PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
MILIKILAH
SIFAT MALU
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي
الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ
الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
[رواه البخاري ]
Terjemah hadits / ترجمة
الحديث :
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al
Badry radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda : Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan
nabi-nabi terdahulu adalah : Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang
engkau suka(Riwayat Bukhori)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد
من الحديث :
1. Malu merupakan tema
yang telah disepakati oleh para nabi dan tidak terhapus ajarannya.
2. Jika seseorang telah
meninggalkan rasa malu, maka jangan harap lagi (kebaikan) darinya sedikitpun.
3. Malu merupakan
landasan akhlak mulia dan selalu bermuara kepada kebaikan. Siapa yang banyak
malunya lebih banyak kebaikannya, dan siapa yang sedikit rasa malunya semakin
sedikit kebaikannya.
4.
Rasa malu merupakan prilaku dan dapat dibentuk. Maka setiap orang yang memiliki
tanggung jawab hendaknya memperhatikan bimbingan terhadap mereka yang menjadi
tanggung jawabnya.
5.
Tidak ada rasa malu dalam mengajarkan hukum-hukum agama serta menuntut ilmu dan
kebenaran . Allah ta’ala berfirman : “ Dan Allah tidak malu dari kebenaran “
(33 : 53).
6.
Diantara manfaat rasa malu adalah ‘Iffah (menjaga diri dari perbuatan
tercela) dan Wafa’ (menepati janji)
7.
Rasa malu merupakan cabang iman yang wajib diwujudkan
Pembahasan;
Beda manusia dengan makhluk lain seperti
hewan salah satunya terletak pada rasa malu, kalaulah hewan punya rasa malu
tentu dia akan memakai gaun yang indah dan menutup auratnya, kalaulah hewan
punya rasa malu, tidak kita temui kerbau, sapi dan kambing yang memakan tanaman
tetangga, bila hewan punya rasa malu maka tidak kita temui adegan pulgar mereka
melepaskan nafsu biologisnya di sembarang tempat dan sembarang pasangan, itulah
makanya bila hewan melakukan hal itu tidak ada yang protes, karena semuanya itu
dianggap wajar, hewan itu tidak punya malu. Beda dengan manusia, dia punya rasa
malu yang tinggi, bila berlaku sebagaimana hewan maka tidak beda dengan jenis
ini.
Seorang teman, sedang
memamerkan foto bersama sang kekasihnya di laman Facebook dan jejaring
sosial. Foto-fotonya yang nampak mesra ditampilkan begitu sangat terbuka dan
bisa dilihat atau diakses pihak lain. “Aku jika punya pacar selalu aku publish,
“ujarnya suatu ketika ditanya alasannya. Padahal, mereka belum terikat sebagai
pasangan suamu istri yang sah.
Suatu
kali seorang pejabat tinggi di Jawa Timur pernah berangkat haji dengan
rombongan besar. Bersama istri, anak, keluarga dan kerabatnya mengunjungi tanah
suci,ia tanpa malu menggunakan fasilitas negara yang diambil dari pajak
rakyatnya.
Di
TV masyarakat sering menyaksikan, di ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak
yang kosong. Sebagian sering menguap karena ngantuk, bahkan ada yang
tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal digaji besar dari uang rakyatnya,
namun ia tak merasa malu disaksikan jutaan orang.
Masih
di TV, seorang terdakwah koruptor kelas kakap, yang telah menilap dan merugikan
uang negara masih bisa tersenyum ketika para wartawan TV menyorot wajahnya.
Di
akhir zaman seperti ini, istilah malu mungkin hanya slogan. Orang yang masih
memiliki rasa malu mungkin sangat langka. Yang ada justru sebaliknya. Yang
dapat kita jumpai di hampir semua lapisan sosial, baik, individu, keluarga, masyarakat
atau institusi sosial atau dalam hidup bernegara.
Tiap
hari, kita disuguhkan dengan cerita, pemandangan dan laporan yang seolah telah
menguras habis naluri dan perasaan kita.
Karyawan
yang sudah memiliki pasangan suami-istri tugas berdua dengan teman sekantor,
kakek melecehkan cucunya, ayah menghamili anaknya, kakak bersingkuh dengan adik
iparnya, Bupati atau mantan ketua organisasi besar melakukan korupsi, anak-anak
para pejabat mabuk harta ketika orantuanya sedang berkuasa, para penegak hukumnya
mudah disuap, semua telah ada nyata di depan mata kita.
Boleh
dikata, kejahatan moral berjalan secara sistematis dari kamar-kamar keluarga
hingga ke ruang-ruang Istana.[Peliharalah
Rasa Malumu!, Hidayatullah.com Senin, 18 Januari 2010].
Dr.
Saad Riyadh dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw,
menyatakan tentang Memiliki Rasa Malu ;
Rasulullah saw,
bersabda,”Iman itu memiliki dari enam puluh cabang dan rasa malu adalah salah
satu cabangnya” [HR. Bukhari].
Dalam hadits lain disebutkan bahwa
suatu hati Rasulullah saw, lewat di hadapan seorang laki-laki dari golongan
Anshar yang sedang menasehati temannya dalam hal malu. Beliau lalu
bersabda,”Biarkan saja dia. Sesungguhnya malu itu bagian dari iman.” [HR. Abu
Dawud]. [Gema Insani, 2007, hal 127].
Abu Mas’ud Uqbah bin Amr
al-Anshari al-Badri ra, berkata, Rasulullah Shallahu alaihi wa salam bersabda,
“ Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para Nabi
terdahulu, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”. (HR. Bukhari)
Makna malu adalah mencegah
dari melakukan segala sesuatu yang tercela, maka sesungguhnya memiliki malu,
pada dasarnya, seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Rasa malu
adalah ciri khas kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh manusia. Mereka
melihat bahwa tidak memiliki rasa malu adalah aib. Rasa malu merupakan bagian
dari kesempurnaan iman. “Malu adalah bagian dari keimanan”, dan dalam hadist
lainnya “Rasa malu selalu mendatangkan kebaikan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Ahmad dan Tirmidzi
meriwayatkan secara marfu’ (bersumber dari sabda Rasulullah), bahwa Ibnu
Mas’ud, “Merasa malu kepada Allah adalah dengan menjaga kepala dan apa yang
dipikirkannya, perut dan apa yang ada didalamnya, dan selalu mengingat mati dan
cobaan. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka akan meninggalkan perhiasan
dunia. Dan siapapun yang melakukan hal itu tersebut ia telah memiliki rasa malu
kepada Allah”.
Jika dalam diri manusia tidak
ada lagi rasa malu, baik yang bersifat bawaan maupun yang diusahakan, maka
tidak ada lagiyang menghalangi untuk melakukan perbuatan keji dan hina. Bahkan
menjadi seperti orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, sehingga tidak
berbeda degan golongan syetan.
Seperti dikatakan Baginda
Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”.
Ini menggambarkan betapa orang yang tidak memiliki lagi malu, pasti ai akan
berbuat dan bertindak sesuka hatinya, tanpa lagi mempedulikannya.
Berdusta, berbohong,
berkhianat, memberikan wala’nya (loyalitasnya) kepada musuh-musuh Allah, seraya
mengatakan sebaagai kemenangan. Menerima sogok dan suap, diangap sebagai
shadaqah dan jariyah. Uang-uang yang suhbhat dianggapnya sebagai yang halal.
Bahkan, yang haram pun dianggapnya sebagai halal, yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuannya, terutama menggapai kenikmatan dunia.[Mashadi,Milikilah Rasa Malu, eramuslim.com.Kamis, 14/10/2010 10:47
WIB].
Orang-orang yang minim rasa
malunya adalah sebagai gambaran pasti bahwa agamanya juga tipis, sisi-sisi
religiusitasnya juga kecil volumenya. Sebagaimana Rasulullah SAW sabdakan:"Minimnya
rasa malu menunjukkan mimimnya agama." (HR. Hakim, Tirmidzi)
Sesungguhnya rasa malu itu
adalah sebuah sifat berani yang ada dalam hati untuk tidak tercebur dalam
maksiat. Sebab orang yang memiliki rasa malu pastilah orang yang jujur pada
dirinya, pada rakyat dan bangsanya. Sebab dusta adalah sebuah sifat yang
memalukan yang tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang memiliki rasa
malu. Orang yang memiliki rasa malu tidaklah mungkin untuk berlaku khianat
karena khianat adalah sifat yang pasti dihindari oleh orang-orang yang memiliki
rasa malu.
Malu itu bukan sifat negatif
atau sifat lemah, dia adalah sikap berani. Orang yang memiliki rasa malu adalah
orang yang paling berani dan paling galak untuk mempertahankan kebenaran. Dia
tidak akan pernah surut untuk menjadi tameng kebenaran walaupun banyak orang
yang mencelanya. Dia tidak akan takut untuk menjadi martir kebenaran walaupun
demikian banyak tantangan dan rintangan. Perlu disadari oleh kita semua bahwa
membela kebenaran sama sekali tidak berbenturan dengan sifat malu. Bahkan
sebaliknya orang-orang yang memiliki rasa malu dengan volume yang memadai akan
semakin kuat pembelaannya pada kebenaran.
Seorang yang memiliki rasa
malu, bukan saja akan melakukan kebaikan di tempat-tempat terbuka namun dia
juga akan melakukan kebaikan dimanapun dia berada. Dia akan malu melakukan
kejahatan walau tidak ada seorangpun yang menatapnya, karena dia yakin bahwa
Sang Mahasegala dan Mahamelihat itu pasti sedang menyorot tajam apa yang
dilakukannya.
Rasa malu kita kepada Allah
SWT akan terus terjaga apabila kita menyadari tiga hal berikut: Pertama,
senantiasa merasakan kebaikan Allah SWT kepada kita, namun sering kali kita
berbuat buruk dan durjana pada-Nya. Kedua, menyadari sepenuhnya bahwa
mata Allah SWT demikian awas menyoroti kita dimanapun kita berada. Ketiga,
hendaknya kita semua merasakan apa yang akan kita katakan tatkala kita berada
di hadapan Allah SWT di hari pertanggungjawaban di akhirat kelak, tatkala tidak
terlewat sekecil apapun dosa yang kita lakukan.
Maka latihlah diri kita untuk
malu ketika mendengar ghibah, mengungkap aib tetangga, untuk tidak
berkata jujur setiap waktu, berkata jorok dan kotor, untuk dengki pada sesama,
malu untuk congkak dan sombong, malu untuk makan makanan haram, untuk tidak
mengingat kematian setiap saat, malu untuk tidak berbuat baik pada sesama,
untuk tidak menjaga pandangan mata dari yang haram, malu mengangkat suara
keras, malu untuk tidak marah tatkala melihat kemungkaran, malu untuk tertawa
terbahak-bahak di saat manusia lain menangis sesenggukan.[Samson Rahman,
Malu, eramuslim.com.Kamis, 08/09/2011 11:14 WIB].
Rasa malu memang diawali dari
keimanan seseorang sebagai buah dari akhlakul karimah yang terujud dalam kehidupan
sehari-hari, tapi hal itu memang juga dipengaruhi oleh pendidikan dalam
keluarga yang diteladankan oleh ayah dan ibunya, bila kedua figure ini
mengajarkan nilai-nilai tersebut kepada anaknya maka dapat dipastikan anak dan
keluarganya akan memelihara sifat ini yaitu rasa malu.
Kadangkala kita meletakkan
rasa malu tidak pada tempatnya, padahal inti malu itu membatasi seseorang untuk
melakukan perbuatan maksiat dan dosa, artinya malu untuk berbuat negative, tapi
menempatkan malu pada aktivitas positif bukanlah malu yang dimaksud seperti
malu beramal shaleh dan malu menyampaikan kebenaran. Bila hal ini terjadi
berarti kita telah menempatkan rasa malu bukan pada tempatnya, bahkan sifat ini
bukan rasa malu tapi takut untuk menyampaikan kebenaran, Nabi Muhammad Saw,
tidak malu-malu untuk menyampai kebenaran kepada kaumnya walaupun banyak sekali
caci maki dan hina dina yang diterima dari kafir Quraisy.
Alkisah, para pembesar kaum
Quraisy menawari seorang laki-laki berbagai hadiah yang sangat menggiurkan;
Kedudukkan mentereng, wanita-wanita tercantik seantero jazirah Arab, hingga
harta yang melimpah ruah.Semua tawaran tersebut bukanlah hadiah yang bisa
dipandang sebelah mata. Sekalipundemikian, laki-laki tersebut tak bergeser pada
sikap teguhnya. Dia yakin, bahwa kegiatan dakwah yang dilakukannya, merupakan
perkara yang sangat mulia, dan jauh lebih berharga dari hadiah-hadiah yang
mereka iming-imingkan.
Kemuliaan baginya, sama sekali
tidak terletak pada tingginya jabatan, atau melimpahnya harta benda. Tapi,
risalah yang dia bawalah, Islam, yang akan menyebabkannya dan pemeluknya mulia.
“Al-Islamu Ya’lu wa laa yu’laa ‘alaihi.” (Islam itu
tinggi/mulia. Dan tidak ada yang lebih tinggi/mulia dari padanya).
Merasa gagal dengan cara
lunak, para pembesar itu mulai mencegahnya dengan cara-cara kasar, bahkan
terkadang sangat tidak berprikemanusiaan. Sekali lagi, nyali laki-laki itu tak
pernah ciut. Dia tetap beristiqomah dalam menyi’arkan risalah yang dia bawa.
Bahkan, dengan tegas beliau berujar, “Demi Allah, andaikan mereka meletakkan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku tinggalkan
agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku
tidak akan meninggalkannya”.
Pria itu, tak lain, Muhammad
Rosulullah. Pria yang telah membuah gundah gulana para pemembesar kafir
Quraisy.[Robinsah, Tak Perlu Malu Menyampaikan Kebenaran,
Hidayatullah.com, Rabu, 02 Maret 2011].
Kita harus menempatkan rasa
malu itu pada tempatnya yang benar agar tidak salah kaprah, apakah dapat
dikatakan malu orang yang tidak mau melakukan kebaikan karena disindir sebagai
orang yang shaleh, apakah dapat dikatakan malu kalau menyampaikan kebenaran
karena mendengar ocehan orang yang menyatakan dan memanggilnya ustadz, inilah
sebuah godaan dari lingkungan manusia untuk menciutkan semangat orang yang
berbuat baik.
Untuk menjaga rasa malu agar
tetap hal itu kita miliki maka perlu adanya usaha keras menanamkankan.
Dari Abu Mas'ud Uqbah bin Amr
Al Anshary Al Badry r.a dia berkata, Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya
ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah:
Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka.” [HR Bukhori]
Hadits di atas mengisyaratkan
bila rasa malu telah hilang dalam hati seseorang, maka alamat dia telah terjerumus
menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga berbuat sesuka hatinya tanpa
mengindahkan lagi aturan Allah SWT maupun kehormatan dirinya.
Di bawah ini beberapa cara
agar sifat malu masih tertanam dalam diri kita.
1. Berdoa tiap saat agar Allah
terus memberi hidayah dan taufiq nya. Serta berharap agar terus-menerus dalam
pengawasan dan lindungan Allah
Diriwayatkan dari Ibnu Umar,
Rasulullah bersabda: ''Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung,
bila berkehendak menjatuhkan seseorang maka Allah cabut dari orang itu rasa
malunya. Ia hanya akan menerima kesusahan (dari orang banyak yang marah
kepadanya). Melalui ungkapan kemarahan itu, hilang pulalah kepercayaan orang
kepadanya.”
Mudah-mudahan diri dan
keluarga kita terhindar dari tercerabutnya rahmat Allah, sehingga Allah tidak
mencabut rasa malu yang kita miliki.
2. Munculkanlah setiap saat
perasaan malu jika ingin melakukan hal-hal yang dilarang Allah
Rasa malu pada sesama akan
mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina.
Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan
Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang
ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.
Hendaklah tertanam setiap saat
perasaan malu kepada Allah Ta’ala, dan kalau pun sudah tidak malu kepada Allah
Ta’ala, setidaknya malu kepada malaikat yang tiap saat mencatat amal pebuatan
kita. Jika tidak malu kepada malaikat, malulah kepada manusia, atasn kita,
teman-teman kita. Jika tidak malu kepada manusia, malulah kepada keluarga di
rumah, kalau pun tidak malu kepada keluarga, maka malulah kepada diri sendiri
dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan, minimal
meragukan. Namun malu yang benar, pamrihnya hanya kepada Allah, bukan pada yang
lain.
3. Pupuklah iman dalam hati
dan diri kita. Sebab antara iman dan rasa malu itu saling bergandengan
Nabi bersabda, “Rasa malu
dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga
akan hilang.” [HR. Hakim]
4. Ingatlah kematian jikan
akan melakukan maksiat
Nabi menjelaskan bahwa tanda
memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak
digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Mengingat kematian, adalah cara tepat
mencegah perbuatan maksiat. "Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza
wajalla dengan sebenar-benarnya malu. Barangsiapa malu kepada Allah Azza
wajalla dengan sebenar-benarnya malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa
yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan
hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa menghendaki
kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa
yang mengerjakan yang demikian, maka sesungguhnya ia telah malu kepada Allah
Azzawajalla dengan sebenar-benarnya malu." [HR. at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim].[Peliharalah Rasa Malumu!, Hidayatullah.com Senin, 18 Januari 2010].
Orang yang memiliki rasa malu
akan menguntungkan baginya dari selusuh asfek kehidupan, malu kepada Allah akan
menjadikannya beramal sebanyak-banyaknya dan sebaik mungkin, malu kepada
Rasulullah memicu semangat cinta dan mengikuti segala sunnah beliau, malu
kepada orangtua akan membuat prestasi
dalam hidup dan selalu menjaga nama baik keluarga, malu kepada manusia lainnya
menjadikan pribadinya orang yang santun, baik, ramah dan berakhlak mulia.
Sehingga wajar bila nama menyatakan bahwa sifat malu itu akan mendatangkan
kebajikan, Wallahu A’lam [Cubadak Solok, 13 Februari 2012.M/ 20 Rabi’ul Awal
1433.H].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar