Rabu, 20 November 2013

20. Milikilah Rasa Malu






PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

MILIKILAH SIFAT MALU
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
[رواه البخاري ]
Terjemah hadits /     ترجمة الحديث :
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah :  Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka(Riwayat Bukhori)
 Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1.     Malu merupakan tema yang telah disepakati oleh para nabi dan tidak terhapus ajarannya.
2.     Jika seseorang telah meninggalkan rasa malu, maka jangan harap lagi (kebaikan) darinya sedikitpun.
3.     Malu merupakan landasan akhlak mulia dan selalu bermuara kepada kebaikan. Siapa yang banyak malunya lebih banyak kebaikannya, dan siapa yang sedikit rasa malunya semakin sedikit kebaikannya.
4.     Rasa malu merupakan prilaku dan dapat dibentuk. Maka setiap orang yang memiliki tanggung jawab hendaknya memperhatikan bimbingan terhadap mereka yang menjadi tanggung jawabnya.
5.     Tidak ada rasa malu dalam mengajarkan hukum-hukum agama serta menuntut ilmu dan kebenaran . Allah ta’ala berfirman : “ Dan Allah tidak malu dari kebenaran “ (33 : 53).
6.     Diantara manfaat rasa malu adalah  ‘Iffah (menjaga diri dari perbuatan tercela) dan Wafa’ (menepati janji)
7.     Rasa malu merupakan cabang iman yang wajib diwujudkan
Pembahasan;
Beda manusia dengan makhluk lain seperti hewan salah satunya terletak pada rasa malu, kalaulah hewan punya rasa malu tentu dia akan memakai gaun yang indah dan menutup auratnya, kalaulah hewan punya rasa malu, tidak kita temui kerbau, sapi dan kambing yang memakan tanaman tetangga, bila hewan punya rasa malu maka tidak kita temui adegan pulgar mereka melepaskan nafsu biologisnya di sembarang tempat dan sembarang pasangan, itulah makanya bila hewan melakukan hal itu tidak ada yang protes, karena semuanya itu dianggap wajar, hewan itu tidak punya malu. Beda dengan manusia, dia punya rasa malu yang tinggi, bila berlaku sebagaimana hewan maka tidak beda dengan jenis ini.

Seorang teman, sedang memamerkan foto bersama sang kekasihnya di laman Facebook dan jejaring sosial. Foto-fotonya yang nampak mesra ditampilkan begitu sangat terbuka dan bisa dilihat atau diakses pihak lain. “Aku jika punya pacar selalu aku publish, “ujarnya suatu ketika ditanya alasannya. Padahal, mereka belum terikat sebagai pasangan suamu istri yang sah.

Suatu kali seorang pejabat tinggi di Jawa Timur pernah berangkat haji dengan rombongan besar. Bersama istri, anak, keluarga dan kerabatnya mengunjungi tanah suci,ia tanpa malu menggunakan fasilitas negara yang diambil dari pajak rakyatnya.
Di TV masyarakat sering menyaksikan, di ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong. Sebagian sering menguap karena ngantuk, bahkan ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal digaji besar dari uang rakyatnya, namun ia tak merasa malu disaksikan jutaan orang.
Masih di TV, seorang terdakwah koruptor kelas kakap, yang telah menilap dan merugikan uang negara masih bisa tersenyum ketika para wartawan TV menyorot wajahnya.
Di akhir zaman seperti ini, istilah malu mungkin hanya slogan. Orang yang masih memiliki rasa malu mungkin sangat langka. Yang ada justru sebaliknya. Yang dapat kita jumpai di hampir semua lapisan sosial, baik, individu, keluarga, masyarakat atau institusi sosial atau dalam hidup bernegara.
Tiap hari, kita disuguhkan dengan cerita, pemandangan dan laporan yang seolah telah menguras habis naluri dan perasaan kita.
Karyawan yang sudah memiliki pasangan suami-istri tugas berdua dengan teman sekantor, kakek melecehkan cucunya, ayah menghamili anaknya, kakak bersingkuh dengan adik iparnya, Bupati atau mantan ketua organisasi besar melakukan korupsi, anak-anak para pejabat mabuk harta ketika orantuanya sedang berkuasa, para penegak hukumnya mudah disuap, semua telah ada nyata di depan mata kita.
Boleh dikata, kejahatan moral berjalan secara sistematis dari kamar-kamar keluarga hingga ke ruang-ruang Istana.[Peliharalah Rasa Malumu!, Hidayatullah.com Senin, 18 Januari 2010].
Dr. Saad Riyadh dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw, menyatakan tentang Memiliki Rasa Malu ;
                Rasulullah saw, bersabda,”Iman itu memiliki dari enam puluh cabang dan rasa malu adalah salah satu cabangnya” [HR. Bukhari].
            Dalam hadits lain disebutkan bahwa suatu hati Rasulullah saw, lewat di hadapan seorang laki-laki dari golongan Anshar yang sedang menasehati temannya dalam hal malu. Beliau lalu bersabda,”Biarkan saja dia. Sesungguhnya malu itu bagian dari iman.” [HR. Abu Dawud]. [Gema Insani, 2007, hal 127].

Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri ra, berkata, Rasulullah Shallahu alaihi wa salam bersabda, “ Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para Nabi terdahulu, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”. (HR. Bukhari)
Makna malu adalah mencegah dari melakukan segala sesuatu yang tercela, maka sesungguhnya memiliki malu, pada dasarnya, seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Rasa malu adalah ciri khas kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh manusia. Mereka melihat bahwa tidak memiliki rasa malu adalah aib. Rasa malu merupakan bagian dari kesempurnaan iman. “Malu adalah bagian dari keimanan”, dan dalam hadist lainnya “Rasa malu selalu mendatangkan kebaikan”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan secara marfu’ (bersumber dari sabda Rasulullah), bahwa Ibnu Mas’ud, “Merasa malu kepada Allah adalah dengan menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, perut dan apa yang ada didalamnya, dan selalu mengingat mati dan cobaan. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka akan meninggalkan perhiasan dunia. Dan siapapun yang melakukan hal itu tersebut ia telah memiliki rasa malu kepada Allah”.
Jika dalam diri manusia tidak ada lagi rasa malu, baik yang bersifat bawaan maupun yang diusahakan, maka tidak ada lagiyang menghalangi untuk melakukan perbuatan keji dan hina. Bahkan menjadi seperti orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, sehingga tidak berbeda degan golongan syetan.
Seperti dikatakan Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”. Ini menggambarkan betapa orang yang tidak memiliki lagi malu, pasti ai akan berbuat dan bertindak sesuka hatinya, tanpa lagi mempedulikannya.
Berdusta, berbohong, berkhianat, memberikan wala’nya (loyalitasnya) kepada musuh-musuh Allah, seraya mengatakan sebaagai kemenangan. Menerima sogok dan suap, diangap sebagai shadaqah dan jariyah. Uang-uang yang suhbhat dianggapnya sebagai yang halal. Bahkan, yang haram pun dianggapnya sebagai halal, yang dapat digunakan untuk mencapai tujuannya, terutama menggapai kenikmatan dunia.[Mashadi,Milikilah Rasa Malu, eramuslim.com.Kamis, 14/10/2010 10:47 WIB].

Orang-orang yang minim rasa malunya adalah sebagai gambaran pasti bahwa agamanya juga tipis, sisi-sisi religiusitasnya juga kecil volumenya. Sebagaimana Rasulullah SAW sabdakan:"Minimnya rasa malu menunjukkan mimimnya agama." (HR. Hakim, Tirmidzi)
Sesungguhnya rasa malu itu adalah sebuah sifat berani yang ada dalam hati untuk tidak tercebur dalam maksiat. Sebab orang yang memiliki rasa malu pastilah orang yang jujur pada dirinya, pada rakyat dan bangsanya. Sebab dusta adalah sebuah sifat yang memalukan yang tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang memiliki rasa malu. Orang yang memiliki rasa malu tidaklah mungkin untuk berlaku khianat karena khianat adalah sifat yang pasti dihindari oleh orang-orang yang memiliki rasa malu.

Malu itu bukan sifat negatif atau sifat lemah, dia adalah sikap berani. Orang yang memiliki rasa malu adalah orang yang paling berani dan paling galak untuk mempertahankan kebenaran. Dia tidak akan pernah surut untuk menjadi tameng kebenaran walaupun banyak orang yang mencelanya. Dia tidak akan takut untuk menjadi martir kebenaran walaupun demikian banyak tantangan dan rintangan. Perlu disadari oleh kita semua bahwa membela kebenaran sama sekali tidak berbenturan dengan sifat malu. Bahkan sebaliknya orang-orang yang memiliki rasa malu dengan volume yang memadai akan semakin kuat pembelaannya pada kebenaran.
Seorang yang memiliki rasa malu, bukan saja akan melakukan kebaikan di tempat-tempat terbuka namun dia juga akan melakukan kebaikan dimanapun dia berada. Dia akan malu melakukan kejahatan walau tidak ada seorangpun yang menatapnya, karena dia yakin bahwa Sang Mahasegala dan Mahamelihat itu pasti sedang menyorot tajam apa yang dilakukannya.

Rasa malu kita kepada Allah SWT akan terus terjaga apabila kita menyadari tiga hal berikut: Pertama, senantiasa merasakan kebaikan Allah SWT kepada kita, namun sering kali kita berbuat buruk dan durjana pada-Nya. Kedua, menyadari sepenuhnya bahwa mata Allah SWT demikian awas menyoroti kita dimanapun kita berada. Ketiga, hendaknya kita semua merasakan apa yang akan kita katakan tatkala kita berada di hadapan Allah SWT di hari pertanggungjawaban di akhirat kelak, tatkala tidak terlewat sekecil apapun dosa yang kita lakukan.
Maka latihlah diri kita untuk malu ketika mendengar ghibah, mengungkap aib tetangga, untuk tidak berkata jujur setiap waktu, berkata jorok dan kotor, untuk dengki pada sesama, malu untuk congkak dan sombong, malu untuk makan makanan haram, untuk tidak mengingat kematian setiap saat, malu untuk tidak berbuat baik pada sesama, untuk tidak menjaga pandangan mata dari yang haram, malu mengangkat suara keras, malu untuk tidak marah tatkala melihat kemungkaran, malu untuk tertawa terbahak-bahak di saat manusia lain menangis sesenggukan.[Samson Rahman, Malu, eramuslim.com.Kamis, 08/09/2011 11:14 WIB].
Rasa malu memang diawali dari keimanan seseorang sebagai buah dari akhlakul karimah yang terujud dalam kehidupan sehari-hari, tapi hal itu memang juga dipengaruhi oleh pendidikan dalam keluarga yang diteladankan oleh ayah dan ibunya, bila kedua figure ini mengajarkan nilai-nilai tersebut kepada anaknya maka dapat dipastikan anak dan keluarganya akan memelihara sifat ini yaitu rasa malu.

Kadangkala kita meletakkan rasa malu tidak pada tempatnya, padahal inti malu itu membatasi seseorang untuk melakukan perbuatan maksiat dan dosa, artinya malu untuk berbuat negative, tapi menempatkan malu pada aktivitas positif bukanlah malu yang dimaksud seperti malu beramal shaleh dan malu menyampaikan kebenaran. Bila hal ini terjadi berarti kita telah menempatkan rasa malu bukan pada tempatnya, bahkan sifat ini bukan rasa malu tapi takut untuk menyampaikan kebenaran, Nabi Muhammad Saw, tidak malu-malu untuk menyampai kebenaran kepada kaumnya walaupun banyak sekali caci maki dan hina dina yang diterima dari kafir Quraisy.

Alkisah, para pembesar kaum Quraisy menawari seorang laki-laki berbagai hadiah yang sangat menggiurkan; Kedudukkan mentereng, wanita-wanita tercantik seantero jazirah Arab, hingga harta yang melimpah ruah.Semua tawaran tersebut bukanlah hadiah yang bisa dipandang sebelah mata. Sekalipundemikian, laki-laki tersebut tak bergeser pada sikap teguhnya. Dia yakin, bahwa kegiatan dakwah yang dilakukannya, merupakan perkara yang sangat mulia, dan jauh lebih berharga dari hadiah-hadiah yang mereka iming-imingkan.

Kemuliaan baginya, sama sekali tidak terletak pada tingginya jabatan, atau melimpahnya harta benda. Tapi, risalah yang dia bawalah, Islam, yang akan menyebabkannya dan pemeluknya mulia. “Al-Islamu Ya’lu wa laa yu’laa ‘alaihi.” (Islam itu tinggi/mulia. Dan tidak ada yang lebih tinggi/mulia dari padanya).
Merasa gagal dengan cara lunak, para pembesar itu mulai mencegahnya dengan cara-cara kasar, bahkan terkadang sangat tidak berprikemanusiaan. Sekali lagi, nyali laki-laki itu tak pernah ciut. Dia tetap beristiqomah dalam menyi’arkan risalah yang dia bawa. Bahkan, dengan tegas beliau berujar, “Demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku tinggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya”.

Pria itu, tak lain, Muhammad Rosulullah. Pria yang telah membuah gundah gulana para pemembesar kafir Quraisy.[Robinsah, Tak Perlu Malu Menyampaikan Kebenaran, Hidayatullah.com, Rabu, 02 Maret 2011].
Kita harus menempatkan rasa malu itu pada tempatnya yang benar agar tidak salah kaprah, apakah dapat dikatakan malu orang yang tidak mau melakukan kebaikan karena disindir sebagai orang yang shaleh, apakah dapat dikatakan malu kalau menyampaikan kebenaran karena mendengar ocehan orang yang menyatakan dan memanggilnya ustadz, inilah sebuah godaan dari lingkungan manusia untuk menciutkan semangat orang yang berbuat baik.
Untuk menjaga rasa malu agar tetap hal itu kita miliki maka perlu adanya usaha keras menanamkankan.
Dari Abu Mas'ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry r.a dia berkata, Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka.” [HR Bukhori]

Hadits di atas mengisyaratkan bila rasa malu telah hilang dalam hati seseorang, maka alamat dia telah terjerumus menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga berbuat sesuka hatinya tanpa mengindahkan lagi aturan Allah SWT maupun kehormatan dirinya.
Di bawah ini beberapa cara agar sifat malu masih tertanam dalam diri kita.

1. Berdoa tiap saat agar Allah terus memberi hidayah dan taufiq nya. Serta berharap agar terus-menerus dalam pengawasan dan lindungan Allah
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: ''Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung, bila berkehendak menjatuhkan seseorang maka Allah cabut dari orang itu rasa malunya. Ia hanya akan menerima kesusahan (dari orang banyak yang marah kepadanya). Melalui ungkapan kemarahan itu, hilang pulalah kepercayaan orang kepadanya.
Mudah-mudahan diri dan keluarga kita terhindar dari tercerabutnya rahmat Allah, sehingga Allah tidak mencabut rasa malu yang kita miliki.

2. Munculkanlah setiap saat perasaan malu jika ingin melakukan hal-hal yang dilarang Allah
Rasa malu pada sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.
Hendaklah tertanam setiap saat perasaan malu kepada Allah Ta’ala, dan kalau pun sudah tidak malu kepada Allah Ta’ala, setidaknya malu kepada malaikat yang tiap saat mencatat amal pebuatan kita. Jika tidak malu kepada malaikat, malulah kepada manusia, atasn kita, teman-teman kita. Jika tidak malu kepada manusia, malulah kepada keluarga di rumah, kalau pun tidak malu kepada keluarga, maka malulah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan, minimal meragukan. Namun malu yang benar, pamrihnya hanya kepada Allah, bukan pada yang lain.

3. Pupuklah iman dalam hati dan diri kita. Sebab antara iman dan rasa malu itu saling bergandengan
Nabi bersabda, “Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” [HR. Hakim

4. Ingatlah kematian jikan akan melakukan maksiat
Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Mengingat kematian, adalah cara tepat mencegah perbuatan maksiat. "Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu. Barangsiapa malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sesungguhnya ia telah malu kepada Allah Azzawajalla dengan sebenar-benarnya malu." [HR. at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim].[Peliharalah Rasa Malumu!, Hidayatullah.com Senin, 18 Januari 2010].

Orang yang memiliki rasa malu akan menguntungkan baginya dari selusuh asfek kehidupan, malu kepada Allah akan menjadikannya beramal sebanyak-banyaknya dan sebaik mungkin, malu kepada Rasulullah memicu semangat cinta dan mengikuti segala sunnah beliau, malu kepada  orangtua akan membuat prestasi dalam hidup dan selalu menjaga nama baik keluarga, malu kepada manusia lainnya menjadikan pribadinya orang yang santun, baik, ramah dan berakhlak mulia. Sehingga wajar bila nama menyatakan bahwa sifat malu itu akan mendatangkan kebajikan, Wallahu A’lam [Cubadak Solok, 13 Februari 2012.M/ 20 Rabi’ul Awal 1433.H]. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar