Senin, 02 Desember 2013

84.42 Keutamaan Berbakti Kepada Kerabat Orangtua



RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH








Keutamaan  Berbakti  Kepada Kerabat Orangtua
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Umar bin Abdul Aziz ra berkata ketika ditanya oleh isterinya Fatimah, mengapa ia menangis, "Celakalah engkau wahai Fatimah, sesungguhnya aku telah dijadikan pemimpin bagi urusan umat ini, aku berfikir tentang orang fakir dan lapar, orang sakit yang terlantar, orang yang telanjang yang kesulitan, anak yatim yang tidak terpelihara," ujarnya.

Selanjutnya, Umar terus berkata, "Orang yang dianiaya dan dipaksa, orang asing, orang tawanan, orang tua, janda yang menyendiri, orang yang memiliki beban keluarga yang banyak, rezeki yang sedikit dan orang-orang seperti mereka di seluruh muka bumi ini. Kemudian, aku menyadari bahwa Tuhanku akan bertanya kepadaku tentang mereka di hari kiamat dan bahwa musuhku di bawah mereka adalah Nabi Muhammad Shallahu alaihi wassalam, aku menjadi kawatir kalau aku tidak memiliki hujjah yang kuat, oleh karena itu, aku menangis," keluh Umar bin Abdul Aziz.
"Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang lalim saja di antara kamu."(QS. al-Anfal [8] : 25)

Atau ancaman dari Rasulullah Shallahu alaihi wassalam."Demi Dzat yang jiwaku berada pada Tangan-Nya, sungguh kalian akan menyuruh yang makruf dan mencegah dari perkara yang munkar dan Allah akan mengirimkan kepada kalian siksa dari-Nya, kemudian kalian berdo'a kepada-Nya dan tidak akan dikabulkan bagi kalian."

Allah Ta'ala telah memberikan gelar kepada umat ini sebagai umat yang paling baik, sebab ia adalah umat yang mengajak kepda kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Firman-Nya;"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah". (QS. Ali-Imran [3] : 110)[Aids Abdullah al-Qarni, Berbuatlah Bagi Kehidupan Islam, eramuslim. Kamis, 05/01/2012 12:54 WIB].

Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat baik kepada tetangga dekat dan jauh. "… Dan, berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh." (QS An-Nisaa [4]:36).
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 42 dengan judulKeutamaan  Berbakti  Kepada  Kawan-kawan  Ayah, Ibu, Kerabat, Isteri Dan Lain-lain Orang Yang Sunnah Dimuliakan”.

Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya suatu kebaktian yang terbesar kebaktiannya ialah jikalau seseorang itu menghubungi - yakni mempererat hubungan - kepada kekasih ayahnya."

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang lelaki dari golongan A'rab -golongan Arab yang berdiam di pedalaman - bertemu dengannya di suatu jalanan Makkah, lalu Abdullah bin Umar mengucapkan salam padanya dan dibawanya menaiki keledai yang dinaikinya sendiri,juga orang itu diberi sorban yang melilit di kepalanya.

Ibnu Dinar berkata: "Kita berkata kepadanya: "Semoga Allah memberikan kebaikan padamu, sesungguhnya itu adalah orang A'rab dan orang-orang A'rab itu rela dengan apa-apa yang remeh." Lalu Abdullah bin Umar menjawab: "Sesungguhnya ayahnya orang ini adalah kecintaan Umar bin Al khaththab - ayahnya sendiri - r.a., sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya kebaktian yang terbesar kebaktiannya ialah jikalau seseorang itu menghubungi - mempereratkan hubungan - kepada kekasih ayahnya."

Dalam riwayat lain dari Ibnu Dinar dari !bnu Umar radhiallahu anhum, bahawasanya ia keluar ke Makkah. Ia mempunyai seekor keledai dan mengasuhkan diri sambil naik di atasnya, jikalau ia sudah bosan naik unta. Ia juga mempunyai sorban yang diikatkan pada kepalanya. Pada suatu hari ketika ia menaiki keledainya, tiba-tiba berlalulah di mukanya itu seorang A'rab, kemudian ia bertanya: 'Bukankah anda itu si Fulan anak si Fulan itu?" Ia menjawab: 'Benar." Orang itu lalu diberi olehnya keledai dan berkata: "Naikilah ini." Juga diberi selembar sorban dan berkata: "Ikatlah kepalamu dengan sorban ini." Sebagian sahabat Abdullah bin Umar lalu berkata: "Semoga Allah mengampuni untukmu. Engkau telah memberikan kepada orang A'rab ini seekor keledai yang engkau gunakan untuk mengistirahatkan diri, juga engkau beri selembar sorban yang engkau ikatkan di kepalamu," Abdullah lalu menjawab: "Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya tergolong sebesar-besar kebaktian ialah jikalau seseorang itu menghubungi - mempereratkan hubungan - kepada kekasih ayahnya, setelah ayahnya itu meninggal dunia." Sesungguhnya ayahnya orang A'rab itu adalah sahabat dari Umar r.a. - yakni ayahnya Abdullah. Yang meriwayatkan semua Hadis-hadis di atas itu adalah Imam Muslim.

Dari Abu Usaid - dengan dhammahnya hamzah dan fathahnya sin - iaitu Malik bin Rabi'ah as-Sa'idi r.a., katanya: "Pada suatu ketika kita semua duduk-duduk di sisi Rasulullah s.a.w., tiba-tiba datanglah kepadanya seorang lelaki dari Bani Salamah. Orang itu bertanya: "Ya Rasulullah, apakah masih ada sesuatu amalan yang dapat saya amalkan sebagai kebaktian saya kepada dua orang tuaku setelah keduanya meninggal dunia?" Beliau s.a.w. menjawab: "Ya, masih ada. yaitu mendoakan keselamatan untuk keduanya, memohonkan pengampunan kepadanya, melaksanakan janji kedua orang itu setelah wafatnya, mempereratkan hubungan kekeluargaan yang tidak dapat dihubungi kecuali dengan adanya kedua orang tua itu serta memuliakan sahabatnya." (Riwayat Abu Dawud)

Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Saya tidak pernah cemburu kepada seseorang pun dari semua isteri-isteri Nabi s.a.w. sebagaimana cemburu saya kepada Khadijah, padahal saya tidak pernah melihatnya sama sekali, tetapi Nabi s.a.w. memperbanyak menyebutkannya - yakni sering-sering disebut-sebutkan kebaikannya. Kadang-kadang Nabi s.a.w. menyembelih kambing kemudian memotong-motongnya seanggota demi seanggota, kemudian dikirimkanlah kepada kawan-kawan Khadijah itu. Kadang-kadang saya juga berkata kepada Nabi s.a.w. itu: "Seolah-olah tidak ada wanita lain di dunia ini melainkan Khadijah." Beliau s.a.w. lalu menjawab: "Sesungguhnya keadaannya adalah sebagaimana yang ada itu dan memang dari dialah saya mendapatkan anak." (Muttafaq 'alaih).

Dalam riwayat lain disebutkan: "Beliau s.a.w. jika menyembelih kambing, lalu tentu menghadiahkan kepada kekasih-kekasih Khadijah dengan sebagian dari kambing itu, seberapa yang cukup untuk diberikan."

Dalam riwayat lain lagi disebutkan: "Rasulullah s.a.w. jikalau menyembelih kambing, lalu bersabda: "Kirimkanlah yang ini kepada kawan-kawan Khadijah."

Lagi dalam sebuah riwayat disebutkan: "Halah binti Khuwailid yaitu saudarinya Khadijah meminta izin untuk menemui Rasulullah s.a.w., kemudian beliau mengingat Khadijah ketika saudarinya itu meminta izin menemuinya - sebab suaranya serupa benar dengan suara Khadijah dan ini mengingatkan benar-benar pada beliau s.a.w. pada zaman yang lampau semasih bergaul sebagai suami isteri. Kemudian beliau s.a.w. memperhatikan - bergembira - sekali untuk menemuinya itu dan bersabda: "Ya Allah, ini adalah Halah binti Khuwailid."

Dari Anas bin Malik r.a., katanya: "Saya keluar bersama Jarir bin Abdullah Albajili r.a. dalam suatu bepergian. Jarir - yang usianya lebih tua dari Anas r.a. - selalu melayani saya, lalu saya berkata padanya: "Jangan berbuat demikian itu - yakni melayani saya." Kemudian ia berkata: "Sesungguhnya saya telah melihat kaum Anshar melakukan sesuatu untuk Rasulullah s.a.w., maka saya bersumpah tidak akan mengawani seorang pun dari kaum Anshar itu, melainkan saya akan melayaninya." [1][33] (Muttafaq 'alaih).

Islam merupakan agama yang berisi panduan akhlak atau tingkah laku  terbaik bagi manusia. Diantara ajaran terpenting yang dibawanya adalah ajaran untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, keluarga, dan para sahabat. Rasulullah saw, bersabda,’’Allah swt, mengharamkan terhadap kalian berbuat durhaka kepada kedua orangtua, mengubur anak perempuan hidup-hidup, berlaku kikir, dan suka meminta-minta. Selain  itu, Dia juga amat membenci bagi kalian perbuatan menyebarkan desus-desus, banyak bertanya, serta menghambur-hamburkan harta.” [HR. Bukhari].

Diriwayatkan bahwa Asma binti Abu Bakar ra, pernah berkata,”Dahulu, pada masa Rasulullah saw masih hidup. Ibu saya yang pada saat itu masih musyrik pernah ingin berkunjung ke rumah. Saya kemudian menanyakan terlebih dahulu kepada Rasulullah saw, tentang hal ini [hokum menjamu ibu yang masih musyrik]. Saya antara lain berkata,”Wahai Rasulullah saw, ibu saya tersebut terlihat cendrung ke[ada islam. Apakah saya boleh menyambung hubungan silatarahim dengannya?”.
Rasulullah saw, lalu menjawab,”Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.”[HR. Bukhari]. [Gema insani, 2007, hal 110].

Berkaitan dengan ini, kita ikuti kisah Asma dengan ibunya yang datang dari Mekkah.
Siang itu, langit kota Madinah amat terik seolah akan membakar kulit. Membuat sebagian besar penduduknya enggan keluar rumah. Mereka lebih memilih tinggal di dalam untuk menghindari sengatan yang luar biasa panasnya.
           Namun, seorang perempuan tua berjalan tertatih-tatih di tengah panas matahari. Kedua tangannya membawa bungkusan besar, ia datang dari Makkah. Tampak tetesan keringat di wajahnya yang keriput. Sebentar-sebentar ia berhenti di bawah pohon untuk melepaskan lelahnya. Di balik mata cekungnya tersimpan beribu harapan untuk bertemu seseorang.Inikah rumahnya? Tanya perempuan itu dalam hati. Dengan ragu, ia mendekati sebuah rumah mungil yang sederhana.

Seorang perempuan cantik kebetulan tengah berdiri di depan pintu. Rupanya Asma binti Abu Bakar."Betulkah ini rumah Asma?" tanya perempuan itu seraya mengusap keringat.
"Ya, benar ini rumah Asma," dia mengerutkan dahinya untuk menegaskan penglihatannya. Rasanya ia sudah pernah mengenal perempuan itu. Tetapi, siapa dan dimana? Sejenak ia terdiam dan mengingatnya.
Kerinduan Asma yang selama ini dipendamnya hampir tak terbendung lagi. Ia berlari menghampiri ibunya. Betapa Asma ingin memeluk dan mencium ibu yang telah lama dinantikannya.

Tiba-tiba, Asma menghentikan langkahnya. Ia teringat ibunya masih musyrik, belum beriman kepada Allah. Asma memang anaknya. Dahulu perempuan itu istri dari Abu Bakar ketika mereka masih sama-sama menyembah berhala. Lalu, Abu Bakar masuk agama Islam yang dibawa Muhammad. Abu Bakar pun bercerai dengan perempuan itu.
Asma mengurungkan niatnya.
"Nak, kenapa tidak menyuruh ibumu masuk?" perempuan itu menatap Asma dengan rasa rindu dan sayang yang besar.
Asma terdiam. Tidak terasa air matanya berderai di pipi. Asma sangat bingung menghadapi ibu kandungnya yang masih musyrik itu. Apa ia boleh dipersilahkan masuk ke rumah? Apa boleh di peluk? Ah, sungguh Asma belum tahu.
Dengan hati tersayat, Asma masuk kerumah. Ia membiarkan ibunya tetap berdiri di halaman rumah. Di bawah sengatan terik matahari. Asma bergegas mencari Aslam, pembantunya.
"Aslam, tolong temui Rasulullah," kata Asma."Tanyakan pada beliau, apakah ibuku yang belum beriman itu boleh masuk ke rumahku?"
"Baik, aku segera ke sana," sahut Aslam. "Cepatlah Aslam. Aku tak tega membiarkan ibuku kepanasan di luar sana!"
Aslam bergegas menuju rumah Rasulullah. Tiba di hadapan Rasul, ia menceritakan apa yang di alami oleh Asma.
"Katakan pada Asma, persilakan ibunya masuk. Hormati dan muliakanlah. Tidak ada larangan bagi seorang anak untuk menghormati orang tua yang belum beriman kepada Allah," kata Rasulullah.
Pembantu itu pun segera pulang dan menyampaikan pesan Rasulullah. Hati Asma terasa lega. Asma berlari ke luar rumah menyambut ibunya dengan senyum ramah. Asma memeluk ibunya erat-erat, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang.
"Silakan masuk, Bunda," ajak Asma sambil menuntun tangan ibunya. "Lihatlah cucu-cucu Bunda yang sudah besar-besar."
Ibunya tersenyum senang mendapatkan Asma hidup bahagia. Dikeluarkannya bungkusan berisi oleh-oleh aneka makanan yang dibuatnya sendiri.
"Asma, Bunda buatkan makanan kesukaanmu," katanya. Asma terharu. Rupanya, ibu masih mengingat semua kegemarannya. Asma menghormati ibunya dengan baik sekali. Dalam hati, ia bersyukur dapat menyayangi ibunya walaupun ibunya belum menjadi seorang Muslimah.
 Dalam hadits lain Rasulullah saw, bersabda,” Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari; ketika mereka bertemu, masing-masing saling membuang muka. Adapun yang terbaik diantara mereka adalah yang paling dahulu mengucapkan salam [menyapa].”[HR. Tirmidzi]. 

Kita hanya mendapat dispensasi untuk berdiam diri dengan saudara kita karena masalah pribadi hanya tiga hari, sehingga tidak layak bila terjadi saling tidak sapa antara anak dan orangtua, antara adik dan kakak, antara tetangga dengan tetangga lainnya berlarut-larut hingga sekian bulan dan tahun. Bila terjadi hal demikian maka telah menutup peluang untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari sikap ukhuwah islamiyah, padahal iman seorang mukmin itu harus diujudkan dengan sikap saling memberi kepada orang lain terutama kerabatnya.
Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt. Maka, dilandasi oleh keimanan ia ikhlas memberikan sesuatu, sekalipun pada saat akan mengeluarkan ada perasaan berat, tetapi keimanannnya itu mengantarkannya untuk rela memberi. Ia yakin dengan memberi, hakikatnya akan mendapatkan balasan yang lebih baik. Balasan itu tidak akan salah alamat, pasti akan mengenai dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Justru infak yang paling tinggi nilainya adalah ketika akan dikeluarkan banyak sekali pertimbangannya, dan berat hati untuk memulainya.
Bahkan bersedia memberikan yang lebih banyak, melebihi dari yang diwajibkan, karena yakin bahwa apa yang diberikannya untuk menunaikan kewajiban kepada Allah Swt. Itulah yang kekal abadi. Sedangkan apa yang di genggaman tangannya akan hilang, lenyap tanpa bekas. Apa yang kita berikan untuk kebaikan, itulah milik kita sebenarnya. Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 05 Zulqaidah 1434.H/10 September 2013].






Tidak ada komentar:

Posting Komentar