Kamis, 28 November 2013

77.35 Hak Suami Atas Isteri (Yang Wajib Dipenuhi Oleh Isteri)



RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]


Hak Suami Atas Isteri (Yang Wajib Dipenuhi Oleh Isteri)
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Nabi Besar Muhammad Saw memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada wanita yang dapat memberikan ketenangan kepada suaminya, perhatikanlah hadits berikut; ”Sesungguhnya nabi ketika ditanya tentang perempuan manakah yang terbaik, beliau menjawab, ialah yang menyenangkan bila dilihat suaminya, diikutinya suruhan suaminya dan tidak diselewengkannya dirinya dan harta suaminya ke jalan yang tidak disukainya”.

            Hadits ini menggambarkan seorang wanita yang tahu harga diri dan tahu fungsi dirinya terhadap suaminya. Pakaian bersih, dandanan teratur dan rapi, tentu akan menyenangkan suami, dapat menimbulkan nafsu syahwat suami sewaktu-waktu yang akan membawa hubungan yang lebih rapat dan dapat pula memberikan ketenangan yang lebih sempurna.

            Isteri yang shalehah berarti seorang wanita yang tahu kewajibannya terhadap Tuhannya dan terhadap suaminya, sehingga si suami betul-betul merasa yakin bahwa isterinya hanyalah buat dirinya sendiri saja. Segala yang dilakukannya adalah untuk memberikan kesenangan dan ketenangan suaminya. Badan yang lelah pulang kerja dapat dikuatkan di dalam rumah tangga oleh isteri yang shalehah. Rumah tangga yang rapi, makan yang teratur dan sesuai dengan selera. Si isteri tahu bahwa sebagai perangsang seksual. Ia tidak akan berpakaian yang  mencolok di hadapan laki-laki lain yang bukan suaminya, sehingga menjadi teransang olehnya. Tingkah lakunya, cara ia berbicara, tidak akan menggoda laki-laki lain.

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 35 dengan judulHak Suami Atas Isteri (Yang Wajib Dipenuhi Oleh Isteri)”

Allah Ta'ala berfirman:"Kaum lelaki itu adalah pemimpin-pemimpin atas kaum wanita - isteri-isterinya, karena Allah telah meleblhkan sebagian mereka dari yang lainnya, juga karena kaum lelaki itu telah menafkahkan dari sebagian hartanya. Oleh sebab itu kaum wanita yang shalihah ialah yang taat serta menjaga dirinya di waktu ketiadaan suaminya, sebagaimana yang diperintah untuk menjaga dirinya itu oleh Allah." (an-Nisa':34).

Menilik isi yang tersirat dalam ayat di atas, maka Allah Ta'ala sudah memberikan ketentuan yang tidak dapat diubah-ubah atau sudah merupakan sunatullah, yaitu bahwa keharmonian rumahtangga itu, manakafa lelaki dapat menguasai seluruh hal-ihwal rumahtangga, dapat mengatur dan mengawasi isteri sebagai kawan hidupnya dan menguasai segala sesuatu yang masuk dalam urusan rumahtangganya itu sebagaimana pemerintah yang baik, pasti dapat menguasai dan mengatur sepenuhnya perihal keadaan rakyat.

Manakala ini terbalik, misalnya isteri yang menguasai suami, atau sama-sama berkuasanya, sehingga seolah-olah tidak ada pengikut dan yang diikuti, tidak ada pengatur dan yang diatur, sudah pasti keadaan rumahtangga itu menemui kericuan dan tidak mungkin ada ketenangan dan ketenteraman di dalamnya.

Ringkasnya para suamilah yang wajib menjadi Qawwaamuun, yakni penguasa, khususnya kepada isterinya. Ini dengan jelas diterangkan oleh Allah perihal sebab-sebabnya, yaitu kaum lelakilah yang dikaruniai Allah Ta'ala akal yang cukup sempurna, memiliki kepandaian dalam mengatur dan menguasai segala persoalan, juga kekuatannyapun dilebihkan oleh Allah bila dibandingkan dengan kaum wanita, baik dalam segi pekerjaan ataupun peribadatan dan ketaatan kepada Tuhan. Selain itu suami mempunyai pertanggunganjawab penuh untuk mencukupi nafkah seluruh isi rumahtangga itu.

Oleh sebab itu isteri itu baru dapat dianggap shalihah, apabila ia selalu taat pada Allah, melaksanakan hak-hak suami, memelihara diri di waktu suaminya tidak di rumah dan tidak seenaknya saja dalam hal memberikan harta yang menjadi milik suaminya itu. Dengan demikian isteri itupun pasti akan dilindungi oleh Allah dalam segala hal dan keadaan, juga ditolong untuk dapat melaksanakan tanggungjawabnya yang dipikulkan kepadanya mengenai urusan rumahtangganya itu.

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jikalau seseorang lelaki mengajak isterinya ketempat tidurnya, tetapi isteri itu tidak mendatangi ajakannya tadi, lalu suami itu menjadi marah pada malam harinya itu, maka para malaikat melaknati - mengutuk - isteri itu sampai waktu pagi." (Muttafaq 'alaih).

Dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang lain lagi, disebutkan demikian: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apabila seseorang isteri meninggalkan tempat tidur suaminya pada malam harinya, maka ia dilaknat oleh para malaikat sampai waktu pagi."

Dalam riwayat lain lagi disebutkan sabda Rasulullah s.a.w. demikian:Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, tiada seseorang lelakipun yang mengajak isterinya untuk datang di tempat tidurnya, lalu isteri itu menolak ajakannya, melainkan semua penghuni yang ada di langit - yakni para malaikat - sama murka pada wanita itu sehingga suaminya rela padanya - yakni mengampuni kesalahannya."

Dari Abu Hurairah r.a. pula bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tiada halal - yakni haram - bagi seorang isteri untuk berpuasa - sunnat - sedangkan suaminya menyaksikan - yakni ada, melainkan dengan izin suaminya itu dan tidak halal mengizinkan seseorang lelaki lainpun untuk masuk rumahnya - baik lelaki lain mahramnya atau bukan, kecuali dengan izin suaminya." (Muttafaq 'alaih).

 Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w. sabdanya:"Semua orang dari engkau sekalian itu adalah penggembala dan semuanya saja akan ditanya perihal penggembalaannya. Seorang amir - pamong peraja - adalah penggembala, orang lelaki juga penggembala pada keluarga rumahnya, orang perempuan pun penggembala pada rumah suaminya serta anaknya. Maka dari itu semua orang dari engkau sekalian itu adalah penggembala dan semua saja akan ditanya perihal penggembalaannya." (Muttafaq 'alaih)

Dari Abu Ali, yaitu Thalq bin Ali r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jikalau seseorang lelaki mengajak isterinya untuk keperluannya - masuk ke tempat tidur - maka wajiblah isteri itu mendatangi - mengabulkan - kehendak suaminya itu, sekalipun di saat itu isteri tadi sedang ada di dapur." Diriwayatkan oleh Imam-Imam Termidzi dan an-Nasa'i dan Termidzi berkata bahwa ini adalah Hadis hasan.

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Andaikata saya boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscayalah saya akan menyuruh isteri supaya bersujud kepada suaminya."

Dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:"Mana saja wanita yang meninggal dunia sedang suaminya rela padanya - tidak sedang mengkal padanya, maka wanita itu akan masuk syurga." Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.

Dari Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya:"Saya tidak meninggalkan sesuatu fitnah sepeninggalku nanti yang fitnah itu Iebih besar bahayanya untuk dihadapi oleh kaum lelaki, Iebih hebat dari fitnah yang ditimbulkan oleh karena persoalan orang-orang perempuan." (Muttafaq 'alaih]

 Dari Mu'az bin Jabal r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tidaklah seseorang isteri itu menyakiti pada suaminya di dunia - baik hati atau badannya, melainkan isterinya yang dari bidadari yang membelalak matanya itu berkata: "Janganlah engkau menyakiti ia, semoga engkau mendapat siksa Allah. Hanyasanya ia di dunia itu adalah sebagai tamu bagimu, yang hampir sekali akan berpisah denganmu untuk menemui kita." Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.

Suatu kisah sederhana dibawah ini menggambarkan sebuah tipe kedudukan wanita sebagai ibu rumah tangga karena ia dituntut suatu kesiapan dan persiapan diri dengan berbagai ilmu yang dapat dijangkaunya. Didalam problem rumah dibutuhkan dasar-dasar ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, keuangan, pendidikan, pengajaran, masak memasak, keterampilan serta seni mengurus rumah tangga.

            Sekelumit kisah Asma binti Abu Bakar As Siddiq, isteri Az Zubair bin Awwam. Asma saudara kandung Aisyah mendapat gelar ”Zatun Nitaqain” dari Rasulullah. Ia menyatakan tentang dirinya, ”Saya melayani Zubair dalam segala urusan rumah tangga saya yang melatih kudanya, memberikannya makan dan minum, menjahit timba yang bocor, menyiram tanaman serta memanggulnya sendiri kacang-kacangan”. Itulah Asma yang terkenal peranannya dalam sejarah Hijrah Nabi Saw sebagai Dzatun Nitaqain yang merobek stagennya menjadikan dua bagian, satu bagian sebagai pengikat bekal makanan untuk nabi dan ayahnya yang sedang singgah hijrah di gua Tsur, dan stagen satu lagi untuk dirinya.

            Tidak diragukan lagi bahwa rumah tangga muslim adalah inti dari masyarakat yang baik, maka wajiblah diperhatikan dengan memelihara ikatan perkawinan islam dengan ikatan yang benar jauh dari kesan sia-siaan untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhur yang penuh kasih sayang dan ketenangan jiwa yang sekaligus merupakan salah satu kebesaran Allah yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya sebagaimana gambaran firman Allah, ”Dan diantara tanda-tanda-Nya bahwa ia menjadikan isteri bagimu yang sebangsa denganmu , supaya boleh kamu diam bersama dia serta saling mengasihi dan mencintai” [Ar Rum;21].

            Prinsip-prinsip pengaturan rumah tangga dan segenap peraturannya bersumber dari syariat Islam, maka oleh karenanya tidaklah ia tunduk pada masa permulaan kepada suatu perubahan asing dan pengaruh pemerintah disaat rumah tangga islam terjaga oleh aqoid keimanan pada setiap muslim. Telah nampak sekarang bahwa tidaklah rumah tangga bisa terjaga kecuali bila dipersenjatai dengan senjata ilmu agama dan aqoid keimanan yang menyangku syariat sehingga dengan demikian ia tetap terlindung dari gelombang-gelombang atheisme dan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan orang-orang yang berusaha menyebarkan kerusakan di bumi, ”Pastilah Allah menolong barangsiapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Gagah Perkasa”.

            Hendaknya kita kaum muslimin memperhatikan pendidikan kepada rumah tangga tentang aqoid keimanan agama yang benar dan mempersenjatainya dengan senjata taqwa supaya berpegang teguh pada sebab  yang kuat  dari akhlak yaitu rasa malu, kesucian diri dan harga diri sehingga terbentuklah masyarakat yang baik. Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 04 Zulqaidah 1434.H/09 September 2013].


 



                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar