RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Memelihara Kelangsungan Amalan-amalan
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Dalam kehidupan ini, tak jarang
seorang Muslim menghendaki hal-hal yang berkebalikan dengan amal perbuatannya.
Ia menghendaki karunia dan kebaikan Allah SWT kepada dirinya, tetapi ia sendiri
jauh dari Diri-Nya sebagai pemilik sejati karunia dan kebaikan. Padahal
kebaikan dan karunia Allah SWT hanya mungkin diraih dengan seberapa keras ia
ber-taqarrub kepada-Nya. Tak jarang pula seorang Muslim berusaha keras
meraih kekayaan dan kesenangan dunia. Padahal umurnya sangatlah singkat untuk
bisa menikmati semua kekayaan dan kesenangan dunia yang berhasil ia dapatkan.
Meski kekayaannya berlimpah-ruah,
apa yang ia makan, misalnya, tetaplah tak akan melebihi daya tampung perutnya.
Tak sedikit Muslim yang gemar berbuat maksiat dan memperbanyak dosa dalam
hidupnya. Padahal ia sendiri tak mungkin sanggup dan mampu menanggung azabnya
yang pasti amat pedih. Sebaliknya, tak sedikit pula Muslim yang sedikit sekali
menyiapkan bekal untuk akhiratnya. Padahal akhirat itu tempat kembali dirinya
yang abadi alias tak berujung. Di sisi lain, kebanyakan Muslim tentu saja
merindukan surga yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Namun, ia acapkali hanya
’membayarnya’ dengan amal yang alakadarnya. Padahal surga itu ’amat
mahal’, hanya mungkin bisa ’dibeli’ dengan amal-amal shalih dan berkualitas.
Jika semua itu yang terjadi, setiap Muslim kiranya layak
menyimak kata-kata Syaqiq al-Balkhai. Ia bertutur, ”Engkau harus benar-benar
memperhatikan lima perkara:
(1)
Beribadahlah kepada Allah SWT sesuai dengan kadar kebutuhanmu kepada-Nya (yakni
kebutuhan akan kebaikan dan karunia-Nya);
(2)
Carilah (kekayaan) dunia sesuai dengan kadar usiamu di dalamnya (yakni sebatas
bekal hidup kita di dunia yang singkat ini);
(3)
Berbuatlah dosa/maksiat kepada Allah SWT sesuai dengan kadar kesanggupanmu
memikul azab-Nya (yang tentu tak ada seorang pun yang sanggup memikulnya karena
sesungguhnya azab Allah SWT sangatlah pedih);
(4)
Siapkanlah bekal di dunia sesuai dengan kadar kebutuhanmu untuk kehidupan
di akhirat;
(5)
Beramal shalihlah sesuai dengan kadar keinginanmu untuk menempati maqam
(tingkat) mana di surga yang engkau kehendaki (karena maqam setiap orang di
surga bergantung pada seberapa banyak dan seberapa berkualitas amal-amal
shalihnya) (An-Nawawi, Nasha’ih al-’Ibad, hlm. 39).
Pernyataan al-Balkhai di atas mengajari kita untuk
menyadari:
Pertama,
kebutuhan kita akan karunia dan kebaikan Allah SWT sangatlah besar, baik di
dunia maupun di akhirat. Karena itu, kesungguhan kita dalam beribadah
kepada-Nya haruslah berbanding lurus dengan kebutuhan tersebut. Dalam Alquran
Allah SWT sendiri berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman,
maukah Aku tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian
dari azab yang amat pedih? Hendaklah kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan berjuang di jalan-Nya dengan harta dan jiwa kalian (QS ash-Shaff
[61]:10-11).
Ayat ini tegas menyatakan bahwa keselamatan dari azab yang
amat pedih harus ‘dibayar’ dengan iman dan jihad dengan harta dan jiwa di jalan
Allah SWT.
Kedua, Islam
tidak melarang seorang Muslim untuk meraih kekayaan dunia. Hanya saja, dengan
usia manusia yang amat singkat, sebanyak apapun kekayaan yang didapat sejatinya
yang bisa dinikmati hanya sedikit saja. Karena itu, alangkah baiknya jika
sebagian besar kekayaan itu diinfakkan untuk kepentingan akhirat.
Ketiga, azab
Allah SWT sesungguhnya amat pedih (Lihat, misalnya, QS an-Nisa’ [4]: 56).
Karena itu, sekecil apa pun dosa/maksiat yang pasti mengundang azab Allah SWT
itu, sudah seharusnya dihindari.
Keempat,
kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal abadi. Karena itu, setiap Muslim
harus menyiapkan bekal terbaik untuk kehidupan di sana. Bekal terbaik itu tak
lain adalah takwa (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 197).
Kelima, Rasul
bersabda, “Sesungguhnya di surga ada seratus tingkatan yang telah Allah
sediakan bagi para mujahidin fi sabilillah… Jika kalian memohon kepada Allah,
mohonlah surga Firdaus yang tinggi karena ia surga paling atas dan di atasnya
terdapat Arsy ar-Rahman…” (HR al-Bukhari). Melalui hadits ini sesungguhnya
Rasul SAW mengajari kita agar beramal shalih sebanyak dan sebaik mungkin.
Dengan itulah surga Firdaus dapat diraih.[Website, Media Ummat, Beramal Sesuai
Harapan dan Kesanggupan ; Sunday, 18 July 2010 17:05].
Idealnya amal seorang mukmin itu memang banyak “aksaru amala” dan juga
diharapkan menjadi amalan yang baik “ahsanu amala” sebagai modal untuk memperjuangkan nasibnya
kelak di hadapan Allah, berapa banyaknya ajaran Islam melalui Rasulullah yang
mengajak ummatnya untuk selalu beramal baik dan menjauhi amal-amal yang buruk.
Imam An
Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 15 dengan
judul “Memelihara Kelangsungan
Amalan-amalan”
Allah Ta'ala berfirman:
"Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman, supaya hati mereka itu khusyu' untuk
mengingat-ingat kepada Allah dan kebenaran yang turun kepada mereka itu - yakni
al-Quran. Janganlah mereka itu berkeadaan yang serupa dengan orang-orang yang
telah diberi kitab-kitab pada masa dahulu - sebelum mereka, tetapi mereka telah melalui masa
yang panjang, kemudian menjadi keraslah hati mereka tersebut - yakni enggan
menerima kebenaran." (al-Hadid: 16) .
Allah Ta'ala berfirman
lagi:
"Kemudian Kami
- Allah - iringkan di belakang mereka dengan beberapa Rasul Kami dan
Kami iringkan pula dengan Isa anak Maryam, serta Kami berikan Injil
kepadanya. Kami memberikan perasaan kasih sayang dalam
hati para pengikutnya. Keruhbaniahan itu mereka ada-adakan saja. Kami tidak
mewajibkan demikian itu atas mereka. Yang Kami perintahkan - tidak tain kecuali
mencari keridhaan Allah, tetapi mereka tidak memelihara itu sebagaimana
mestinya yang ditentukan." (al-Hadid:
27)
Keterangan:
Keruhbaniahan, artinya hidup dalam klooster bagi para penganut
atau pendeta-pendeta agama Nasrani. Ini bukan berasal dari ajaran Nabiullah Isa
a.s. dan itu hanyalah buatan kepala-kepala agama yang datang sepeninggal
beliau. Islam juga tidak membenarkan adanya ruhbaniah.
Allah Ta'ala berfirman
pula:
"Janganlah engkau
semua itu seperti perempuan yang menguraikan benangnya menjadi iepas kembali
setelah dipintal kuat-kuat." (an-Nahl: 92)
Juga Allah Ta'ala
berfirman:
"Dan sembahlah
Tuhanmu sehingga datanglah keyakinan - dan maksudnya kematian - kepadamu."
(al-Hijr: 99)
Adapun Hadis-hadis yang
menerangkan bab di atas itu, di antaranya ialah Hadisnya Aisyah:
"Mengerjakan agama yang tercinta di sisi Allah ialah yang dikekalkan oleh
orangnya - yakni tidak bosan-bosan melakukannya sekalipun sederhana."
Selain Hadis di atas
ialah: Dari Umar al-Khaththab r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa
yang tertidur sehingga kelupaan membacakan hizibnya di waktu malam atau
sebagian dari hizibnya itu, kemudian ia membacanya antara waktu shalat fajar
dengan zuhur, maka dicatatlah untuknya seolah-olah ia membacanya itu di waktu
malam harinya." (Riwayat Muslim)
Dari Abdullah bin 'Amr
bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda
kepadaku: "Hai
Abdullah, janganlah engkau seperti si Fulan itu. Dulu ia suka bangun
bersembahyang malam, kemudian ia meninggalkan bangun malam itu." (Muttafaq
'alaih).
Dari Aisyah radhiallahu
'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. itu apabila terlambal dari shalat
malam, baik karena sakit ataupun lain-lainnya, maka beliau bersembahyang di
waktu siangnya sebanyak duabelas rakaat." (Riwayat Muslim)
Kewajiban
manusia di dalam kehidupan dunia ini adalah melakukan amal baik dan menjauhi
amal buruk. Amal baik akan mengarahkan manusia ke jalan kebaikan di dunia dan
di akhirat. Sementara amal buruk akan mengarahkan manusia ke jalan keburukan di
dunia dan di akhirat. Allah berfirman, "… dan kerjakanlah amal yang baik
(saleh). Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS
al-Mu'minun [23] m: 51).
Amal
buruk harus dijauhi. Dan, bagi orang yang sudah melakukan amal buruk, ia harus
meninggalkannya. Rasulullah memberikan perumpamaan tentang hal ini. Bahwa
melakukan amal buruk (dosa) itu seperti orang yang memakai baju besi dalam
perang yang makin mengimpit, membelit kuat tubuhnya. Semakin ia sering
melakukan amal buruk, maka baju besi itu akan semakin mengimpit tubuhnya.
Apabila orang itu melakukan amal baik setelah melakukan amal buruk, maka ia
ibarat orang yang mengendurkan impitan baju besinya. Semakin banyak amal baik
dilakukan, semakin longgar baju besi itu.
Apa
maknanya? Pertama, buah dari amal buruk itu adalah penderitaan, kesulitan, dan
kesengsaraan hidup. Baik itu di dunia, lebih-lebih di akhirat. Kedua, buah dari
amal baik itu adalah kelapangan, keluasan, kemudahan, dan kebahagiaan hidup.
Baik itu di dunia, lebih-lebih di akhirat. Karena itu, kunci untuk melepaskan
diri dari penderitaan, kesulitan, ataupun kesengsaraan hidup itu sebenarnya
sangat mudah: lakukanlah kebaikan, apa pun bentuknya, kapan pun, di manapun;
dan jangan sekali-kali melakukan keburukan.
Manusia
memang bukan malaikat, yang seratus persen bisa bersih dan suci dari segala
dosa. Inilah, misalnya, yang disebut oleh Rasulullah sebagai fluktuasi iman,
"Sesungguhnya iman itu dapat bertambah dan berkurang." (HR Muslim).
Akan tetapi, itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan bahwa amal buruk itu hal yang wajar. Karena perintah Allah sangat tegas: kerjakanlah amal yang saleh! Tidak ada satu pun ajaran Islam yang memerintahkan untuk beramal buruk. Islam adalah cahaya yang menyingkap kegelapan, mengangkat manusia dari jurang kegelapan menuju ke alam yang benderang, melepaskan manusia dari kesulitan hidup ke kemudahan hidup. Bahagia dunia dan akhirat. Tinggal manusia yang memilih, ingin hidup dalam kegelapan, terimpit dalam kesulitan, dengan beramal buruk, atau ingin hidup dalam terang cahaya, lepas dari impitan kesulitan hidup, dengan beramal baik.[ Fajar Kurnianto, Perumpamaan Amal , eramuslim.com.Sabtu, 26 Maret 2011 pukul 09:44:00].
Orang
yang melakukan amal buruk pasti hatinya tidaklah senang sebab hati yang paling
dalam tidak suka kepada perbuatan buruk, resiko perbuatan buruk itu sangat
bertentangan dengan jiwa tauhid seseorang. Kalau kita bertanya secara jujur
kepada seorang perokok, dia akan
mengatakan bahwa tidak merokok itu baik lagi sehat,walaupun dia belum mampu
meninggalkan rokok. Karena yang ditanya itu kejujurannya, kejujuran itu
tersimpan pada hati yang suci yaitu hati nurani, hati nurani itulah yang mampu
untuk membenci perbuatan buruk dan senang dengan amal-amal yang baik.
Banyak
tuntunan Rasulullah agar kita bisa melakukan amal ibadah dengan senang hati,
diantaranya beliau mengabarkan pahala yang diterima, selain itu Rasul juga
mengajak agar ummatnya melakukan ibadah yang ringan-ringan terlebih dahulu
sesuai dengan kecendrungan hati, setelah itu dilanjutkan dengan amal-amal yang
lebih berat dan berkualitas, seperti ketika kita akan melaksanakan shalat
tahajud itu, Rasul mennyarankan agar dikerjakan dua rakaat ringan dahulu
sebagai pemanasan, kemudian dilanjutkan dua rakaat lagi dan seterusnuya.
Agar
kita senang hati dalam beramal shaleh maka lakukanlah amal shaleh itu sedikit
saja tapi terus menerus, seperti
berinfaq hanya seribu rupiah tapi terus
menerus dengan target setiap hari atau tiap minggu, lebih baik begini tapi
dilakukan dengan terus menerus, hal itu untuk menjaga kesinambungan amal dan
konsistensi iman.
Perasaan senang hati tidaklah
muncul dengan sendirinya, selain berupaya menghindari hal-hal yang dapat membuat
galau, gelisah dan resah sehingga menghilangkan hati yang senang, juga berdoa
kepada Allah agar diberi hati yang tenang dan senang dalam beribadah, hati kita
ini dikuasai oleh Allah, maka kepada-Nyalah memohon,sebagai doa Rasulullah.”Ya
Muqallabul Qulub tsabbit qalbi ‘ala dinik wa dakwatik”, wahai Allah yang
menguasai hati, kokohkanlah hatiku ini dengan agama dan dakwahmu’’. Wallahu a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 29
Syawal 1434.H/05 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar