PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
PRILAKU
YANG DIAMPUNI
عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِي :
الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
[حديث
حسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما]
Terjemah hadits / ترجمة
الحديث :
Dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma : Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : "Sesungguhnya Allah
ta’ala memafkan umatku karena aku (disebabkan beberapa hal) : Kesalahan, lupa
dan segala sesuatu yang dipaksa“ (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Baihaqi dan lainnya)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث:
1. Allah ta’ala
mengutamakan umat ini dengan menghilangkan berbagai kesulitan dan memaafkan
dosa kesalahan dan lupa.
2. Sesungguhnya Allah
ta’ala tidak menghukum seseorang kecuali jika dia sengaja berbuat maksiat dan
hatinya telah berniat untuk melakukan penyimpangan dan meninggalkan kewajiban
dengan sukarela .
3. Manfaat adanya
kewajiban adalah untuk mengetahui siapa yang ta’at dan siapa yang membangkang.
4. Ada beberapa perkara
yang tidak begitu saja dimaafkan. Misalnya seseorang melihat najis di bajunya
akan tetapi dia mengabaikan untuk menghilangkannya segera, kemudian dia shalat
dengannya karena lupa, maka wajib baginya mengqhada shalat tersebut. Contoh
seperti itu banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqh.
Pembahasan:
Hadits ini
disebutkan dalam tafsir ayat : "Jika kamu melahirkan apa yang ada dihati
kamu atau kamu sembunyikan, maka Allah akan mengadili kamu dengan apa yang kamu
lakukan itu" (QS. 2 : 284)
Ayat ini
menyebabkan para sahabat merasa tertekan. Oleh karena itu, Abu Bakar, 'Umar,
'Abdurrahman bin 'Auf, dan Mu'adz bin Jabal beberapa orang mendatangi
Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan mereka berkata : "Kami dibebani amal
yang tak sanggup kami memikulnya. Sesungguhnya seseorang di antara kami dalam
hatinya ada bisikan yang tidak disenanginya, sekalipun bisikan itu menjanjikan
dunia. Nabi صلی الله عليه وسلم lalu menjawab : "Boleh jadi kamu
mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan Bani Israil, yaitu kami mau
mendengar tetapi kami akan menentangnya. Karena itu katakanlah : 'Kami mau
mendengar dan mau menaati". Hal itu membuat mereka merasa tertekan dan
mereka diam untuk sementara. Lalu Allah memberikan kelonggaran dan rahmat-Nya
dengan berfirman : "Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai
kemampuannya. Ia akan mendapatkan pahala atas usahanya dan mendapatkan siksa
atas kesalahannya, (lalu ia berdo'a) : 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau tersalah". (QS. 2 : 286)
Allah memberikan
keringanan dan mansukh (terhapus)lah ayat yang pertama di atas. Imam Baihaqi
berkata bahwa Imam Syafi'i berkata : "Allah berfirman : Kecuali orang yang
dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan imannya (maka orang semacam ini
tidak berdosa)".
Ada beberapa
hukum bagi sikap kekafiran ketika Allah menyatakan bahwa kekufuran tidak
terdapat pada orang yang dipaksa, maksudnya bahwa menyatakan kekufuran secara
lisan karena dipaksa tidak dianggap kufur. Jika sesuatu yang lebih berat
dianggap gugur, maka yang lebih ringan lebih patut untuk gugur. Kemudian
disebutkan adanya riwayat dari Ibnu 'Abbas dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم :
"Sesungguhnya Allah membebaskan umatku (dari dosa) karena keliru atau lupa
atau dipaksa".
Dan diriwayatkan
dari 'Aisyah, dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda : "Tidak
ada thalaq dan pembebasan budak karena pemaksaan".
Demikianlah
pendapat 'Umar, Ibnu 'Umar dan Ibnu Zubai. Tsabit bin Al Ahnaf menikahi
perempuan budak yang melahirkan anak milik 'Abdurrahman bin Zaid bin Khathab.
Lalu 'Abdurrahman memaksa Tsabit dengan teror dan cemeti untuk menceraikan
istrinya pada masa khalifah Ibnu Zubair. Ibnu 'Umar berkata kepadanya :
"Perempuan itu belum terthalaq dari kamu, karena itu kembalilah kepada
istrimu". Saat itu Ibnu Zubair di Makkah, maka ia disusul, lalu ia menulis
surat kepada gubernurnya di Madinah. Isi surat tersebut, supaya Tsabit
dikembalikan kepada istrinya dan 'Abdurrahman bin Zaid dikenai hukuman.
Kemudian Shafiyah binti Abu 'Ubaid, istri 'Abdullah bin 'Umar, mempersiapkan
upacara walimahnya dan 'Abdullah bin 'Umar menghadiri walimah ini.[Hadits
Shahih terlengkap di Indonesia, Posted
by Ceros Rino on Selasa, 09 April 2013].
Imam Al
Gazali membagi pensucian diri kepada empat hal yaitu;
- Mensucikan diri dari hadas dan najis dengan jalan thaharah melalui wudhu, mandi atau tayamum sehingga dengan kesucian ini dapat menunaikan ibadah mahdhoh seperti shalat.
- Mensucikan diri dari kegiatan mengandung dosa yang dilakukan oleh indra manusia sehingga tangan tidak mudah untuk mencuri dan memukul, kaki tidak ringan untuk menyepak lawan dan sebagainya.
- Mensucikan diri dari akhlak tercela seperti sombong, takabur, hasad, dengki dan lain sebagainya sehingga memiliki akhlakul karimah yang dipuji Allah dan disenangi oleh manusia.
- Mensucikan diri dari niat yang tidak baik dalam seluruh asfek kehidupan, kesucian ini lebih penting dari segalanya dengan tidak melupakan kesucian lainna. Dalam berbuat manusia dihiasi oleh niat-niat yang sengaja men yimpangkannya dari ikhlas kepada Allah sehingga merusak ibadahnya.
Pada masa dahulupun ummat ini selalu dirongrong oleh
segala konspirasi untuk menjauhkan dirinya dari kesucian itu, dalam mesjidpun
terjadi usaha penyimpangan aqidah
sebagaimana yang tergambar dalam surat At Taubah 9;108”Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya.
sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bersih.”[Mukhlis Denros, andai aku tahu dosa itu ada, Fam
Publishing 2012].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar