RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Bersungguh-sungguh
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Dalam bidang
apapun, pribadi muttaqin dituntut untuk bersungguh-sungguh, baik sebagai
pedagang, petani, pegawai, buruh ataupun pelajar untuk tidak boleh
setengah-setengah dalam bekerja agar hasil yang didapatkan memuaskan. Ada
pendapat yang mengatakan, ”Lebih baik
jadi petani yang berhasil karena bekerja sungguh-sungguh daripada jadi
pengusaha yang gagal karena bekerja ala kadarnya”.
Allah berfirman dalam surat Al Hujurat 49;15 ”Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”.
Salah satu jati diri orang yang beriman pada ayat di atas
ialah mujahadah yang disebut juga dengan jihad. "Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik" [Al Ankabut 29;69]
Mujahadah
adalah sikap pribadi yang ingin menjaga taqwanya dengan baik sehingga dalam
melaksanakan sesuatu apalagi yang berkaitan dengan amal ibadah dikerjakan
dengan sungguh-sungguh, sebagaimana Umar bin Khattab pernah ketinggalan shalat
jama'ah, lalu malamnya dia ganti dengan
ibadah sepanjang malam dan tidak tidur, inilah ujud kesungguhannya dalam
beribadah.
Imam An
Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 11yang
berjudul Bersungguh-sungguh
mengungkapkan hal itu sebagai berikut;
Allah Ta'ala berfirman:"Dan
orang-orang yang berjihad dalam membela agama Kami, maka pasti akan Kami
tunjukkan mereka itu akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah itu beserta
orang-orang yang berbuat kebagusan." (al-Ankabut: 69)
Allah Ta'ala berfirman
lagi:"Dan sembahlah Tuhanmu
sehingga datanglah keyakinan - kematian - itu padamu." (al-Hijr: 99).
Lagi Allah Ta'ala
berfirman:"Dan ingatlah akan nama Tuhanmu serta beribadatlah kepada-Nya
dengan sepenuh hati," yakni hentikanlah segala pemikiran, untuk
semata-mata menghadap kepadaNya." (al-Muzzammil: 8).
Allah Ta'ala juga
berfirman:"Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat timbangan
debu, iapun pasti akan mengetahuinya."
(az-Zalzalah: 7).
Juga Allah Ta'ala
berfirman:"Dan apa saja - perbuatan baik - yang engkau sekalian berikan
untuk dirimu sendiri, nanti pasti akan engkau sekalian dapati di sisi Allah,
keadaannya adalah lebih baik dan lebih besar pahalanya dan mohonlah pengampunan
kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang." (al-Muzzammil:
20).
Lagi firman Allah
Ta'ala:"Dan apa saja kebaikan yang engkau sekalian kerjakan, maka
sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui." (al-Baqarah: 215).
Adapun Hadis-hadisnya
ialah:
Dari Abu Hurairah r.a.,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman - dalam
Hadis qudsi : "Barangsiapa memusuhi kekasihKu, maka Aku memberitahu-kan
padanya bahwa ia akan Kuperangi - Kumusuhi.
Dan tidaklah seseorang
hambaKu itu mendekat padaKu dengan sesuatu yang amat Kucintai lebih daripada
apabila ia melakukan apa-apa yang telah Kuwajibkan padanya. Dan tidaklah
seseorang hambaKu itu mendekatkan padaKu dan melakukan hal-hal yang sunnah
sehingga akhirnya Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Akulah
yang sebagai telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, Akulah matanya yang ia
gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang ia gunakan untuk mengambil dan
Akulah kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Andaikata ia meminta sesuatu
padaKu, pastilah Kuberi dan andaikata memohonkan perlindungan padaKu, pastilah
Kulindungi." (Riwayat Bukhari).
Dari Anas r.a. dari Nabi
s.a.w. dalam sesuatu yang diriwayatkan dari Tuhannya 'Azzawajalla, firmanNya -
Hadis Qudsi :"Jikalau seseorang hamba itu mendekat padaKu sejengkal, maka
Aku mendekat padanya sehasta dan jikalau ia mendekal padaKu sehasta, maka Aku
mendekat padanya sedepa. Jikalau hamba itu mendatangi Aku dengan berjalan, maka
Aku mendatanginya dengan bergegas-gegas." (Riwayat Bukhari).
Hadis yang tercantum di
atas itu adalah sebagai perumpamaan belaka, baik bagi Allah atau bagi hambaNya.
Jadi maksudnya ialah barangsiapa yang mengerjakan ketaatan kepada Allah
sekalipun sedikit, maka Allah akan menerima serta memperlipat-gandakan
pahalanya, juga pelakunya itu diberi kemuliaan olehNya selama di dunia sampai
di akhirat. Makin besar dan banyak ketaalannya, makin pula besar dan
bertambah-tambah pahalanya. Manakala cara melakukan ketaatan itu dengan
perlahan-lahan, Allah bukannya memperlahan atau memperlambatkan pahalanya,
tetapi bahkan dengan segera dinilai pahalanya itu dengan penilaian yang luarbiasa
tingginya.
Demikianlah tujuan dan
makna yang tersirat dalam isi Hadis tersebut. Wallahu A'lam bish-shawaab.
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhuma, katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ada dua macam kenikmatan
yang keduanya itu disia-siakan oleh sebagian besar manusia yaitu kesihatan dan
kelapangan waktu." (Riwayat Bukhari)
Lafaz Maghbuun dalam
Hadis di atas itu, asalnya dari kata Zhaban, yaitu membeli sesuatu
dengan harga yang melebihi batas dari harga yang semestinya dan berlipat-lipat
dari yang seharusnya dibayarkan, jadi yang sepatutnya dibeli seratus rupiah,
tiba-tiba dibeli dengan harga seribu rupiah. Juga Ghaban itu dapat
berarti menjual sesuatu dengan harga yang terlampau sangat rendahnya, misalnya
sesuatu itu dapat dijual dengan harga limapuluh rupiah, tetapi hanya dijual
dengan harga lima rupiah saja.
Orang mukallaf yakni
manusia yang sudah baligh lagi berakal oleh Rasulullah s.a.w. diumpamakan
sebagai seorang pedagang. Kesihatan tubuh dan kelapangan waktu yakni waktu
tidak ada pekerjaan apa-apa yang diumpamakan sebagai pokok harta atau kapital
untuk berdagang itu, sedang ketaatan kepada Allah Ta'ala sebagai benda-benda
yang diperdagangkan.
Namun demikian sebagian
besar ummat manusia tidak mengerti betapa pentingnya memiliki dua macam kapital
dan bingung untuk memilih apa yang hendak diperdagangkan itu, padahal sudah
jelas pokok kapitalnya ialah kesihatan dan kelapangan waktu dan yang semestinya
dikejar untuk mendapatkan keuntungan ialah membeli dagangan yang akan dapat
memberi keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukankah ketaatan kepada Allah itu akan
menguntungkan sekali, baik di dunia atau di akhirat. Bukankah itu pula yang
menyebabkan akan dapat memperoleh laba yang besar sekali di sisi Allah dan yang
menjurus ke arah mendapat kebahagiaan. Tetapi semua itu disia-siakan oleh
sebagian besar ummat manusia sewaktu mereka hidup di dunia ini.
Baharu orang itu
mengerti besarnya kenikmatan sihat dan lapang waktu itu,apabila telah sakit dan
banyak kesibukan, sehingga banyak kewajiban-kewajiban terhadap agama menjadi
kocar-kacir dan terbengkalai atau samasekali ditinggalkan. Semoga kita semua
dilindungi oleh Allah dari hal-hal yang sedemikian itu.
Dari Aisyah radhiallahu
'anha bahwasanya Rasulullah s.a.w. berdiri untuk beribadat dari sebagian waktu
malam sehingga pecah-pecahlah kedua tapak kakinya. Saya (Aisyah) lalu berkata
padanya: "Mengapa Tuan berbuat demikian, ya Rasulullah, sedangkan Allah
telah mengampuni untuk Tuan dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang
kemudian?"
Rasulullah s.a.w.
bersabda:"Adakah aku tidak senang untuk menjadi seorang hamba yang
banyak bersyukurnya?" (Muttafaq 'alaih).
Dalam mengulas apa yang
dikatakan oleh Sayidah Aisyah radhiallahu 'anha bahwa Rasuiullah s.a.w. itu
sudah diampuni semua dosanya oleh Allah, baik yang dilakukan dahulu atau
belakangan, maka al-lmam Ibnu Abi Jamrah r.a. memberikan uraiannya sebagai
berikut:
"Sebenarnya tiada
seorangpun yang dalam hatinya terlintas suatu persangkaan bahwa dosa-dosa yang
diberitahukan oleh Allah Ta'ala yang telah diampuni yakni mengenai diri Nabi
s.a.w. itu adalah dosa yang kita maklumi dan yang biasa kita jalankan ini, baik
yang dengan sengaja atau cara apapun. Itu sama sekali tidak, sebab Rasulullah
s.a.w., juga semua nabiullah 'alaihimus shalatu wassalam itu adalah terpelihara
dan terjaga dari semua kemaksiatan dan dengan sendirinya tidak ada dosanya
samasekali (ma'shum minadz-dzunub). Semoga kita semua dilindungi oleh Allah
dari memiliki persangkaan yang jelas salahnya sebagaimana di atas.
Jadi tujuannya hanyalah
sebagai mempertunjukkan kepada seluruh ummat, betapa besarnya kewajiban setiap
manusia, yang di dalamnya termasuk pula Nabi Muhammad s.a.w. untuk memaha
agungkan, memaha besarkan kepadaNya serta senantiasa mensyukuri
kenikmatan-kenikmatanNya. Oleh sebab apa yang dilakukan oleh manusia,
bagaimanapun juga besar dan tingginya nilai apa yang diamalkannya itu, masih
belum memadai sekiranya dibandingkan dengan kenikmatan yang dilimpahkan oleh
Nya kepada manusia tersebut. Maka dari itu hak-hak Allah yang wajib kita penuhi
sebagai imbalan karuniaNya itu, masih belum sesuai dengan amalan baik yang kita
lakukan, sekalipun dalam anggapan kita sudah amat banyak sekali. Jadi lemahlah
kita untuk mengimbanginya dan itulah sebabnya, maka memerlukan adanya
pengampunan sekalipun tiada dosa yang dilakukan sebagaimana halnya Rasulullah
Muhammad serta sekalian para nabiNya 'alaihimus shalatu wassalam itu."
Dari Aisyah radhiallahu
'anha juga bahwasanya ia berkata:
"Rasulullah itu apabila
masuk hari sepuluh,
maka ia menghidup-hidupkan
malamnya dan membangunkan isterinya dan bersungguh-sungguh serta mengeraskan
ikat pinggangnya." Yang dimaksudkan ialah:
Hari sepuluh artinya
sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan - jadi antara tanggal 21
Ramadhan sampai habisnya bulan itu. Mi'zar atau izar dikeraskan ikatannya
maksudnya sebagai sindiran menyendiri dari kaum wanita - yakni tidak berkumpul
dengan isteri-isterinya, ada pula yang memberi pengertian bahwa maksudnya itu
ialah amat giat untuk beribadat. Dikatakan: Saya rnengeraskan ikat pinggangku
untuk perkara ini, artinya: Saya bersungguh-sungguh melakukannya dan
menghabiskan segala Waktu untuk merampungkannya.
Dari Abu Hurairah r.a.
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:"Orang mu'min yang kuat adalah
lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mu'min yang lemah.
Namun keduanya itupun sama memperoleh kebaikan.
Berlombalah untuk
memperoleh apa saja yang memberikan kemanfaatan padamu dan mohonlah pertolongan
kepada Allah dan janganlah merasa lemah. Jikalau engkau terkena oleh sesuatu
mushibah, maka janganlah engkau berkata: "Andaikata saya mengerjakan
begini, tentu akan menjadi begini dan begitu." Tetapi berkatalah:
"Ini adalah takdir Allah dan apa saja yang dikehendaki olehNya tentu Dia
melaksanakannya," sebab sesungguhnya ucapan "andaikata" itu
membuka pintu godaan syaitan." (Riwayat Muslim)
Dan" Abu Hurairah
r.a. pula bahwasanya RasuluHah s.a.w. bersabda:
"Ditutupilah neraka
dengan berbagai kesyahwatan - keinginan -dan ditutupilah syurga itu dengan
berbagai hal yang tidak disenangi." (Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Abdillah, yaitu
Hudzaifah bin al-Yaman al-Anshari yang terkenal sebagai penyimpan rahasia
Rasullah s.a.w., radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya bersembahyang beserta
Nabi s.a.w. pada suatu malam maka beliau membuka - dalam rakaat pertama -
dengan surat al-Baqarah. Saya berkata: "Beliau ruku' pada ayat keseratus,
kemudian berlalulah." Saya berkata: "Beliau bersembahyang dengan
bacaan tadi itu dalam satu rakaat, kemudian berlalu."
Selanjutnya saya
berkata: "Beliau ruku' dengan bacaan di atas itu, kemudian membuka - dalam
rakaat kedua - dengan surat an-Nisa'lalu membacanya,kemudian membuka lagi
-sebagai lanjutan-nya - surat ali Imran, kemudian membacanya.
Beliau s.a.w. membacanya
itu dengan rapi sekali -tidak tergesa-gesa - jikalau melalui ayat yang di
dalamnya mengandung pentasbihan - memahasucikan -beliaupun mengucapkan
tasbih,jikalau melalui ayat yang mengandung suatu permohonan, beliaupun
memohon, jikalau melalui ayat yang menyatakan berta'awwudz -mohon perlindungan
kepada Allah dari sesuatu yang tidak baik, beliaupun berta'awwudz - mohon
perlindungan.
Kemudian beliau s.a.w.
ruku' dan di situ beliau mengucapkan: Subhana rabbtal 'azhim. Ruku'nya
adalah seumpama saja dengan berdirinya - yakni perihal lamanya hampir persamaan
belaka -selanjutnya beliau mengucapkan: Sami'allahu iiman hamidah. Rabbana
lakal hamd," lalu berdiri dengan berdiri yang lama mendekati ruku'nya
tadi. Seterusnya beliau bersujud lalu mengucapkan: Subhana rabbial a'la,
maka sujudnya itu
mendekati pula akan berdirinya -
tentang lama waktunya." (Riwayat Muslim)
Dari Ibnu Mas'ud r.a.,
katanya: "Saya bersembahyang beserta Rasulullah s.a.w. pada suatu malam,
maka beliau memperpanjangkan berdirinya, sehingga saya bersengaja untuk
melakukan sesuatu yang tidak baik."Ia ditanya: "Dan apakah hal yang
tidak baik yang engkau sengajakan itu?"
Ibnu Mas'ud r.a.
menjawab: "Saya bersengaja hendak duduk saja dan meninggalkan beliau -
tidak terus berma'mum padanya." (Muttafaq 'alaih)
Dari Anas r.a. dari
Rasulullah s.a.w., sabdanya:"Mengikuti kepada seseorang mayit itu tiga
hal, yaitu keluarganya, hartanya serta amalnya. Kemudian kembalilah yang dua
macam dan tertinggallah yang satu. Kembalilah keluarga serta hartanya dan
tertinggallah amalnya." (Muttafaq 'alaih)
Dari Ibnu Mas'ud r.a.
katanya: "Nabi s.a.w. bersabda: "Syurga itu
lebih dekat pada
seseorang di antara
engkau sekalian daripada ikat terumpahnya, nerakapun demikian
pula." (Riwayat Bukhari).
Maksud Hadis di atas itu
ialah bahwa untuk mencapai syurga atau neraka itu mudah sekali. Jika seseorang
ingin mendapatkan syurga tentulah wajib mempunyai kesengajaan yang benar,
melakukan ketaatan dan kebaktian kepada Tuhan, melaksanakan semua perintah dan
menjauht semua laranganNya, tetapi jika ingin memasuki neraka - semoga kita
dilindungi Allah dari siksa neraka itu, tentulah dengan jalan mengikuti apa
saja yang menjadi kehendak hawanafsu, menuruti kemauan syaitan dan melakukan
apa saja yang berupa kemaksiatan dan kemungkaran.
Dari Abu Firas yaitu
Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslami,
pelayan Rasulullah s.a.w.
dan ia termasuk pula
dalam golongan ahlussuffah - yakni kaum fakir miskin - r.a. katanya:
"Saya bermalam beserta Rasulullah s.a.w., kemudian saya mendatangkan
untuknya dengan air wudhu'nya serta hajatnya - maksudnya pakaian dan lain-lain.
Kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Memintalah padaku!" Saya berkata:
"Saya meminta kepada Tuan untuk menjadi kawan Tuan di dalam syurga."
Beliau s.a.w. bersabda lagi: "Apakah tidak ada yang selain itu?" Saya
menjawab: "Sudah, itu sajalah." Beliau lalu bersabda: "Kalau
begitu tolonglah aku - untuk melaksanakan permintaanmu itu - dengan memaksa
dirimu sendiri untuk memperbanyak bersujud - maksudnya engkaupun harus pula
berusaha untuk terlaksananya permtntaan tersebut dengan jalan memperbanyak
menyembah Allah." (Riwayat Muslim)
Dari Abu Mas'ud yaitu
'Uqbah bin 'Amr al-Anshari al-Badri r.a., katanya: "Ketika ayat sedekah
turun, maka kita semua mengangkat sesuatu di atas punggung-punggung kita -untuk
memperoleh upah dari hasil mengangkatnya itu untuk disedekahkan. Kemudian
datanglah seseorang lalu bersedekah dengan sesuatu yang banyak benar jumlahnya.
Orang-orang sama berkata: "Orang itu adalah sengaja berpamer saja -
memperlihatkan amalannya kepada sesama manusia dan tidak karena Allah Ta'ala
melakukannya. Ada pula orang lain yang datang kemudian bersedekah dengan barang
sesha' - dari kurma. Orang-orang sama berkata: "Sebenarnya Allah pastilah
tidak memerlukan makanan sesha'nya orang ini." Selanjutnya turun pulalah
ayat - yang artinya:"Orang-orang yang mencela kaum mu'minin yang
memberikan sedekah dengan sukarela dan pula mencela orang-orang yang tidak
mendapatkan melainkan menurut kadar kekuatan dirinya," dan seterusnya ayat
itu - yakni firmanNya: "Lalu mereka memperolok-olokkan mereka. Allah akan
memperolok-olokkan para pencela itu dan mereka yang berbuat sedemikian itu akan
memperoleh siksa yang pedih." (at-Taubah: 79) (Muttafaq 'alaih).
Mujahadah
adalah sikap pribadi yang ingin menjaga taqwanya dengan baik sehingga dalam
melaksanakan sesuatu apalagi yang berkaitan dengan amal ibadah dikerjakan
dengan sungguh-sungguh, sebagaimana Umar bin Khattab pernah ketinggalan shalat
jama'ah, lalu malamnya dia ganti dengan
ibadah sepanjang malam dan tidak tidur, inilah ujud kesungguhannya dalam
beribadah. Wallahu a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 28 Syawal 1434.H/04 September
2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar