," selanjutnya beliau s.a.w. bersabda:
"Hai Qabishah, sesungguhnya permintaan itu tidak boleh dilakukan kecuali untuk salah satu dari tiga macam orang ini, yaitu: Seseorang yang mempunyai beban sesuatu tanggungan harta -hamalah, maka bolehlah ia meminta sehingga memperoleh sejumlah harta yang diperlukan tadi, kemudian menahandiri - jangan meminta-minta lagi. Juga seseorang yang mendapatkan sesuatu bencana, sehingga menyebabkan kemusnahan hartanya - lalu menjadi miskin, maka bolehlah ia meminta, sehingga dapatlah ia memperoleh sesuatu untuk menutupi keperluan hidupnya," atau sabda beliau: "Sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Demikian pula seseorang yang dihinggapi oleh kemelaratan, sehingga ada tiga orang dari golongan orang-orang yang berakal di kalangan kaumnya mengatakan: "Benar-benar si Fulan itu telah dihinggapi oleh kemelaratan," maka orang semacam itu bolehlah meminta sehingga dapatlah ia memperoleh sesuatu untuk menutupi keperluan hidupnya," atau sabda beliau: "Sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya." Adapun selain tiga macam orang tersebut di atas, maka permintaannya itu, hai Qabishah adalah merupakan suatu perbuatan dosa yang dimakan oleh orang yang memintanya tadi dengan memperoleh dosa." (Riwayat Muslim).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:"Bukannya orang miskin itu orang yang berkeliling mendatangi orang banyak - keluar masuk dari rumah ke rumah - lalu ditolak ketika meminta sebiji atau dua biji kurma atau ketika meminta sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin yang sebenarnya ialah orang yang tidak mempunyai kekayaan untuk mencukupi kebutuhannya, tidak pula diketahui kemiskinannya, sebab andaikata diketahui tentu ia akan diberi sedekah bahkan tidak pula ia suka berdiri lalu meminta-minta sesuatu kepada orang-orang." (Muttafaq 'alaih).
Seorang yang qana’ah akan yakin terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah ta’ala sehingga diapun ridha terhadap rezeki yang telah ditakdirkan dan dibagikan kepadanya. Hal ini erat kaitannya dengan keimanan kepada takdir Allah. Seorang yang qana’ah beriman bahwa Allah ta’ala telah menjamin dan membagi seluruh rezeki para hamba-Nya, bahkan ketika sang hamba dalam kondisi tidak memiliki apapun. Sehingga, dia tidak akan berkeluh-kesah mengadukan Rabb-nya kepada makhluk yang hina seperti dirinya.
Ibnu Mas’ud radhilallahu ‘anhu pernah mengatakan,“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam].
 “Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah].
Imam Ahmad mengatakan,“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.”
Seorang yang qana’ah tentu akan  bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh. Sebaliknya barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun mewanti-wanti kepada Abu Hurairah,
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling taat. Jadilah orang yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling bersyukur” [HR. Ibnu Majah].

Seorang yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya, sesungguhnya tengah berkeluh-kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang mengadukan minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah memprotes Allah kepada makhluk. Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok orang perihal kesempitan rezeki yang dialaminya, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Sesungguhnya engkau ini tengah mengadukan Zat yang menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa seorang yang qana’ah akan mendapatkan keberuntungan.
Fudhalah bin Ubaid radhiallalahu ‘anhu pernah mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,“Keberuntungan bagi seorang yang diberi hidayah untuk memeluk Islam, kehidupannya cukup dan dia merasa qana’ah dengan apa yang ada” [HR. Ahmad dan Tirmidzi].
Abdullah bin Amr mengatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, diberi rezki yang cukup dan Allah menganugerahi sifat qana’ah atas apa yang telah diberikan-Nya” [HR. Muslim dan Tirmidzi].

Seorang yang qana’ah akan terhindar dari berbagai akhlak buruk yang dapat mengikis habis pahala kebaikannya seperti hasad, namimah, dusta dan akhlak buruk lainnya. Faktor terbesar yang mendorong manusia melakukan berbagai akhlak buruk tersebut adalah tidak merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan, tamak akan dunia dan kecewa jika bagian dunia yang diperoleh hanya sedikit. Semua itu berpulang pada minimnya rasa qana’ah.
Jika seseorang memiliki sifat qana’ah, bagaimana bisa dia melakukan semua akhlak buruk di atas? Bagaimana bisa dalam hatinya timbul kedengkian, padahal dia telah ridha terhadap apa yang  telah ditakdirkan Allah?
Abdullah bin Mas’ud radhiallalhu ‘anhu mengatakan, “Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak dengki kepada seorangpun atas rezeki yang ditetapkan Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keragu-raguan (tidak yakin atas takdir Allah) dan kebencian (atas apa yang telah ditakdirkan Allah)” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya] [Muhammad Nur Ichwan Muslim, 7 Faedah Qona’ah, www.muslim.or.id, 7 October 2011].

Sifat qanaah ini selayaknya disandangkan kepada kaum wanita karena dialah yang lebih banyak berinteraksi dengan nafkah yang diterimanya dari sang suami, dengan mengupayakan segala fikiran dan tenaga, suami mencari harta yang halal untuk menafkahi rumah tangganya, tapi hasil yang diperoleh tidak atau belum sesuai dengan keinginan, sementara tuntutan dari isteri begitu besar sehingga menanggalkan sifat qana’ahnya, wajar bila Rasul menyatakan bahwa ketika beliau melakukan isra’ dan mi’raj, dilihatnya di neraka lebih banyak wanita dari pada lelaki, walaupun mereka shalat, puasa dan melakukan ibadah yang lain, tapi karena wanita itu tidak qanaah atas rezeki yang terimanya dari suami, selalu merasa kurang,  diberi sedikit jelas tidak mencukupi, diberi banyak habis tak bersisa,  Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 08 Zulqaidah 1434.H/13 September 2013].



Tidak ada komentar:

Posting Komentar