RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Siksaan Orang Yang
Ucapannya Tidak Tepat Dengan Kelakuannya
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Seorang mukmin dituntut menjadi pribadi
yang benar dan jujur dalam seluruh sepak terjangnya, menjadi orang yang
konsekwen dan konsisten, selalu tepat ucapan dengan tindakannya, apalagi
seorang pemimpin, da’i, guru ataupun orangtua, sekali lancung ke ujian seumur
hidup orang tidak percaya. Allah memperingatkan hal itu dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Ash-Shaf: 2-3)
Ibnu
Katsir berkata, Ayat 2 merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang
menetapkan suatu janji atau mengatakan suatu ucapan, tetapi ia tidak
memenuhinya. Sedangkan ayat 3 berfungsi sebagai penegas ayat sebelumnya.
Diterangkan dalam sebuah hadits shahih bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tanda-tanda
orang munafik itu ada tiga: bila berjanji, dia tidak pernah memenuhinya; bila
berbicara, dia berdusta; bila diberi amanat, dia khianat.”
Kebencian
Allah adalah kehinaan bagi orang yang melakukan perbuatan tercela itu. Padahal,
tidak ada tempat bagi sebuah kemuliaan kecuali kecintaan Allah kepadanya. Bila
Allah sudah benci, maka tidak akan ada yang menghalangi turunnya kebencian itu
meskipun seluruh makhluk berkumpul. Tidak akan ada yang mampu membuatnya mulia
kecuali jika dia menjauh dari perbuatan tercela itu.
Inilah
akibat orang yang mendapat kebencian Allah: “Dan penduduk Madyan, dan telah
didustakan Musa, lalu Aku tangguhkan (azab-Ku) untuk orang-orang kafir,
kemudian Aku azab mereka, maka (lihatlah) bagaimana besarnya kebencian-Ku
(kepada mereka itu).” (QS. Al-Hajj: 44)
Adapun
cara menjaga lisan minimal ada 2 cara yang harus diperhatikan yaitu : menjaga
agar lisan untuk hal yang maslahat, jauh dari mafsadat dan sia-sia, dan ucapan
haruslah sesuai dengan amal perbuatan.
1. Menjaga lisan dengan hal-hal yang maslahat (baik) dan jauh dari yang mafsadat (merusak) serta yang sia-sia.
Sabda
Nabi Muhammad saw : “Siapa yg menjamin untukku apa yang berada antara dua
rahangnya (lisan) dan antara dua kakinya (kemaluan) maka aku menjaminnya
dengan surga baginya” (HR Bukhori).
Sabda
Rasulullah ketika ditanya oleh Abu Musa Al Asy ari ; “Ya Rasulullah, muslim
bagaimanakah yg paling utama?” Jawab Rasul; “Muslim yang aman orang
muslim lainnya dari (bahaya) lisannya dan tangannya”. (HR. Bukhori Muslim)
Sabda Rasulullah lainnya : “Sesungguhnya kelembutan tidak ada dalam sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidak meninggalkan sesuatu kecuali akan menodainya”.
Sabda Rasulullah lainnya : “Sesungguhnya kelembutan tidak ada dalam sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidak meninggalkan sesuatu kecuali akan menodainya”.
Juga
sabda Rasulullah saw. : “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari).
Imam
Syafi’i pernah mengingatkan agar seseorang sebelum berbicara berpikir lebih
dahulu, apakah akan membawa maslahat (kebaikan, menguntungkan) ataukah mafsadat
(merugikan).
Akibat yang ditimbulkan dari pembicaraan lisan ini ada 4 macam:
1. Merugikan
2. Ada untung dan ada rugi
3. Tak Ada untung dan tak ada rugi
4. Menguntungkan
Jika
merugikan maka harus dihindari. Jika ada keuntungan tetapi juga ada kerugian
maka dihindari. Bahkan jika tidak ada keuntungan walaupun juga tidak merugikan
hendaknya ditinggalkan, karena sia-sia. Hanyalah yang membawa maslahat (keuntungan)
kita perlu berbicara. Abu Darda pernah berpesan : “jujurlah dengan dua
telinga dan lisanmu, sungguh diciptakannya dua telinga dan satu lisan, agar
kita banyak mendengar daripada berbicara”.
Rasulullah
saw. pernah mengingatkan :”Sebagian dari baiknya seorang muslim adalah
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat” (HR. At Tirmidzi)
Rasulullah
juga pernah mengingatkan bahwa : “Lisanuka asadul laka” lisanmu adalah
harimaumu !
2. Amal Perbuatan sesuai Ucapan (lisan)
Termasuk ajaran Islam yang esensi bahwa ucapan harus sesuai dan konsekwen dengan amal perbuatan. Janganlah bicara manis mempesona tetapi amal perbuatannya berbeda. Alloh swt. mengancam dengan dosa besar dan kebencian-Nya. QS. As Shaf 2-3 artinya :“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Ash-Shof : 2-3).
Hati-hatilah
kita terhadap sikap dan perbuatan seperti ini, juga berhati-hati terhadap orang
yang melakukannya karena itu termasuk salah satu tanda munafik.
Semoga kita dapat menjaga lisan untuk hal-hal yang baik (maslahat), mampu menghindari hal yang buruk dan sia-sia serta mampu menyesuaikan antara ucapan dengan amal perbuatan. [Sesuai antara ucapan dan perbuatan, Kunsweb osted on 16 Maret 2012].
Semoga kita dapat menjaga lisan untuk hal-hal yang baik (maslahat), mampu menghindari hal yang buruk dan sia-sia serta mampu menyesuaikan antara ucapan dengan amal perbuatan. [Sesuai antara ucapan dan perbuatan, Kunsweb osted on 16 Maret 2012].
Imam An
Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 24 dengan
judul “Memperkeraskan Siksaan Orang Yang Memerintahkan Kebaikan Atau Melarang
Dan Kemungkaran, Tetapi Ucapannya Tidak Tepat Dengan Kelakuannya”.
Allah Ta'ala berfirman:
"Adakah engkau
semua memerintahkan kepada kebaikan, sedangkan engkau semua melaiaikan dirimu
sendiri, padahal engkau semua juga membaca Alkitab, apakah engkau semua tidak
menggunakan akal?" (al-Baqarah:
44).
Allah Ta'ala berfirman
pula:
"Hai sekalian
orang-orang yang beriman, mengapa engkau semua mengucapkan apa-apa yang tidak
engkau semua lakukan? Besar sekali dosanya di sisi Allah, jikalau engkau semua
mengucapkan apa-apa yang tidak engkau semua lakukan." (as-Shaf: 2-3).
Allah Ta'ala berfirman
lagi dalam memberitahukan perihal Syu'aib s.a.w. yaitu: "Dan saya tidak hendak
menyalahi engkau semua dalam hal yang engkau semua dilarang
mengerjakannya." (Hud: 88)
Dari Abu Zaid yaitu
Usamah bin Zaid bin Haritsah radhi-allahu 'anhuma, katanya: "Saya
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Akan didatangkan seseorang lelaki pada hari
kiamat, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka, lalu keluarlah isi perutnya -
usus-ususnya, terus berputarlah orang tadi pada isi perutnya sebagaimana seekor
keledai mengelilingi gilingan. Para ahli neraka berkumpul di sekelilingnya lalu
bertanya: "Mengapa engkau ini hai Fulan? Bukankah engkau dahulu suka
memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran?" Orang
tersebut menjawab: "Benar, saya dahulu memerintahkan kepada kebaikan, tetapi
saya sendiri tidak melakukannya, dan saya melarang dari kemungkaran, tetapi
saya sendiri mengerjakannya." (Muttafaq 'alaih).
Syaikh Abdurrahman Nashir Assa'dit berkata: "Barang siapa
yang mengajak orang lain berbuat kebajikan sedang dia tidak melakukannya atau
melarang orang lain berbuat keburukan sedang dia sendiri tidak melakukannya,
hal ini menunjukkan kebodohan dan kekurang-warasan akalnya. Khususnya jika ia
mengetahui akan hal tersebut dan telah ditegakkan hujjah atasnya".
Berkaitan dengan para penceramah,
dai dan mubaligh bahkan terdapat hadits khusus. Dari Anas bin Malik, Rasulullah
bersabda, “Saat malam Isra’ Mi’raj aku melintasi sekelompok orang yang
bibirnya digunting dengan gunting dari api neraka.” “siapakah mereka”, tanyaku
kepada Jibril. Jibril mengatakan, “mereka adalah orang-orang yang dulunya
menjadi penceramah ketika di dunia. Mereka sering memerintahkan orang lain
melakukan kebaikan tapi mereka lupakan diri mereka sendiri padahal mereka
membaca firman-firman Allah, tidakkah mereka berpikir?” (HR. Ahmad, Abu
Nu’aim dan Abu Ya’la. Menurut al-Haitsami salah satu sanad dalam riwayat Abu
Ya’la para perawinya adalah para perawi yang digunakan dalam kitab shahih).
Dalil-dalil di atas menunjukkan
pengingkaran keras terhadap orang yang punya ilmu tapi tidak mengamalkan
ilmunya. Inilah salah satu sifat orang-orang Yahudi yang dicap sebagai
orang-orang yang mendapatkan murka Allah disebabkan mereka berilmu namun tidak
beramal.
Oleh karena itu, Ibnu Qudamah
mengatakan, “Ketika berkhutbah seorang khatib dianjurkan untuk turut meresapi
apa yang dia nasihatkan kepada banyak orang.”
Ali bin Abi Thalib mengatakan,
“Duhai orang-orang yang memiliki ilmu amalkan ilmu kalian. Orang yang berilmu
secara hakiki hanyalah orang yang mengamalkan ilmu yang dia miliki sehingga
amalnya selaras dengan ilmunya. Suatu saat nanti akan muncul banyak orang yang
memiliki ilmu namun ilmu tersebut tidaklah melebihi kerongkongannya
sampai-sampai ada seorang yang marah terhadap muridnya karena ngaji kepada guru
yang lain.”
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “tanda kebodohan itu ada tiga; pertama mengagumi diri sendiri,
kedua banyak bicara dalam hal yang tidak manfaat, ketiga melarang sesuatu namun
melanggarnya.
Jundub bin Abdillah Al-Bajali
mengatakan, “gambaran yang tepat untuk orang yang menasihati orang lain namun
melupakan dirinya sendiri adalah laksana lilin yang membakar dirinya sendiri
untuk menerangi sekelilingnya.”
Bahkan sebagian ulama memvonis gila
orang yang pandai berkata namun tidak mempraktekkannya karena Allah berfirman, “Tidakkah
mereka berakal?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Sungguh tepat syair yang disampaikan
oleh manshur al-Fakih, “Sungguh ada orang yang menyuruh kami untuk melakukan
sesuatu yang tidak mereka lakukan, sungguh orang-orang gila. Dan sungguh mereka
tidaklah berterus terang.”
Berikut ini, beberapa perkataan
salafus shalih berkaitan dengan masalah ini sebagaimana yang disebutkan oleh
Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih :
- Siapa saja yang Allah halangi untuk mendapatkan ilmu maka Allah akan menyiksanya karena kebodohannya. Orang yang lebih keras siksaannya adalah orang yang ilmu itu datang kepadanya tapi dia berpaling meninggalkan ilmu. Demikian pula orang yang Allah berikan kepadanya ilmu tapi tidak diamalkan.
- Ubay bin Ka’ab mengatakan, “Pelajarilah ilmu agama dan amalkanlah dan janganlah kalian belajar untuk mencari decak kagum orang. Jika kalian berumur panjang segera akan muncul satu masa di masa tersebut orang mencari decak kagum orang lain dengan ilmu yang dia miliki sebagaimana mencari decak kagum dengan pakaian yang dikenakan.
- Abdullah ibn Mas’ud mengatakan, “semua orang itu pintar ngomong. Oleh karenanya siapa yang perbuatannya sejalan dengan ucapannya itulah orang yang dikagumi. Akan tetapi bila lain ucapan lain perbuatan itulah orang yang mencela dirinya sendiri.
- Al-Hasan Bashri mengatakan, “Nilailah orang dengan amal perbuatannya jangan dengan ucapannya. Sesungguhnya semua ucapan itu pasti ada buktinya. Berupa amal yang membenarkan ucapan tersebut atau mendustakannya. Jika engkau mendengar ucapan yang bagus maka jangan tergesa-gesa menilai orang yang mengucapkannya sebagai orang yang bagus. Jika ternyata ucapannya itu sejalan dengan perbuatannya itulah sebaik-baik manusia.”
- Imam Malik menyebutkan bahwa beliau mendapatkan berita al-Qasim bin Muhammad yang mengatakan, “Aku menjumpai sejumlah orang tidak mudah terkesima dengan ucapan namun benar-benar salut dengan amal perbuatan.”
- Abu Darda mengatakan, “Sebuah kecelakaan bagi orang yang tidak tahu sehingga tidak beramal. Sebaliknya ada 70 kecelakaan untuk orang yang tahu namun tidak beramal.” [Indahnya Islam, Antara Kata Dan Perbuatan , Jumat, 18 Mei 2012].
Tidak
diragukan lagi bahwa permisalan orang yang beramar makruf nahi mungkar adalah seperti dokter yang
mengobati orang lain. Satu hal yang memalukan ketika seorang dokter bisa
menyebutkan obat yang tepat untuk pasiennya demikian pula tindakan preventif
untuk mencegah penyakit pasiennya kemudian ternyata dia sendiri tidak
menjalankannya. Berdasarkan keterangan yang lewat, jelas sudah betapa bahaya
hal ini, karenanya menjadi kewajiban setiap da’i dan muballigh untuk
memperhatikannya. Karena jika obyek dakwah mengetahui hal ini maka mereka akan
mengejek sang pendakwah. Belum lagi hukuman di akhirat nanti dan betapa besar
dosa yang akan dipikul nanti.
Sebagian orang tidak mau
melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar karena merasa belum melakukan yang
makruf dan masih melanggar yang mungkar. Orang tersebut khawatir termasuk orang
yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan.
Sa’id bin Jubair mengatakan,
“Jika tidak boleh melakukan amar makruf dan nahi mungkar kecuali orang yang
sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya.” Ucapan Sa’id
bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat.
Al-Hasan Al-Bashri pernah
berkata kepada Mutharrif bin Abdillah, “Wahai Mutharrif nasihatilah
teman-temanmu.” Mutharrif mengatakan, “Aku khawatir mengatakan yang tidak ku
lakukan.” Mendengar hal tersebut, Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah
merahmatimu, siapakah di antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan,
sungguh setan berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada
seorang pun yang berani amar makruf nahi mungkar.”
Al-Hasan Al-Bashri juga pernah
mengatakan, “Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada
kalian padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di
antara kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol
dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin
tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu
mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah
orang-orang yang mau mengingatkan.”
Untuk mengompromikan dua hal
ini, Imam Baihaqi mengatakan, “Sesungguhnya yang tidak tercela itu berlaku
untuk orang yang ketaatannya lebih dominan sedangkan kemaksiatannya
jarang-jarang. Di samping itu, maksiat tersebut pun sudah ditutup dengan
taubat. Sedangkan orang yang dicela adalah orang yang maksiatnya lebih dominan
dan ketaatannya jarang-jarang.”
Ibnu Hajar menukil perkataan
sebagian ulama, “Amar makruf itu wajib bagi orang yang mampu melakukannya dan
tidak khawatir adanya bahaya menimpa dirinya meskipun orang yang melakukan amar
makruf tersebut dalam kondisi bermaksiat. Secara umum orang tersebut tetap
mendapatkan pahala karena melaksanakan amar makruf terlebih jika kata-kata
orang tersebut sangat ditaati. Sedangkan dosa yang dia miliki maka boleh jadi
Allah ampuni dan boleh jadi Allah menyiksa karenanya. Adapun orang yang
beranggapan tidak boleh beramar makruf kecuali orang yang tidak memiliki cacat
maka jika yang dia maksudkan bahwa itulah yang ideal maka satu hal yang baik.
Jika tidak maka anggapan tersebut berkonsekuensi menutup pintu amar makruf jika
tidak ada orang yang memenuhi kriteria.” [Antara Kata dan Perbuatan, FaOezy's Blog,
20 Desember 2011].
Suatu ketika
Hasan Al Bisyri didatangi oleh para budak, mereka mengharapkan agar beliau
besok jum’at berkenan menyampaikan khutbah tentang pembebasan budak dan
keutamaannya. Mereka sangat antusias sekali akan merdeka bila mendengar fatwa
sang ulama sekaliber Hasan Al Bisyri. Dua dan tiga minggu, dua dan tiga bulan
hingga mendekati setahun belum juga terdengar fatwa itu, walaupun sang ulama
sudah sering pula menyampaikan khutbah dengan tema lain. Tepat satu tahun
permohonan pada budak itu dikabulkan oleh Hasan Al Bisyri dengan berapi-api
disambut dengan kesadaran oleh para tuan untuk memerdekakan budaknya.
Tentu saja para budak
bertanya, kenapa sekarang mereka bisa merdeka ? tidak setahun yang lalu
? sang ulama kharismatik itu menjawab,”Ketika
kalian datang kepadaku pertama kali tentang itu, aku tidak berdaya dan tidak
mampu menyampaikannya. Sekaranglah baru saya punya uang, tadi pagi saya sudah
memerdekakan seorang budak”, itulah sebuah keteladanan yang dicontohkan
oleh ulama kita dahulu, masih adakah ulama yang demikian ? kita berhadap
diantara kebodohan ummat dan kelemahan ulama masih ada ulama yang mampu tampil
dengan uswatun hasanah yaitu keteladanan yang baik. Wallahu a’lam [Cubadak
Pianggu Solok, 01 Zulqaidah 1434.H/06 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar