Senin, 02 Desember 2013

90.48 Ancaman Menyakiti Orang-orang Shalih



RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH






 

Ancaman Menyakiti Orang-orang Shalih
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

 Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kezaliman ada dua martabat, yaitu menzalimi diri sendiri, dan menzalimi orang lain. Menzalimi diri sendiri ada dua bentuk yaitu syirik, dan perbuatan dosa atau maksiat. Menzalimi orang lain adalah menyia-nyiakan atau tidak menunaikan hak orang lain yang wajib ditunaikan. "Tahukah kamu siapa orang yang bangkrut? Para sahabat menjawab, "Allah dan rasulNya lebih mengetahui." Nabi Saw lalu berkata, " Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah (orang) yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan puasa, shalat dan zakat, tetapi dia pernah mencaci-maki orang ini dan menuduh orang itu berbuat zina. Dia pernah memakan harta orang itu lalu dia menanti orang ini menuntut dan mengambil pahalanya (sebagai tebusan) dan orang itu mengambil pula pahalanya. Bila pahala-pahalanya habis sebelum selesai tuntutan dan ganti tebusan atas dosa-dosanya maka dosa orang-orang yang menuntut itu diletakkan di atas bahunya lalu dia dihempaskan ke api neraka." (HR. Muslim).

Watak manusia karena kuat dan kuasa dia melakukan eksploitasi bangsa lain, memeras bawahan dan menindas yang lemah, bila ini dilakukan tidak henti-hentinya, maka akibatnya orangpun terus menerus menanggung dari kezhalimannya.

Hadis riwayat Said bin Zaid bin Amru bin Nufail ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa mengambil sejengkal tanah dengan zalim, maka Allah akan mengalungkannya di hari kiamat setebal tujuh lapis bumi. (Shahih Muslim )

Hadis riwayat Aisyah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa berbuat zalim dengan mengambil tanah seluas sejengkal, maka akan dikalungkan di lehernya setebal tujuh lapis bumi. (Shahih Muslim )

Muslim disunnahkan untuk melaksanakan sesegera mungkin perbuatan baik ini seperti membayar hutang bila sudah ada untuk membayarnya, mengubur mayat, menikahkan anak gadis yang sudah ada jodohnya, tapi syaitan selalu melarang  orang untuk menunaikan kewajibannya sesegera mungkin, hutang merupakan hak orang lain yang harus ditunaikan dan tidak boleh ditunda, menunda berarti melakukan kezhaliman; "Orang yang mampu membayar hak orang lain namun menunda-nunda pembayarannya merupakan kezhaliman" [Mutafaqun alaih].

Kezhaliman yang dilakukan akan mendapat ancaman dari Allah, apalagi kezhaliman itu ditujukan kepada orang-orang shaleh, orang-orang lemah atau fakir miskin.

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 48 dengan judul Ancaman Dari Menyakiti Orang-orang Shalih, Kaum Yang Lemah Dan Fakir Miskin”
 Allah Ta'ala berfirman:"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min, lelaki atau perempuan dengan tiada kesalahan yang mereka lakukan, maka sesungguhnya orang-orang itu telah memikul kebohongan serta dosa yang terang-terangan." (al-Ahzab: 58).

Allah Ta'ala berfirman pula:"Dan terhadap anak yatim, janganlah engkau bersikap bengis, serta terhadap orang yang meminta, janganlah engkau membentak-bentak." (ad-Dhuha: 9-10).

Adapun Hadis- diantaranya Hadisnya Abu Hurairah r.a. yaitu: "Barangsiapa yang memusuhi kekasihKu, maka Aku memberitahukan padanya bahwa ia Kuperangi”

Rasulullah s.a.w.: "Hai Abu Bakar, jikalau engkau sampai membuat kemarahan kepada mereka, maka engkau juga membuat kemarahan pada Tuhanmu,"

Dari Jundub bin Abdullah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa bersembahyang Subuh, maka ia adalah dalam tanggungan Allah, maka itu janganlah sampai Allah itu menuntut kepadamu semua dengan sesuatu dari tanggunganNya - maksudnya jangan sampai meninggalkan shalat Subuh, sebab kalau demikian, lenyaplah ikatan janji untuk memberikan tanggungan keamanan dan lain-lain antara engkau dengan Tuhanmu itu. Sebab sesungguhnya barangsiapa yang dituntut oleh Allah dari sesuatu tanggungannya, tentu akan dicapainya - yakni tidak mungkin terlepas, kemudian Allah akan melemparkannya atas mukanya dalam neraka Jahanam." (Riwayat Muslim).

           Rumah yang baik bukanlah rumah yang besar, bagus dan megah  sebagai tempat yang nyaman bagi seorang muslim, bukan berarti kita tidak boleh punya rumah yang demikian, tapi Rasulullah memberikan gambaran tentang sebaik-baiknya rumah yaitu,"Sebaik-baik rumah kaum muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan (diasuh) dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan buruk. (HR. Ibnu Majah).

Seorang anak yang dibesarkan dalam keadaan yatim adalah romantika kehidupan yang dilalui hingga dewasanya, walaupun dengan kesusahan dan penderitaan kehidupan dilalui bersama sang ibu, tapi perjuangan ibu yang ikhlas membesarkan anaknya tidaklah sia-sia, semuanya diberi pahala yang berlipat-ganda, sebagaimana yang digambarkan dalam hadits yang disampaikan oleh Rasulullah, "Aku dan seorang wanita yang pipinya kempot dan wajahnya pucat bersama-sama pada hari kiamat seperti ini (Nabi Saw menunjuk jari telunjuk dan jari tengah). Wanita itu ditinggal wafat suaminya dan tidak mau kawin lagi. Dia seorang yang berkedudukan terhormat dan cantik namun dia mengurung dirinya untuk menekuni asuhan anak-anaknya yang yatim sampai mereka kawin (berkeluarga dan berumah tangga) atau mereka wafat. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Begitu islam mengajarkan kepada ummatnya untuk berbuat baik kepada orang-orang shaleh dan orang-orang yang lemah, jangan menzhalimi mereka dan tidak menyakitinya apalagi melakukan pembunuhan dengan dalih-dalih tertentu, sejarah mencatat bagaimana orang-orang shaleh seperti ulama diperlakukan tidak sewajarnya.

Kevokalan para ulama disumbat dengan berbagai ancaman dan intimidasi, mereka tidak boleh dengan bebas menyampaikan kebenaran kepada rakyat, naskah ceramah atau khutbah harus disensor dahulu orang penguasa, tidak boleh menyinggung kebijakan pemerintah yang tidak bijak, bila ada ulama yang menyampaikan hal yang tidak disukai penguasa maka jangan harapkan dikemudian hari bisa tampil lagi menyampaikan da'wahnya.

  Banyak ulama yang dipenjarakan oleh penguasa zhalim sebagaimana Ibnu Taimiyyah, Abu Hanifah, Sayid Qutb, Muhamamd Qutb, Aminah Qutb,  Muhammad Al Gazali, Muhammad Nasir, Buya Hamka, Abu Bakar Baashir dan masih banyak lagi yang harus mendekam dalam penjara hanya karena mereka memperjuangkan Kalimat Allah,  mereka adalah orang-orang yang berjuang tanpa pamrih dunia, tidak ada ambisi pribadi yang mereka kedepankan, semuanya adalah untuk kepentingan agama. Tapi para penzhalim, penguasa yang rendah akhlaknya merasa terganggu dengan suara lantang ulama, yang  menyuarakan jeritan hati nurani ummat ini, apalagi ulama yang  tidak mau diajak kompromi terhadap kemaksiatan.

Pembunuhan karakter ulama dilakukan dengan  cara mengadu-domba ulama melalui berbagai tudingan yang merusak citra seseorang, ada ulama yang diisukan mengajarkan aliran sesat  hanya karena beda dalam hal fiqh, ulama yang dituding menghidup suburkan poligami, hal itu terjadi karena tidak mengertinya penguasa dengan konsep ajaran islam, tidak sedikit ulama yang di kerangkeng di luar penjara dengan memberikan fasilitas dan finansial sehingga terbungkamlah kebebasannya dalam menyuarakan kebenaran, ada juga ulama yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa sehingga da'wah yang disampaikan selalu pujian dan sanjungan kepada penguasa tersebut sehingga tidak bedanya ulama tadi sebagai kacung dan  peliharaan sang penguasa.

Begitu juga, tidak sedikit ulama yang harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan sebagaimana Sayid Qutb, meregang nyawa dalam pengapnya penjara, ditembus peluru serdadu jahanam, sebagaimana yang dialami oleh Hasan Al Banna, itu baru segelintir contoh para ulama yang dizhalimi dan dibunuh oleh penguasa dan masih banyak lagi yang mengalami nasib yang sama. Sampai-sampai karena banyaknya mereka yang dibenamkan dalam penjara sehingga penjara bukan lagi tempat yang menyeramkan tapi tempat pembinaan layaknya sebuah pesantren, namun tidak menghilangkan kebengisan penguasa zhalim sehingga pesantren itu hanya tempat belajar sebentar saja, sebagian dari para ulama yang mendekam dalam penjara itu dihilaangkan malam hari yang akhirnya tidak diketahui lagi nasibnya.

Dalam sejarah islam, ummat ini tidak bisa melupakan kasus Tanjung Priok, Kasus Jepara Lampung dan Aur Koneng di Jawa Barat, yang dilakukan oleh aparat menghancurkan ummat islam dan para ulama yang mereka adalah para mujahid yang punya nyali untuk membela agama Allah dengan kemampuannya walaupun mereka  dituduh untuk membuat makar dalam rangka mendirikan negara Islam. Ditambah lagi dengan berbagai kasus pengeboman di Bali, sekian hotel meledak di Jakarta dan pembajakan pesawat, tanpa mencari data yang akurat lansung saja hal itu dikaitkan dengan teroris, sehingga dengan sigapnya sekian  aparat dikerahkan untuk mencari dan membombardir pelakunya itu tanpa diberi peluang untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi apalagi untuk membela diri.
Kita setuju, teroris harus diberantas, tapi apakah semua gerakan yang dicurigai pemerintah dianggap teroris lalu lansung diperangi dengan cara teror pula sehingga pembasmian teroris akan melahirkan gerakan teroris yang sebenarnya. Inilah metode yang digunakan oleh penguasa untuk menghancurkan teroris yaitu metode pancing jaring. Meminjam istilah Herman Y Ibrahim, sistem ”Pancing Jaring” ala Ali Moertopo yang diterapkan untuk membersihkan sisa-sisa NII, sepertinya kini diterapkan lagi. Saat itu, sisa-sisa NII dipaksa turun gunung lalu disikat habis saat melakukan pembajakan Pesawat Woyla yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh intelijen. ”Anda juga harus tahu bahwa Ustadz Danu Hasan (orang tua Ustadz Hilmi Aminuddin) adalah seorang mujahid yang dihabisi aparat dengan cara diracun. Jadi, pola yang diterapkan negara untuk membasmi kelompok yang oleh mereka disebut teroris, tidak berubah, tetap sama dengan cara-cara yang ditempuh Orde Baru,” tambahnya.
TPM menilai, penangkapan oleh Densus 88 terhadap mereka yang diduga teroris di Pejaten hanyalah rekayasa dan didramatisir. Mereka yang bertamu, membaca kitab, tiba-tiba ditangkap tanpa alasan. UU Terorisme jelas-jelas hendak membidik aktivis Islam untuk dijadikan tumbal. Media pun disetting sedemikian rupa, dengan pemberitaan yang tidak seimbang, “Senjata dan peluru itu bisa ditaruh dimana-mana. Sepertinya, barang bukti ini sudah dipersiapkan untuk menjerat mereka yang diduga teroris,” ujar Munarman.
Benarkah Densus 88 dibentuk untuk menangkapi para aktivis Islam? Menurut Achmad Michdan dari Tim Pengacara Muslim (TPM), dalam banyak Berita Acara Pidana (BAP) kita pernah cermati, ihwal pertanyaan seputar, apakah Anda pernah ke Poso? Apakah Anda pernah ke Ambon? Ada stigmatisasi, aktivis Islam yang melakukan pembelaan umat Islam di Ambon, Poso, Mindanao, dan Afghanistan acapkali dikelompokkan sebagai teroris. Bekas pejuang Ambon seperti Abdullah Sunata yang kini dinyatakan buron oleh polisi, sampai diimagekan seolah sosok paling berbahaya. “Padahal setahu saya, Sunata lebih berperan pada kegiatan nyata, seperti mengaktifkan kembali pengajian untuk anak-anak. Yang jelas, dia punya tingkat kehidupan yang sulit, dan terus berusaha untuk menghidupi keluarganya. Jika AS dan Inggris saja mengaku keliru dengan tindakan represifnya dalam memerangi terorisme. Sementara di Indonesia malah ditembaki,” kata Michdan kepada Sabili.
Kontroversi lain dari tindakan Densus 88 adalah main tembak terhadap mereka yang diduga teroris. Eksekusi di Cawang misalnya, dari tiga yang tertembak, dua dikenali, seorang lagi belum dikenali identitasnya. Pertanyaannya, kalau belum dikenal, mengapa mereka dianggap teroris dan langsung ditembak mati. “Jika cara-cara seperti diteruskan, maka akan semakin banyak orang tak bersalah yang menjadi korban. Bisa saja seorang tukang ojek tiba-tiba langsung ditembak mati saat memboncengkan terduga teroris. Padahal si tukang ojek itu tidak tahu siapa yang diboncengkan,” kata koordinator TPM Mahendradata menambahkan. (Majalah SABILI No 19 TH XVII 15 April 2010, Memancing Jaring Menjerat Aktivis (3).
Biasanya perlakuan zhalim atau menganiaya orang itu terkait dengan arogansi kekuasaan yang dimiliki, penguasa cendrung berbuat demikian karena diliputi oleh keangkuhan dan kesombongannya sehingga perlakuan kasar, keras dan kejam kepada rakyatnya. Satu sisi kekuasaan memang dapat digunakan untuk menegakkan kebenaran, meninggikan kalimat Allah dan menyuarakan Islam, itu kalau penguasanya punya iman yang baik, tapi pada sisi lain kekuasaan itu cendrung berlaku zhalim kepada rakyatnya.
Kekuasaan yang diperoleh dengan ambisius akan membuat sang pemimpin bersikap arogan kepada rakyat apalagi ada desas-desus segelintir orang akan menggulingkan kekuasaannya sehingga dilakukan tindakan refresif untuk mencegahnya dengan penjagaan super ketat, menghantam pihak-pihak tertentu yang dianggap merongrong kekuasaan. Rasulullah bersabda,"Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Juga Allah jadikan harta-benda di tangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah. DijadikanNya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir. (HR. Ad-Dailami)

Kehendak Allah menjadikan suatu kaum keburukan atau kebaikan dengan sifat dan watak berbeda berangkat dari masyarakatnya, berpulang dari rakyatnya, apalagi dizaman demokrasi ini, kita berhak untuk menentukan dan memilih pemimpin yang kita ingini, karena salah pilih pemimpin itulah menjadikan keburukan yang terjadi, sehingga rakyat menderita selama kekuasaannya dan akan meninggalkan kebinasaan untuk pemimpin selanjutnya, Rasulullah bersabda, "Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai". (HR. Ath-Thabrani).

Sebuah ungkapan mengatakan, dikala seseorang punya jabatan yang paling rendah, dia hanya mampu berkata, ”Apa makan kita sekarang?”, sudah bisa memilih lauk pauk dan pangan untuk setiap makan, statusnya mulai diperhitungkan orang dengan posisi dan fasilitas yang dimiliki, diapun bertanya lain, ”Makan dimana kita sekarang ?”, tidak puas hanya menikmati masakan isteri tersayang, tapi rumah makan dan restoran silih berganti jadi langganannya, dia sudah bisa memilih rumah makan model apa yang harus dikunjungi untuk pejabat seperti dia.
Bukan itu saja, saat posisi itu betul-betul kuat, titelnya membuat orang takut, jabatannya membuat orang salud, diapun bertindah sewenang-wenang dengan mengatakan, ”Makan siapa kita sekarang?”, tidak masalah walaupun rakyat kecil yang didera oleh kesusahan dan kepedihan hidup jadi sasaran tembaknya. Itulah gambarannya arogansi kekuasaan yang tidak dikendalikan oleh iman, bangsa sendiri dimakan, bila perlu anak kemenakan sendiri ditelan demi kekuasaan, Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 07 Zulqaidah 1434.H/12 September 2013].
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar