Kamis, 28 November 2013

79.37 Memberikan Nafkah Dari Yang Baik



RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]
                

Memberikan Nafkah Dari Yang Baik
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Mencari nafkah [ma'isyah] adalah aktivitas manusia dalam rangka memenuhi kehidupannya dengan bekerja, apapun jenis pekerjaan yang ditekuni selama baik dan halal adalah terpuji, apakah sebagai pedagang, petani, buruh, pegawai negeri, anggota dewan, polisi, tentara ataupun pengacara hingga menteri ataupun Presiden,  kegiatan ini banyak mengandung pahala didalamnya, dengan ma'isyah seseorang berupaya untuk mencari yang halal karena memang demikian anjurannya,"Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll)''. (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).

Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah mencontohkan kepada ummatnya pentingnya mencari rezeki yang halal, sebab barang haram akan mempengaruhi mental dan kepribadian seseorang. Idealnya, biarlah kita kaya raya asal semua diperoleh dari yang halal, namun sangat rusak seseorang bila sedikit atau banyak hartanya bergelimang dengan haram, baik haram zatnya, cara memperolehnya atau membelanjakannya, Allah memperingatkan kita semuanya melalui nabinya; “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang  baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”[Al Baqarah 2;172]

            Seorang ummahat  dizaman Rasulullah dahulu, bila suaminya berangkat kerja mencari nafkah, di depan pintu dia berpesan kepada suaminya,”Silahkan pergi mencari nafkah sebanyak-banyaknya namun yang halal, jangan kau bawa ke rumahku ini harta yang haram meskipun sedikit”.

Keluarga yang shaleh dan shalehah akan menjaga dirinya dari rezeki yang haram, karena rumah tangga yang baik adalah rumah tangga yang selalu mengumpulkan rezeki dari yang halal dan hasil yang halal itu mengujudkan kebahagiaan bagi yang memperolehnya, demikian pula halnya Allah menyukai hamba-Nya yang mencari rezeki halal walaupun dengan sudah payah, "Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yanghalal.(HR.Ad-Dailami)

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 37 dengan judul “Memberikan Nafkah Dari Sesuatu Yang Disukai Dan Dari Sesuatu Yang Baik”

Allah Ta'ala berfirman: "Tidak sekali-kali engkau semua akan dapat memperoleh kebajikan, sehingga engkau semua suka membelanjakan dari sesuatu yang engkau cintai." (ali-lmran: 92).

Allah Ta'ala berfirman pula:"Hai sekalian orang-orang yang berimah, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari apa-apa yang engkau semua usahakan dan dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi dan janganlah engkau semua sengaja memilihkan yang buruk-buruk di antara yang engkau semua nafkahkan itu." (al-Baqarah: 267)

Dari Anas r.a., katanya: "Abu Thalhah adalah seorang dari golongan kaum Anshar di Madinah yang terbanyak hartanya, terdiri dari kebun kurma. Di antara harta-hartanya itu yang paling dicintai olehnya ialah kebun kurma Bairuha'. Kebun ini letaknya menghadap masjid - Nabawi di Madinah. Rasulullah s.a.w. suka memasukinya dan minum dari airnya yang nyaman." Anas berkata: "Ketika ayat ini turun, yakni yang artinya: "Engkau semua tidak akan memperoleh kebajikan sehingga engkau semua suka menafkahkan dari sesuatu yang engkau semua cintai," maka Abu Thalhah berdiri menuju ke tempat Rasulullah s.a.w., lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: "Hai sekalian orang-orang yang berimah, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari apa-apa yang engkau semua usahakan dan dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi dan janganlah engkau semua sengaja memilihkan yang buruk-buruk di antara yang engkau semua nafkahkan itu." (al-Baqarah: 267)

Padahal hartaku yang paling saya cintai ialah kebun kurma Bairuha', maka sesungguhnya kebun itu saya sedekahkan untuk kepentingan agama Allah Ta'ala. Saya mengharapkan kebajikannya serta sebagai simpanan - di akhirat di sisi Allah. Maka dari itu gunakanlah kebun itu ya Rasulullah, sebagaimana yang Allah memberitahukan kepada Tuan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Aduh, yang sedemikian itu adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya - berlipat ganda pahalanya bagi yang bersedekah, yang sedemikian adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya. Saya telah mendengar apa yang engkau ucapkan dan sesungguhnya saya berpendapat supaya kebun itu engkau berikan kepada kaum keluargamu - sebagai sedekah." Abu Thalhah berkata: "Saya akan melaksanakan itu, ya Rasulullah." Selanjutnya Abu Thalhah membagi-bagikan kebun Bairuha' itu kepada keluarga serta anak-anak pamannya." (Muttafaq 'alaih).

Sabda Nabi s.a.w.: Malun raabihun, diriwayatkan dalam kitab shahih Raabihun dan ada pula yang mengatakan Raayihun, jadi ada yang dengan ba' muwahhadah dan ada yang dengan ya' mutsannat, maksudnya menguntungkan yakni keuntungannya itu kembali padamu sendiri.

"Bairuha"' adalah suatu kebun kurma, diriwayatkan dengan kasrahnya ba' atau dengan fathahnya - jadi Biruha' atau Bairuha'.

Karena ingin untuk meraih harta diluar kemampuannya, banyak orang yang harus melakukan sesuatu seperti menipu dan mencuri atau transaksi lain yang tidak dibenarkan oleh hukum manapun, bertentangan oleh agama apapun dan yang lebih penting hati nurani pelaku sendiri tidak menerima transaksi itu, tapi karena desakan nafsu, bisikan setan atau ajakan siapapun sehingga rela mengorbankan kepribadian, walaupun akhirnya harta yang diinginkan diperoleh juga.

Kisah klasik dalam sejarah peradaban manusia juga kita kenal, sebagaimana saudara sepupu Nabi Musa yang bernama Qarun, karena kepintarannya mencari harta sehingga kunci gudangnya saja harus ditarik gerobak untuk membawanya, dari hal itulah sehingga dia dekat dengan Fir'aun yang mengingkari kenabian Musa dan menolak ke Esaan Allah lantaran Musa dan pengikutnya orang-orang yang tidak punya harta, nampaknya harta bisa mendekatkan seseorang dengan kekuasaan. Tsa'labah yang hidup di zaman Nabi Muhammad yang bosan dengan kemiskinan sehingga bermohon kepada Allah melalui Nabi Muhammad agar diberikan harta yang banyak dengan harapan semakin taat menjalankan perintah Allah, tapi nyatanya karena hartalah dia akhirnya jauh dari agama dan mati dalam keadaan penyesalan.

''Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, Maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan kami Telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya Berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri"[Al Qashash 28;76]

Di tengah masyarakat, walaupun seseorang tidak berpendidikan tinggi, tidak punya kedudukan sosial yang baik dan tidak pula dari keluarga terpandang tapi dia akan dihargai karena punya harta yang banyak, orang yang cukup berada, orang kaya kata orang. Sangat mudah baginya untuk bisa dekat dengan siapapun hingga duduk dengan seorang pejabat, semua orang ingin dekat pula dengannya dengan berbagai keluhan kesusahan yang disampaikan dengan harapan dapat bantuan gratis atau pinjaman berjangka.

Karena harta pula pertengkaran bisa terjadi, perselisihan mengakhiri persaudaraan hingga harus berhadapan di pengadilan, saling gugat, saling mempertahankan harta masing-masing walaupun akhirnya harta itu habis dalam proses penyelesaian persengketaan itu, ibarat pepatah mengatakan yang menang jadi abu yang kalah jadi arang, sia-sia. Tragedi terbesarpun akan mengakhiri kehidupan manusia dalam penjara karena terlalu banyak punya harta yang diperoleh dengan cara tidak baik.

Ketika kita punya sedikit harta saja, banyak orang yang mau dekat bersama kita bahkan mengaku sebagai saudara, ada hubungan kerabat dan hubungan lainnya, kemana pergi kita akan diikuti, apapun yang disuruh kepadanya akan dikerjakan, loyalitasnya dapat diandalkan, itu ketika punya harta, namun dikala harta itu sedikit-demi sedikit menghilang semua orang akan mengacuhkan kita, teman dan sahabat tidak ada lagi, semua semakin menjauh dengan alasan kesibukan masing-masing, maka tinggallah sendiri tanpa ada yang mau tau keberadaannya. Nampaknya harta bisa mendekatkan dan menjauhkan pertemanan, memang benar bahwa tidak ada teman yang abadi itu, yang ada hanya kepentingan dan kepentingan. Selama ada harta maka disana ada kepentingan, dikala harta sudah tidak ada lagi maka tidak ada lagi kepentingan.

Keinginan memiliki harta, nafsu untuk punya sesuatu, dibenarkan oleh Allah yang digambarkan dalam firman-Nya yang mengatakan bahwa manusia itu dihiasi keinginan kepada wanita, kepada anak-anak, binatang ternak dan harta serta perniagaan lainnya, yang intinya memang insting terhadap hal itu sudah ada pada diri manusia bahkan Islam menghargai hak hidup dan mencari kehidupan bagi manusia.bila seorang manusia berhasil dalam usahanya, maka pendapatannya itu menjadi haknya, tidak boleh diganggu gugat oleh orang lain, ”Manusia hanya mendapat menurut usaha atau kesanggupannya”

Semua manusia ingin memiliki harta yang berlimpah untuk kebutuhan hidupnya, untuk semua itu segala cara ditempuh. Dahulu ketika masih miskin, dia hanya berfikir, “Apa makan kita sekarang?’’, artinya untuk makan saja sulit. Sudah mulai maju penghasilannya dia berkata, ”Makan apa kita sekarang?’’. Maksudnya seseorang tadi sudah berfikir jenis makanan yang akan dikonsumsi. Semakin naik penghasilan dia akan berkata, ”Makan dimana kita sekarang?’’, dia sudah bosan kalau makan hanya di satu restoran saja sehingga untuk sarapan pagi di restoran A, makan siang di restoran B, dan makan malam di restoran C, tetapi setelah jadi pengusaha, pabrik sudah sekian jumlahnya, deposito selalu meningkat, rumah sudah cemerlang, kendaraan mahal selalu mengkilap, dia mulai berfikir, ” Makan siapa kita sekarang ?’’.

            Itulah gambaran orang-orang yang  tamak serta rakus dengan kehidupan dunia, sehingga sepak kiri terjang kanan, jilat atas injak bawah, sodok sana gosok sini, merupakan alat yang sah untuk mengeruk keuntungan. Memang benar bahwa setiap manusia itu  mempunyai watak loba, tamak serta kurang qana’ahnya sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, ”Andaikata seseorang itu sudah memiliki dua lembah dari emas, pastilah ia akan mencari yang ketiganya sebagai tambahan dari dua lembah yang sudah ada itu” [HR. Bukhari dan Muslim].

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Banyak sekali keinginan-keinginan tersembunyi dalam hati yang cukup merusak mahabbah dan ubudiyah kepada Allah serta keikhlasan beragama”. Kaab bin Malik meriwayatkan dari Nabi Saw. Ia bersabda, ”Tidak ada dua srigala lapar yang dilepaskan dari kandang kambing  yang justru sangat berbahaya baginya, selain kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan bagi agamanya” [HR. Ahmad].

            Tanpa harta tidak mungkin kita akan bahagia tapi harta bukanlah satu-satunya yang mendatangkan kebahagiaan, harta  sebagai fasilitas hidup yang harus dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, dia ibarat darah pada satu tubuh yang memerlukan kehidupan, berpandai-pandailah menggunakan darah bahkan bila kelebihan pada tubuh seseorang juga tidak baik bagi kesehatan sehingga perlu adanya penyaluran melalui pendonoran darah dalam rangka untuk membantu kehidupan orang lain.

Harta itu ibarat senjata bermata dua, kedua sisinya bisa melukai kita bila tidak hati-hati menggunakannya, dia dipersoalkan bukan saja darimana dan dengan apa diperoleh tapi kemana dipergunakan juga menjadi beban yang punya harta. Ke hati-hatian inilah yang mendorong sahabat Nabi bernama Abu Bakar untuk menginvestasikan hartanya dengan memerdekakan para budak, Umar bin Khattab tidak punya apa-apa lagi karena seluruh hartanya diserahkan untuk biaya jihad begitu juga Usman bin Affan milyaran rupiah hartanya untuk melepaskan ummat islam dari paceklik, nampaknya efektif harta itu bila di tangan orang-orang yang bijak.

            Tanpa harta memang sulit untuk bahagia, tapi harta bukanlah jaminan untuk mencapai bahagia. Jika kita miliki juga harta itu maka bersyukurlah dengan menginfaqkan ke jalan Allah, bila hari ini kita dalam kekurangan, maka bersabarlah sekaligus berusaha, Allah tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang mencucurkan keringat, membanting tulang demi mencari nafkah untuk kebutuhan keluarganya.

Dalam menerima rezeki sebenarnya yang penting bukan banyaknya tapi berkahnya, yaitu dengan harta itu dia bahagia sebab dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan harta itu pula dia harus berderma di jalan Allah, tidak gelisah dan tidak sesak nafasnya karena penghasilan yang dia terima, ini kriteria harta yang berkah. Betapa banyak orang yang memiliki harta melimpah tapi hidunya gelisah, resah, cemas, takut dan panik karena hartanya tidak berkah. Idealnya biarlah kita kaya tapi kita orang-orang yang shaleh diantara hamba-hamba-Nya yang shaleh.

            Menurut Imam Al Ghazali ada  lima hal untuk menghilangkan sifat loba, tamak dan rakus dalam kehidupan sehingga menjadi orang yang qana’ah yaitu;

            Pertama, membiasakan diri  hidup dalam keadaan sedang, sederhana dan tidak berlebih-lebihan, secukupnya saja dalam berbelanja dan menjauhi kemewahan.

            Kedua, hendaklah seseorang itu meyakinkan dengan seyakin-yakinnya bahwa rezeki yang ditentukan untuknya itu pasti akan dicapai dan diperolehnya. Rezeki itu pasti akan datang sekalipun ia tidak berhati tamak dan loba untuk meraihnya.

            Ketiga, hendaklah disadari bahwa dengan berbuat qana’ah itu seseorang akan memperoleh kemuliaan sebab tidak memerlukan atau mengharapkan pertolongan orang lain dan tidak sampai meminta-minta sesuatu untuk menutupi kebutuhannya, sedangkan bersifat loba dan tamak itu merupakan lambang kehinaan.

            Keempat, hendaklah memperbanyak pemikirannya perihal kehikmatan yang dimiliki oleh golongan kaum kafir dan kurang akal, selanjutnya hendaknya melihat prihidup para Rasul, Nabi dan orang-orang shaleh sebelumnya tentang kehidupan.

            Kelima, hendaknya disadari bahwa harta itu banyak sekali menyebabkan timbulnya bencana dan marabahaya.

            Dengan melaksanakan hal-hal sebagaimana yang tersebut di atas, insya Allah seseorang itu akan dapat mengusahakan sifat qana’ah, menerima dengan apa yang ada disisinya, tetapi harus berusaha untuk memperbaiki nasibnya, juga tetap berpegang teguh pada sifat sabar dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya karena sikap mulia yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad adalah bila yang berkaitan dengan rezeki maka lihatlah orang yang lebih miskin dari kita, tapi yang berkaitan dengan ibadah maka lihat dan teladanilah orang yang lebih shalehdari kita, bahkan watak seorang mukmin itu selalu baik, bila mendapatkan rezeki maka dia bersyukur dan itu baik baginya dan bila mendapatkan musibah dia bersabar maka itu juga baik baginya, yakinlah selama masih ada usia, masih bisa berusaha maka masih dapat untuk mengais harta Allah di dunia ini, jangankan manusia sedangkan ulat di dalam lubang batu saja masih mendapatkan rezeki dari Tuhannya. Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 04 Zulqaidah 1434.H/09 September 2013].







Tidak ada komentar:

Posting Komentar