Rabu, 20 November 2013

4. Nasib Manusia Telah Ditetapkan



PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

NASIB MANUSIA TELAH DITETAPKAN
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ      أَوْ سَعِيْدٌ.    فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ  الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا                              
[رواه البخاري ومسلم]
Terjemah Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga  maka masuklah dia ke dalam surga. (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1.     Allah ta’ala mengetahui tentang keadaan makhluknya sebelum mereka diciptakan dan apa yang akan mereka alami, termasuk masalah kebahagiaan dan kecelakaan.
2.     Tidak mungkin bagi manusia di dunia ini untuk memutuskan bahwa dirinya masuk surga atau neraka, akan tetapi amal perbutan merupakan sebab untuk memasuki keduanya.
3.     Amal perbuatan dinilai di akhirnya. Maka hendaklah manusia tidak terpedaya dengan kondisinya saat ini, justru harus selalu mohon kepada Allah agar diberi keteguhan dan akhir yang baik (husnul khotimah).
4.     Disunnahkan bersumpah untuk mendatangkan kemantapan sebuah perkara dalam jiwa.
5.     Tenang dalam masalah rizki dan qanaah (menerima) dengan mengambil sebab-sebab serta tidak terlalu mengejar-ngejarnya dan mencurahkan hatinya karenanya.
6.     Kehidupan ada di tangan Allah. Seseorang tidak akan mati kecuali dia telah menyempurnakan umurnya.
7.     Sebagian ulama dan orang bijak berkata  bahwa dijadikannya pertumbuhan janin manusia dalam kandungan secara berangsur-angsur adalah sebagai rasa belas kasih terhadap ibu. Karena sesungguhnya Allah mampu menciptakannya sekaligus.
Pembahasan
Manusia hanya merencanakan tapi segala ketentuan berada  di tangan Allah, itu kalimat yang sering kita dengar bahkan kita ucapkan yang menggambarkan kelemahan manusia dan keperkasaan Allah. Memang manusia sangat tidak berdaya terhadap ketentuan hidupnya karena semuanya berada dalam genggaman yang Maha Kuasa, apakah ada kekuasaan manusia terhadap kelahiran, rezeki, jodoh dan  kematiannya, kita hanya sebagai wayang [pemain] yang menjalankan scenario kehidupan ini yang telah ditentukan Allah.
Banyak mungkin diantara kita yang masih berpendapat bahwa Rezeki, Ajal, serta jodoh telah ditetapkan oleh Allah semenjak kita masih di dalam kandungan. Pemikiran seperti ini mungkin telah mendarah daging di dalam diri kita.
Apalagi kiranya sejak kecil mungkin orang tua, guru, dan lingkungan masyarakat dimana tempat kita hidup pun kalimat ini sampai sekarang masih sangat familiar diulang-ulang.

Ar-Rizqu (rezeki) secara bahasa berasal dari akar kata razaqa–yarzuqu–razq[an] wa rizq[an]. Razq[an] adalah mashdar yang hakiki, sedangkan rizq[an] adalah ism yang diposisikan sebagai mashdar. Kata rizq[an] maknanya adalah marzûq[an] (apa yang direzekikan); mengunakan redaksi fi’l[an] dalam makna maf’ûl (obyek) seperti dzibh[an] yang bermakna madzbûh (sembelihan).

Secara bahasa razaqa artinya a’thâ (memberi) dan ar-rizqu artinya al-‘atha’ (pemberian).
1. Menurut ar-Razi dan al-Baydhawi, secara bahasa ar-rizqu juga berarti al-hazhzhu (bagian/porsi), yaitu nasib (bagian) seseorang yang dikhususkan untuknya tanpa orang lain.Karena itu, Abu as-Saud mengartikan ar-rizqu dengan al-hazhzhu al-mu’thâ (bagian/porsi yang diberikan).

2 Menurut Ibn Abdis Salam dalam tafsirnya, asal dari ar-rizqu adalah al-hazhzhu (bagian/porsi). Karena itu, apa saja yang dijadikan sebagai bagian/porsi (seseorang) dari pemberian Allah adalah rizq[an].
Selain itu, ar-rizqu juga diartikan apa saja yang bisa dimanfaatkan. Dari semuanya itu, ar-rizqu bisa diartikan sebagai: bagian/porsi dari pemberian Allah kepada seorang hamba berupa apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai bagian/porsi yang dikhususkan untuknya.

Ayat-ayat tentang rezeki lebih banyak menunjuk pada harta baik berupa barang maupun jasa yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi aneka kebutuhan manusia. Konteks ayat-ayat bahwa Allah meluaskan dan menyempitkan rezeki juga lebih menunjuk pada konotasi harta.
Banyak orang menduga, merekalah yang mendatangkan rezeki mereka sendiri. Mereka menganggap kondisi-kondisi mereka meraih harta —barang atau jasa—sebagai sebab datangnya rezeki; meskipun mereka menyatakan, bahwa Allahlah Yang memberikan rezeki. Profesi atau usaha yang dicurahkan mereka anggap sebagai sebab datangnya rezeki.
Fakta yang ada sebenarnya cukup jelas menunjukkan kesalahan anggapan itu. Banyak orang yang telah berusaha dengan segenap tenaga dan pikirannya, tetapi rezeki tidak datang, bahkan tidak jarang justru merugi.
Sebaliknya, sangat banyak fakta bahwa rezeki datang kepada seseorang tanpa dia melakukan usaha apapun. Ini menunjukkan bahwa usaha bukan sebab bagi datangnya rezeki. Rezeki tidak berada di tangan manusia. Allahlah yang menentukan rezeki itu datang kepada manusia dan Dia memberinya kepada manusia menurut kehendak-Nya.
Keimanan tentang rezeki itu menjadi salah satu kunci seorang tidak akan tersibukkan dengan dunia, tidak menjadi pemburu harta, bisa bersikap zuhud, giat beramal, berdakwah amar makruf nahi mungkar dan ketaatan pada umumnya. Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang rahasia zuhudnya. Beliau menjawab, “Aku tahu rezekiku tidak akan bisa diambil orang lain.Karena itu, hatikupun jadi tenteram. Aku tahu amalku tidak akan bisa dilakukan oleh selainku. Karena itu, aku pun sibuk beramal. Aku tahu Allah selalu mengawasiku. Karena itu, aku malu jika Dia melihatku di atas kemaksiatan. Aku pun tahu kematian menungguku. Karena itu, aku mempersiapkan bekal untuk berjumpa dengan-Nya.”.

Lafadz “jodoh” adalah kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjuk makna tertentu. Lafadz ini berbeda dengan lafadz suami, istri, pasangan hidup atau yang semisal dengannya. Lafadz jodoh menurut kamus bahasa Indonesia adalah “pasangan yang cocok” baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu lafadz jodoh memiliki makna yang lebih spesifik dari lafadz suami, istri, atau pasangan hidup, sebab di sana terdapat penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar pasangan hidup. Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna “jodoh” seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan.
Para Fuqaha’ ketika membahas hukum pernikahan hanya menyebut istilah ( زَوْجٌ ) atau( بَعْلٌ ) untuk suami, dan ( زَوْجَةٌ ) atau ( امْرَأَةٌ ) untuk istri, yakni istilah-istilah yang berkonotasi “netral” tanpa ada penekanan sifat tertentu sebagaimana kata suami, istri, atau pasangan hidup dalam bahasa Indonesia.
Adapun makna jodoh yang menjadi topik diskusi di sini adalah “orang atau individu tertentu yang akan menjadi pasangan hidup kita”, dengan titik diskusi: Apakah Allah telah menentukan dalam Lauhul Mahfudz, sebelum manusia dilahirkan bahwa ia akan dipasangkan dengan individu tertentu ataukah tidak? Artinya apakah Allah sudah mentakdirkan dalam Azal bahwa A akan dipasangkan dengan B, C dipasangkan dengan D, ataukah tidak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus dilakukan studi yang mendalam terhadap nash-nash yang terkait dengan topik tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil yang ditunjuk keduanya seraya mengesampingkan semua dasar yang tidak terkait dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah baik ia berupa adat, tradisi, pameo, peribahasa, dsb.

Hanya saja, pembahasan tentang jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan tidak boleh dicampur adukkan dengan pembahasan keimanan bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) (Maha Pengatur). Sebab, pembahasan “jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan” adalah satu hal, sementara pembahasan tentang keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) adalah hal yang lain.

Dari sini bisa difahami, bahwa langkah yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan jodoh adalah mencari dalil yang menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan pasangan hidup manusia sebelum mereka diciptakan. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) baik ( قَطْعِيُّ الثُّبُوْتِ ) (pasti sumbernya) maupun ( قَطْعِيُّ الدَّلاَلَةِ ) (pasti penunjukan maknanya).

Setelah dilakukan kajian terhadap persoalan ini, nyatalah bahwa tidak ada nash baik dalam al-Qur’an mapun as-Sunnah, juga Ijma’ sahabat dan Qiyas yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan calon pasangan seseorang. Bahkan nash-nash yang ada menunjukkan bahwa persoalan ini adalah masalah mu’amalah biasa yang berada dalam area yang dikuasai manusia.

Artinya persoalan menentukan pasangan hidup adalah hal yang bersifat pilihan, yang manusia bertanggung jawab di dalamnya dan dihisab atasnya. Dalil yang menunjukkan bahwa menentukan pasangan hidup adalah pilihan manusia adalah:Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. (An-Nisa;4).
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata: Seorang gadis datang kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan putra saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui aku. Maka Nabipun menyerahkan keputusan itu pada gadis tersebut. Maka gadis itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan ayahku, akan tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak punya hak dalam urusan ini. (HR. Ibnu Majah dan An-Nasa’i).
Dalam hadis di atas, Nabi memberi kebebasan penuh pada gadis tersebut untuk memutuskan apakah melanjutkan pernikahannya ataukah membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa menentukan calon suami adalah hak penuh bagi wanita dan merupakan pilihan dia semata-mata.
Dalil lain yang mendukung adalah adanya syari’at talak. Talak adalah pembubaran akad nikah. Syari’at talak memungkinkan seseorang yang menjadi pasangan hidup orang lain untuk berpisah pada satu waktu tertentu dengan sebab-sebab tertentu. Karena itu mustahil dikatakan bahwa seseorang sudah dipasangkan dengan orang tertentu jika ternyata syara’ memberikan suatu mekanisme untuk membubarkan akad nikah.
Secara bahasa kata ajal berasal dari kata: ajila–ya‘jalu–ajal[an]. Menurut al-Khalil al-Farahidi dalam Kitâb al-‘Ayn dan ash-Shahib ibn ‘Abad di dalam Al-Muhîth fî al-Lughah, dikatakan ajila asy-syay‘u ya‘jalu wahuwa âjilun artinya naqîdu al-‘âjil (lawan dari segera). Dengan demikian, al-ajal (bentuk pluralnya al-âjalu) secara bahasa artinya terlambat atau tertunda.

Masalah ajal ini persis seperti masalah rezeki. Ajal dan umur tiap orang telah ditetapkan oleh Allah. Allah SWT juga menegaskan tidak akan memajukan atau menangguhkan ajal seseorang. Allah tidak akan menambah atau mengurangi jatah umur seseorang. Dalam QS al-Munafiqun [63]: 11, Allah mengungkapkan dengan kata lan yang merupakan penafian selama-lamanya (Lihat pula QS. Fathir [35]: 11).

Datangnya ajal adalah pasti, tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan. Berjihad, berdakwah, amar makruf nahi mungkar, mengoreksi penguasa, dsb, tidak akan menyegerakan ajal atau mengurangi umur. Begitu pula berdiam diri, tidak berjihad, tidak berdakwah, tidak mengoreksi penguasa, tidak beramar makruf nahi mungkar, dan tidak melakukan perbuatan yang disangka berisiko mendatangkan kematian, sesungguhnya tidak akan bisa memundurkan kematian dan tidak akan memperpanjang umur. Semua itu jelas dan tegas dinyatakan oleh ayat-ayat al-Quran seperti di atas.[disarikan dari ,Antara Rezeki, Jodoh dan Ajal, Adi VictoriaAl_ikhwan1924@yahoo.com,Senin, 29/11/2010 13:37 WIB].

            Ketentuan dan ketetapan Allah kita kenal dengan taqdir yang akan dijalani manusia sepanjang kehidupannya, ada memang perdebatan dikalangan ulama tentang taqdir dan ketentuan, tapi yang jelas segala yang terjadi pada makhluk Allah sebagai ketentuan bagi manusia yang akan dijalaninya.

Hampir dipastikan, kita semua tidak pernah bisa meraba bagaimana rupa takdir kita ke depan. Segala sesuatunya adalah misteri bagi kita. Acap kali kejadian dan semua peristiwa terjadi begitu saja tanpa bisa direkayasa. Terkadang kita juga tidak berkuasa dengan amalan kita sendiri. Kegagalan, kesuksesan, kaya miskin, antara kehidupan dan kematian adalah mutlak milik Allah. Bahkan, di beberapa ayat diinformasikan, salah satunya dalam QS ash-Shaaffat, [37]: 96, bahwa kita dan semua amalan kita Allahlah pembuat skenarionya, "Wallahu khalaqakum wa maa ta'maluun".

Meski pembuat skenario semuanya adalah Allah SWT, tapi hal yang tidak bisa dinapikan adalah bahwa banyak amalan yang bisa menentukan arah keberpihakan takdir-Nya. Pertama, doa. Sebuah hadis, Laa yaruddul qadhaa-a illa biddu'a, tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa. Jika kita menghendaki kegagalan beralih kepada kesuksesan, maka ubahlah di antaranya dengan doa. Kenapa? Karena Allah sangat mencintai hamba-Nya yang banyak minta kepada-Nya. Dalam hadis lain disebutkan, "Innallaaha yuhibul mulihhiina biddu'a." Karena Allah mencintai hamba-Nya, maka akan mudah bagi-Nya mengubah apa pun dari semua ciptaan-Nya. Cukup dengan mengatakan, "Jadilah!" Maka, "Terjadilah." (QS Yaasiin [36]: 82).
Ketahuilah, doa telah terbukti menjadi senjata yang cukup menentukan bagi orang-orang yang beriman. Sabda Nabi SAW, "ad-Du'au silahul mu'miniin." Doa adalah senjata orang yang beriman. Di antara petikan sejarah yang mampir di telinga kita adalah cerita keajaiban senjata doa Ibrahim 'alaihis salam ketika dipanggang di api unggun raksasa. Saat itu Raja Namrudz memerintahkan punggawa kerajaan untuk mengumpulkan kayu bakar dan disulutkan api raksasa. Lalu Ibrahim diletakkan di atasnya.
Saat itu Ibrahim-seorang hamba pilihan-Nya yang memiliki sebuah keyakinan dan kepasrahan total kepada Sang Khalik- sudah tidak memiliki daya apa pun kecuali senjata doa. Tidak lama, Allah pun kemudian menghadirkan takdir lain dari api, yaitu dingin dan turut membantu menyelamatkan Ibrahim as. "Hai api, jadilah dingin dan selamatkan Ibrahim." (QS al-Anbiyaa [21]: 69).  

Kekuatan doa itu pula yang dibuktikan oleh Nabi Musa dan para pengikutnya ketika mereka terdesak di Laut Merah saat dikejar oleh pasukan Firaun. Hukum alam air yang tidak mungkin terbelah dan terpisah, ternyata kala itu tidak berfungsi. Bersamaan dengan doa, air membelah dirinya dan mempersilakan Musa dan pengikutnya lewat. Musa pun selamat, justru Firaun dan semua pasukannya terkubur di dasar Lautan Merah.
Doa adalah sebuah kekuatan (the power). Bahkan, dalam doa berhimpun berbagai kekuatan untuk menghadirkan puncak harapan setiap hamba." Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, sungguh Aku teramat dekat. Aku akan memenuhi permintaanmu jika kamu memohon (berdoa) dan beriman kepada-Ku" (QS al-Baqarah [2]: 186).[RepublikaOnline, Damanhuri,Amalan yang Mewarnai Penentuan Takdir,Jumat, 04 Juni 2010, 09:54 WIB].
   
   Dari Salman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,“Tak ada yang dapat menolak takdir selain doa, dan tak ada yang dapat memperpanjang umur selain kebajikan.” (HR. At-Tirmidzi,. Al-Albani menganggapnya hasan lighairih dalam Shahih At-Targhib).
Ada beberapa hadits lain yang senada dengan ini dan menunjukkan bahwa takdir bisa dicegah dengan doa, tapi semuanya dha’if. Sedangkan hadits ini derajatnya hasan, sehingga bisa dipakai sebagai hujjah.
Bagaimana doa bisa menolak takdir padahal takdir sudah ditentukan?
Jawabnya, Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menciptakan takdir dan menciptakan pula sebabnya. Allah maha tahu apa yang akan terjadi nanti dan Ia tidak mungkin lupa atau kecolongan sehingga mengubah keputusan-Nya yang telah lalu. Tapi itu semua berada dalam dimensi ilahiyyah yang tak mungkin bisa diselami akal manusia yang serba terbatas ini. Maka tak perlu membahas masalah tersebut lebih lanjut.
Manusia hanya diperintahkan untuk melakukan sebab. Bila ingin mendapatkan rezki harus bekerja, tidak mungkin bisa kaya dengan bermalas-malasan. Nah, kerja adalah sebab dan rezki memang di tangan tuhan. Hanya orang kurang akal yang mengatakan, “Ah, buat apa bekerja bukankah rezki di tangan tuhan. Jadi, kalau saya sudah ditakdirkan kaya, maka saya akan kaya dengan sendirinya.”
Demikianlah doa, ia merupakan sebab yang diciptakan Allah untuk memperoleh keuntungan dan menolak kerugian, sama seperti kerja yang diciptakan sebagai sebab untuk mendapat kekayaan.

Kesimpulannya, takdir sudah ditetapkan dan tidak akan berubah dalam dimensi Allah. Ia hanya akan berubah dalam dimensi manusia. Manusia tidak boleh tahu apa yang sudah diputuskan Allah, tapi hanya harus berusaha untuk mendapatkan yang terbaik. Dan, Allah telah menunjukkan jalan terbaik untuk selamat dari keburukan yang kemungkinan besar akan terjadi, yaitu dengan doa. Itulah takdir dalam dimensi manusia, sesuatu yang sudah dipastikan akan terjadi, sehingga secara logika tak mungkin tertolak. Misalnya, ada yang sakit dan menurut dokter tinggal menunggu waktu saja dan tidak mungkin disembuhkan. Tapi, dengan doa siapa tahu terjadi keajaiban dan yang bersangkutan ternyata sembuh. Inilah maksud doa menolak takdir.[Republika Online, Anshari Taslim, Doa Menolak Takdir,Sabtu, 30/04/2011 06:15 WIB].
 
            Satu ketika Umar bin Khattab memerintahkan pasukannya untuk mengalihkan perjalanan kesuatu tempat yang aman dari musibah, salah seorang sahabat memprotes kebijakan itu dengan mengatakan,”Kenapa kita alihkan tujuan kita ke tempat lain, walaupun disana diserang wabah, kita tawakkal kepada Allah, kalau Allah tidak berkenan maka kita tidak akan terkena wabah itu”, mendengar itu Umar bin Khattab menjawab,”Kita sedang mencari takdir yang lebih baik, kalau kita ke tempat semula berarti kita mencari takdir yang buruk”. Artinya ada takdir yang bisa kita rubah sesuai dengan kondisi alami.

Semua ciptaan Allah itu telah ditentukan kadar dan ukurannya sesuai dengan jenis makhluk yang diciptakan itu, setiap kandungan seorang ibu sesuai dengan kadar dan ukurannya itu akan lahir seorang bayi, selama hidup di dunia dalam batas waktunya kelak akan tua dan  meninggal dunia, selama proses tertentu pula awan yang mengandung air akan turun hujan untuk kehidupan dan penghidupan penghuni bumi, bahkan bakteri dan baksil yang masuk ke tubuh manusia, pada waktu dan ukuran tertentu akan menjadi penyakit yang mencelakakan manusia bila tidak ditanggulangi dengan pengobatan yang intensif, Allah menjelaskan dalam firman-Nya; “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” [QS. 54;49]

            Air dimanapun telah ditentukan ukurannya oleh Allah akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, api akan membakar karena memang demikian ukurannya, besi adalah benda keras yang sulit untuk ditembus oleh kekuatan manusia sedang busa akan mengapung di air karena ringannya dan itu sudah keputusan yang ditentukan oleh Allah sesuai dengan ukuran untuk benda-benda itu, wallahu a’lam [Cheras Kuala Lumpur Malaysia, 03 Rajab 1432.H/ 05 Juni 2011.M].

7 komentar:

  1. Terima kasih atas ilmunya
    Akhirnya saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya

    BalasHapus
  2. Orang yg miskin wlwpn tlh brusaha, apkh itu berarti Tuhan tlh mnetapkn rejekinya bhw ia miskin? Apapn yg dia ushkn dia ttp miskin (bnyk trjd di negri kita)
    Bgmn dg org yg mati klaparn (di Afrika bnyk trjd), apkh itu berarti Tuhan mnetapkn rejekinya = 0 (nol) ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apakah rezeki dan nikmat itu hanya makanan yg disuapkan?
      Apakah mereka sudah berikhtiar?

      Hapus
    2. “dan Dia-lah yang memberikan kekayaan dan kecukupan.” (QS. An-Najm : 48).
      Allah tidak memberikan kemiskinan, namun kita yang sering tidak bersyukur

      Hapus
  3. assalamualaikum...ikut nimbrung tadz he he...Di mana ukuran kaya,dimana ukuran miskin.Miskin dan kaya sama sekali berbeda dgn istilah banyak harta atau sedikit harta.keadaan hanya simbol bukan arti yg
    sesungguhnya.Jika ban
    yak yg kekurangan harta justru itulah tanggung jawab sesama muslim untuk membantunya terkhusus bagi yg banyak harta.Perihal mati kelaparan,itu sebagai peringatan bagi sesama muslim agar lebih memperhatikan nasib saudarannya,dan bahwasanya tiada kemulyaan dalam arti yg sedungguhnya saat Islam di tinggalkan,saat Islam di sisihkan saat Islam hanya di jadikan pelengkap hidup,hanya di jadikan sebagai bahan keluh kesah saat galau melanda.Ingat saudaraku,Islam adalah mabda,Islam adalah ideologi,Islam adalah agama yg mencakup spiritual dan politik.Bagaimana mungkin kita mengaku Islam tapi rela di hukumi dan rela di atur dgn hukum yg selain hukum Islam?bagaimana mungkin,sebagai muslim secara ikhlas menerima ideologi kapitalisme untuk mengatur kehidupannya?

    BalasHapus
  4. " Kutipan "Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang rahasia zuhudnya. Beliau menjawab, “Aku tahu rezekiku tidak akan bisa diambil orang lain.Karena itu, hatikupun jadi tenteram. Aku tahu amalku tidak akan bisa dilakukan oleh selainku. Karena itu, aku pun sibuk beramal. Aku tahu Allah selalu mengawasiku. Karena itu, aku malu jika Dia melihatku di atas kemaksiatan. Aku pun tahu kematian menungguku. Karena itu, aku mempersiapkan bekal untuk berjumpa dengan-Nya.”.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus