Kamis, 21 November 2013

46.4 Kebenaran



RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]


Kebenaran
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros


Dalam hadits yang panjang tentang cerita pertanyaan Heraklius kepadanya,”Apa saja yang diperintahkan oleh Nabi Saw kepada kamu?’’ Abu Sufyan berkata,”Nabi Saw bersabda,”Sembahlah Allah Yang Maha Esa dan janganlah kamu menyekutukan apapun dengan-Nya, tinggalkanlah ajaran-ajaran nenek moyangmu. Beliau juga menyuruh kami untuk melaksanakan shalat, jujur/benar, pemaaf dan menghubungkan sanak kerabat” [HR. Bukhari dan Muslim]
Sejak da’wah Islam dikembangkan oleh Rasulullah ada  beberapa hal yang tidak boleh tidak harus disampaikan dan ditanamkan kepada ummat ini yaitu;
a.       Menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
b.      Tidak boleh syirik
c.       Meninggalkan segala bentuk ajaran nenek moyang yang tidak cocok dengan islam.
d.      Menegakkan shalat
e.       Bersikap jujur atau benar.
f.       Menghubungkan silaturrahim

Dari keterangan diatas jelas bahwa sikap jujur/benar  merupakan pondasi awal dalam pembinaan ummat sampai kapanpun, itulah ujud konsistennya islam dan tidak takut dengan tradisi jahiliyah yang sudah terbiasa dengan gelimang kecurangan dan dusta.
 Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 4 dengan judul “Kebenaran” berangkat dari firman Allah dan hadits Rasulullah Saw, menyebutkan;
Allah Ta'ala berfirman: "Hai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama-sama dengan orang-orang yang benar." (at-Taubah: 119).

Allah Ta'ala berfirman pula:"Dan orang-orang yang benar, lelaki ataupun perempuan." (al-Ahzab: 35).

Juga Allah Ta'ala berfirman:"Dan andaikata mereka itu bersikap benar terhadap Allah, pastilah hal itu amat baik untuk mereka sendiri." (Muhammad: 21).

Adapun Hadis-hadis yang menerangkannya ialah:

Dari Ibnu Mas'ud r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya kebenaran - baik yang berupa ucapan atau perbuatan - itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan ke syurga dan sesungguhnya seseorang itu niscaya melakukan kebenaran sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang ahli melakukan kebenaran. Dan sesungguhnya berdusta itu menunjukkan kepada kecurangan dan sesungguhnya kecurangan itu menunjukkan kepada neraka dan sesungguhnya seseorang itu niscaya berdusta sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang ahli berdusta." (Muttafaq 'alaih)

 Dari Abu Muhammad, yaitu Alhasan bin Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya menghafal sabda dari Rasulullah s.a.w. yaitu: "Tinggalkan apa-apa yang menyangsikan hatimu - yakni jangan terus dilakukan - dan berpindahlah kepada apa-apa yang tidak menyangsikan hatimu - yakni yang hatimu tenang jikalau melakukannya. Maka sesungguhnya bersikap benar itu adalah ketenangan dan berdusta itu menyebabkan timbulnya kesangsian."Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis shahih.

Dari Abu Tsabit, dalam suatu riwayat lain disebut-kan Abu Said dan dalam riwayat lain pula disebutkan Abulwalid, yaitu Sahl bin Hanif r.a., dan dia pernah menyaksikan peperangan Badar, bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:"Barangsiapa yang memohonkan kepada Allah Ta'ala supaya dimatikan syahid dan  permohonannya  itu  dengan  secara yang sebenar-benarnya, maka Allah akan menyampaikan orang itu ke tingkat orang-orang yang mati syahid, sekalipun ia mati di atas tempat tidurnya." (Riwayat Muslim)

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: "Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ada seorang Nabi dari golongan beberapa Nabi shalawatullahi wa salamuhu 'alaihim berperang, kemudian ia berkata kepada kaumnya: "Jangan mengikuti peperanganku ini seorang lelaki yang memiliki kemaluan wanita - yakni baru kawin - dan ia hendak masuk tidur dengan isterinya itu, tetapi masih belum lagi masuk tidur dengannya, jangan pula mengikuti peperangan ini seorang yang  membangun rumah dan belum lagi mengangkat atapnya - maksudnya belum selesai sampai rampung samasekali, jangan pula seseorang yang membeli kambing atau unta yang sedang bunting tua yang ia menantikan kelahiran anak-anak ternaknya itu - yang dibelinya itu.
Nabi itu lalu berperang, kemudian mendekati sesuatu desa pada waktu shalat Asar atau sudah dekat dengan itu, kemudian ia berkata kepada matahari: "Sesungguhnya engkau - hai matahari - adalah diperintahkan - yakni berjalan mengikuti perintah Tuhan - dan sayapun juga diperintahkan - yakni berperang inipun mengikuti perintah Tuhan. Ya Allah, tahanlah jalan matahari itu di atas kita." Kemudian matahari itu tertahan jalannya sehingga Allah memberikan kemenangan kepada Nabi tersebut. Beliau mengumpulkan banyak harta rampasan. Kemudian datanglah, yang dimaksud datang adalah api, untuk makan harta rampasan tadi,  tetapi ia tidak suka memakannya. Nabi itu berkata: "Sesungguhnya di kalangan engkau semua itu ada yang menyembunyikan harta rampasan, maka dari itu hendaklah berbai'at padaku - dengan jalan berjabatan tangan - dari setiap kabilah seseorang lelaki. Lalu ada seorang lelaki yang lekat tangannya itu dengan tangan Nabi tersebut. Nabi itu lalu berkata lagi: "Nah, sesungguhnya di kalangan kabilah-mu itu ada yang menyembunyikan harta rampasan. Oleh sebab itu hendaklah seluruh orang dari kabilahmu itu memberikan pembai'atan padaku." Selanjutnya ada dua atau tiga orang yang tangannya itu lekat dengan tangan Nabi itu, lalu beliau berkata pula: "Di kalanganmu semua itu ada yang menyembunyikan harta rampasan." Mereka lalu mendatangkan sebuah kepala sebesar kepala lembu yang terbuat dari emas - dan inilah benda yang disembunyikan, lalu diletakkanlah benda tersebut, kemudian datanglah api terus memakannya - semua harta rampasan. Oleh sebab itu memang tidak halallah harta-harta rampasan itu untuk siapapun ummat sebelum kita, kemudian Allah menghalalkannya untuk kita harta-harta rampasan tersebut, di kala Allah mengetahui betapa kedhaifan serta kelemahan kita semua. Oleh sebab itu lalu Allah menghalalkannya untuk kita." (Muttafaq 'alaih).

Dari Abu Khalid yaitu Hakim bin Hizam r.a., ia masuk Islam di zaman pembebasan Makkah, sedang ayahnya adalah termasuk golongan pembesar-pembesar Quraisy, baik di masa Jahiliyah ataupun di masa Islam, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:"Dua orang yang berjual-beli itu dengan kebebasan - yakni boleh mengurungkan jual-belinya atau jadi meneruskannya - selama keduanya itu belum berpisah. Apabila keduanya itu bersikap benar dan menerangkan - cacat-cacatnya, maka diberi berkahlah jual-beli keduanya, tetapi jikalau keduanya itu menyembunyikan - cacat-cacatnya - dan sama-sama berdusta, maka dileburlah keberakahan jual-beli keduanya itu." (Muttafaq 'alaih)

Kata Shidqun yang berarti benar itu, maksudnya tidak hanya benar dalam pembicaraannya saja, tetapi juga benar dalam amal perbuatannya. Jadi benar dalam kedua hal itulah yang menurut sabda Nabi s.a.w. dapat menunjukkan ke jalan kebajikan dan kebajikan ini yang menunjukkan ke jalan menuju syurga.
Secara ringkasnya, seseorang itu baru dapat dikatakan benar, manakala ucapannya sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan, atau dengan kata lain ialah manakala amal perbuatannya itu masih bertentangan dengan ucapannya, tetaplah ia dianggap sebagai manusia yang berdusta atau kadzib. Misalnya seorang yang mengaku beragama Islam, tetapi shalat tidak dilakukan, puasa tidak dikerjakan, bahkan mengucapkan dua kalimat syahadat saja tidak dapat, maka dapatkah orang semacam itu dikatakan benar ucapannya. Tentu tidak dapat. Ia tetap berdusta yang oleh Rasulullah s.a.w. disabdakan bahwa kedustaan itu menunjukkan ke jalan kecurangan dan kecurangan itu menunjukkan ke jalan menuju neraka.

            Demikian pentingnya sifat shidiq atau jujur ini dimiliki oleh seorang mukmin  dan memang orang yang berimanlah yang mampu memiliki sifat ini, sifat ini juga sifat Allah yang diwahyukan kepada nabi –Nya dalam rangka mengajari hamba-Nya agar meniru karakter Tuhannya [4;87]  ”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ? [An Nisa’ 4;87].
Rasulullahpun adalah orang yang sudah menjadikan sifat ini sebagai karakternya yang patut kita contoh teladani [Maryam 19;54].’dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi’.
Dengan sifat ini pulalah sehingga Siti Khadijah yakin kalau beliau memang calon Rasul, dikala beliau pulang dengan tergesa-gesa dari gua Hira, saat wahyu pertama turun, Khadijah menghiburnya,”….Demi Allah, Allah takkan sekali-kali membuatmu kecewa. Engkau adalah seorang yang bersikap baik terhadap kaum kerabat, selalu berbicara benar, membantu para dhuafa, menolong orang yang sengsara, memuliakan tamu dan membela orang yang benar…”            
Seorang mukmin harus mempunyai sifat dan sifat shidq / benar dalam seluruh aktifitasnya, dia harus menempatkan shidq itu pada niatnya, yaitu niat yang benar, lisannya harus benar, artinya segala yang terucap dari lidahny adalah kebenaran, azham atau tekadnya juga harus benar, dia juga harus menempatkan kebenaran dalam rangka menegakkan kebenaran agama ini, dan menempatkan benar dalam amalnya. bila hal itu terujud maka jadilah dia seorang muslim yang dipercaya oleh ummat.Wallahu a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 27 Syawal 1434.H/03 September 2013].
  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar