RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH
Qana’ah
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Qana’ah adalah sifat
mulia seorang mukmin terhadap rezeki yang diberi Allah, dia menerima berapapun
jumlahnya sambil terus berusaha memperbaiki nasibnya. Jangan sekali-kali tamak
pada milik orang lain, tidak pula menginginkan sesuatu yang ada di tangan
orang, jangan pula berhati loba untuk mencari harta itu dengan segala jalan
yang ada tanpa melihat baik buruknya serta halal haramnya.
Thalq bin Habib rahimahullah, seorang tabi’in pernah
menuturkan:Beliau menggambarkan bahwa, ”Taqwa
adalah engkau mengamalkan ketaatan di atas cahaya dari Allah, engkau
mengharapkan rahmat-Nya. Engkau meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, di atas
cahaya Allah, engkau takut terhadap siksa-Nya.”
Demikianlah ketaqwaan ini harus tumbuh dalam jiwa setiap muslim, sehingga akan lahir dan muncul pribadi-pribadi muslim yang istiqamah dan komitmen terhadap agamanya, serta dapat membentuk satu keluarga dan komunitas masyarakat yang Islamy, yaitu masyarakat yang terbina dan berjalan di atas manhaj dan jalan yang lurus dan benar.
Demikianlah ketaqwaan ini harus tumbuh dalam jiwa setiap muslim, sehingga akan lahir dan muncul pribadi-pribadi muslim yang istiqamah dan komitmen terhadap agamanya, serta dapat membentuk satu keluarga dan komunitas masyarakat yang Islamy, yaitu masyarakat yang terbina dan berjalan di atas manhaj dan jalan yang lurus dan benar.
Terhadap golongan yang demikian Allah Ta’ala telah
memberikan khabar gembira dan janji yang agung. Sebagaimana yang termaktub di
dalam surat an-Nahl ayat 97, Allah Ta’ala berfirman:Artinya:"Barangsiapa yang beramal shalih, baik
laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia). dan sesungguhnya
akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan (di akhirat kelak)" (Q.S an-Nahl: 97).
Ibnu Abbas, Ali
bin Abi Thalhah, Ikrimah dan Wahab bin Munabbih dan selainnya dari kalangan
Shahabat radhiyallahu ‘anhum pernah menuturkan sebagaimana dinukil oleh Ibnu
Katsir di dalam tafsirnya ketika memberikan penjelasan terhadap ayat tersebut,
bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik di dunia adalah Allah akan
memberikan rizki yang halal dan baik, timbulnya rasa qana'ah (perasaan cukup)
dengan apa yang telah Allah anugerahkan dan karuniakan, serta mendapatkan
kebaikan dan kebahagiaan di dalamnya.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberikan penegasan sebagaimana yang termaktub dalam hadits riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak akan mendhalimi kebaikan seorang mukmin, dengan kebaikan itu ia akan diberi rizki di dunia dan diberi balasan diakhirat. Adapun orang kafir maka dengan kebaikan-kebaikan amal yang ia kerjakan karena Allah, ia diberi rizki di dunia, sehingga ketika ia memasuki akhirat ia tidak memiliki satu kebaikan yang harus dibalasnya karenanya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian seorang mukmin yang
senantiasa berada di atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya Shallallaahu 'alaihi
wasallam dia akan mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat yang abadi.
Sebaliknya bagi orang kafir dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka,
meskipun di dunia juga Allah berikan kenikmatan, namun di akherat kelak ia akan
mendapatkan kehidupan yang sempit.[Rizki
Hanyalah Hak Allah,Ust. Khusnul Yaqin: Compiled by oRiDo™
::].
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 57 dengan judul
“Qana'ah — Puas Dengan Apa Adanya Dan Tetap Berusaha, 'Afaf — Enggan
Meminta-minta, Berlaku Sederhana Dalam Kehidupan Dan Berbelanja Serta Mencela
Meminta Tanpa Dharurat”
Allah Ta'ala berfirman:"Tiada sesuatupun binatang yang bergerak di bumi itu, kecuali atas
tanggungan Allah jualah keadaan rezekinya." (Hud: 6).
Allah Ta'ala juga berfirman:"Berikanlah sedekah itu kepada kaum fakir yang terkepung dalam
menjalankan jihad fi-sabilillah, mereka tidak dapat berjalan keliling negeri.
Orang-orang yang tidak mengetahui akan mengira bahwa mereka itu adalah
orang-orang yang kaya karena bersikap ta'affuf - enggan meminta-minta. Engkau
dapat mengenal mereka itu dengan tanda-tandanya yakni bahwa mereka itu tidak
mau meminta kepada para manusia secara berulang kali - yakni
menyangat-nyangatkan permintaannya." (al-Baqarah: 273).
Juga Allah Ta'ala berfirman: "Dan mereka - hamba-hamba Allah yang berbakti - itu apabila
menafkahkan hartanya, maka mereka itu tidak melampaui batas - terlalu boros -
dan tidak pula bersikap kikir, tetapi pertengahan antara keduanya itu." (al-Furqan:
67).
Allah Ta'ala berfirman pula: "Tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia itu melainkan supaya
menyembah padaKu. Aku tidak hendak meminta rezeki kepada mereka dan Aku tidak
hendak meminta supaya mereka memberi makanan kepadaKu." (adz-Dzariyat:
56-57).
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya:
"Bukannya yang dinamakan kaya itu karena banyaknya harta, tetapi yang
dinamakan kaya - yang sebenarnya - ialah kayanya jiwa." (Muttafaq 'alaih)
Dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhuma bahwasanya
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sungguh berbahagialah orang yang masuk Agama
Islam dan diberi rezeki cukup serta dikaruniai sifat qana'ah oleh Allah dengan
apa-apa yang direzekikan kepadanya itu." (Riwayat Imam Muslim)
Dari Hakim bin Hizam r.a.,katanya: "Saya meminta kepada
Rasulullah s.a.w., lalu beliau memberikan sesuatu padaku, lalu saya meminta
lagi pada beliau, kemudian beliaupun memberikan pula sesuatu padaku,
selanjutnya beliau bersabda: "Hai Hakim, sesungguhnya harta ini adalah
sebagai benda yang kehijau-hijauan - yakni enak dirasakan dan nyaman dipandang
juga manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya itu dengan jiwa kedermawanan -
dari orang yang memberikannya serta memintanya itu dengan tidak memaksa,
tentulah harta itu memperoleh berkah Tuhan, tetapi barangsiapa yang
mengambilnya itu dengan jiwa kelobaan - atau ketamakan, maka tidak memperoleh
berkah Tuhan dalam harta tadi. Ia adalah sebagai seseorang yang makan, namun
tidak kenyang-kenyang. Tangan yang bagian atas - yang memberi - adalah lebih
mulia daripada yang bagian bawah - yang diberi."
Hakim lalu berkata: "Ya Rasulullah, demi Zat yang
mengutus Tuan dengan membawa kebenaran, saya tidak akan suka lagi menerima
sesuatu dari seseorangpun sepeninggal Tuan nanti, sehingga saya akan berpisah
dengan dunia - yakni sampai mati."
Abu Bakar r.a. pernah mengundang Hakim karena hendak
memberikan sesuatu padanya, tetapi Hakim menolak untuk menerima sesuatupun dari
pemberian itu. Seterusnya Umar r.a. pernah pula memanggilnya untuk memberikan
sesuatu pada Hakim itu, tetapi ia juga enggan menerima pemberian tadi. Abu
Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma itu memanggil di kala keduanya menjabat
sebagai khalifah secara bergantian. Umar lalu berkata: "Hai sekalian kaum
Muslimin, saya mempersaksikan kepadamu semua atas diri Hakim ini, bahwasanya saya
menawarkan padanya akan haknya yang saya wajib membagikan untuknya dari harta
rampasan, tetapi ia enggan mengambil haknya itu. Hakim memang tidak pernah
menerima sesuatu pemberian dari seseorangpun setelah wafatnya Nabi s.a.w.,
sehingga ia meninggal dunia. (Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Burdah dari Abu Musa al-Asy'ari r.a., katanya:
"Kita semua keluar bersama Rasulullah s.a.w. dalam melakukan sesuatu
peperangan. Kita semua ada enam orang banyaknya - yakni yang menyertai Nabi
s.a.w. itu, di antara kita ada seekor unta yang kita gunakan untuk
ganti-berganti menaikinya. Maka berlobang-lobanglah kaki-kaki kita, juga
kakikupun berlobang-lobang pula dan jatuhlah kuku-kukuku. Oleh sebab itu kita
lalu membalutkan beberapa helai kain pada kaki-kaki kita itu dan dengan demikian
peperangan itu dinamakan perang Dzatu riqa' - mempunyai beberapa balutan kain,
karena kita membalutkan beberapa helai kain pada kaki-kaki kita tadi."
Abu Burdah berkata: "Abu Musa menceriterakan Hadis ini,
kemudian ia merasa tidak senang dalam menguraikannya itu dan ia mengatakan:
"Apa yang dapat saya lakukan dengan menyebut-nyebutkannya itu?" Abu
Burdah melanjutkan katanya: "Seolah-olah Abu Musa itu tidak senang kalau
menyebutkan sesuatu amalannya, lalu disiar-siarkannya." (Muttafaq 'alaih).
Maksudnya: Oleh sebab adanya bala' sampai kaki-kaki menjadi
rusak dan kuku-kuku lepas itu adalah semata-mata urusan antara manusia dengan
Tuhan, maka menurut anggapan Abu Musa r.a. tidak perlu diterang-terangkan,
supaya tidak dianggap sebagai memamerkan jasa atau amalan."
Dari Hakim bin Hizam r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Tangan
yang bagian atas - yang memberi - adalah lebih mulia daripada tangan yang
bagian bawah -yang diberi. Dan dahulukanlah dalam pemberian itu kepada
orang-orang yang menjadi tanggunganmu - yakni yang wajib dinafkahi. Sebaik-baik
sedekah ialah yang diberikan di luar kebutuhan - yakni keadaan diri sendiri dan
keluarga sudah dicukupi. Barangsiapa yang enggan meminta, maka Allah akan
memberikan kecukupan padanya dan barangsiapa tidak membutuhkan pemberian
manusia, maka Allah akan memberikan kekayaan padanya." (Muttafaq 'alaih).
Dari Abu Abdir Rahman, yaitu 'Auf bin Malik
al-Asyja'i r.a., katanya: "Kita semua ada di sisi Rasulullah s.a.w. dan
kita ada sembilan, delapan atau tujuh orang, kemudian beliau s.a.w. bersabda:
"Tidakkah engkau semua berbai'at kepada Rasulullah?" Padahal kita
semua baru beberapa hari saja melakukan pembai'atan pula pada beliau itu, oleh
sebab itu kita berkata: "Kita semua telah membai'at Tuan, ya Rasulullah."
Kemudian beliau s.a.w. bersabda lagi: "Tidakkah engkau semua berbai'at
kepada Rasulullah?" Kita lalu membeberkan tangan-tangan kita dan kita
berkata: "Kita semua dulu sudah berbai'at kepada Tuan, ya Rasulullah dan
sekarang kita berbai'at lagi dalam hal apakah?" Beliau s.a.w. lalu
bersabda: "Hendaklah engkau semua menyembah kepada Allah yang Maha Esa dan
jangan menyekutukan sesuatu denganNya, tetapi tetaplah mengerjakan shalat lima
waktu dan sampai engkau semua mendengarkan serta melakukan ketaatan," lalu
beliau memperlahankan suaranya dan bersabda dengan berbisik: "Dan jangan
meminta sesuatu apapun dari orang-orang."
Dari Abu Hurairah r.a.,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa yang meminta-minta kepada
orang-orang dengan maksud supaya menjadi banyak apa yang dimilikinya - jadi
sudah cukup tetapi terus saja meminta-minta, maka sebenarnyalah orang itu
meminta bara api. Maka dari itu baiklah ia memilih hendak mempersedikitkan atau
memperbanyakkan - siksanya." (Riwayat Muslim).
Hadis di atas dapat
diartikan bahwa orang sebagaimana yang tersebut itu yakni yang meminta-minta
lebih dari keperluannya atau untuk mencari yang sebanyak-banyaknya akan disiksa
dalam neraka dan oleh Rasulullah s.a.w. dikiaskan sebagai orang-orang yang
meminta bara api. Tetapi dapat pula diartikan dengan makna yang sebenarnya
menurut lahiriyah sabda beliau s.a.w., yaitu bahwa bara api akan dimasukkan
dalam seterika dan kepada orang sebagaimana di atas itu akan diseterikakan pada
punggung dan lambungnya, seperti juga keadaan orang yang sudah berkewajiban
zakat, namun enggan mengeluarkan atau menunaikan kewajiban zakatnya. Demikianlah yang diuraikan oleh
al-Qadhi'lyadh dalam menafsiri Hadis di atas.
Dari Ibnu Mas'ud r.a.,
katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang dihinggapi oleh
kemelaratan, lalu diturunkannya kepada manusia - yakni meminta tolong kepada
sesama manusia agar dihilangkan kemelaratannya itu, maka tentu tidak akan tertutuplah
kemelaratannya tadi. Tetapi barangsiapa menurunkannya kepada Allah - yakni
mohon kepadaNya agar dihilangkan kemelaratannya, maka bersegeralah Allah akan
memberinya rezeki yang kontan - cepat diberikannya - atau rezeki yang
dilambatkan memberikannya."
Diriwayatkan oleh
Imam-imam Abu Dawud serta Termidzi dan Termidzi mengatakan bahwa ini adalah
Hadis hasan.
Meminta kepada Sultan itupun tidak boleh
sembarang minta, tetapi yang ada sangkut pautnya dengan soal-soal keagamaan,
misalnya meminta zakat yang diwajibkan oleh Allah kepadanya atau seperlima
bagian dari hasil rampasan peperangan atau memang karena untuk kepentingan
ummat dan masyarakat.
Dari Abu Bisyr yaitu
Qabishah bin al-Mukhariq r.a., katanya: "Saya mempunyai beban sesuatu
tanggungan harta - hamalah, lalu saya datang kepada Rasulullah s.a.w. untuk
meminta sesuatu padanya guna melunasi tanggungan itu. Beliau s.a.w. bersabda:
"Berdiamlah di sini dulu sampai ada harta sedekah - zakat - yang datang
pada kita, maka dengan harta itu kita akan menyuruh guna diberikan
padamu," selanjutnya beliau s.a.w. bersabda:
"Hai Qabishah,
sesungguhnya permintaan itu tidak boleh dilakukan kecuali untuk salah satu dari
tiga macam orang ini, yaitu: Seseorang yang mempunyai beban sesuatu tanggungan
harta -hamalah, maka bolehlah ia meminta sehingga memperoleh sejumlah harta
yang diperlukan tadi, kemudian menahandiri - jangan meminta-minta lagi. Juga
seseorang yang mendapatkan sesuatu bencana, sehingga menyebabkan kemusnahan
hartanya - lalu menjadi miskin, maka bolehlah ia meminta, sehingga dapatlah ia
memperoleh sesuatu untuk menutupi keperluan hidupnya," atau sabda beliau:
"Sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Demikian pula seseorang yang
dihinggapi oleh kemelaratan, sehingga ada tiga orang dari golongan orang-orang
yang berakal di kalangan kaumnya mengatakan: "Benar-benar si Fulan itu
telah dihinggapi oleh kemelaratan," maka orang semacam itu bolehlah
meminta sehingga dapatlah ia memperoleh sesuatu untuk menutupi keperluan
hidupnya," atau sabda beliau: "Sesuatu untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya." Adapun selain tiga macam orang tersebut di atas, maka
permintaannya itu, hai Qabishah adalah merupakan suatu perbuatan dosa yang
dimakan oleh orang yang memintanya tadi dengan memperoleh dosa." (Riwayat
Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a.
bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:"Bukannya orang miskin itu orang
yang berkeliling mendatangi orang banyak - keluar masuk dari rumah ke rumah -
lalu ditolak ketika meminta sebiji atau dua biji kurma atau ketika meminta
sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin yang sebenarnya ialah orang yang
tidak mempunyai kekayaan untuk mencukupi kebutuhannya, tidak pula diketahui
kemiskinannya, sebab andaikata diketahui tentu ia akan diberi sedekah bahkan
tidak pula ia suka berdiri lalu meminta-minta sesuatu kepada orang-orang."
(Muttafaq 'alaih).
Seorang yang qana’ah akan
yakin terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah ta’ala sehingga diapun ridha
terhadap rezeki yang telah ditakdirkan dan dibagikan kepadanya. Hal ini erat
kaitannya dengan keimanan kepada takdir Allah. Seorang yang qana’ah beriman
bahwa Allah ta’ala telah menjamin dan membagi seluruh rezeki para hamba-Nya,
bahkan ketika sang hamba dalam kondisi tidak memiliki apapun. Sehingga, dia
tidak akan berkeluh-kesah mengadukan Rabb-nya kepada makhluk yang hina seperti
dirinya.
Ibnu Mas’ud radhilallahu ‘anhu
pernah mengatakan,“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki
adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk
membuat makanan di rumah” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam].
“Situasi
dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di
rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah].
Imam Ahmad mengatakan,“Hari
yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya
tidak memiliki apapun.”
Seorang yang qana’ah tentu
akan bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh. Sebaliknya
barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan
sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun
mewanti-wanti kepada Abu Hurairah,
“Wahai
Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang
paling taat. Jadilah orang yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang
paling bersyukur” [HR. Ibnu Majah].
Seorang
yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya, sesungguhnya tengah
berkeluh-kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang
mengadukan minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah
memprotes Allah kepada makhluk. Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok
orang perihal kesempitan rezeki yang dialaminya, maka salah seorang diantara
mereka berkata, “Sesungguhnya engkau ini tengah mengadukan Zat yang
menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyatakan bahwa seorang yang qana’ah akan mendapatkan keberuntungan.
Fudhalah bin Ubaid
radhiallalahu ‘anhu pernah mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan,“Keberuntungan bagi seorang yang diberi hidayah untuk memeluk Islam,
kehidupannya cukup dan dia merasa qana’ah dengan apa yang ada” [HR. Ahmad dan Tirmidzi].
Abdullah bin Amr mengatakan
bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sungguh beruntung
orang yang memeluk Islam, diberi rezki yang cukup dan Allah menganugerahi sifat
qana’ah atas apa yang telah diberikan-Nya” [HR. Muslim dan Tirmidzi].
Seorang yang qana’ah akan
terhindar dari berbagai akhlak buruk yang dapat mengikis habis pahala
kebaikannya seperti hasad, namimah, dusta dan akhlak buruk lainnya. Faktor
terbesar yang mendorong manusia melakukan berbagai akhlak buruk tersebut adalah
tidak merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan, tamak akan dunia dan
kecewa jika bagian dunia yang diperoleh hanya sedikit. Semua itu berpulang pada
minimnya rasa qana’ah.
Jika seseorang memiliki sifat
qana’ah, bagaimana bisa dia melakukan semua akhlak buruk di atas? Bagaimana
bisa dalam hatinya timbul kedengkian, padahal dia telah ridha terhadap apa yang
telah ditakdirkan Allah?
Abdullah bin Mas’ud
radhiallalhu ‘anhu mengatakan, “Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha
manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak dengki kepada seorangpun atas
rezeki yang ditetapkan Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang
tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan
ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang.
Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan
ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta
menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keragu-raguan (tidak yakin
atas takdir Allah) dan kebencian (atas apa yang telah ditakdirkan Allah)”
[Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya] [Muhammad Nur
Ichwan Muslim, 7 Faedah Qona’ah, www.muslim.or.id, 7 October 2011].
Sifat qanaah ini selayaknya
disandangkan kepada kaum wanita karena dialah yang lebih banyak berinteraksi
dengan nafkah yang diterimanya dari sang suami, dengan mengupayakan segala
fikiran dan tenaga, suami mencari harta yang halal untuk menafkahi rumah
tangganya, tapi hasil yang diperoleh tidak atau belum sesuai dengan keinginan,
sementara tuntutan dari isteri begitu besar sehingga menanggalkan sifat
qana’ahnya, wajar bila Rasul menyatakan bahwa ketika beliau melakukan isra’ dan
mi’raj, dilihatnya di neraka lebih banyak wanita dari pada lelaki, walaupun
mereka shalat, puasa dan melakukan ibadah yang lain, tapi karena wanita itu
tidak qanaah atas rezeki yang terimanya dari suami, selalu merasa kurang, diberi sedikit jelas tidak mencukupi, diberi
banyak habis tak bersisa, Wallahu A’lam,
[Cubadak Pianggu Solok, 08 Zulqaidah
1434.H/13 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar