PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
NASIB
MANUSIA TELAH DITETAPKAN
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ
اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ
خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ
عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ،
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ
بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ
وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ
اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ
عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ
أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ
فَيَدْخُلُهَا
[رواه البخاري ومسلم]
Terjemah Hadits / ترجمة
الحديث :
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud
radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan :
Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai
setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah
selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh
hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan
dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya,
ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada
Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan
ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi
telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka
masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan
perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta
akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli
surga maka masuklah dia ke dalam surga. (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1. Allah ta’ala
mengetahui tentang keadaan makhluknya sebelum mereka diciptakan dan apa yang
akan mereka alami, termasuk masalah kebahagiaan dan kecelakaan.
2. Tidak mungkin bagi
manusia di dunia ini untuk memutuskan bahwa dirinya masuk surga atau neraka,
akan tetapi amal perbutan merupakan sebab untuk memasuki keduanya.
3.
Amal perbuatan dinilai di akhirnya. Maka hendaklah manusia tidak terpedaya
dengan kondisinya saat ini, justru harus selalu mohon kepada Allah agar diberi
keteguhan dan akhir yang baik (husnul khotimah).
4.
Disunnahkan bersumpah untuk mendatangkan kemantapan sebuah perkara dalam jiwa.
5.
Tenang dalam masalah rizki dan qanaah (menerima) dengan mengambil sebab-sebab
serta tidak terlalu mengejar-ngejarnya dan mencurahkan hatinya karenanya.
6.
Kehidupan ada di tangan Allah. Seseorang tidak akan mati kecuali dia telah
menyempurnakan umurnya.
7.
Sebagian ulama dan orang bijak berkata bahwa dijadikannya pertumbuhan
janin manusia dalam kandungan secara berangsur-angsur adalah sebagai rasa belas
kasih terhadap ibu. Karena sesungguhnya Allah mampu menciptakannya sekaligus.
Pembahasan
Manusia
hanya merencanakan tapi segala ketentuan berada
di tangan Allah, itu kalimat yang sering kita dengar bahkan kita ucapkan
yang menggambarkan kelemahan manusia dan keperkasaan Allah. Memang manusia
sangat tidak berdaya terhadap ketentuan hidupnya karena semuanya berada dalam
genggaman yang Maha Kuasa, apakah ada kekuasaan manusia terhadap kelahiran,
rezeki, jodoh dan kematiannya, kita
hanya sebagai wayang [pemain] yang menjalankan scenario kehidupan ini yang
telah ditentukan Allah.
Banyak mungkin diantara kita
yang masih berpendapat bahwa Rezeki, Ajal, serta jodoh telah ditetapkan oleh
Allah semenjak kita masih di dalam kandungan. Pemikiran seperti ini mungkin
telah mendarah daging di dalam diri kita.
Apalagi kiranya sejak kecil
mungkin orang tua, guru, dan lingkungan masyarakat dimana tempat kita hidup pun
kalimat ini sampai sekarang masih sangat familiar diulang-ulang.
Ar-Rizqu (rezeki) secara
bahasa berasal dari akar kata razaqa–yarzuqu–razq[an] wa rizq[an]. Razq[an]
adalah mashdar yang hakiki, sedangkan rizq[an] adalah ism yang diposisikan
sebagai mashdar. Kata rizq[an] maknanya adalah marzûq[an] (apa yang
direzekikan); mengunakan redaksi fi’l[an] dalam makna maf’ûl (obyek) seperti
dzibh[an] yang bermakna madzbûh (sembelihan).
Secara bahasa razaqa artinya
a’thâ (memberi) dan ar-rizqu artinya al-‘atha’ (pemberian).
1. Menurut ar-Razi dan
al-Baydhawi, secara bahasa ar-rizqu juga berarti al-hazhzhu (bagian/porsi),
yaitu nasib (bagian) seseorang yang dikhususkan untuknya tanpa orang
lain.Karena itu, Abu as-Saud mengartikan ar-rizqu dengan al-hazhzhu al-mu’thâ (bagian/porsi
yang diberikan).
2 Menurut Ibn Abdis Salam
dalam tafsirnya, asal dari ar-rizqu adalah al-hazhzhu (bagian/porsi). Karena
itu, apa saja yang dijadikan sebagai bagian/porsi (seseorang) dari pemberian
Allah adalah rizq[an].
Selain itu, ar-rizqu juga
diartikan apa saja yang bisa dimanfaatkan. Dari semuanya itu, ar-rizqu bisa
diartikan sebagai: bagian/porsi dari pemberian Allah kepada seorang hamba
berupa apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai bagian/porsi yang dikhususkan
untuknya.
Ayat-ayat tentang rezeki lebih
banyak menunjuk pada harta baik berupa barang maupun jasa yang bisa
dimanfaatkan untuk memenuhi aneka kebutuhan manusia. Konteks ayat-ayat bahwa
Allah meluaskan dan menyempitkan rezeki juga lebih menunjuk pada konotasi
harta.
Banyak orang menduga,
merekalah yang mendatangkan rezeki mereka sendiri. Mereka menganggap
kondisi-kondisi mereka meraih harta —barang atau jasa—sebagai sebab datangnya
rezeki; meskipun mereka menyatakan, bahwa Allahlah Yang memberikan rezeki.
Profesi atau usaha yang dicurahkan mereka anggap sebagai sebab datangnya
rezeki.
Fakta yang ada sebenarnya
cukup jelas menunjukkan kesalahan anggapan itu. Banyak orang yang telah
berusaha dengan segenap tenaga dan pikirannya, tetapi rezeki tidak datang,
bahkan tidak jarang justru merugi.
Sebaliknya, sangat banyak
fakta bahwa rezeki datang kepada seseorang tanpa dia melakukan usaha apapun.
Ini menunjukkan bahwa usaha bukan sebab bagi datangnya rezeki. Rezeki tidak
berada di tangan manusia. Allahlah yang menentukan rezeki itu datang kepada
manusia dan Dia memberinya kepada manusia menurut kehendak-Nya.
Keimanan tentang rezeki itu
menjadi salah satu kunci seorang tidak akan tersibukkan dengan dunia, tidak
menjadi pemburu harta, bisa bersikap zuhud, giat beramal, berdakwah amar makruf
nahi mungkar dan ketaatan pada umumnya. Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya
tentang rahasia zuhudnya. Beliau menjawab, “Aku tahu rezekiku tidak akan bisa
diambil orang lain.Karena itu, hatikupun jadi tenteram. Aku tahu amalku tidak
akan bisa dilakukan oleh selainku. Karena itu, aku pun sibuk beramal. Aku tahu
Allah selalu mengawasiku. Karena itu, aku malu jika Dia melihatku di atas
kemaksiatan. Aku pun tahu kematian menungguku. Karena itu, aku mempersiapkan
bekal untuk berjumpa dengan-Nya.”.
Lafadz “jodoh” adalah kata
yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjuk makna tertentu. Lafadz ini
berbeda dengan lafadz suami, istri, pasangan hidup atau yang semisal dengannya.
Lafadz jodoh menurut kamus bahasa Indonesia adalah “pasangan yang cocok” baik
bagi laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu lafadz jodoh
memiliki makna yang lebih spesifik dari lafadz suami, istri, atau pasangan
hidup, sebab di sana terdapat penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar
pasangan hidup. Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna “jodoh” seperti yang
terdapat dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan.
Para Fuqaha’ ketika membahas
hukum pernikahan hanya menyebut istilah ( زَوْجٌ ) atau( بَعْلٌ ) untuk suami,
dan ( زَوْجَةٌ ) atau ( امْرَأَةٌ ) untuk istri, yakni istilah-istilah yang
berkonotasi “netral” tanpa ada penekanan sifat tertentu sebagaimana kata suami,
istri, atau pasangan hidup dalam bahasa Indonesia.
Adapun makna jodoh yang
menjadi topik diskusi di sini adalah “orang atau individu tertentu yang akan
menjadi pasangan hidup kita”, dengan titik diskusi: Apakah Allah telah
menentukan dalam Lauhul Mahfudz, sebelum manusia dilahirkan bahwa ia akan
dipasangkan dengan individu tertentu ataukah tidak? Artinya apakah Allah sudah
mentakdirkan dalam Azal bahwa A akan dipasangkan dengan B, C dipasangkan dengan
D, ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini,
tentu harus dilakukan studi yang mendalam terhadap nash-nash yang terkait
dengan topik tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil yang
ditunjuk keduanya seraya mengesampingkan semua dasar yang tidak terkait dengan
nash Al-Qur’an dan As-Sunnah baik ia berupa adat, tradisi, pameo, peribahasa,
dsb.
Hanya saja, pembahasan tentang
jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan tidak boleh dicampur adukkan dengan
pembahasan keimanan bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) (Maha Pengatur). Sebab,
pembahasan “jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan” adalah satu hal,
sementara pembahasan tentang keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ )
adalah hal yang lain.
Dari sini bisa difahami, bahwa
langkah yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan jodoh adalah mencari
dalil yang menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan pasangan hidup manusia
sebelum mereka diciptakan. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) baik (
قَطْعِيُّ الثُّبُوْتِ ) (pasti sumbernya) maupun ( قَطْعِيُّ الدَّلاَلَةِ )
(pasti penunjukan maknanya).
Setelah dilakukan kajian
terhadap persoalan ini, nyatalah bahwa tidak ada nash baik dalam al-Qur’an
mapun as-Sunnah, juga Ijma’ sahabat dan Qiyas yang menunjukkan bahwa Allah
menetapkan calon pasangan seseorang. Bahkan nash-nash yang ada menunjukkan
bahwa persoalan ini adalah masalah mu’amalah biasa yang berada dalam area yang
dikuasai manusia.
Artinya persoalan menentukan
pasangan hidup adalah hal yang bersifat pilihan, yang manusia bertanggung jawab
di dalamnya dan dihisab atasnya. Dalil yang menunjukkan bahwa menentukan
pasangan hidup adalah pilihan manusia adalah:Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. (An-Nisa;4).
Dari Ibnu Buraidah dari
ayahnya dia berkata: Seorang gadis datang kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata:
Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan putra saudaranya untuk mengangkat
derajatnya melalui aku. Maka Nabipun menyerahkan keputusan itu pada gadis
tersebut. Maka gadis itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan
ayahku, akan tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak
punya hak dalam urusan ini. (HR. Ibnu Majah dan An-Nasa’i).
Dalam hadis di atas, Nabi
memberi kebebasan penuh pada gadis tersebut untuk memutuskan apakah melanjutkan
pernikahannya ataukah membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa menentukan calon
suami adalah hak penuh bagi wanita dan merupakan pilihan dia semata-mata.
Dalil lain yang mendukung
adalah adanya syari’at talak. Talak adalah pembubaran akad nikah. Syari’at
talak memungkinkan seseorang yang menjadi pasangan hidup orang lain untuk
berpisah pada satu waktu tertentu dengan sebab-sebab tertentu. Karena itu
mustahil dikatakan bahwa seseorang sudah dipasangkan dengan orang tertentu jika
ternyata syara’ memberikan suatu mekanisme untuk membubarkan akad nikah.
Secara bahasa kata ajal
berasal dari kata: ajila–ya‘jalu–ajal[an]. Menurut al-Khalil al-Farahidi dalam
Kitâb al-‘Ayn dan ash-Shahib ibn ‘Abad di dalam Al-Muhîth fî al-Lughah, dikatakan
ajila asy-syay‘u ya‘jalu wahuwa âjilun artinya naqîdu al-‘âjil (lawan dari
segera). Dengan demikian, al-ajal (bentuk pluralnya al-âjalu) secara bahasa
artinya terlambat atau tertunda.
Masalah ajal ini persis
seperti masalah rezeki. Ajal dan umur tiap orang telah ditetapkan oleh Allah.
Allah SWT juga menegaskan tidak akan memajukan atau menangguhkan ajal
seseorang. Allah tidak akan menambah atau mengurangi jatah umur seseorang.
Dalam QS al-Munafiqun [63]: 11, Allah mengungkapkan dengan kata lan yang merupakan
penafian selama-lamanya (Lihat pula QS. Fathir [35]: 11).
Datangnya ajal adalah pasti,
tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan. Berjihad, berdakwah, amar makruf nahi
mungkar, mengoreksi penguasa, dsb, tidak akan menyegerakan ajal atau mengurangi
umur. Begitu pula berdiam diri, tidak berjihad, tidak berdakwah, tidak
mengoreksi penguasa, tidak beramar makruf nahi mungkar, dan tidak melakukan
perbuatan yang disangka berisiko mendatangkan kematian, sesungguhnya tidak akan
bisa memundurkan kematian dan tidak akan memperpanjang umur. Semua itu jelas
dan tegas dinyatakan oleh ayat-ayat al-Quran seperti di atas.[disarikan dari ,Antara
Rezeki, Jodoh dan Ajal, Adi VictoriaAl_ikhwan1924@yahoo.com,Senin, 29/11/2010 13:37 WIB].
Ketentuan
dan ketetapan Allah kita kenal dengan taqdir yang akan dijalani manusia
sepanjang kehidupannya, ada memang perdebatan dikalangan ulama tentang taqdir
dan ketentuan, tapi yang jelas segala yang terjadi pada makhluk Allah sebagai
ketentuan bagi manusia yang akan dijalaninya.
Hampir
dipastikan, kita semua tidak pernah bisa meraba bagaimana rupa takdir kita ke
depan. Segala sesuatunya adalah misteri bagi kita. Acap kali kejadian dan semua
peristiwa terjadi begitu saja tanpa bisa direkayasa. Terkadang kita juga tidak
berkuasa dengan amalan kita sendiri. Kegagalan, kesuksesan, kaya miskin, antara
kehidupan dan kematian adalah mutlak milik Allah. Bahkan, di beberapa ayat
diinformasikan, salah satunya dalam QS ash-Shaaffat, [37]: 96, bahwa kita dan
semua amalan kita Allahlah pembuat skenarionya, "Wallahu khalaqakum wa maa
ta'maluun".
Meski pembuat
skenario semuanya adalah Allah SWT, tapi hal yang tidak bisa dinapikan adalah
bahwa banyak amalan yang bisa menentukan arah keberpihakan takdir-Nya. Pertama,
doa. Sebuah hadis, Laa yaruddul qadhaa-a illa biddu'a, tidak ada yang dapat
menolak takdir kecuali doa. Jika kita menghendaki kegagalan beralih kepada
kesuksesan, maka ubahlah di antaranya dengan doa. Kenapa? Karena Allah sangat
mencintai hamba-Nya yang banyak minta kepada-Nya. Dalam hadis lain disebutkan,
"Innallaaha yuhibul mulihhiina biddu'a." Karena Allah mencintai
hamba-Nya, maka akan mudah bagi-Nya mengubah apa pun dari semua ciptaan-Nya.
Cukup dengan mengatakan, "Jadilah!" Maka, "Terjadilah." (QS
Yaasiin [36]: 82).
Ketahuilah, doa telah
terbukti menjadi senjata yang cukup menentukan bagi orang-orang yang beriman.
Sabda Nabi SAW, "ad-Du'au silahul mu'miniin." Doa adalah senjata
orang yang beriman. Di antara petikan sejarah yang mampir di telinga kita
adalah cerita keajaiban senjata doa Ibrahim 'alaihis salam ketika dipanggang di
api unggun raksasa. Saat itu Raja Namrudz memerintahkan punggawa kerajaan untuk
mengumpulkan kayu bakar dan disulutkan api raksasa. Lalu Ibrahim diletakkan di
atasnya.
Saat itu
Ibrahim-seorang hamba pilihan-Nya yang memiliki sebuah keyakinan dan kepasrahan
total kepada Sang Khalik- sudah tidak memiliki daya apa pun kecuali senjata
doa. Tidak lama, Allah pun kemudian menghadirkan takdir lain dari api, yaitu
dingin dan turut membantu menyelamatkan Ibrahim as. "Hai api, jadilah
dingin dan selamatkan Ibrahim." (QS al-Anbiyaa [21]: 69).
Kekuatan doa itu
pula yang dibuktikan oleh Nabi Musa dan para pengikutnya ketika mereka terdesak
di Laut Merah saat dikejar oleh pasukan Firaun. Hukum alam air yang tidak
mungkin terbelah dan terpisah, ternyata kala itu tidak berfungsi. Bersamaan
dengan doa, air membelah dirinya dan mempersilakan Musa dan pengikutnya lewat.
Musa pun selamat, justru Firaun dan semua pasukannya terkubur di dasar Lautan
Merah.
Doa adalah
sebuah kekuatan (the power). Bahkan, dalam doa berhimpun berbagai kekuatan
untuk menghadirkan puncak harapan setiap hamba." Jika hamba-Ku bertanya
tentang Aku, sungguh Aku teramat dekat. Aku akan memenuhi permintaanmu jika
kamu memohon (berdoa) dan beriman kepada-Ku" (QS al-Baqarah [2]:
186).[RepublikaOnline, Damanhuri,Amalan yang
Mewarnai Penentuan Takdir,Jumat, 04 Juni 2010, 09:54 WIB].
Dari Salman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda,“Tak ada yang dapat menolak takdir selain doa, dan tak ada yang dapat
memperpanjang umur selain kebajikan.” (HR. At-Tirmidzi,. Al-Albani
menganggapnya hasan lighairih dalam Shahih At-Targhib).
Ada beberapa hadits lain yang senada dengan ini dan
menunjukkan bahwa takdir bisa dicegah dengan doa, tapi semuanya dha’if.
Sedangkan hadits ini derajatnya hasan, sehingga bisa dipakai sebagai hujjah.
Bagaimana
doa bisa menolak takdir padahal takdir sudah ditentukan?
Jawabnya, Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menciptakan takdir
dan menciptakan pula sebabnya. Allah maha tahu apa yang akan terjadi nanti dan
Ia tidak mungkin lupa atau kecolongan sehingga mengubah keputusan-Nya yang
telah lalu. Tapi itu semua berada dalam dimensi ilahiyyah yang tak mungkin bisa
diselami akal manusia yang serba terbatas ini. Maka tak perlu membahas masalah
tersebut lebih lanjut.
Manusia hanya diperintahkan untuk melakukan sebab. Bila
ingin mendapatkan rezki harus bekerja, tidak mungkin bisa kaya dengan
bermalas-malasan. Nah, kerja adalah sebab dan rezki memang di tangan tuhan.
Hanya orang kurang akal yang mengatakan, “Ah, buat apa bekerja bukankah rezki
di tangan tuhan. Jadi, kalau saya sudah ditakdirkan kaya, maka saya akan kaya dengan
sendirinya.”
Demikianlah doa, ia merupakan sebab yang diciptakan Allah
untuk memperoleh keuntungan dan menolak kerugian, sama seperti kerja yang
diciptakan sebagai sebab untuk mendapat kekayaan.
Kesimpulannya, takdir sudah
ditetapkan dan tidak akan berubah dalam dimensi Allah. Ia hanya akan berubah
dalam dimensi manusia. Manusia tidak boleh tahu apa yang sudah diputuskan
Allah, tapi hanya harus berusaha untuk mendapatkan yang terbaik. Dan, Allah
telah menunjukkan jalan terbaik untuk selamat dari keburukan yang kemungkinan
besar akan terjadi, yaitu dengan doa. Itulah takdir dalam dimensi manusia,
sesuatu yang sudah dipastikan akan terjadi, sehingga secara logika tak mungkin
tertolak. Misalnya, ada yang sakit dan menurut dokter tinggal menunggu waktu saja
dan tidak mungkin disembuhkan. Tapi, dengan doa siapa tahu terjadi keajaiban
dan yang bersangkutan ternyata sembuh. Inilah maksud doa menolak
takdir.[Republika Online, Anshari
Taslim, Doa Menolak Takdir,Sabtu, 30/04/2011 06:15 WIB].
Satu ketika Umar bin Khattab
memerintahkan pasukannya untuk mengalihkan perjalanan kesuatu tempat yang aman
dari musibah, salah seorang sahabat memprotes kebijakan itu dengan
mengatakan,”Kenapa kita alihkan tujuan kita ke tempat lain, walaupun disana diserang
wabah, kita tawakkal kepada Allah, kalau Allah tidak berkenan maka kita tidak
akan terkena wabah itu”, mendengar itu Umar bin Khattab menjawab,”Kita sedang
mencari takdir yang lebih baik, kalau kita ke tempat semula berarti kita
mencari takdir yang buruk”. Artinya ada takdir yang bisa kita rubah sesuai
dengan kondisi alami.
Semua ciptaan Allah itu
telah ditentukan kadar dan ukurannya sesuai dengan jenis makhluk yang
diciptakan itu, setiap kandungan seorang ibu sesuai dengan kadar dan ukurannya
itu akan lahir seorang bayi, selama hidup di dunia dalam batas waktunya kelak
akan tua dan meninggal dunia, selama
proses tertentu pula awan yang mengandung air akan turun hujan untuk kehidupan
dan penghidupan penghuni bumi, bahkan bakteri dan baksil yang masuk ke tubuh
manusia, pada waktu dan ukuran tertentu akan menjadi penyakit yang mencelakakan
manusia bila tidak ditanggulangi dengan pengobatan yang intensif, Allah
menjelaskan dalam firman-Nya; “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
menurut ukuran” [QS. 54;49]
Air dimanapun telah ditentukan
ukurannya oleh Allah akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih
rendah, api akan membakar karena memang demikian ukurannya, besi adalah benda
keras yang sulit untuk ditembus oleh kekuatan manusia sedang busa akan
mengapung di air karena ringannya dan itu sudah keputusan yang ditentukan oleh
Allah sesuai dengan ukuran untuk benda-benda itu, wallahu a’lam [Cheras Kuala
Lumpur Malaysia, 03 Rajab 1432.H/ 05 Juni 2011.M].
Terima kasih atas ilmunya
BalasHapusAkhirnya saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya
Orang yg miskin wlwpn tlh brusaha, apkh itu berarti Tuhan tlh mnetapkn rejekinya bhw ia miskin? Apapn yg dia ushkn dia ttp miskin (bnyk trjd di negri kita)
BalasHapusBgmn dg org yg mati klaparn (di Afrika bnyk trjd), apkh itu berarti Tuhan mnetapkn rejekinya = 0 (nol) ?
Apakah rezeki dan nikmat itu hanya makanan yg disuapkan?
HapusApakah mereka sudah berikhtiar?
“dan Dia-lah yang memberikan kekayaan dan kecukupan.” (QS. An-Najm : 48).
HapusAllah tidak memberikan kemiskinan, namun kita yang sering tidak bersyukur
assalamualaikum...ikut nimbrung tadz he he...Di mana ukuran kaya,dimana ukuran miskin.Miskin dan kaya sama sekali berbeda dgn istilah banyak harta atau sedikit harta.keadaan hanya simbol bukan arti yg
BalasHapussesungguhnya.Jika ban
yak yg kekurangan harta justru itulah tanggung jawab sesama muslim untuk membantunya terkhusus bagi yg banyak harta.Perihal mati kelaparan,itu sebagai peringatan bagi sesama muslim agar lebih memperhatikan nasib saudarannya,dan bahwasanya tiada kemulyaan dalam arti yg sedungguhnya saat Islam di tinggalkan,saat Islam di sisihkan saat Islam hanya di jadikan pelengkap hidup,hanya di jadikan sebagai bahan keluh kesah saat galau melanda.Ingat saudaraku,Islam adalah mabda,Islam adalah ideologi,Islam adalah agama yg mencakup spiritual dan politik.Bagaimana mungkin kita mengaku Islam tapi rela di hukumi dan rela di atur dgn hukum yg selain hukum Islam?bagaimana mungkin,sebagai muslim secara ikhlas menerima ideologi kapitalisme untuk mengatur kehidupannya?
" Kutipan "Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang rahasia zuhudnya. Beliau menjawab, “Aku tahu rezekiku tidak akan bisa diambil orang lain.Karena itu, hatikupun jadi tenteram. Aku tahu amalku tidak akan bisa dilakukan oleh selainku. Karena itu, aku pun sibuk beramal. Aku tahu Allah selalu mengawasiku. Karena itu, aku malu jika Dia melihatku di atas kemaksiatan. Aku pun tahu kematian menungguku. Karena itu, aku mempersiapkan bekal untuk berjumpa dengan-Nya.”.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus