Jumat, 22 November 2013

57.15 Memelihara Kelangsungan Amalan-amalan




RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]


Memelihara Kelangsungan Amalan-amalan
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Dalam kehidupan ini, tak jarang seorang Muslim menghendaki hal-hal yang berkebalikan dengan amal perbuatannya. Ia menghendaki karunia dan kebaikan Allah SWT kepada dirinya, tetapi ia sendiri jauh dari Diri-Nya sebagai pemilik sejati karunia dan kebaikan. Padahal kebaikan dan karunia Allah SWT hanya mungkin diraih dengan seberapa keras ia  ber-taqarrub kepada-Nya. Tak jarang pula seorang Muslim berusaha keras meraih kekayaan dan kesenangan dunia. Padahal umurnya sangatlah singkat untuk bisa menikmati semua kekayaan dan kesenangan dunia yang berhasil ia dapatkan. 

Meski kekayaannya berlimpah-ruah, apa yang ia makan, misalnya, tetaplah tak akan melebihi daya tampung perutnya. Tak sedikit Muslim yang gemar berbuat maksiat dan memperbanyak dosa dalam hidupnya. Padahal ia sendiri tak mungkin sanggup dan mampu menanggung azabnya yang pasti amat pedih. Sebaliknya, tak sedikit pula Muslim yang sedikit sekali menyiapkan bekal untuk akhiratnya. Padahal akhirat itu tempat kembali dirinya yang abadi alias tak berujung. Di sisi lain, kebanyakan Muslim tentu saja merindukan surga yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Namun, ia acapkali hanya ’membayarnya’ dengan  amal yang alakadarnya. Padahal surga itu  ’amat mahal’, hanya mungkin bisa ’dibeli’ dengan amal-amal shalih dan berkualitas.

Jika semua itu yang terjadi, setiap Muslim kiranya layak menyimak kata-kata Syaqiq al-Balkhai. Ia bertutur, ”Engkau harus benar-benar memperhatikan lima perkara: 

(1) Beribadahlah kepada Allah SWT sesuai dengan kadar kebutuhanmu kepada-Nya (yakni kebutuhan akan kebaikan dan karunia-Nya); 

(2) Carilah (kekayaan) dunia sesuai dengan kadar usiamu di dalamnya (yakni sebatas bekal hidup kita di dunia yang singkat ini); 

(3) Berbuatlah dosa/maksiat kepada Allah SWT sesuai dengan kadar kesanggupanmu memikul azab-Nya (yang tentu tak ada seorang pun yang sanggup memikulnya karena sesungguhnya azab Allah SWT sangatlah pedih); 

(4)  Siapkanlah bekal di dunia sesuai dengan kadar kebutuhanmu untuk kehidupan di akhirat; 

(5) Beramal shalihlah sesuai dengan kadar keinginanmu untuk menempati maqam (tingkat) mana di surga yang engkau kehendaki (karena maqam setiap orang di surga bergantung pada seberapa banyak dan seberapa berkualitas amal-amal shalihnya) (An-Nawawi, Nasha’ih al-’Ibad, hlm. 39).

Pernyataan al-Balkhai di atas mengajari kita untuk menyadari: 

Pertama, kebutuhan kita akan karunia dan kebaikan Allah SWT sangatlah besar, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, kesungguhan kita dalam beribadah kepada-Nya haruslah berbanding lurus dengan kebutuhan tersebut. Dalam Alquran Allah SWT sendiri berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang amat pedih? Hendaklah kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjuang di jalan-Nya dengan harta dan jiwa kalian (QS ash-Shaff [61]:10-11).
Ayat ini tegas menyatakan bahwa keselamatan dari azab yang amat pedih harus ‘dibayar’ dengan iman dan jihad dengan harta dan jiwa di jalan Allah SWT.

Kedua, Islam tidak melarang seorang Muslim untuk meraih kekayaan dunia. Hanya saja, dengan usia manusia yang amat singkat, sebanyak apapun kekayaan yang didapat sejatinya yang bisa dinikmati hanya sedikit saja. Karena itu, alangkah baiknya jika sebagian besar kekayaan itu diinfakkan untuk kepentingan akhirat.

Ketiga, azab Allah SWT sesungguhnya amat pedih (Lihat, misalnya, QS an-Nisa’ [4]: 56). Karena itu, sekecil apa pun dosa/maksiat yang pasti mengundang azab Allah SWT itu, sudah seharusnya dihindari.

Keempat, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal abadi. Karena itu, setiap Muslim harus menyiapkan bekal terbaik untuk kehidupan di sana. Bekal terbaik itu tak lain adalah takwa (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 197).

Kelima, Rasul bersabda, “Sesungguhnya di surga ada seratus tingkatan yang telah Allah sediakan bagi para mujahidin fi sabilillah… Jika kalian memohon kepada Allah, mohonlah surga Firdaus yang tinggi karena ia surga paling atas dan di atasnya terdapat Arsy ar-Rahman…” (HR al-Bukhari). Melalui hadits ini sesungguhnya Rasul SAW mengajari kita agar beramal shalih sebanyak dan sebaik mungkin. Dengan itulah surga Firdaus dapat diraih.[Website, Media Ummat, Beramal Sesuai Harapan dan Kesanggupan ; Sunday, 18 July 2010 17:05].

Idealnya amal seorang mukmin itu  memang banyak “aksaru amala” dan juga diharapkan menjadi amalan yang baik “ahsanu amala”  sebagai modal untuk memperjuangkan nasibnya kelak di hadapan Allah, berapa banyaknya ajaran Islam melalui Rasulullah yang mengajak ummatnya untuk selalu beramal baik dan menjauhi amal-amal yang buruk.

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 15 dengan judulMemelihara Kelangsungan Amalan-amalan”
Allah Ta'ala berfirman:
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, supaya hati mereka itu khusyu' untuk mengingat-ingat kepada Allah dan kebenaran yang turun kepada mereka itu - yakni al-Quran. Janganlah mereka itu berkeadaan yang serupa dengan orang-orang yang telah diberi kitab-kitab pada masa dahulu - sebelum mereka, tetapi mereka telah melalui masa yang panjang, kemudian menjadi keraslah hati mereka tersebut - yakni enggan menerima kebenaran." (al-Hadid: 16) .

Allah Ta'ala berfirman lagi:
"Kemudian Kami -  Allah - iringkan di belakang mereka dengan beberapa Rasul Kami dan Kami iringkan pula dengan Isa anak Maryam, serta Kami berikan Injil kepadanya.  Kami memberikan perasaan kasih sayang dalam hati para pengikutnya. Keruhbaniahan itu mereka ada-adakan saja. Kami tidak mewajibkan demikian itu atas mereka. Yang Kami perintahkan - tidak tain kecuali mencari keridhaan Allah, tetapi mereka tidak memelihara itu sebagaimana mestinya yang ditentukan." (al-Hadid: 27)
Keterangan:
Keruhbaniahan, artinya hidup dalam klooster bagi para penganut atau pendeta-pendeta agama Nasrani. Ini bukan berasal dari ajaran Nabiullah Isa a.s. dan itu hanyalah buatan kepala-kepala agama yang datang sepeninggal beliau. Islam juga tidak membenarkan adanya ruhbaniah.

Allah Ta'ala berfirman pula:
"Janganlah engkau semua itu seperti perempuan yang menguraikan benangnya menjadi iepas kembali setelah dipintal kuat-kuat." (an-Nahl: 92)

Juga Allah Ta'ala berfirman:
"Dan sembahlah Tuhanmu sehingga datanglah keyakinan - dan maksudnya kematian - kepadamu." (al-Hijr: 99)

Adapun Hadis-hadis yang menerangkan bab di atas itu, di antaranya ialah Hadisnya Aisyah: "Mengerjakan agama yang tercinta di sisi Allah ialah yang dikekalkan oleh orangnya - yakni tidak bosan-bosan melakukannya sekalipun sederhana."

Selain Hadis di atas ialah: Dari  Umar al-Khaththab r.a., katanya:  Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa yang tertidur sehingga kelupaan membacakan hizibnya di waktu malam atau sebagian dari hizibnya itu, kemudian ia membacanya antara waktu shalat fajar dengan zuhur, maka dicatatlah untuknya seolah-olah ia membacanya itu di waktu malam harinya." (Riwayat Muslim)

Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda kepadaku: "Hai Abdullah, janganlah engkau seperti si Fulan itu. Dulu ia suka bangun bersembahyang malam, kemudian ia meninggalkan bangun malam itu." (Muttafaq 'alaih).

Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. itu apabila terlambal dari shalat malam, baik karena sakit ataupun lain-lainnya, maka beliau bersembahyang di waktu siangnya sebanyak duabelas rakaat." (Riwayat Muslim)

Kewajiban manusia di dalam kehidupan dunia ini adalah melakukan amal baik dan menjauhi amal buruk. Amal baik akan mengarahkan manusia ke jalan kebaikan di dunia dan di akhirat. Sementara amal buruk akan mengarahkan manusia ke jalan keburukan di dunia dan di akhirat. Allah berfirman, "… dan kerjakanlah amal yang baik (saleh). Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS al-Mu'minun [23] m: 51).

Amal buruk harus dijauhi. Dan, bagi orang yang sudah melakukan amal buruk, ia harus meninggalkannya. Rasulullah memberikan perumpamaan tentang hal ini. Bahwa melakukan amal buruk (dosa) itu seperti orang yang memakai baju besi dalam perang yang makin mengimpit, membelit kuat tubuhnya. Semakin ia sering melakukan amal buruk, maka baju besi itu akan semakin mengimpit tubuhnya. Apabila orang itu melakukan amal baik setelah melakukan amal buruk, maka ia ibarat orang yang mengendurkan impitan baju besinya. Semakin banyak amal baik dilakukan, semakin longgar baju besi itu.

Apa maknanya? Pertama, buah dari amal buruk itu adalah penderitaan, kesulitan, dan kesengsaraan hidup. Baik itu di dunia, lebih-lebih di akhirat. Kedua, buah dari amal baik itu adalah kelapangan, keluasan, kemudahan, dan kebahagiaan hidup. Baik itu di dunia, lebih-lebih di akhirat. Karena itu, kunci untuk melepaskan diri dari penderitaan, kesulitan, ataupun kesengsaraan hidup itu sebenarnya sangat mudah: lakukanlah kebaikan, apa pun bentuknya, kapan pun, di manapun; dan jangan sekali-kali melakukan keburukan.

Manusia memang bukan malaikat, yang seratus persen bisa bersih dan suci dari segala dosa. Inilah, misalnya, yang disebut oleh Rasulullah sebagai fluktuasi iman, "Sesungguhnya iman itu dapat bertambah dan berkurang." (HR Muslim).

Akan tetapi, itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan bahwa amal buruk itu hal yang wajar. Karena perintah Allah sangat tegas: kerjakanlah amal yang saleh! Tidak ada satu pun ajaran Islam yang memerintahkan untuk beramal buruk. Islam adalah cahaya yang menyingkap kegelapan, mengangkat manusia dari jurang kegelapan menuju ke alam yang benderang, melepaskan manusia dari kesulitan hidup ke kemudahan hidup. Bahagia dunia dan akhirat. Tinggal manusia yang memilih, ingin hidup dalam kegelapan, terimpit dalam kesulitan, dengan beramal buruk, atau ingin hidup dalam terang cahaya, lepas dari impitan kesulitan hidup, dengan beramal baik.[ Fajar Kurnianto,  Perumpamaan Amal , eramuslim.com.Sabtu, 26 Maret 2011 pukul 09:44:00].


Orang yang melakukan amal buruk pasti hatinya tidaklah senang sebab hati yang paling dalam tidak suka kepada perbuatan buruk, resiko perbuatan buruk itu sangat bertentangan dengan jiwa tauhid seseorang. Kalau kita bertanya secara jujur kepada  seorang perokok, dia akan mengatakan bahwa tidak merokok itu baik lagi sehat,walaupun dia belum mampu meninggalkan rokok. Karena yang ditanya itu kejujurannya, kejujuran itu tersimpan pada hati yang suci yaitu hati nurani, hati nurani itulah yang mampu untuk membenci perbuatan buruk dan senang dengan amal-amal yang baik.

Banyak tuntunan Rasulullah agar kita bisa melakukan amal ibadah dengan senang hati, diantaranya beliau mengabarkan pahala yang diterima, selain itu Rasul juga mengajak agar ummatnya melakukan ibadah yang ringan-ringan terlebih dahulu sesuai dengan kecendrungan hati, setelah itu dilanjutkan dengan amal-amal yang lebih berat dan berkualitas, seperti ketika kita akan melaksanakan shalat tahajud itu, Rasul mennyarankan agar dikerjakan dua rakaat ringan dahulu sebagai pemanasan, kemudian dilanjutkan dua rakaat lagi dan seterusnuya.

Agar kita senang hati dalam beramal shaleh maka lakukanlah amal shaleh itu sedikit saja  tapi terus menerus, seperti berinfaq hanya seribu  rupiah tapi terus menerus dengan target setiap hari atau tiap minggu, lebih baik begini tapi dilakukan dengan terus menerus, hal itu untuk menjaga kesinambungan amal dan konsistensi iman.

Perasaan senang hati tidaklah muncul dengan sendirinya, selain berupaya menghindari hal-hal yang dapat membuat galau, gelisah dan resah sehingga menghilangkan hati yang senang, juga berdoa kepada Allah agar diberi hati yang tenang dan senang dalam beribadah, hati kita ini dikuasai oleh Allah, maka kepada-Nyalah memohon,sebagai doa Rasulullah.”Ya Muqallabul Qulub tsabbit qalbi ‘ala dinik wa dakwatik”, wahai Allah yang menguasai hati, kokohkanlah hatiku ini dengan agama dan dakwahmu’’. Wallahu a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 29 Syawal 1434.H/05 September 2013].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar