RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH
Keutamaan Berbakti
Kepada Kerabat Orangtua
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Umar bin Abdul Aziz ra berkata ketika ditanya oleh isterinya
Fatimah, mengapa ia menangis, "Celakalah engkau wahai Fatimah,
sesungguhnya aku telah dijadikan pemimpin bagi urusan umat ini, aku berfikir
tentang orang fakir dan lapar, orang sakit yang terlantar, orang yang telanjang
yang kesulitan, anak yatim yang tidak terpelihara," ujarnya.
Selanjutnya, Umar terus berkata, "Orang yang dianiaya
dan dipaksa, orang asing, orang tawanan, orang tua, janda yang menyendiri,
orang yang memiliki beban keluarga yang banyak, rezeki yang sedikit dan
orang-orang seperti mereka di seluruh muka bumi ini. Kemudian, aku menyadari
bahwa Tuhanku akan bertanya kepadaku tentang mereka di hari kiamat dan bahwa
musuhku di bawah mereka adalah Nabi Muhammad Shallahu alaihi wassalam, aku
menjadi kawatir kalau aku tidak memiliki hujjah yang kuat, oleh karena itu, aku
menangis," keluh Umar bin Abdul Aziz.
"Dan
peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang
lalim saja di antara kamu."(QS.
al-Anfal [8] : 25)
Atau ancaman dari Rasulullah Shallahu alaihi wassalam."Demi
Dzat yang jiwaku berada pada Tangan-Nya, sungguh kalian akan menyuruh yang
makruf dan mencegah dari perkara yang munkar dan Allah akan mengirimkan kepada
kalian siksa dari-Nya, kemudian kalian berdo'a kepada-Nya dan tidak akan
dikabulkan bagi kalian."
Allah Ta'ala telah memberikan gelar kepada umat ini
sebagai umat yang paling baik, sebab ia adalah umat yang mengajak kepda
kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Firman-Nya;"Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah". (QS. Ali-Imran [3] :
110)[Aids Abdullah al-Qarni, Berbuatlah Bagi Kehidupan Islam,
eramuslim. Kamis, 05/01/2012 12:54 WIB].
Allah SWT
memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat baik kepada tetangga dekat dan jauh.
"… Dan, berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, serta tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh." (QS
An-Nisaa [4]:36).
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 42
dengan judul “Keutamaan Berbakti
Kepada Kawan-kawan Ayah, Ibu, Kerabat, Isteri Dan Lain-lain
Orang Yang Sunnah Dimuliakan”.
Dari Ibnu Umar
radhiallahu 'anhuma bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya suatu
kebaktian yang terbesar kebaktiannya ialah jikalau seseorang itu menghubungi -
yakni mempererat hubungan - kepada kekasih ayahnya."
Dari Abdullah bin Umar
radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang lelaki dari golongan A'rab -golongan
Arab yang berdiam di pedalaman - bertemu dengannya di suatu jalanan Makkah,
lalu Abdullah bin Umar mengucapkan salam padanya dan dibawanya menaiki keledai
yang dinaikinya sendiri,juga orang itu diberi sorban yang melilit di kepalanya.
Ibnu Dinar berkata:
"Kita berkata kepadanya: "Semoga Allah memberikan kebaikan padamu,
sesungguhnya itu adalah orang A'rab dan orang-orang A'rab itu rela dengan
apa-apa yang remeh." Lalu Abdullah bin Umar menjawab: "Sesungguhnya
ayahnya orang ini adalah kecintaan Umar bin Al khaththab - ayahnya sendiri -
r.a., sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya kebaktian yang terbesar kebaktiannya ialah jikalau seseorang
itu menghubungi - mempereratkan hubungan - kepada kekasih ayahnya."
Dalam riwayat lain dari
Ibnu Dinar dari !bnu Umar radhiallahu anhum, bahawasanya ia keluar ke Makkah.
Ia mempunyai seekor keledai dan mengasuhkan diri sambil naik di atasnya,
jikalau ia sudah bosan naik unta. Ia juga mempunyai sorban yang diikatkan pada
kepalanya. Pada suatu hari ketika ia menaiki keledainya, tiba-tiba berlalulah
di mukanya itu seorang A'rab, kemudian ia bertanya: 'Bukankah anda itu si Fulan
anak si Fulan itu?" Ia menjawab: 'Benar." Orang itu lalu diberi
olehnya keledai dan berkata: "Naikilah ini." Juga diberi selembar
sorban dan berkata: "Ikatlah kepalamu dengan sorban ini." Sebagian
sahabat Abdullah bin Umar lalu berkata: "Semoga Allah mengampuni untukmu.
Engkau telah memberikan kepada orang A'rab ini seekor keledai yang engkau
gunakan untuk mengistirahatkan diri, juga engkau beri selembar sorban yang
engkau ikatkan di kepalamu," Abdullah lalu menjawab: "Sesungguhnya
saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya tergolong
sebesar-besar kebaktian ialah jikalau seseorang itu menghubungi - mempereratkan
hubungan - kepada kekasih ayahnya, setelah ayahnya itu meninggal dunia." Sesungguhnya ayahnya orang A'rab
itu adalah sahabat dari Umar r.a. - yakni ayahnya Abdullah. Yang meriwayatkan semua Hadis-hadis di atas itu adalah Imam
Muslim.
Dari Abu Usaid - dengan
dhammahnya hamzah dan fathahnya sin - iaitu Malik bin Rabi'ah as-Sa'idi r.a.,
katanya: "Pada suatu ketika kita semua duduk-duduk di sisi Rasulullah
s.a.w., tiba-tiba datanglah kepadanya seorang lelaki dari Bani Salamah. Orang
itu bertanya: "Ya Rasulullah, apakah masih ada sesuatu amalan yang dapat
saya amalkan sebagai kebaktian saya kepada dua orang tuaku setelah keduanya
meninggal dunia?" Beliau s.a.w. menjawab: "Ya, masih ada. yaitu
mendoakan keselamatan untuk keduanya, memohonkan pengampunan kepadanya,
melaksanakan janji kedua orang itu setelah wafatnya, mempereratkan hubungan
kekeluargaan yang tidak dapat dihubungi kecuali dengan adanya kedua orang tua
itu serta memuliakan sahabatnya." (Riwayat Abu Dawud)
Dari Aisyah radhiallahu
'anha, katanya: "Saya tidak pernah cemburu kepada seseorang pun dari semua
isteri-isteri Nabi s.a.w. sebagaimana cemburu saya kepada Khadijah, padahal
saya tidak pernah melihatnya sama sekali, tetapi Nabi s.a.w. memperbanyak
menyebutkannya - yakni sering-sering disebut-sebutkan kebaikannya.
Kadang-kadang Nabi s.a.w. menyembelih kambing kemudian memotong-motongnya
seanggota demi seanggota, kemudian dikirimkanlah kepada kawan-kawan Khadijah
itu. Kadang-kadang saya juga berkata kepada Nabi s.a.w. itu: "Seolah-olah
tidak ada wanita lain di dunia ini melainkan Khadijah." Beliau s.a.w. lalu
menjawab: "Sesungguhnya keadaannya adalah sebagaimana yang ada itu dan
memang dari dialah saya mendapatkan anak." (Muttafaq 'alaih).
Dalam riwayat lain
disebutkan: "Beliau
s.a.w. jika menyembelih kambing, lalu tentu menghadiahkan kepada
kekasih-kekasih Khadijah dengan sebagian dari kambing itu, seberapa yang cukup
untuk diberikan."
Dalam riwayat lain lagi
disebutkan: "Rasulullah
s.a.w. jikalau menyembelih kambing, lalu bersabda: "Kirimkanlah yang ini
kepada kawan-kawan Khadijah."
Lagi dalam sebuah
riwayat disebutkan: "Halah
binti Khuwailid yaitu saudarinya Khadijah meminta izin untuk menemui Rasulullah
s.a.w., kemudian beliau mengingat Khadijah ketika saudarinya itu meminta izin
menemuinya - sebab suaranya serupa benar dengan suara Khadijah dan ini
mengingatkan benar-benar pada beliau s.a.w. pada zaman yang lampau semasih
bergaul sebagai suami isteri. Kemudian beliau s.a.w. memperhatikan - bergembira
- sekali untuk menemuinya itu dan bersabda: "Ya Allah, ini adalah Halah
binti Khuwailid."
Dari Anas bin Malik r.a.,
katanya: "Saya keluar bersama Jarir bin Abdullah Albajili r.a. dalam suatu
bepergian. Jarir - yang usianya lebih tua dari Anas r.a. - selalu melayani
saya, lalu saya berkata padanya: "Jangan berbuat demikian itu - yakni
melayani saya." Kemudian ia berkata: "Sesungguhnya saya telah melihat
kaum Anshar melakukan sesuatu untuk Rasulullah s.a.w., maka saya bersumpah
tidak akan mengawani seorang pun dari kaum Anshar itu, melainkan saya akan
melayaninya." [1][33] (Muttafaq 'alaih).
Islam
merupakan agama yang berisi panduan akhlak atau tingkah laku terbaik bagi manusia. Diantara ajaran
terpenting yang dibawanya adalah ajaran untuk berbuat baik kepada kedua
orangtua, keluarga, dan para sahabat. Rasulullah saw, bersabda,’’Allah swt, mengharamkan
terhadap kalian berbuat durhaka kepada kedua orangtua, mengubur anak perempuan
hidup-hidup, berlaku kikir, dan suka meminta-minta. Selain itu, Dia juga amat membenci bagi kalian
perbuatan menyebarkan desus-desus, banyak bertanya, serta menghambur-hamburkan
harta.” [HR. Bukhari].
Diriwayatkan
bahwa Asma binti Abu Bakar ra, pernah berkata,”Dahulu, pada masa Rasulullah saw
masih hidup. Ibu saya yang pada saat itu masih musyrik pernah ingin berkunjung
ke rumah. Saya kemudian menanyakan terlebih dahulu kepada Rasulullah saw,
tentang hal ini [hokum menjamu ibu yang masih musyrik]. Saya antara lain
berkata,”Wahai Rasulullah saw, ibu saya tersebut terlihat cendrung ke[ada
islam. Apakah saya boleh menyambung hubungan silatarahim dengannya?”.
Rasulullah
saw, lalu menjawab,”Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.”[HR. Bukhari]. [Gema
insani, 2007, hal 110].
Berkaitan
dengan ini, kita ikuti kisah Asma dengan ibunya yang datang dari Mekkah.
Siang
itu, langit kota Madinah amat terik seolah akan membakar kulit. Membuat
sebagian besar penduduknya enggan keluar rumah. Mereka lebih memilih tinggal di
dalam untuk menghindari sengatan yang luar biasa panasnya.
Namun, seorang perempuan tua berjalan
tertatih-tatih di tengah panas matahari. Kedua tangannya membawa bungkusan
besar, ia datang dari Makkah. Tampak tetesan keringat di wajahnya yang keriput.
Sebentar-sebentar ia berhenti di bawah pohon untuk melepaskan lelahnya. Di
balik mata cekungnya tersimpan beribu harapan untuk bertemu seseorang.Inikah
rumahnya? Tanya perempuan itu dalam hati. Dengan ragu, ia mendekati sebuah
rumah mungil yang sederhana.
Seorang
perempuan cantik kebetulan tengah berdiri di depan pintu. Rupanya Asma binti
Abu Bakar."Betulkah ini rumah Asma?" tanya perempuan itu seraya
mengusap keringat.
"Ya,
benar ini rumah Asma," dia mengerutkan dahinya untuk menegaskan
penglihatannya. Rasanya ia sudah pernah mengenal perempuan itu. Tetapi, siapa
dan dimana? Sejenak ia terdiam dan mengingatnya.
Kerinduan
Asma yang selama ini dipendamnya hampir tak terbendung lagi. Ia berlari
menghampiri ibunya. Betapa Asma ingin memeluk dan mencium ibu yang telah lama
dinantikannya.
Tiba-tiba,
Asma menghentikan langkahnya. Ia teringat ibunya masih musyrik, belum beriman
kepada Allah. Asma memang anaknya. Dahulu perempuan itu istri dari Abu Bakar
ketika mereka masih sama-sama menyembah berhala. Lalu, Abu Bakar masuk agama
Islam yang dibawa Muhammad. Abu Bakar pun bercerai dengan perempuan itu.
Asma
mengurungkan niatnya.
"Nak,
kenapa tidak menyuruh ibumu masuk?" perempuan itu menatap Asma dengan rasa
rindu dan sayang yang besar.
Asma
terdiam. Tidak terasa air matanya berderai di pipi. Asma sangat bingung
menghadapi ibu kandungnya yang masih musyrik itu. Apa ia boleh dipersilahkan
masuk ke rumah? Apa boleh di peluk? Ah, sungguh Asma belum tahu.
Dengan
hati tersayat, Asma masuk kerumah. Ia membiarkan ibunya tetap berdiri di
halaman rumah. Di bawah sengatan terik matahari. Asma bergegas mencari Aslam,
pembantunya.
"Aslam,
tolong temui Rasulullah," kata Asma."Tanyakan pada beliau, apakah
ibuku yang belum beriman itu boleh masuk ke rumahku?"
"Baik,
aku segera ke sana," sahut Aslam. "Cepatlah Aslam. Aku tak tega
membiarkan ibuku kepanasan di luar sana!"
Aslam
bergegas menuju rumah Rasulullah. Tiba di hadapan Rasul, ia menceritakan apa
yang di alami oleh Asma.
"Katakan
pada Asma, persilakan ibunya masuk. Hormati dan muliakanlah. Tidak ada larangan
bagi seorang anak untuk menghormati orang tua yang belum beriman kepada
Allah," kata Rasulullah.
Pembantu
itu pun segera pulang dan menyampaikan pesan Rasulullah. Hati Asma terasa lega.
Asma berlari ke luar rumah menyambut ibunya dengan senyum ramah. Asma memeluk
ibunya erat-erat, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang.
"Silakan
masuk, Bunda," ajak Asma sambil menuntun tangan ibunya. "Lihatlah
cucu-cucu Bunda yang sudah besar-besar."
Ibunya
tersenyum senang mendapatkan Asma hidup bahagia. Dikeluarkannya bungkusan
berisi oleh-oleh aneka makanan yang dibuatnya sendiri.
"Asma,
Bunda buatkan makanan kesukaanmu," katanya. Asma terharu. Rupanya, ibu
masih mengingat semua kegemarannya. Asma menghormati ibunya dengan baik sekali.
Dalam hati, ia bersyukur dapat menyayangi ibunya walaupun ibunya belum menjadi
seorang Muslimah.
Dalam hadits lain Rasulullah saw, bersabda,”
Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari;
ketika mereka bertemu, masing-masing saling membuang muka. Adapun yang terbaik
diantara mereka adalah yang paling dahulu mengucapkan salam [menyapa].”[HR.
Tirmidzi].
Kita
hanya mendapat dispensasi untuk berdiam diri dengan saudara kita karena masalah
pribadi hanya tiga hari, sehingga tidak layak bila terjadi saling tidak sapa
antara anak dan orangtua, antara adik dan kakak, antara tetangga dengan
tetangga lainnya berlarut-larut hingga sekian bulan dan tahun. Bila terjadi hal
demikian maka telah menutup peluang untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari
sikap ukhuwah islamiyah, padahal iman seorang mukmin itu harus diujudkan dengan
sikap saling memberi kepada orang lain terutama kerabatnya.
Orang
beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak
milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt. Maka, dilandasi oleh keimanan
ia ikhlas memberikan sesuatu, sekalipun pada saat akan mengeluarkan ada
perasaan berat, tetapi keimanannnya itu mengantarkannya untuk rela memberi. Ia
yakin dengan memberi, hakikatnya akan mendapatkan balasan yang lebih baik.
Balasan itu tidak akan salah alamat, pasti akan mengenai dirinya dan
orang-orang di sekitarnya. Justru infak yang paling tinggi nilainya adalah
ketika akan dikeluarkan banyak sekali pertimbangannya, dan berat hati untuk
memulainya.
Bahkan
bersedia memberikan yang lebih banyak, melebihi dari yang diwajibkan, karena
yakin bahwa apa yang diberikannya untuk menunaikan kewajiban kepada Allah Swt.
Itulah yang kekal abadi. Sedangkan apa yang di genggaman tangannya akan hilang,
lenyap tanpa bekas. Apa yang kita berikan untuk kebaikan, itulah milik kita
sebenarnya. Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 05 Zulqaidah 1434.H/10 September
2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar