RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH
Keutamaan Harap Kepada
Allah
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Ibadah seorang hamba harus
dibangun oleh tiga pilar, dan ketiganya harus terkumpul seluruhnya dalam setiap
muslim. Ibadah seseorang tidaklah akan benar dan sempurna kecuali dengan adanya
pilar-pilar tersebut. Bahkan sebagian ulama mengatakannya sebagai ‘rukun
ibadah’. Tiga hal itu adalah “cinta, takut dan harap”. Sehingga seorang salaf
berkata, “Barang siapa beribadah kepada Alloh dengan cinta saja maka dia
seorang zindiq, barang siapa beribadah hanya dengan khouf (takut) saja maka
haruri (khowarij), barang siapa beribadah hanya dengan rasa harap saja maka dia
seorang murji’ dan barang siapa yang beribadah dengan cinta, takut dan harap
maka dia seorang mukmin.”
Salah satu diantaranya adalah harap kepada
Allah. Rasa harap yang
dimaksud adalah antara lain harapan akan diterimanya amal kita, harapan akan
dimasukkan surga, harapan untuk berjumpa dengan Alloh, harapan akan diampuni
dosa, harapan untuk dijauhkan dari neraka, harapan diberikan kehidupan yang
bahagia di dunia dan akhirat dan lain sebagainya. Rasa harap inilah yang dapat
mendorong seseorang untuk tetap terus berusaha untuk taat, meskipun sesekali
dia terjatuh ke dalam kemaksiatan namun dia tidak putus asa untuk terus
berusaha sekuat tenaga untuk menjadi hamba yang taat. Karena dia berharap Alloh
akan mengampuni dosanya yaitu dengan jalan bertaubat dari kesalahannya tersebut
dan memperbanyak melakukan amal kebaikan. Sebagaimana firman Alloh “Wahai
hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Az Zumar: 53)
Harapan berbeda dengan
angan-angan. Sebagai contoh orang yang berharap menjadi orang baik maka ia akan
melakukan hal-hal yang merupakan ciri-ciri orang baik, sedangkan orang yang
berkeinginan menjadi orang baik namun tidak berusaha untuk melakukan kebaikan
maka orang-orang inilah yang tertipu oleh angan-angan dirinya sendiri. [Abu
Uzair Boris Tanesia Cinta, Takut dan Harap Kepada Allohwww.muslim.or.id, 7 November 2008].
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 52 dengan judul
“Keutamaan Mengharapkan”
Allah Ta'ala
berfirman dalam mengabarkan perihal hambaNya yakni Nabi Shalih, yaitu:
"Dan
saya - Shalih - menyerahkan urusanku kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah
Maha Melihat keadaan hamba-hamba. Maka Allah melindunginya dari kejahatan-kejahatan
tipu daya mereka itu." (Ghafir: 44-45)
Dari Abu
Hurairah r.a. dari Rasulullah s.a.w., sabdanya:"Allah Azzawajalla
berfirman-dalam Hadis Qudsi: "Aku adalah menurut sangkaan hambaKu dan Aku
akan selalu besertanya selama ia mengingat padaKu. Demi Allah, niscayalah Allah
itu lebih gembira kepada taubatnya seseorang hambaNya daripada seseorang di
antara engkau semua yang menemukan sesuatu bendanya yang telah hilang di padang
yang luas.
Barangsiapa yang
mendekat padaKu dalam jarak sejengkal, maka Aku mendekat padanya dalam jarak
sehasta dan barangsiapa yang mendekat padaKu dalam jarak sehasta, maka Aku
mendekat padanya dalam jarak sedepa. Jikalau hambaKu itu mendatangi Aku dengan
berjalan, maka Aku mendatanginya dengan bergegas-gegas." (Muttafaq 'alaih).
Dari Jabir
r.a. bahwasanya Ia mendengar Nabi s.a.w., sebelum wafatnya kurang tiga hari
pernah bersabda: "Janganlah seseorang dari
engkau semua itu meninggal dunia, melainkan ia harus memperbaguskan sangkaannya
kepada Allah Azzawajalla." (Riwayat Muslim)
Dari Anas r.a.,
katanya: "Saya mendengarkan Rasulullah s.a.w. bersabda:"Allah Ta'ala
berfirman - dalam Hadis Qudsi: "Hai anak Adam - yakni manusia,
sesungguhnya engkau itu selama suka berdoa dan mengharapkan kerahmatanKu, maka
pastilah Aku memberikan pengampunan padamu atas segala dosa yang ada padamu dan
Aku tidak peduli - betapa banyaknya. Hai anak Adam, andaikata dosa-dosamu itu
telah mencapai setinggi langit - karena sangat banyaknya, kemudian engkau
memohonkan pengampunan padaKu, pasti Aku mengampuninya. Hai anak Adam,
andaikata engkau datang padaku dengan membawa kesalahan hampir sepenuh bumi,
kemudian engkau menemui Aku, asalkan engkau tidak menyekutukan sesuatu
denganKu, pastilah Aku akan mendatangimu dengan membawa pengampunan hampir sepenuh
bumi itu pula."Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini
adalah Hadis hasan.
Dalam kehidupan ini, tak jarang seorang Muslim menghendaki
hal-hal yang berkebalikan dengan amal perbuatannya. Ia menghendaki karunia dan
kebaikan Allah SWT kepada dirinya, tetapi ia sendiri jauh dari Diri-Nya sebagai
pemilik sejati karunia dan kebaikan. Padahal kebaikan dan karunia Allah SWT
hanya mungkin diraih dengan seberapa keras ia ber-taqarrub kepada-Nya.
Tak jarang pula seorang Muslim berusaha keras meraih kekayaan dan kesenangan
dunia. Padahal umurnya sangatlah singkat untuk bisa menikmati semua kekayaan
dan kesenangan dunia yang berhasil ia dapatkan. Meski kekayaannya
berlimpah-ruah, apa yang ia makan, misalnya, tetaplah tak akan melebihi daya tampung
perutnya. Tak sedikit Muslim yang gemar berbuat maksiat dan memperbanyak dosa
dalam hidupnya. Padahal ia sendiri tak mungkin sanggup dan mampu menanggung
azabnya yang pasti amat pedih. Sebaliknya, tak sedikit pula Muslim yang sedikit
sekali menyiapkan bekal untuk akhiratnya. Padahal akhirat itu tempat kembali
dirinya yang abadi alias tak berujung. Di sisi lain, kebanyakan Muslim tentu
saja merindukan surga yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Namun, ia acapkali
hanya ’membayarnya’ dengan amal yang alakadarnya. Padahal surga itu
’amat mahal’, hanya mungkin bisa ’dibeli’ dengan amal-amal shalih dan
berkualitas.
Jika semua itu yang terjadi, setiap
Muslim kiranya layak menyimak kata-kata Syaqiq al-Balkhai. Ia bertutur, ”Engkau
harus benar-benar memperhatikan lima perkara:
(1)
Beribadahlah kepada Allah SWT sesuai dengan kadar
kebutuhanmu
kepada-Nya (yakni kebutuhan akan kebaikan dan
karunia-Nya);
(2)
Carilah (kekayaan) dunia sesuai dengan kadar usiamu di
dalamnya (yakni
sebatas bekal hidup kita di dunia yang singkat ini);
(3)
Berbuatlah dosa/maksiat kepada Allah SWT sesuai dengan
kadar
kesanggupanmu memikul azab-Nya (yang tentu tak ada
seorang pun yang sanggup memikulnya karena sesungguhnya azab Allah SWT
sangatlah pedih);
(4)
Siapkanlah bekal di dunia sesuai dengan kadar
kebutuhanmu untuk
kehidupan di akhirat;
(5)
Beramal shalihlah sesuai dengan kadar keinginanmu untuk
menempati
maqam (tingkat) mana di surga yang engkau kehendaki
(karena maqam setiap orang di surga bergantung pada seberapa banyak dan
seberapa berkualitas amal-amal shalihnya). [Beramal Sesuai Harapan dan
Kesanggupan, arief b. iskandar,
Media Ummat; Sunday, 18 July 2010 17:05].
Harap kepada Allah bukan hanya milik
pribadi muslim biasa, tapi para nabipun punya harap yang lebih besar kepada
Allah, seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim As. memanjatkan do’a dan munajad
kepada Allah;
Empat Harapan
Nabi Ibrahim yang termuat dalam doanya, harapannya menjadi harapan kita semua
yang harus diperjuangkan.
Pertama, Harapan Atas Dirinya. Nabi Ibrahim as
amat berharap agar dirinya terhindar dari kemusyrikan. Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya: “Doa ini menampakkan adanya
kenikmatan lain dari nikmat-nikmat Allah. Yakni nikmat dikeluarkannya hati dari
berbagai kegelapan dan kejahiliyahan syirik kepada cahaya beriman, bertauhid
kepada Allah swt.” Karena itu, iman atau tauhid merupakan nikmat terbesar
yang Allah swt berikan kepada kita semua sehingga iman merupakan sesuatu yang
amat prinsip dalam Islam, Allah swt berfirman menceritakan doa Nabi Ibrahim as:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada
menyembah berhala-berhala. (QS Ibrahim [14]:35).
Di
samping itu, Nabi Ibrahim as juga ingin memperoleh ilmu dan hikmah, sesuatu
yang amat penting agar kehidupan bisa dijalani dengan mudah dan bermakna.
Beliau juga meminta agar termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang shalih,
ini menunjukkan betapa pentingnya menjadi shalih. Selain itu meminta menjadi
buah tutur kata yang baik bagi generasi kemudian sebagai bentuk penghormatan
dan upaya meneladani. Puncaknya adalah meminta dimasukkan ke dalam surga hingga
tidak terhina dalam kehidupan di akhirat nanti, hal ini tercermin dalam doa
beliau:“Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam
golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi
orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang
yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena
sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah
Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.” (QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 83–
87).
Dari doa Nabi
Ibrahim di atas, jelas sekali betapa pentingnya menjadi shalih sehingga orang
sekaliber Nabi Ibrahim masih saja berdoa agar dimasukkan ke dalam kelompok
orang yang shalih. Manakala keshalihan sudah dimiliki, cerita orang tentang
diri kita bila kita tidak ada adalah kebaikan. Karena itu, harus kita koreksi
diri kita, seandainya kita diwafatkan besok oleh Allah swt, kira-kira apa yang
orang ceritakan tentang kita.
Hal
penting lainnya dari harapan Nabi Ibrahim as adalah agar amal-amalnya diterima
oleh Allah swt, termasuk orang yang tunduk dan taubatnya diterima oleh Allah
swt, hal ini terdapat dalam doanya: QS. Al-Baqarah [2]: 127 – 128). Ya Tuhan
kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang
yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat
yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Syaikh Ali Ash Shabuni dalam Shafwatut
Tafasir menjelaskan bahwa berulang-ulang Nabi Ibrahim dalam doanya
menyebut rabbi (ya Tuhanku) agar dikabulkan doanya dan menampakkan kehinaan
diri kepada Allah.
Harapan Kedua adalah
Harapan Atas Keluarga, mulai dari orang tua yang beriman dan taat kepada Allah
swt, karenanya beliau pun meluruskan orang tuanya sebagaimana firman Allah swt:
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar,
“Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya
aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata. (QS An’am [6]:74).
Selain istrinya yang sudah shalihah,
beliau juga ingin agar anak-anaknya menjadi anak shalih, taat kepada Allah swt
dan orang tuanya dengan karakter akhlak yang mulia, ini merupakan sesuatu yang
amat mendasar bagi setiap anak. Karenanya beliau berdoa: Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.
Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”. (QS Ash Shaffat [37]:100-102)
Di
dalam ayat lain disebutkan bahwa dengan keshalihan diharapkan membuat sang anak
selalu mendirikan shalat, hati orang pun suka kepadanya dan pandai bersyukur
atas kenikmatan yang diperoleh, hal ini disebutkan dalam doa Nabi Ibrahim as: Ya
Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah
mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS Ibrahim [14]:37)
Hal yang amat
penting mengapa Nabi Ibrahim as amat mendambakan memiliki anak bukan
semata-mata agar punya anak, tapi bagaimana anak yang shalih itu mau dan mampu
melanjutkan estafet perjuangan menegakkan agama Allah swt.
Ketiga yang merupakan
harapan Nabi Ibrahim adalah terhadap Masyarakat agar beriman dan taat kepada
Allah swt, bahkan tidak hanya pada masanya, tapi juga generasi berikutnya.
Dalam rangka itu, sejak muda Nabi Ibrahim telah membuka cakrawala berpikir agar
tidak ada kemusyrikan dalam kehidupan masyarakat, Allah swt berfirman: Demi
Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu
sesudah kamu pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu
hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang
lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah
yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia
termasuk orang-orang yang lalim”. Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang
pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. (QS Al Anbiya
[21]:57-60)
Karena itu,
dalam doanya Nabi Ibrahim meminta agar Allah swt mengutus lagi Nabi yang
menyampaikan dan mengajarkan ayat-ayat Allah swt, hal ini disebutkan dalam
firman-Nya: Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah serta menyucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS Al Baqarah
[2]:129)
Dalam konteks
sekarang, masyarakat amat membutuhkan dakwah yang mencerahkan dan memotivasi
untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Harapan Keempat
dari Nabi Ibrahim as adalah atas Negara dan Bangsa. Beliau ingin agar negara
berada dalam keadaan aman dan memperoleh rizki yang cukup dari Allah swt,
bahkan Allah swt memberikan kepada semua penduduk meskipun mereka tidak
beriman, beliau berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman
sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman
di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan
kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa
ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.”(QS Al
Baqarah [2]:126)
Sayyid Quthb
dalam Fi Dzilalil Quran
menyatakan: “Nikmat keamanan adalah kenikmatan yang menyentuh manusia, memiliki
daya tekan yang besar dan perasaannya dan berhubungan pada semangat hidup pada
dirinya.” [Ahmad Yani, Harapan Nabi Ibrahim, Dakwatuna.com.Wednesday, 10
October 2012 12:10].
Seorang mukmin, tidak ada tempatnya
berharap selain kepada Allah semata, karena Allahlah yang mampu untuk memenuhi
segala harapan hamba-Nya, pengharapan kepada yang lain selain mengecewakan juga
mengandung nilai syirik yang merusak keimanan dan ibadah kepada Allah.
Allah akan mengabulkan do’a
seseorang selama hamba itu harap agar do’anya dikabulkan Allah, begitu juga
halnya, Allah akan mengampuni dosa-dosa hambanya melalui taubat selama hamba
itu yakin bahwa Allah menerima taubatnya, karena Allah itu tergantung
persangkaan hamba-Nya, maka itulah sebabnya seorang mukmin itu harus berbaik
sangka kepada Allah, Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 07 Zulqaidah 1434.H/12 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar