RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH
Ancaman Menyakiti
Orang-orang Shalih
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Kezaliman
adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kezaliman ada dua martabat,
yaitu menzalimi diri sendiri, dan menzalimi orang lain. Menzalimi diri sendiri
ada dua bentuk yaitu syirik, dan perbuatan dosa atau maksiat. Menzalimi orang
lain adalah menyia-nyiakan atau tidak menunaikan hak orang lain yang wajib
ditunaikan. "Tahukah kamu siapa orang yang bangkrut? Para sahabat
menjawab, "Allah dan rasulNya lebih mengetahui." Nabi Saw lalu
berkata, " Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah (orang) yang
datang pada hari kiamat dengan membawa amalan puasa, shalat dan zakat, tetapi
dia pernah mencaci-maki orang ini dan menuduh orang itu berbuat zina. Dia
pernah memakan harta orang itu lalu dia menanti orang ini menuntut dan
mengambil pahalanya (sebagai tebusan) dan orang itu mengambil pula pahalanya. Bila
pahala-pahalanya habis sebelum selesai tuntutan dan ganti tebusan atas
dosa-dosanya maka dosa orang-orang yang menuntut itu diletakkan di atas bahunya
lalu dia dihempaskan ke api neraka." (HR. Muslim).
Watak manusia karena kuat dan kuasa dia melakukan eksploitasi
bangsa lain, memeras bawahan dan menindas yang lemah, bila ini dilakukan tidak
henti-hentinya, maka akibatnya orangpun terus menerus menanggung dari
kezhalimannya.
Hadis riwayat Said bin Zaid bin Amru bin Nufail ra.: Bahwa Rasulullah saw.
bersabda: Barang siapa mengambil sejengkal tanah dengan zalim, maka Allah akan
mengalungkannya di hari kiamat setebal tujuh lapis bumi. (Shahih Muslim )
Hadis riwayat Aisyah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa
berbuat zalim dengan mengambil tanah seluas sejengkal, maka akan dikalungkan di
lehernya setebal tujuh lapis bumi. (Shahih Muslim )
Muslim disunnahkan untuk
melaksanakan sesegera mungkin perbuatan baik ini seperti membayar hutang bila
sudah ada untuk membayarnya, mengubur mayat, menikahkan anak gadis yang sudah
ada jodohnya, tapi syaitan selalu melarang
orang untuk menunaikan kewajibannya sesegera mungkin, hutang merupakan
hak orang lain yang harus ditunaikan dan tidak boleh ditunda, menunda berarti
melakukan kezhaliman; "Orang yang mampu membayar hak orang lain namun
menunda-nunda pembayarannya merupakan kezhaliman" [Mutafaqun alaih].
Kezhaliman yang dilakukan akan
mendapat ancaman dari Allah, apalagi kezhaliman itu ditujukan kepada
orang-orang shaleh, orang-orang lemah atau fakir miskin.
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 48
dengan judul“
Ancaman
Dari Menyakiti Orang-orang Shalih, Kaum Yang Lemah Dan Fakir Miskin”
Allah Ta'ala berfirman:"Dan orang-orang
yang menyakiti orang-orang mu'min, lelaki atau perempuan dengan tiada kesalahan
yang mereka lakukan, maka sesungguhnya orang-orang itu telah memikul kebohongan
serta dosa yang terang-terangan." (al-Ahzab: 58).
Allah Ta'ala berfirman
pula:"Dan terhadap anak yatim, janganlah engkau bersikap bengis, serta
terhadap orang yang meminta, janganlah engkau membentak-bentak." (ad-Dhuha:
9-10).
Adapun Hadis-
diantaranya Hadisnya Abu Hurairah r.a. yaitu: "Barangsiapa yang memusuhi
kekasihKu, maka Aku memberitahukan padanya bahwa ia Kuperangi”
Rasulullah s.a.w.:
"Hai Abu Bakar, jikalau engkau sampai membuat kemarahan kepada mereka,
maka engkau juga membuat kemarahan pada Tuhanmu,"
Dari Jundub bin Abdullah
r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa bersembahyang Subuh, maka ia adalah
dalam tanggungan Allah, maka itu janganlah sampai Allah itu menuntut kepadamu
semua dengan sesuatu dari tanggunganNya - maksudnya jangan sampai meninggalkan
shalat Subuh, sebab kalau demikian, lenyaplah ikatan janji untuk memberikan
tanggungan keamanan dan lain-lain antara engkau dengan Tuhanmu itu. Sebab sesungguhnya barangsiapa yang dituntut oleh Allah
dari sesuatu tanggungannya, tentu akan dicapainya - yakni tidak mungkin
terlepas, kemudian Allah akan melemparkannya atas mukanya dalam neraka
Jahanam." (Riwayat Muslim).
Rumah
yang baik bukanlah rumah yang besar, bagus dan megah sebagai tempat yang nyaman bagi seorang
muslim, bukan berarti kita tidak boleh punya rumah yang demikian, tapi Rasulullah
memberikan gambaran tentang sebaik-baiknya rumah yaitu,"Sebaik-baik
rumah kaum muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang
diperlakukan (diasuh) dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin ialah
rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan
buruk. (HR. Ibnu Majah).
Seorang
anak yang dibesarkan dalam keadaan yatim adalah romantika kehidupan yang
dilalui hingga dewasanya, walaupun dengan kesusahan dan penderitaan kehidupan
dilalui bersama sang ibu, tapi perjuangan ibu yang ikhlas membesarkan anaknya
tidaklah sia-sia, semuanya diberi pahala yang berlipat-ganda, sebagaimana yang
digambarkan dalam hadits yang disampaikan oleh Rasulullah, "Aku dan
seorang wanita yang pipinya kempot dan wajahnya pucat bersama-sama pada hari
kiamat seperti ini (Nabi Saw menunjuk jari telunjuk dan jari tengah). Wanita
itu ditinggal wafat suaminya dan tidak mau kawin lagi. Dia seorang yang
berkedudukan terhormat dan cantik namun dia mengurung dirinya untuk menekuni
asuhan anak-anaknya yang yatim sampai mereka kawin (berkeluarga dan berumah
tangga) atau mereka wafat. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Begitu
islam mengajarkan kepada ummatnya untuk berbuat baik kepada orang-orang shaleh
dan orang-orang yang lemah, jangan menzhalimi mereka dan tidak menyakitinya
apalagi melakukan pembunuhan dengan dalih-dalih tertentu, sejarah mencatat
bagaimana orang-orang shaleh seperti ulama diperlakukan tidak sewajarnya.
Kevokalan
para ulama disumbat dengan berbagai ancaman dan intimidasi, mereka tidak boleh
dengan bebas menyampaikan kebenaran kepada rakyat, naskah ceramah atau khutbah
harus disensor dahulu orang penguasa, tidak boleh menyinggung kebijakan
pemerintah yang tidak bijak, bila ada ulama yang menyampaikan hal yang tidak
disukai penguasa maka jangan harapkan dikemudian hari bisa tampil lagi
menyampaikan da'wahnya.
Banyak ulama yang dipenjarakan oleh penguasa
zhalim sebagaimana Ibnu Taimiyyah, Abu Hanifah, Sayid Qutb, Muhamamd Qutb,
Aminah Qutb, Muhammad Al Gazali,
Muhammad Nasir, Buya Hamka, Abu Bakar Baashir dan masih banyak lagi yang harus
mendekam dalam penjara hanya karena mereka memperjuangkan Kalimat Allah, mereka adalah orang-orang yang berjuang tanpa
pamrih dunia, tidak ada ambisi pribadi yang mereka kedepankan, semuanya adalah
untuk kepentingan agama. Tapi para penzhalim, penguasa yang rendah akhlaknya
merasa terganggu dengan suara lantang ulama, yang menyuarakan jeritan hati nurani ummat ini,
apalagi ulama yang tidak mau diajak
kompromi terhadap kemaksiatan.
Pembunuhan
karakter ulama dilakukan dengan cara
mengadu-domba ulama melalui berbagai tudingan yang merusak citra seseorang, ada
ulama yang diisukan mengajarkan aliran sesat
hanya karena beda dalam hal fiqh, ulama yang dituding menghidup suburkan
poligami, hal itu terjadi karena tidak mengertinya penguasa dengan konsep
ajaran islam, tidak sedikit ulama yang di kerangkeng di luar penjara dengan
memberikan fasilitas dan finansial sehingga terbungkamlah kebebasannya dalam
menyuarakan kebenaran, ada juga ulama yang dimanfaatkan untuk kepentingan
politik penguasa sehingga da'wah yang disampaikan selalu pujian dan sanjungan
kepada penguasa tersebut sehingga tidak bedanya ulama tadi sebagai kacung dan peliharaan sang penguasa.
Begitu juga,
tidak sedikit ulama yang harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan
sebagaimana Sayid Qutb, meregang nyawa dalam pengapnya penjara, ditembus peluru
serdadu jahanam, sebagaimana yang dialami oleh Hasan Al Banna, itu baru segelintir
contoh para ulama yang dizhalimi dan dibunuh oleh penguasa dan masih banyak
lagi yang mengalami nasib yang sama. Sampai-sampai karena banyaknya mereka yang
dibenamkan dalam penjara sehingga penjara bukan lagi tempat yang menyeramkan
tapi tempat pembinaan layaknya sebuah pesantren, namun tidak menghilangkan
kebengisan penguasa zhalim sehingga pesantren itu hanya tempat belajar sebentar
saja, sebagian dari para ulama yang mendekam dalam penjara itu dihilaangkan
malam hari yang akhirnya tidak diketahui lagi nasibnya.
Dalam sejarah islam, ummat
ini tidak bisa melupakan kasus Tanjung Priok, Kasus Jepara Lampung dan Aur
Koneng di Jawa Barat, yang dilakukan oleh aparat menghancurkan ummat islam dan
para ulama yang mereka adalah para mujahid yang punya nyali untuk membela agama
Allah dengan kemampuannya walaupun mereka
dituduh untuk membuat makar dalam rangka mendirikan negara Islam.
Ditambah lagi dengan berbagai kasus pengeboman di Bali, sekian hotel meledak di
Jakarta dan pembajakan pesawat, tanpa mencari data yang akurat lansung saja hal
itu dikaitkan dengan teroris, sehingga dengan sigapnya sekian aparat dikerahkan untuk mencari dan
membombardir pelakunya itu tanpa diberi peluang untuk menjelaskan apa
sebenarnya yang terjadi apalagi untuk membela diri.
Kita setuju, teroris harus diberantas, tapi apakah semua gerakan yang
dicurigai pemerintah dianggap teroris lalu lansung diperangi dengan cara teror
pula sehingga pembasmian teroris akan melahirkan gerakan teroris yang
sebenarnya. Inilah metode yang digunakan oleh penguasa untuk menghancurkan
teroris yaitu metode pancing jaring. Meminjam istilah Herman Y Ibrahim,
sistem ”Pancing Jaring” ala Ali Moertopo yang diterapkan untuk membersihkan
sisa-sisa NII, sepertinya kini diterapkan lagi. Saat itu, sisa-sisa NII dipaksa
turun gunung lalu disikat habis saat melakukan pembajakan Pesawat Woyla yang
sudah dipersiapkan sebelumnya oleh intelijen. ”Anda juga harus tahu bahwa
Ustadz Danu Hasan (orang tua Ustadz Hilmi Aminuddin) adalah seorang mujahid
yang dihabisi aparat dengan cara diracun. Jadi, pola yang diterapkan negara
untuk membasmi kelompok yang oleh mereka disebut teroris, tidak berubah, tetap
sama dengan cara-cara yang ditempuh Orde Baru,” tambahnya.
TPM menilai,
penangkapan oleh Densus 88 terhadap mereka yang diduga teroris di Pejaten
hanyalah rekayasa dan didramatisir. Mereka yang bertamu, membaca kitab,
tiba-tiba ditangkap tanpa alasan. UU Terorisme jelas-jelas hendak membidik
aktivis Islam untuk dijadikan tumbal. Media pun disetting sedemikian rupa,
dengan pemberitaan yang tidak seimbang, “Senjata dan peluru itu bisa ditaruh
dimana-mana. Sepertinya, barang bukti ini sudah dipersiapkan untuk menjerat
mereka yang diduga teroris,” ujar Munarman.
Benarkah Densus
88 dibentuk untuk menangkapi para aktivis Islam? Menurut Achmad Michdan dari
Tim Pengacara Muslim (TPM), dalam banyak Berita Acara Pidana (BAP) kita pernah
cermati, ihwal pertanyaan seputar, apakah Anda pernah ke Poso? Apakah Anda
pernah ke Ambon? Ada stigmatisasi, aktivis Islam yang melakukan pembelaan umat
Islam di Ambon, Poso, Mindanao, dan Afghanistan acapkali dikelompokkan sebagai
teroris. Bekas pejuang Ambon seperti Abdullah Sunata yang kini dinyatakan buron
oleh polisi, sampai diimagekan seolah sosok paling berbahaya. “Padahal setahu
saya, Sunata lebih berperan pada kegiatan nyata, seperti mengaktifkan kembali
pengajian untuk anak-anak. Yang jelas, dia punya tingkat kehidupan yang sulit,
dan terus berusaha untuk menghidupi keluarganya. Jika AS dan Inggris saja
mengaku keliru dengan tindakan represifnya dalam memerangi terorisme. Sementara
di Indonesia malah ditembaki,” kata Michdan kepada Sabili.
Kontroversi lain
dari tindakan Densus 88 adalah main tembak terhadap mereka yang diduga teroris.
Eksekusi di Cawang misalnya, dari tiga yang tertembak, dua dikenali, seorang
lagi belum dikenali identitasnya. Pertanyaannya, kalau belum dikenal, mengapa
mereka dianggap teroris dan langsung ditembak mati. “Jika cara-cara seperti
diteruskan, maka akan semakin banyak orang tak bersalah yang menjadi korban.
Bisa saja seorang tukang ojek tiba-tiba langsung ditembak mati saat
memboncengkan terduga teroris. Padahal si tukang ojek itu tidak tahu siapa yang
diboncengkan,” kata koordinator TPM Mahendradata menambahkan. (Majalah SABILI
No 19 TH XVII 15 April 2010, Memancing Jaring Menjerat Aktivis (3).
Biasanya
perlakuan zhalim atau menganiaya orang itu terkait dengan arogansi kekuasaan
yang dimiliki, penguasa cendrung berbuat demikian karena diliputi oleh
keangkuhan dan kesombongannya sehingga perlakuan kasar, keras dan kejam kepada
rakyatnya. Satu sisi kekuasaan memang dapat digunakan untuk menegakkan
kebenaran, meninggikan kalimat Allah dan menyuarakan Islam, itu kalau
penguasanya punya iman yang baik, tapi pada sisi lain kekuasaan itu cendrung
berlaku zhalim kepada rakyatnya.
Kekuasaan yang diperoleh dengan
ambisius akan membuat sang pemimpin bersikap arogan kepada rakyat apalagi ada
desas-desus segelintir orang akan menggulingkan kekuasaannya sehingga dilakukan
tindakan refresif untuk mencegahnya dengan penjagaan super ketat, menghantam
pihak-pihak tertentu yang dianggap merongrong kekuasaan. Rasulullah bersabda,"Apabila
Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin
mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani
hukum dan peradilan. Juga Allah jadikan harta-benda di tangan orang-orang yang
dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia
menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah.
DijadikanNya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta
berada di tangan orang-orang kikir. (HR. Ad-Dailami)
Kehendak Allah menjadikan suatu
kaum keburukan atau kebaikan dengan sifat dan watak berbeda berangkat dari
masyarakatnya, berpulang dari rakyatnya, apalagi dizaman demokrasi ini, kita
berhak untuk menentukan dan memilih pemimpin yang kita ingini, karena salah
pilih pemimpin itulah menjadikan keburukan yang terjadi, sehingga rakyat
menderita selama kekuasaannya dan akan meninggalkan kebinasaan untuk pemimpin
selanjutnya, Rasulullah bersabda, "Akan datang sesudahku
penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan
ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu
daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai". (HR.
Ath-Thabrani).
Sebuah
ungkapan mengatakan, dikala seseorang punya jabatan yang paling rendah, dia
hanya mampu berkata, ”Apa makan kita
sekarang?”, sudah bisa memilih lauk pauk dan pangan untuk setiap makan,
statusnya mulai diperhitungkan orang dengan posisi dan fasilitas yang dimiliki,
diapun bertanya lain, ”Makan dimana kita
sekarang ?”, tidak puas hanya menikmati masakan isteri tersayang, tapi
rumah makan dan restoran silih berganti jadi langganannya, dia sudah bisa
memilih rumah makan model apa yang harus dikunjungi untuk pejabat seperti dia.
Bukan itu saja, saat posisi itu betul-betul kuat, titelnya membuat orang
takut, jabatannya membuat orang salud, diapun bertindah sewenang-wenang dengan
mengatakan, ”Makan siapa kita sekarang?”, tidak masalah walaupun rakyat kecil yang
didera oleh kesusahan dan kepedihan hidup jadi sasaran tembaknya. Itulah
gambarannya arogansi kekuasaan yang tidak dikendalikan oleh iman, bangsa
sendiri dimakan, bila perlu anak kemenakan sendiri ditelan demi kekuasaan, Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 07 Zulqaidah 1434.H/12 September
2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar