Jumat, 22 November 2013

66.24 Siksaan Orang Yang Ucapannya Tidak Tepat Dengan Kelakuannya




RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]


Siksaan Orang Yang Ucapannya Tidak Tepat Dengan Kelakuannya
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Seorang mukmin dituntut menjadi pribadi yang benar dan jujur dalam seluruh sepak terjangnya, menjadi orang yang konsekwen dan konsisten, selalu tepat ucapan dengan tindakannya, apalagi seorang pemimpin, da’i, guru ataupun orangtua, sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tidak percaya. Allah memperingatkan hal itu dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3)

Ibnu Katsir berkata, Ayat 2 merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang menetapkan suatu janji atau mengatakan suatu ucapan, tetapi ia tidak memenuhinya. Sedangkan ayat 3 berfungsi sebagai penegas ayat sebelumnya. Diterangkan dalam sebuah hadits shahih bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: bila berjanji, dia tidak pernah memenuhinya; bila berbicara, dia berdusta; bila diberi amanat, dia khianat.”

Kebencian Allah adalah kehinaan bagi orang yang melakukan perbuatan tercela itu. Padahal, tidak ada tempat bagi sebuah kemuliaan kecuali kecintaan Allah kepadanya. Bila Allah sudah benci, maka tidak akan ada yang menghalangi turunnya kebencian itu meskipun seluruh makhluk berkumpul. Tidak akan ada yang mampu membuatnya mulia kecuali jika dia menjauh dari perbuatan tercela itu.

Inilah akibat orang yang mendapat kebencian Allah: “Dan penduduk Madyan, dan telah didustakan Musa, lalu Aku tangguhkan (azab-Ku) untuk orang-orang kafir, kemudian Aku azab mereka, maka (lihatlah) bagaimana besarnya kebencian-Ku (kepada mereka itu).” (QS. Al-Hajj: 44)

Adapun cara menjaga lisan minimal ada 2 cara yang harus diperhatikan yaitu : menjaga agar lisan untuk hal yang maslahat, jauh dari mafsadat dan sia-sia, dan ucapan haruslah sesuai dengan amal perbuatan.

1.    Menjaga lisan dengan hal-hal yang maslahat (baik) dan jauh dari yang mafsadat (merusak) serta yang sia-sia.
Sabda Nabi Muhammad saw : “Siapa yg menjamin untukku apa yang berada antara dua rahangnya  (lisan) dan antara dua kakinya (kemaluan) maka aku menjaminnya dengan surga baginya” (HR Bukhori).
Sabda Rasulullah ketika ditanya oleh Abu Musa Al Asy ari ; “Ya Rasulullah, muslim bagaimanakah yg paling utama?” Jawab Rasul; “Muslim yang  aman orang muslim lainnya dari (bahaya) lisannya dan tangannya”. (HR. Bukhori Muslim)
Sabda Rasulullah lainnya : “Sesungguhnya kelembutan tidak ada dalam sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidak meninggalkan sesuatu kecuali akan menodainya”.

Juga sabda Rasulullah saw. : “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari).

Imam Syafi’i pernah mengingatkan agar seseorang sebelum berbicara berpikir lebih dahulu, apakah akan membawa maslahat (kebaikan, menguntungkan) ataukah mafsadat (merugikan).

Akibat yang ditimbulkan dari pembicaraan lisan ini ada 4 macam:
1.    Merugikan
2.    Ada untung dan ada rugi
3.    Tak Ada untung dan tak ada rugi
4.    Menguntungkan

Jika merugikan maka harus dihindari. Jika ada keuntungan tetapi juga ada kerugian maka dihindari. Bahkan jika tidak ada keuntungan walaupun juga tidak merugikan hendaknya ditinggalkan, karena sia-sia. Hanyalah yang membawa maslahat (keuntungan) kita perlu berbicara. Abu Darda pernah berpesan : “jujurlah dengan dua telinga dan lisanmu, sungguh diciptakannya dua telinga dan satu lisan, agar kita banyak mendengar daripada berbicara”.

Rasulullah saw. pernah mengingatkan :”Sebagian dari baiknya seorang muslim adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat” (HR. At Tirmidzi)
Rasulullah juga pernah mengingatkan bahwa : “Lisanuka asadul laka”  lisanmu adalah harimaumu !

2.    Amal Perbuatan sesuai Ucapan (lisan)
 
          Termasuk ajaran Islam yang esensi bahwa ucapan harus sesuai dan konsekwen dengan amal perbuatan. Janganlah bicara manis mempesona tetapi amal perbuatannya berbeda. Alloh swt. mengancam  dengan dosa besar dan kebencian-Nya. QS. As Shaf 2-3 artinya :“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Ash-Shof : 2-3).

Hati-hatilah kita terhadap sikap dan perbuatan seperti ini, juga berhati-hati terhadap orang yang melakukannya karena itu termasuk salah satu tanda munafik.
Semoga kita dapat menjaga lisan untuk hal-hal yang baik (maslahat), mampu menghindari hal yang buruk dan sia-sia serta mampu menyesuaikan antara ucapan dengan amal perbuatan. [Sesuai antara ucapan dan perbuatan, Kunsweb osted on
16 Maret 2012].

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 24 dengan judulMemperkeraskan Siksaan Orang Yang Memerintahkan Kebaikan Atau Melarang Dan Kemungkaran, Tetapi Ucapannya Tidak Tepat Dengan Kelakuannya”.

Allah Ta'ala berfirman:
"Adakah engkau semua memerintahkan kepada kebaikan, sedangkan engkau semua melaiaikan dirimu sendiri, padahal engkau semua juga membaca Alkitab, apakah engkau semua tidak menggunakan akal?" (al-Baqarah: 44).

Allah Ta'ala berfirman pula:
"Hai sekalian orang-orang yang beriman, mengapa engkau semua mengucapkan apa-apa yang tidak engkau semua lakukan? Besar sekali dosanya di sisi Allah, jikalau engkau semua mengucapkan apa-apa yang tidak engkau semua lakukan." (as-Shaf: 2-3).

Allah Ta'ala  berfirman  lagi  dalam  memberitahukan  perihal Syu'aib s.a.w. yaitu: "Dan saya tidak hendak menyalahi engkau semua dalam hal yang engkau semua dilarang mengerjakannya." (Hud: 88)

Dari Abu Zaid yaitu Usamah bin Zaid bin Haritsah radhi-allahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Akan didatangkan seseorang lelaki pada hari kiamat, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka, lalu keluarlah isi perutnya - usus-ususnya, terus berputarlah orang tadi pada isi perutnya sebagaimana seekor keledai mengelilingi gilingan. Para ahli neraka berkumpul di sekelilingnya lalu bertanya: "Mengapa engkau ini hai Fulan? Bukankah engkau dahulu suka memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran?" Orang tersebut menjawab: "Benar, saya dahulu memerintahkan kepada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak melakukannya, dan saya melarang dari kemungkaran, tetapi saya sendiri mengerjakannya." (Muttafaq 'alaih).

Syaikh Abdurrahman Nashir Assa'dit berkata: "Barang siapa yang mengajak orang lain berbuat kebajikan sedang dia tidak melakukannya atau melarang orang lain berbuat keburukan sedang dia sendiri tidak melakukannya, hal ini menunjukkan kebodohan dan kekurang-warasan akalnya. Khususnya jika ia mengetahui akan hal tersebut dan telah ditegakkan hujjah atasnya".

Berkaitan dengan para penceramah, dai dan mubaligh bahkan terdapat hadits khusus. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Saat malam Isra’ Mi’raj aku melintasi sekelompok orang yang bibirnya digunting dengan gunting dari api neraka.” “siapakah mereka”, tanyaku kepada Jibril. Jibril mengatakan, “mereka adalah orang-orang yang dulunya menjadi penceramah ketika di dunia. Mereka sering memerintahkan orang lain melakukan kebaikan tapi mereka lupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca firman-firman Allah, tidakkah mereka berpikir?” (HR. Ahmad, Abu Nu’aim dan Abu Ya’la. Menurut al-Haitsami salah satu sanad dalam riwayat Abu Ya’la para perawinya adalah para perawi yang digunakan dalam kitab shahih).

Dalil-dalil di atas menunjukkan pengingkaran keras terhadap orang yang punya ilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya. Inilah salah satu sifat orang-orang Yahudi yang dicap sebagai orang-orang yang mendapatkan murka Allah disebabkan mereka berilmu namun tidak beramal.

Oleh karena itu, Ibnu Qudamah mengatakan, “Ketika berkhutbah seorang khatib dianjurkan untuk turut meresapi apa yang dia nasihatkan kepada banyak orang.”
Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Duhai orang-orang yang memiliki ilmu amalkan ilmu kalian. Orang yang berilmu secara hakiki hanyalah orang yang mengamalkan ilmu yang dia miliki sehingga amalnya selaras dengan ilmunya. Suatu saat nanti akan muncul banyak orang yang memiliki ilmu namun ilmu tersebut tidaklah melebihi kerongkongannya sampai-sampai ada seorang yang marah terhadap muridnya karena ngaji kepada guru yang lain.”

Abu Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “tanda kebodohan itu ada tiga; pertama mengagumi diri sendiri, kedua banyak bicara dalam hal yang tidak manfaat, ketiga melarang sesuatu namun melanggarnya.

Jundub bin Abdillah Al-Bajali mengatakan, “gambaran yang tepat untuk orang yang menasihati orang lain namun melupakan dirinya sendiri adalah laksana lilin yang membakar dirinya sendiri untuk menerangi sekelilingnya.”

Bahkan sebagian ulama memvonis gila orang yang pandai berkata namun tidak mempraktekkannya karena Allah berfirman, “Tidakkah mereka berakal?” (QS. Al-Baqarah: 44)

Sungguh tepat syair yang disampaikan oleh manshur al-Fakih, “Sungguh ada orang yang menyuruh kami untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan, sungguh orang-orang gila. Dan sungguh mereka tidaklah berterus terang.”
Berikut ini, beberapa perkataan salafus shalih berkaitan dengan masalah ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih :
  1. Siapa saja yang Allah halangi untuk mendapatkan ilmu maka Allah akan menyiksanya karena kebodohannya. Orang yang lebih keras siksaannya adalah orang yang ilmu itu datang kepadanya tapi dia berpaling meninggalkan ilmu. Demikian pula orang yang Allah berikan kepadanya ilmu tapi tidak diamalkan.
  2. Ubay bin Ka’ab mengatakan, “Pelajarilah ilmu agama dan amalkanlah dan janganlah kalian belajar untuk mencari decak kagum orang. Jika kalian berumur panjang segera akan muncul satu masa di masa tersebut orang mencari decak kagum orang lain dengan ilmu yang dia miliki sebagaimana mencari decak kagum dengan pakaian yang dikenakan.
  3. Abdullah ibn Mas’ud mengatakan, “semua orang itu pintar ngomong. Oleh karenanya siapa yang perbuatannya sejalan dengan ucapannya itulah orang yang dikagumi. Akan tetapi bila lain ucapan lain perbuatan itulah orang yang mencela dirinya sendiri.
  4. Al-Hasan Bashri mengatakan, “Nilailah orang dengan amal perbuatannya jangan dengan ucapannya. Sesungguhnya semua ucapan itu pasti ada buktinya. Berupa amal yang membenarkan ucapan tersebut atau mendustakannya. Jika engkau mendengar ucapan yang bagus maka jangan tergesa-gesa menilai orang yang mengucapkannya sebagai orang yang bagus. Jika ternyata ucapannya itu sejalan dengan perbuatannya itulah sebaik-baik manusia.”
  5. Imam Malik menyebutkan bahwa beliau mendapatkan berita al-Qasim bin Muhammad yang mengatakan, “Aku menjumpai sejumlah orang tidak mudah terkesima dengan ucapan namun benar-benar salut dengan amal perbuatan.”
  6. Abu Darda mengatakan, “Sebuah kecelakaan bagi orang yang tidak tahu sehingga tidak beramal. Sebaliknya ada 70 kecelakaan untuk orang yang tahu namun tidak beramal.” [Indahnya Islam, Antara Kata Dan Perbuatan , Jumat, 18 Mei 2012].
Tidak diragukan lagi bahwa permisalan orang yang beramar makruf nahi mungkar adalah seperti dokter yang mengobati orang lain. Satu hal yang memalukan ketika seorang dokter bisa menyebutkan obat yang tepat untuk pasiennya demikian pula tindakan preventif untuk mencegah penyakit pasiennya kemudian ternyata dia sendiri tidak menjalankannya. Berdasarkan keterangan yang lewat, jelas sudah betapa bahaya hal ini, karenanya menjadi kewajiban setiap da’i dan muballigh untuk memperhatikannya. Karena jika obyek dakwah mengetahui hal ini maka mereka akan mengejek sang pendakwah. Belum lagi hukuman di akhirat nanti dan betapa besar dosa yang akan dipikul nanti.
Sebagian orang tidak mau melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar karena merasa belum melakukan yang makruf dan masih melanggar yang mungkar. Orang tersebut khawatir termasuk orang yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan.
Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika tidak boleh melakukan amar makruf dan nahi mungkar kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya.” Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat.
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata kepada Mutharrif bin Abdillah, “Wahai Mutharrif nasihatilah teman-temanmu.” Mutharrif mengatakan, “Aku khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan.” Mendengar hal tersebut, Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang pun yang berani amar makruf nahi mungkar.”
Al-Hasan Al-Bashri juga pernah mengatakan, “Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan.”
Untuk mengompromikan dua hal ini, Imam Baihaqi mengatakan, “Sesungguhnya yang tidak tercela itu berlaku untuk orang yang ketaatannya lebih dominan sedangkan kemaksiatannya jarang-jarang. Di samping itu, maksiat tersebut pun sudah ditutup dengan taubat. Sedangkan orang yang dicela adalah orang yang maksiatnya lebih dominan dan ketaatannya jarang-jarang.”
Ibnu Hajar menukil perkataan sebagian ulama, “Amar makruf itu wajib bagi orang yang mampu melakukannya dan tidak khawatir adanya bahaya menimpa dirinya meskipun orang yang melakukan amar makruf tersebut dalam kondisi bermaksiat. Secara umum orang tersebut tetap mendapatkan pahala karena melaksanakan amar makruf terlebih jika kata-kata orang tersebut sangat ditaati. Sedangkan dosa yang dia miliki maka boleh jadi Allah ampuni dan boleh jadi Allah menyiksa karenanya. Adapun orang yang beranggapan tidak boleh beramar makruf kecuali orang yang tidak memiliki cacat maka jika yang dia maksudkan bahwa itulah yang ideal maka satu hal yang baik. Jika tidak maka anggapan tersebut berkonsekuensi menutup pintu amar makruf jika tidak ada orang yang memenuhi kriteria.” [Antara Kata dan Perbuatan, FaOezy's Blog, 20 Desember 2011].

Suatu ketika Hasan Al Bisyri didatangi oleh para budak, mereka mengharapkan agar beliau besok jum’at berkenan menyampaikan khutbah tentang pembebasan budak dan keutamaannya. Mereka sangat antusias sekali akan merdeka bila mendengar fatwa sang ulama sekaliber Hasan Al Bisyri. Dua dan tiga minggu, dua dan tiga bulan hingga mendekati setahun belum juga terdengar fatwa itu, walaupun sang ulama sudah sering pula menyampaikan khutbah dengan tema lain. Tepat satu tahun permohonan pada budak itu dikabulkan oleh Hasan Al Bisyri dengan berapi-api disambut dengan kesadaran oleh para tuan untuk memerdekakan budaknya.

            Tentu saja para budak    bertanya, kenapa sekarang mereka bisa merdeka ? tidak setahun yang lalu ? sang ulama kharismatik itu menjawab,”Ketika kalian datang kepadaku pertama kali tentang itu, aku tidak berdaya dan tidak mampu menyampaikannya. Sekaranglah baru saya punya uang, tadi pagi saya sudah memerdekakan seorang budak”, itulah sebuah keteladanan yang dicontohkan oleh ulama kita dahulu, masih adakah ulama yang demikian ? kita berhadap diantara kebodohan ummat dan kelemahan ulama masih ada ulama yang mampu tampil dengan uswatun hasanah yaitu keteladanan yang baik. Wallahu a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 01 Zulqaidah 1434.H/06 September 2013].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar