RIYADUSH
SHALIHIN
DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH
Mendamaikan Antara Manusia
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Rasulullah
menyampaikan risalah kebenaran kepada ummat manusia pada satu sisi agar ummat
hidup dalam perdamaian, saling tolong menolong dan hidup harmonis karena
permusuhan bukanlah ummat yang terbaik. Dalam
surat Ali Imran ayat 103 Allah berfirman, ”Dan berpegang teguhlah kamu
semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai dan
ingatlah akan nikmat Allah ketika kamu dahulu masa jahiliyah bermusuh-musuhan,
maka Allah menjinakkan antara hati kamu. Lalu menjadikan kamu karena nikmat
Allah orang-orang bersaudara...”
Itulah keadaan ummat
sebelum dipersatukan dalam tali kasih Islam. Sungguhpun demikian rupa keadaan
mereka akan tetapi dengan nikmat Allah yakni dengan agama Islam, mereka telah
dapat dipersatukan hatinya sehingga mereka itu menjadi ummat yang bersatu dan
bersaudara lahir dan batin.
Suatu hal yang lumrah
kalau manusia diciptakan Allah dalam keadaan bersuku-suku dan berbangsa bangsa
serta berlainan partai serta golongan. Itu semua realitas kejadian manusia
sebagaimana firman Allah dalam surat Al Hujurat 49;13 yang artinya, ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa an
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa...”
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 31
dengan judul “Mendamaikan Antara Manusia”
Allah Ta'ala berfirman:"Tiada
kebaikannya samasekali dalam banyaknya pembicaraan rahasia mereka itu,
melainkan orang yang memerintahkan bersedekah, menyuruh berbuat kebaikan serta
mengusahakan perdamaian antara seluruh manusia." (an-Nisa': 114).
Allah Ta'ala berfirman
lagi:"Dan berdamai itu adalah yang terbaik." Allah Ta'ala
berfirman pula: "Maka
benaqwalah engkau semua kepada Allah dan damaikanlah antara sesamamu
sendiri." (al-Anfal: 1).
Juga Allah Ta'ala
berfirman:"Hanyasanya kaum mu'minin itu adatah sebagai saudara, maka
damaikanlah antara kedua saudaramu." (al-Hujurat: 10)
Dari Abu Hurairah r.a.,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:"Setiap seruas tulang dari
seluruh manusia itu harus memberikan sedekahnya pada setiap hari yang matahari
terbit pada hari itu. Mendamaikan dengan cara yang adil antara dua orang adalah
sedekah, menolong seseorang pada kendaraannya lalu mengangkatnya di tas
kendaraannya itu atau mengangkatkan barang-barangnya ke sana, itupun sedekah,
ucapan yang baik juga sedekah dan setiap langkah yang dijalaninya untuk pergi
shalat juga merupakan sedekah, menyingkirkan benda-benda yang berbahaya dari
jalan termasuk sedekah pula." (Muttafaq 'alaih)
Dari Ummu Kultsum binti
Uqbah bin Abu Mu'aith, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda:"Bukannya termasuk pendusta orang yang mendamaikan antara para
manusia, lalu ia menyampatkan berita yang baik atau mengatakan sesuatu yang
baik." (Muttafaq 'alaih).
Dalam riwayat Muslim
disebutkan tambahannya demikian: Ummu Kultsum berkata: "Saya tidak pernah
mendengar dari Nabi s.a.w. tentang
dibolehkannya berdusta daripada
ucapan-ucapan yang diucapkan oleh para manusia itu, melainkan dalam tiga
hal yaitu perihal peperangan, mendamaikan antara para manusia dan perkataan
seseorang suami kepada isterinya serta perkataan isteri kepada suaminya - yang
akan membawa kebaikan rumah-tangga dan lain-lain."
Dari Aisyah radhiallahu
'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. mendengar suara pertengkaran di arah
pintu, yang suara kedua orang yang bertengkar itu terdengar keras-keras.
Tiba-tiba salah seorang dari keduanya itu meminta kepada yang lainnya agar sebagian hutangnya dihapuskan dan ia meminta
belas kasihannya, sedangkan kawannya itu berkata: "Demi Allah, permintaan
itu tidak saya lakukan - tidak dibenarkan."
Rasulullah s.a.w.
kemudian keluar menemui keduanya lalu bersabda: "Siapakah orang yang
bersumpah atas Allah untuk tidak
melakukan kebaikan itu?" Orang itu berkata: "Saya ya
Rasulullah. Tetapi baginya- orang yang berhutang tadi - mana saja yang ia sukai
- maksudnya pemotongan sebagian hutangnya dikabulkan dengan sebab syafa'at
beliau s.a.w. itu." (Muttafaq 'alaih)
Dari Abul Abbas yaitu
Sahal bin Sa'ad as-Saidi r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. menerima berita
bahwa antara sesama keturunan 'Amr bin 'Auf itu terjadi suatu hal yang tidak
baik - perselisihan faham, lalu Rasulullah s.a.w. keluar menemui mereka untuk
mendamaikan antara orang-orang itu dan beliau disertai beberapa orang
sahabatnya. Rasulullah s.a.w. tertahan - ditahan oleh orang-orang yang
didatangi olehnya untuk diberi jamuan sebagai tamu, sedangkan shalat - Ashar -
sudah masuk waktunya. Bilal mendatangi Abu Bakar r.a. lalu berkata: "Hai
Abu Bakar, sesungguhnya Rasulullah tertahan, sedangkan shalat sudah masuk
waktunya. Adakah Tuan suka menjadi imamnya para manusia?" Abu Bakar
menjawab: "Baiklah, jikalau engkau menghendaki demikian." Bilal
membaca iqamah dan majulah Abu Bakar, kemudian ia bertakbir dan orang-orangpun
bertakbir pula.
Di tengah shalat itu
Rasulullah s.a.w. datang berjalan di barisan sehingga berdirilah beliau di
suatu barisan. Orang-orang banyak mulai bertepuk tangan, sedangkan Abu Bakar
tidak menoleh dalam shalatnya itu. Tetapi setelah para
manusia makin banyak
yang bertepuk-tepuk tangan, lalu Abu Bakar menoleh ke belakang,
tiba-tiba tampaklah olehnya Rasulullah s.a.w. Beliau s.a.w. mengisyaratkan
supaya shalat diteruskan - dan ia sebagai imamnya. Tetapi Abu Bakar setelah mengangkat
tangannya - untuk beri'tidal lalu bertahmid kepada Allah terus kembali ke
belakang perlahan-lahan sampai berada di belakang terus berdiri di jajaran
shaf.
Rasulullah s.a.w. lalu
maju, kemudian bersembahyang sebagai imamnya para manusia. Setelah selesai
beliau s.a.w. menghadap orang-orang itu lalu bersabda: "Hai sekalian
manusia, mengapa ketika terjadi sesuatu dalam shalat, lalu engkau semua
bertepuk tangan? Hanyasanya bertepuk tangan itu untuk kaum wanita. Barangsiapa
yang terjadi sesuatu dalam shalatnya, hendaklah mengucapkan: Subhanallah, maka
sesungguhnya tiada seorangpun yang mendengar ketika dibacakan Subhanallah itu,
melainkan ia tentu akan menoleh. Hai Abu Bakar, apakah yang menyebabkan saudara
terhenti tercegah - tidak meneruskan - melakukan shalat sebagai imamnya orang
banyak, ketika saya memberikan isyarat untuk meneruskannya itu?" Abu Bakar
menjawab: "Kiranya tidak sepatutnyalah untuk anak Abu Quhafah ini kalau
bersembahyang sebagai imam di sisi Rasulullah s.a.w. - maksudnya Rasulullah
sebagai makmumnya." (Muttafaq 'alaih).
Dr.
Saad Riyadh dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw,
menyatakan tentang Mendamaikan orang-orang yang berselisih ;
Islam
adalah agama yang sangat mendorong terciptanya hubungan baik diantara sesama
manusia. Salah satu tanda terbinanya hubungan yang baik antara seseorang dengan
orang lain adalah orang tersebut merasa suka atau senang jika saudaranya itu
mendapatkan kebaikan sebagaimana dirinya juga suka mendapat kebaikan. Demikian
jula, jika saudaranya itu mendapat kesulitan, maka dia selalu siap disampingnya
untuk membantu. Selain itu, apabila
terjadi perselisihan diantara saudareanya maka dia berusaha mendamaikan.
Jika masing-masing individu berprilaku seperti ini maka dapat diyakini akan
muncul pribadi-pribadi yang baik dan selanjutnya mengarah kepada terbentuknya
masyarakat yang bersatupadu, yaitu yang kokoh laksana satu tubuh. Apabila satu
bagian menderita sakit, maka yang lain juga akan ikut demam dan merasa gelisah.
Mengingat
pentingnya hal ini, dapat dilihat bahwa Rasulullah saw, seringkali
mewasiatkannya dalam berbagai hadits. Diantaranya beliau bersabda,”Setiap ruas jari manusia harus bersedekah
setiap hari. Berbuat adil terhadap orang lain merupakan sedekah” [HR.
Bukhari].
Dalam
hadits lain Rasulullah saw, bersabda,”Maukah
kalian aku beri tahu tentang suatu amalan yang lebih tinggi derajat
[keutamaannya] dari puasa, shalat, maupun sedekah?”. Para sahabat serentak
menjawab,”Ya”. Beliau lalu bersabda,”Mendamaikan hubungan persahabatan dan
kekerabatan karena rusaknya hal tersebut merupakan tanda kehancuran” [HR.
Tirmidzi].
Lebih
lanjut, Rasulullah saw, juga bersabda,”Mereka
[sesama muslim] itu adalah saudaramu. Oleh karena itu, damaikanlah yang
berselisih, mintalah bantuan meeka untuk menghadapi lawan yang tidak mampu kalian kalahkan, serta sebaliknya
bentulah mereka dalam menghadapi lawan yang tidak mampu mereka kalahkan”[HR.
Ahmad] [Gema Insani, 2007, hal 99].
Dr A Ilyas Ismail MA dalam
tulisannya pada Republika Co.id, Selasa, 05 Oktober 2010,
10:21 WIB, dengan judul; Muslim wajib mendamaikan Perseteruan, menyatakan; Dalam Islam, usaha mendamaikan
pihak-pihak yang berseteru merupakan ajaran dasar yang bersifat sosial. Upaya
damai itu dalam Alquran dikaitkan dengan iman dan takwa sebagai bentuk
kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. "Oleh
sebab itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara
sesamamu. Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang yang
beriman." (QS Al-Anfal [8]: 1)
Upaya
damai itu, dalam ayat di atas, dinamakan dengan ishlah, yang secara bahasa
bermakna memperbaiki sesuatu (ja`l-u al-syay'i shalahan). Menurut Zamachsyari,
ishlah itu merupakan kelanjutan logis dari iman, dan menjadi kewajiban manusia.
Jadi, tidak ada iman dalam arti yang sebenarnya manakala kita tidak memiliki
kepedulian untuk membangun kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat.
Rasul
SAW menerangkan, usaha mendamaikan kelompok masyarakat yang bertikai itu
merupakan kebaikan yang derajatnya lebih tinggi daripada puasa, shalat, dan
sedekah. Sebaliknya, rusaknya keharmonisan dan komunikasi antarkelompok masyarakat
tersebut dipandang sebagai al-haliqah, yaitu sesuatu yang merusak dan
menghancurkan sendi-sendi kehidupan. (HR Abu Daud dan Ahmad dari Abu Darda).
Untuk
itu, dalam jangka panjang, upaya damai ini sedikitnya memerlukan tiga langkah.
Pertama, membangun dan menciptakan keadilan di tengah masyarakat, yakni
keadilan dalam bidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sosial budaya.
Kedua,
adanya kepastian dan penegakan hukum. Semua pihak yang berseteru harus digiring
untuk mematuhi dan mengikuti hukum sebagai ketetapan dari Allah. Hukumnya
sendiri, baik material maupun formal, haruslah adil. Begitu juga dengan aparat
dan petugas penegak hukum. Mereka harus bertindak adil, tidak memihak, dan
tanpa pandang bulu, sesuai prinsip equal before the law.
Ketiga,
partisipasi dan dukungan dari semua pihak untuk membangun kehidupan yang damai
dan sejahtera.
Mashadi mengungkapkan pendapat tokoh terkenal dalam Islam yaitu Al-Gazzali
dalam memberikan sebuah kaedah atau methode dalam melakukan ishlah.
Kaedah pertama, sesungguhnya
tujuan dasar keberadaan umat Muslim (al ulumul al Muslimah) adalah untuk
membawa risalah Islam kepada seluruh alam semesta. Jika umat ini berpangku
tangan dan tidak memperjuangkan dan menyampaikan risalah Islam, maka dunia akan
dipenuhi oleh berbagai macam kekacauan dan kerusakan yang besar. Umat Islam dan
masyarakat lainnya akan menjadi korban dari keengganan kaum Muslim untuk
memperjuangkan dan menegakkan risalahnya.
Kaedah kedua, kaedah ini
memiliki hubungan yang sangat erat dengan kaedah pertama. Selama umat Islam
dituntut untuk menyebarkan misi reformasi (ishlah) ke seluruh pelosok bumi,
namun pada kenyatannya mereka malah berpangku tangan dan tidak menyampaikan
misi tersebut. Mereka tidak tergerak untuk memperjuangkan risalah Islam sebagai
al-haq, yang akan dapat memperbaiki kehidupan umat manusia. Sikap berpangku
tangan inilah yang menyebabkan mandegnya kehidupan dikalangan umat Islam.
Sehingga, tidak ada kemajuan dan perbaikan bagi kehidupan mereka.
Kaedah ketiga, sebagai
pelengkap kaedah kedua, selama ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk
menemukan penyebab sikap berpangku tangan yang dilakukan kaum muslimin, maka
tujuan akhir dari pencarian ini adalah melakukan diagnosa dan memberi jalan
keluar, dan bukan sekadar menunjukkan reaksi emonsional yang bersifat negatif
dengan sibuk mencari kambing hitam dan saling menuduh. Kelemahan dan kerusakan
yang terjadi dikalangan umat ini, tidak semata-mata pengaruh dari luar, tetapi
yang harus disadari, bagaimana mencari kelemahan yang sifatnya inheren
(melekat) dalam diri umat. Mengapa umat ini menjadi jumud, taklid, dan hanya
bersifat pasif, dan tidak memiliki semangat (hamasah) dalam melakukan perbaikan
ihslah, baik terhadap dirinya sendiri maupun lingkunganannya yang lebih luas.
Maka, melhat kondisi hari ini
yang dialami oleh umat muslimin, Al Gazzali lebih cenderung melakukan kritik
(muhasabah) atas diri sendiri (an naqd adz dzati). Dia tidak mencari-cari
alasan apapun untuk menjustifikasi kelemahan umat Islam serta melemparkan
tanggung jawab atas segala keterpurukan itu kepada kekuatan-kekuatan asing.
Kelemahan-kelemahan yang sangat nyata, terutama kelemahan aqidah, dan pemahaman
mereka atas risalah Islam, dan komitmen serta perjuangan dalam menegakkan
risalah inilah, yang kemudian menyebabkan mereka menjadi bagian dari kekuatan
yang menjajah mereka.
Methode ini sesuai dengan
prinsip dalam Islam, seperti yang dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala:Dan
apapun musibah yang menimpa kamu adalah, karena hasil perbuatan tanganmu
sendiri. (QS. As-Syura [42] : 30).
Dari ayat diatas, lalu,
Al-Gazzali, menemukan sebuah methode yang diyakini, sebagai sebuah jalan, yang
sangat sesuai dengan apa yang dijalankan oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa
sallam. Al-Gazzali memulai perubahan dari diri sendiri, kemudian merambah
kepada komunitas yang lebih luas, sampai tingkat negara. Muridnya melakukan hal
yang sama, yang kemudian lahirlah generasi Nuruddin dan Shalahuddin al-Ayyubi,
dan berhasil membebaskan tanah Palestina, yang meliputi Al-Quds dari tangan
pasukan Salib. Ini semua telah terbukti betapa methedo ini sangat ampuh,
khususnya dalam membangun kembali kehidupan yang dilandasi nilai-nilai dan
prinsip Islam.[Bagaimana Melakukan Ishlah?, Eramuslim.com.Kamis, 11/11/2010
13:42 WIB].
Marilah kita jaga persatuan dan kesatuan, kekokohan dan kekuatan bangsa
kita ini. Berlainan suku, bangsa dan partai serta golongan menjadikan sebuah
negara yang besar dan kuat, sama-sama kita angkat ke depan dengan beban besar ini untuk
kemaslahatan dan kemakmuran rakyat bangsa Indonesia, Allah memperingatkan kita
agar satu dan padu, ”Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka...”[Ali Imran 3;105].
Secara
pribadi dalam keluarga dan masyarakat, solusi upaya ishlah sudah diberikan oleh
Rasulullah agar perselisihan itu hanya terjadi selama tiga hari tidak lebih,
setelahnya haruslah berdamai atau ishlah, yang lebih dahulu menyapa dialah
mendapat keutamaan dari Allah, Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 02 Zulqaidah 1434.H/07 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar