RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Memberikan
Nafkah Dari Yang Baik
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Mencari nafkah [ma'isyah] adalah aktivitas manusia dalam rangka memenuhi
kehidupannya dengan bekerja, apapun jenis pekerjaan yang ditekuni selama baik
dan halal adalah terpuji, apakah sebagai pedagang, petani, buruh, pegawai
negeri, anggota dewan, polisi, tentara ataupun pengacara hingga menteri ataupun
Presiden, kegiatan ini banyak mengandung
pahala didalamnya, dengan ma'isyah seseorang berupaya untuk mencari yang halal
karena memang demikian anjurannya,"Mencari rezeki yang
halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa,
dll)''. (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Dalam
kehidupan sehari-hari Rasulullah mencontohkan kepada ummatnya pentingnya
mencari rezeki yang halal, sebab barang haram akan mempengaruhi mental dan
kepribadian seseorang. Idealnya, biarlah kita kaya raya asal semua diperoleh
dari yang halal, namun sangat rusak seseorang bila sedikit atau banyak hartanya
bergelimang dengan haram, baik haram zatnya, cara memperolehnya atau
membelanjakannya, Allah memperingatkan kita semuanya melalui nabinya; “Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”[Al
Baqarah 2;172]
Seorang ummahat
dizaman Rasulullah dahulu, bila suaminya berangkat kerja mencari nafkah,
di depan pintu dia berpesan kepada suaminya,”Silahkan pergi mencari nafkah
sebanyak-banyaknya namun yang halal, jangan kau bawa ke rumahku ini harta yang
haram meskipun sedikit”.
Keluarga yang shaleh dan shalehah akan menjaga dirinya dari rezeki yang
haram, karena rumah tangga yang baik adalah rumah tangga yang selalu
mengumpulkan rezeki dari yang halal dan hasil yang halal itu mengujudkan
kebahagiaan bagi yang memperolehnya, demikian pula halnya Allah menyukai
hamba-Nya yang mencari rezeki halal walaupun dengan sudah payah, "Sesungguhnya
Allah Ta'ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari
rezeki yanghalal.(HR.Ad-Dailami)
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 37
dengan judul “Memberikan Nafkah Dari
Sesuatu Yang Disukai Dan Dari Sesuatu Yang Baik”
Allah Ta'ala berfirman: "Tidak sekali-kali engkau
semua akan dapat memperoleh kebajikan,
sehingga engkau semua suka membelanjakan dari sesuatu yang engkau cintai."
(ali-lmran: 92).
Allah Ta'ala berfirman
pula:"Hai sekalian orang-orang yang berimah, nafkahkanlah sebagian yang
baik-baik dari apa-apa yang engkau semua usahakan dan dari apa-apa yang Kami
keluarkan dari bumi dan janganlah engkau semua sengaja memilihkan yang
buruk-buruk di antara yang engkau semua nafkahkan itu." (al-Baqarah:
267)
Dari Anas r.a., katanya:
"Abu Thalhah adalah seorang dari golongan kaum Anshar di Madinah yang
terbanyak hartanya, terdiri dari kebun kurma. Di antara harta-hartanya itu yang
paling dicintai olehnya ialah kebun kurma Bairuha'. Kebun ini letaknya
menghadap masjid - Nabawi di Madinah. Rasulullah s.a.w. suka memasukinya dan
minum dari airnya yang nyaman." Anas berkata: "Ketika ayat ini turun,
yakni yang artinya: "Engkau semua tidak akan memperoleh kebajikan sehingga
engkau semua suka menafkahkan dari sesuatu yang engkau semua cintai," maka
Abu Thalhah berdiri menuju ke tempat Rasulullah s.a.w., lalu berkata: "Ya
Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman:
"Hai sekalian orang-orang yang berimah,
nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari apa-apa yang engkau semua usahakan
dan dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi dan janganlah engkau semua
sengaja memilihkan yang buruk-buruk di antara yang engkau semua nafkahkan
itu." (al-Baqarah: 267)
Padahal hartaku yang
paling saya cintai ialah kebun kurma Bairuha', maka sesungguhnya kebun itu saya
sedekahkan untuk kepentingan agama Allah Ta'ala. Saya mengharapkan kebajikannya
serta sebagai simpanan - di akhirat di sisi Allah. Maka dari itu gunakanlah
kebun itu ya Rasulullah, sebagaimana yang Allah memberitahukan kepada Tuan.
Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Aduh, yang sedemikian itu adalah
merupakan harta yang banyak keuntungannya - berlipat ganda pahalanya bagi yang
bersedekah, yang sedemikian adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya.
Saya telah mendengar apa yang engkau ucapkan dan sesungguhnya saya berpendapat
supaya kebun itu engkau berikan kepada kaum keluargamu - sebagai sedekah."
Abu Thalhah berkata: "Saya akan melaksanakan itu, ya Rasulullah."
Selanjutnya Abu Thalhah membagi-bagikan kebun Bairuha' itu kepada keluarga
serta anak-anak pamannya." (Muttafaq 'alaih).
Sabda Nabi s.a.w.: Malun
raabihun, diriwayatkan dalam kitab shahih Raabihun dan ada pula yang
mengatakan Raayihun, jadi ada yang dengan ba' muwahhadah dan ada yang
dengan ya' mutsannat, maksudnya menguntungkan yakni keuntungannya itu kembali
padamu sendiri.
"Bairuha"'
adalah suatu kebun kurma, diriwayatkan dengan kasrahnya ba' atau dengan
fathahnya - jadi Biruha' atau Bairuha'.
Karena ingin untuk meraih harta diluar kemampuannya,
banyak orang yang harus melakukan sesuatu seperti menipu dan mencuri atau
transaksi lain yang tidak dibenarkan oleh hukum manapun, bertentangan oleh
agama apapun dan yang lebih penting hati nurani pelaku sendiri tidak menerima
transaksi itu, tapi karena desakan nafsu, bisikan setan atau ajakan siapapun
sehingga rela mengorbankan kepribadian, walaupun akhirnya harta yang diinginkan
diperoleh juga.
Kisah
klasik dalam sejarah peradaban manusia juga kita kenal, sebagaimana saudara
sepupu Nabi Musa yang bernama Qarun, karena kepintarannya mencari harta
sehingga kunci gudangnya saja harus ditarik gerobak untuk membawanya, dari hal
itulah sehingga dia dekat dengan Fir'aun yang mengingkari kenabian Musa dan menolak
ke Esaan Allah lantaran Musa dan pengikutnya orang-orang yang tidak punya
harta, nampaknya harta bisa mendekatkan seseorang dengan kekuasaan. Tsa'labah
yang hidup di zaman Nabi Muhammad yang bosan dengan kemiskinan sehingga
bermohon kepada Allah melalui Nabi Muhammad agar diberikan harta yang banyak
dengan harapan semakin taat menjalankan perintah Allah, tapi nyatanya karena
hartalah dia akhirnya jauh dari agama dan mati dalam keadaan penyesalan.
''Sesungguhnya Karun adalah termasuk
kaum Musa, Maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan kami Telah
menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh
berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya
Berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri"[Al Qashash
28;76]
Di
tengah masyarakat, walaupun seseorang tidak berpendidikan tinggi, tidak punya
kedudukan sosial yang baik dan tidak pula dari keluarga terpandang tapi dia
akan dihargai karena punya harta yang banyak, orang yang cukup berada, orang
kaya kata orang. Sangat mudah baginya untuk bisa dekat dengan siapapun hingga
duduk dengan seorang pejabat, semua orang ingin dekat pula dengannya dengan
berbagai keluhan kesusahan yang disampaikan dengan harapan dapat bantuan gratis
atau pinjaman berjangka.
Karena
harta pula pertengkaran bisa terjadi, perselisihan mengakhiri persaudaraan
hingga harus berhadapan di pengadilan, saling gugat, saling mempertahankan
harta masing-masing walaupun akhirnya harta itu habis dalam proses penyelesaian
persengketaan itu, ibarat pepatah mengatakan yang menang jadi abu yang kalah
jadi arang, sia-sia. Tragedi terbesarpun akan mengakhiri kehidupan manusia
dalam penjara karena terlalu banyak punya harta yang diperoleh dengan cara
tidak baik.
Ketika
kita punya sedikit harta saja, banyak orang yang mau dekat bersama kita bahkan
mengaku sebagai saudara, ada hubungan kerabat dan hubungan lainnya, kemana
pergi kita akan diikuti, apapun yang disuruh kepadanya akan dikerjakan,
loyalitasnya dapat diandalkan, itu ketika punya harta, namun dikala harta itu
sedikit-demi sedikit menghilang semua orang akan mengacuhkan kita, teman dan
sahabat tidak ada lagi, semua semakin menjauh dengan alasan kesibukan
masing-masing, maka tinggallah sendiri tanpa ada yang mau tau keberadaannya.
Nampaknya harta bisa mendekatkan dan menjauhkan pertemanan, memang benar bahwa
tidak ada teman yang abadi itu, yang ada hanya kepentingan dan kepentingan.
Selama ada harta maka disana ada kepentingan, dikala harta sudah tidak ada lagi
maka tidak ada lagi kepentingan.
Keinginan
memiliki harta, nafsu untuk punya sesuatu, dibenarkan oleh Allah yang
digambarkan dalam firman-Nya yang mengatakan bahwa manusia itu dihiasi
keinginan kepada wanita, kepada anak-anak, binatang ternak dan harta serta
perniagaan lainnya, yang intinya memang insting terhadap hal itu sudah ada pada
diri manusia bahkan Islam menghargai hak hidup dan
mencari kehidupan bagi manusia.bila seorang manusia berhasil dalam usahanya,
maka pendapatannya itu menjadi haknya, tidak boleh diganggu gugat oleh orang
lain, ”Manusia hanya mendapat menurut usaha atau kesanggupannya”
Semua manusia ingin memiliki harta yang
berlimpah untuk kebutuhan hidupnya, untuk semua itu segala cara ditempuh. Dahulu ketika masih miskin, dia hanya berfikir, “Apa
makan kita sekarang?’’, artinya untuk makan saja sulit. Sudah mulai maju
penghasilannya dia berkata, ”Makan apa kita sekarang?’’. Maksudnya seseorang
tadi sudah berfikir jenis makanan yang akan dikonsumsi. Semakin naik
penghasilan dia akan berkata, ”Makan dimana kita sekarang?’’, dia sudah bosan
kalau makan hanya di satu restoran saja sehingga untuk sarapan pagi di restoran
A, makan siang di restoran B, dan makan malam di restoran C, tetapi setelah
jadi pengusaha, pabrik sudah sekian jumlahnya, deposito selalu meningkat, rumah
sudah cemerlang, kendaraan mahal selalu mengkilap, dia mulai berfikir, ” Makan
siapa kita sekarang ?’’.
Itulah gambaran orang-orang yang tamak serta rakus dengan kehidupan dunia,
sehingga sepak kiri terjang kanan, jilat atas injak bawah, sodok sana gosok
sini, merupakan alat yang sah untuk mengeruk keuntungan. Memang benar bahwa
setiap manusia itu mempunyai watak loba,
tamak serta kurang qana’ahnya sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, ”Andaikata seseorang itu sudah memiliki dua
lembah dari emas, pastilah ia akan mencari yang ketiganya sebagai tambahan dari
dua lembah yang sudah ada itu” [HR. Bukhari dan Muslim].
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, ”Banyak
sekali keinginan-keinginan tersembunyi dalam hati yang cukup merusak mahabbah
dan ubudiyah kepada Allah serta keikhlasan beragama”. Kaab bin Malik
meriwayatkan dari Nabi Saw. Ia bersabda, ”Tidak ada dua srigala lapar yang
dilepaskan dari kandang kambing yang justru sangat berbahaya baginya, selain
kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan bagi agamanya” [HR.
Ahmad].
Tanpa harta tidak mungkin kita akan bahagia tapi harta
bukanlah satu-satunya yang mendatangkan kebahagiaan, harta sebagai fasilitas hidup yang harus
dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, dia ibarat darah pada satu tubuh yang
memerlukan kehidupan, berpandai-pandailah menggunakan darah bahkan bila
kelebihan pada tubuh seseorang juga tidak baik bagi kesehatan sehingga perlu
adanya penyaluran melalui pendonoran darah dalam rangka untuk membantu
kehidupan orang lain.
Harta itu ibarat senjata bermata dua, kedua sisinya bisa
melukai kita bila tidak hati-hati menggunakannya, dia dipersoalkan bukan saja
darimana dan dengan apa diperoleh tapi kemana dipergunakan juga menjadi beban
yang punya harta. Ke hati-hatian inilah yang mendorong sahabat Nabi bernama Abu
Bakar untuk menginvestasikan hartanya dengan memerdekakan para budak, Umar bin
Khattab tidak punya apa-apa lagi karena seluruh hartanya diserahkan untuk biaya
jihad begitu juga Usman bin Affan milyaran rupiah hartanya untuk melepaskan
ummat islam dari paceklik, nampaknya efektif harta itu bila di tangan
orang-orang yang bijak.
Tanpa harta memang sulit
untuk bahagia, tapi harta bukanlah jaminan untuk mencapai bahagia. Jika kita
miliki juga harta itu maka bersyukurlah dengan menginfaqkan ke jalan Allah,
bila hari ini kita dalam kekurangan, maka bersabarlah sekaligus berusaha, Allah
tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang mencucurkan keringat, membanting tulang
demi mencari nafkah untuk kebutuhan keluarganya.
Dalam
menerima rezeki sebenarnya yang penting bukan banyaknya tapi berkahnya, yaitu
dengan harta itu dia bahagia sebab dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan
harta itu pula dia harus berderma di jalan Allah, tidak gelisah dan tidak sesak
nafasnya karena penghasilan yang dia terima, ini kriteria harta yang berkah.
Betapa banyak orang yang memiliki harta melimpah tapi hidunya gelisah, resah,
cemas, takut dan panik karena hartanya tidak berkah. Idealnya biarlah kita kaya
tapi kita orang-orang yang shaleh diantara hamba-hamba-Nya yang shaleh.
Menurut Imam Al
Ghazali ada lima hal untuk
menghilangkan sifat loba, tamak dan rakus dalam kehidupan sehingga menjadi
orang yang qana’ah yaitu;
Pertama, membiasakan
diri hidup dalam keadaan sedang,
sederhana dan tidak berlebih-lebihan, secukupnya saja dalam berbelanja dan
menjauhi kemewahan.
Kedua, hendaklah seseorang itu
meyakinkan dengan seyakin-yakinnya bahwa rezeki yang ditentukan untuknya itu
pasti akan dicapai dan diperolehnya. Rezeki itu pasti akan datang sekalipun ia
tidak berhati tamak dan loba untuk meraihnya.
Ketiga, hendaklah disadari bahwa
dengan berbuat qana’ah itu seseorang akan memperoleh kemuliaan sebab tidak
memerlukan atau mengharapkan pertolongan orang lain dan tidak sampai
meminta-minta sesuatu untuk menutupi kebutuhannya, sedangkan bersifat loba dan
tamak itu merupakan lambang kehinaan.
Keempat, hendaklah memperbanyak
pemikirannya perihal kehikmatan yang dimiliki oleh golongan kaum kafir dan
kurang akal, selanjutnya hendaknya melihat prihidup para Rasul, Nabi dan
orang-orang shaleh sebelumnya tentang kehidupan.
Kelima, hendaknya disadari bahwa
harta itu banyak sekali menyebabkan timbulnya bencana dan marabahaya.
Dengan melaksanakan hal-hal sebagaimana yang tersebut di
atas, insya Allah seseorang itu akan dapat mengusahakan sifat qana’ah, menerima
dengan apa yang ada disisinya, tetapi harus berusaha untuk memperbaiki
nasibnya, juga tetap berpegang teguh pada sifat sabar dalam keadaan yang
bagaimanapun gawatnya karena sikap mulia yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad
adalah bila yang berkaitan dengan rezeki maka lihatlah orang yang lebih miskin
dari kita, tapi yang berkaitan dengan ibadah maka lihat dan teladanilah orang
yang lebih shalehdari kita, bahkan watak seorang mukmin itu selalu baik, bila
mendapatkan rezeki maka dia bersyukur dan itu baik baginya dan bila mendapatkan
musibah dia bersabar maka itu juga baik baginya, yakinlah selama masih ada
usia, masih bisa berusaha maka masih dapat untuk mengais harta Allah di dunia
ini, jangankan manusia sedangkan ulat di dalam lubang batu saja masih
mendapatkan rezeki dari Tuhannya. Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 04 Zulqaidah 1434.H/09 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar