RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Kebenaran
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Dalam hadits yang panjang tentang cerita pertanyaan
Heraklius kepadanya,”Apa saja yang diperintahkan oleh Nabi Saw kepada kamu?’’
Abu Sufyan berkata,”Nabi Saw bersabda,”Sembahlah Allah Yang Maha Esa dan
janganlah kamu menyekutukan apapun dengan-Nya, tinggalkanlah ajaran-ajaran
nenek moyangmu. Beliau juga menyuruh kami untuk melaksanakan shalat, jujur/benar,
pemaaf dan menghubungkan sanak kerabat” [HR. Bukhari dan Muslim]
Sejak da’wah Islam dikembangkan oleh Rasulullah ada beberapa hal yang tidak boleh tidak harus
disampaikan dan ditanamkan kepada ummat ini yaitu;
a.
Menjadikan Allah
sebagai satu-satunya Tuhan.
b.
Tidak
boleh syirik
c.
Meninggalkan segala
bentuk ajaran nenek moyang yang tidak cocok dengan islam.
d.
Menegakkan
shalat
e.
Bersikap
jujur atau benar.
f.
Menghubungkan
silaturrahim
Dari
keterangan diatas jelas bahwa sikap jujur/benar merupakan pondasi awal dalam pembinaan ummat
sampai kapanpun, itulah ujud konsistennya islam dan tidak takut dengan tradisi
jahiliyah yang sudah terbiasa dengan gelimang kecurangan dan dusta.
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 4
dengan judul “Kebenaran” berangkat dari firman Allah dan hadits
Rasulullah Saw, menyebutkan;
Allah Ta'ala berfirman: "Hai sekalian orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama-sama
dengan orang-orang yang benar." (at-Taubah: 119).
Allah Ta'ala berfirman pula:"Dan orang-orang yang
benar, lelaki ataupun perempuan." (al-Ahzab: 35).
Juga Allah Ta'ala berfirman:"Dan andaikata mereka
itu bersikap benar terhadap Allah, pastilah hal itu amat baik untuk mereka
sendiri." (Muhammad: 21).
Adapun Hadis-hadis yang menerangkannya ialah:
Dari Ibnu Mas'ud r.a.
dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya kebenaran - baik yang berupa
ucapan atau perbuatan - itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya
kebaikan itu menunjukkan ke syurga dan sesungguhnya seseorang itu niscaya
melakukan kebenaran sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang ahli
melakukan kebenaran. Dan sesungguhnya berdusta itu menunjukkan kepada
kecurangan dan sesungguhnya kecurangan itu menunjukkan kepada neraka dan
sesungguhnya seseorang itu niscaya berdusta sehingga dicatatlah di sisi Allah
sebagai seorang yang ahli berdusta." (Muttafaq 'alaih)
Dari
Abu Muhammad, yaitu Alhasan bin Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anhuma,
katanya: "Saya menghafal sabda dari Rasulullah s.a.w. yaitu:
"Tinggalkan apa-apa yang menyangsikan hatimu - yakni jangan terus dilakukan
- dan berpindahlah kepada apa-apa yang tidak menyangsikan hatimu - yakni yang
hatimu tenang jikalau melakukannya. Maka sesungguhnya bersikap benar itu adalah
ketenangan dan berdusta itu menyebabkan timbulnya kesangsian."Diriwayatkan
oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis shahih.
Dari Abu Tsabit, dalam
suatu riwayat lain disebut-kan Abu Said dan dalam riwayat lain pula disebutkan
Abulwalid, yaitu Sahl bin Hanif r.a., dan dia pernah menyaksikan peperangan
Badar, bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:"Barangsiapa yang memohonkan kepada
Allah Ta'ala supaya dimatikan syahid dan
permohonannya itu dengan
secara yang sebenar-benarnya, maka Allah akan menyampaikan orang itu ke
tingkat orang-orang yang mati syahid, sekalipun ia mati di atas tempat
tidurnya." (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a.
berkata: "Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ada seorang Nabi dari golongan
beberapa Nabi shalawatullahi wa salamuhu 'alaihim berperang, kemudian ia
berkata kepada kaumnya: "Jangan mengikuti peperanganku ini seorang lelaki
yang memiliki kemaluan wanita - yakni baru kawin - dan ia hendak masuk tidur
dengan isterinya itu, tetapi masih belum lagi masuk tidur dengannya, jangan
pula mengikuti peperangan ini seorang yang
membangun rumah dan belum lagi mengangkat atapnya - maksudnya belum
selesai sampai rampung samasekali, jangan pula seseorang yang membeli kambing
atau unta yang sedang bunting tua yang ia menantikan kelahiran anak-anak
ternaknya itu - yang dibelinya itu.
Nabi itu lalu berperang,
kemudian mendekati sesuatu desa pada waktu shalat Asar atau sudah dekat dengan
itu, kemudian ia berkata kepada matahari: "Sesungguhnya engkau - hai
matahari - adalah diperintahkan - yakni berjalan mengikuti perintah Tuhan - dan
sayapun juga diperintahkan - yakni berperang inipun mengikuti perintah Tuhan.
Ya Allah, tahanlah jalan matahari itu di atas kita." Kemudian matahari itu
tertahan jalannya sehingga Allah memberikan kemenangan kepada Nabi tersebut.
Beliau mengumpulkan banyak harta rampasan. Kemudian datanglah, yang dimaksud
datang adalah api, untuk makan harta rampasan tadi, tetapi ia tidak suka memakannya. Nabi itu
berkata: "Sesungguhnya di kalangan engkau semua itu ada yang menyembunyikan
harta rampasan, maka dari itu hendaklah berbai'at padaku - dengan jalan
berjabatan tangan - dari setiap kabilah seseorang lelaki. Lalu ada seorang
lelaki yang lekat tangannya itu dengan tangan Nabi tersebut. Nabi itu lalu
berkata lagi: "Nah, sesungguhnya di kalangan kabilah-mu itu ada yang menyembunyikan
harta rampasan. Oleh sebab itu hendaklah seluruh orang dari kabilahmu itu
memberikan pembai'atan padaku." Selanjutnya ada dua atau tiga orang yang
tangannya itu lekat dengan tangan Nabi itu, lalu beliau berkata pula: "Di
kalanganmu semua itu ada yang menyembunyikan harta rampasan." Mereka lalu
mendatangkan sebuah kepala sebesar kepala lembu yang terbuat dari emas - dan
inilah benda yang disembunyikan, lalu diletakkanlah benda tersebut, kemudian
datanglah api terus memakannya - semua harta rampasan. Oleh sebab itu memang
tidak halallah harta-harta rampasan itu untuk siapapun ummat sebelum kita,
kemudian Allah menghalalkannya untuk kita harta-harta rampasan tersebut, di
kala Allah mengetahui betapa kedhaifan serta kelemahan kita semua. Oleh sebab itu
lalu Allah menghalalkannya untuk kita." (Muttafaq 'alaih).
Dari Abu Khalid yaitu
Hakim bin Hizam r.a., ia masuk Islam di zaman pembebasan Makkah, sedang ayahnya
adalah termasuk golongan pembesar-pembesar Quraisy, baik di masa Jahiliyah
ataupun di masa Islam, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:"Dua
orang yang berjual-beli itu dengan kebebasan - yakni boleh mengurungkan
jual-belinya atau jadi meneruskannya - selama keduanya itu belum berpisah.
Apabila keduanya itu bersikap benar dan menerangkan - cacat-cacatnya, maka
diberi berkahlah jual-beli keduanya, tetapi jikalau keduanya itu menyembunyikan
- cacat-cacatnya - dan sama-sama berdusta, maka dileburlah keberakahan
jual-beli keduanya itu." (Muttafaq 'alaih)
Kata Shidqun yang
berarti benar itu, maksudnya tidak hanya benar dalam pembicaraannya saja,
tetapi juga benar dalam amal perbuatannya. Jadi benar dalam kedua hal itulah
yang menurut sabda Nabi s.a.w. dapat menunjukkan ke jalan kebajikan dan
kebajikan ini yang menunjukkan ke jalan menuju syurga.
Secara ringkasnya,
seseorang itu baru dapat dikatakan benar, manakala ucapannya sesuai dengan amal
perbuatan yang dilakukan, atau dengan kata lain ialah manakala amal
perbuatannya itu masih bertentangan dengan ucapannya, tetaplah ia dianggap
sebagai manusia yang berdusta atau kadzib. Misalnya seorang yang mengaku
beragama Islam, tetapi shalat tidak dilakukan, puasa tidak dikerjakan, bahkan
mengucapkan dua kalimat syahadat saja tidak dapat, maka dapatkah orang semacam
itu dikatakan benar ucapannya. Tentu tidak dapat. Ia tetap berdusta yang oleh
Rasulullah s.a.w. disabdakan bahwa kedustaan itu menunjukkan ke jalan
kecurangan dan kecurangan itu menunjukkan ke jalan menuju neraka.
Demikian pentingnya sifat shidiq atau jujur ini dimiliki
oleh seorang mukmin dan memang orang
yang berimanlah yang mampu memiliki sifat ini, sifat ini juga sifat Allah yang
diwahyukan kepada nabi –Nya dalam rangka mengajari hamba-Nya agar meniru
karakter Tuhannya [4;87] ”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat,
yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar
perkataan(nya) dari pada Allah ? [An Nisa’ 4;87].
Rasulullahpun adalah orang yang sudah menjadikan sifat
ini sebagai karakternya yang patut kita contoh teladani [Maryam 19;54].’dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada
mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah
seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi’.
Dengan sifat ini pulalah sehingga Siti Khadijah yakin
kalau beliau memang calon Rasul, dikala beliau pulang dengan tergesa-gesa dari
gua Hira, saat wahyu pertama turun, Khadijah menghiburnya,”….Demi Allah, Allah
takkan sekali-kali membuatmu kecewa. Engkau adalah seorang yang bersikap baik
terhadap kaum kerabat, selalu berbicara benar, membantu para dhuafa, menolong
orang yang sengsara, memuliakan tamu dan membela orang yang benar…”
Seorang mukmin harus mempunyai sifat dan
sifat shidq / benar dalam seluruh aktifitasnya, dia harus menempatkan shidq itu
pada niatnya, yaitu niat yang benar, lisannya harus benar, artinya segala yang
terucap dari lidahny adalah kebenaran, azham atau tekadnya juga harus benar,
dia juga harus menempatkan kebenaran dalam rangka menegakkan kebenaran agama ini,
dan menempatkan benar dalam amalnya. bila hal itu terujud maka jadilah dia
seorang muslim yang dipercaya oleh ummat.Wallahu
a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 27 Syawal 1434.H/03 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar