PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
JAUHI
PERBUATAN YANG MERESAHKAN
عَنْ النَّوَّاسِ بنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ
مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ . [رَوَاهُ
مُسْلِم] .
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : جِئْتَ تَسْألُ عَنِ
الْبِرِّ قُلْتُ : نَعَمْ، قَالَ : اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ، الْبِرُّ مَا
اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاْلإِثْمُ
مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ
وَأَفْتَوْكَ "
[حديث حسن رويناه في مسندي الإمامين أحمد بن حنبل والدارمي بإسناد
حسن]
Terjemah hadits / ترجمة
الحديث :
Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Kebaikan adalah
akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau
tidak suka jika diketahui manusia “ (Riwayat Muslim)
Dan dari Wabishah bin Ma’bad radhiallahuanhu dia
berkata : Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, lalu beliau
bersabda : Engkau datang untuk menanyakan kebaikan ?, saya menjwab : Ya. Beliau
bersabda : Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan
hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan
menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa
kepadamu dan mereka membenarkannya.
(Hadits hasan kami riwayatkan dari dua musnad
Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad Darimi dengan sanad yang hasan)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1. Tanda perbuatan dosa
adalah timbulnya keragu-raguan dalam jiwa dan tidak suka kalau hal itu
diketahui orang lain.
2. Siapa yang ingin
melakukan suatu perbuatan maka hendaklah dia menanyakan hal tersebut pada
dirinya
3. Anjuran untuk
berakhlak mulia karena akhlak yang mulia termasuk unsur kebaikan yang sangat
besar.
4.
Hati seorang mu’min akan tenang dengan perbuatan yang halal dan gusar dengan
perbuatan haram.
5.
Melihat terlebih dahulu ketetapan hukum sebelum mengambil tindakan. Ambillah
yang paling dekat dengan ketakwaan dan kewara’an dalam agama.
6.
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika menyampaikan sesuatu
kepada para shahabatnya selalu mempertimbangkan kondisi mereka.
7.
Perhatian Islam terhadap pendidikan sisi agama yang bersifat internal dalam
hati orang beriman dan meminta keputusannya sebelum mengambil tindakan.
Pembahasan;
Dalam kehidupan
masyarakat tidaklah selamanya kita menikmati hidup dalam suasana aman dan
nyaman tapi kadangkala ada-ada saja yang menyebabkan terjadinya persengketaan
dan konflik baik antara pribadi, antara kelompok masyarakat hingga antara
bangsa yang mengusung persoalan kepada peperangan, bila hal itu dibiarkan tentu
saja mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak dapat dielakkan.
Sebelum kedatangan Rasulullah Saw sebagai penyampai
risalah kebenaran dari Allah Swt, ibarat suluh yang menembus kegelapan, zaman
itu disebut dengan zaman kebodohan. Bodoh bukan berarti dalam seala hal, dalam
ilmu pengetahuan, perdagangan atau sastra. Karena bangsa Arab telah melakukan
hubungan dagang dengan bangsa-bangsa di luar Jazirah Arab, dengan pula halnya
dibidang sastra bangsa Arab sangat mahir. Bahkan diadakan suatu pesta khusus
untuk menulis dan membaca syair-syair, kepada pemenangnya mereka diberi
penghormatan untuk menggantungkan syairnya di dinding Ka’bah.
Kebodohan yang mereka anut
adalah kebodohan dalam bidang aqidah dan kemanusiaan. Batu tak berdaya mereka
angkat sebagai sembahan, hutang darah dibayar dengan darah, hutang nyawa
tebusannya nyawa, istilah maaf tidak ada dalam kamus mereka. Antara suku satu dengan suku lainnya terjadi permusuhan
dan saling dengki, rasa kebencian antara satu dengan lainnya disebabkan
perbedaan tempat lahir dan kabilah.
Permusuhan yang berkobar
diantara suku sangat dahsyat, hanya sedikit persoalan dapat mengakibatkan
meruncingnya permusuhan dan hancurnya satu kabilah. Rasa kemanusiaan dan
persaudaraan tidak tercermin dalam kehidupan masyarakat, apalagi jiwa gotong
royong, rasa kasih sayang terhadap lainnya. Yang tinggi pada saat itu adalah
kelompok saya, suku lain rendah di matanya, egonya terlalu
diperturutkan.Peristiwa diatas terukir dalam surat Ali Imran pada ayat 103; ”Ingatlah
akan nikmat Allah terhadap kamu, yaitu ketika kamu dahulu itu bermusuh-musuhan
satu sama lain, maka dipersatukannya di antara hati-hati kamu sehingga dengan
nikmat-Nya itu menjadikan kamu bersaudara”.
Ketika da’wah datang
membawa persaudaraan, dipersatukanlah ummat dalam satu cahaya kebenaran di
bawah lentera Ilahi sebagai nikmat yang amat besar.
Maka pada saat da’wah
Islam tersiar, yang tampak adalah manusia sama derajatnya, kabilah, suku,
keturunan hidup berdampingan, betapapun besar perpecahan, perselisihan,
permusuhan bahkan peperangan, dengan nikmat Allah berupa agamanya Islam, maka
api yang berkobar sirna dengan turunnya tetesan
nikmat Allah, selamatlah ummat dari bahaya perpecahan, permusuhan dan
peperanganpun bertukar menjadi ummat bersaudara, berkasih-kasihan dan cinta mencintai, Allah berfirman;”Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat” [Al
Hujurat 49;10].
Dengan ayat diatas maka
ummat yang beriman dalam pengakuan kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah,
mereka hidup bersaudara, tidak layak dan pantas antara saudara satu dengan
saudara lainnya terjadi perpecahan, perselisihan yang mendorong permusuhan dan
peperangan.
Banyak persoalan yang dapat menimbulkan retaknya
persaudaraan, hilangnya kepercayaan dan sirnanya rasa kasih dan sayang. Dalam
surat Al Hujurat ayat 12 Allah memberikan tiga larangan kepada orang-orang
beriman, agar tetap kokohnya persatuan dan terpelihara persaudaraan, untuk
menghindarkan perpecahan, firman Allah, ”Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjingkan sebagian yang lain” [Al Hujurat 49;12].
Andaikata terjadi
perpecahan dan perselisihan, maka kewajiban bagi mukmin lainnya untuk
mendamaikan, bukan malah menyiramkan minyak di tengah api yang tengah berkobar.
Allah sangat keras ancamannya kepada orang-orang yang berpecah belah dan
bermusuhan, firman Allah;”Dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang
berpecah belah dan bertikaian, setelah datang bukti-bukti keterangan kepada
mereka, dan mereka itulah yang akan mendapatkan siksa yang besar” [Ali
Imran 3;105].
Nyatalah ummat Islam diwajibkan bersatu, dilarang berpecah belah. Bersatu
bukan asal bersatu saja, akan tetapi tetap bersatu dengan berpegang teguh
kepada tali Allah ,dan tali hubungan yang baik dengan manusia, bila hal ini
terjadi maka konflik akan teredam dengan sendirinya, itulah makanya sikap dan
tindakan kepada sesama muslim harus sesuai dengan yang diajarkan oleh
Rasulullah, karena memang salah satu tugas beliau hadir di dunia ini untuk
memperbaiki akhlak manusia.
Dari Abu
Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Janganlah kalian saling hasut, saling najsy
(memuji barang dagangan secara berlebihan), saling benci, saling berpaling, dan
janganlah sebagian di antara kalian berjual beli kepada orang yang sedang
berjual beli dengan sebagian yang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara. Muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak menganiaya,
tidak mengecewakannya, dan tidak menghinanya. Takwa itu ada disini -beliau
menunjuk ke dadanya tiga kali- Sudah termasuk kejahatan seseorang bila ia
menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim bagi muslim lainnya adalah haram
baik darahnya, hartanya dan kehormatannya."[Riwayat Muslim].
Konflik bukanlah hal yang kita
harapkan, sejak awal sudah diantisipasi dengan arahan dan nasehat dari
Rasulullah dan larangan Allah agar ummat ini menghindari konflik, persaudaraan,
persahabatan dan perdamaian adalah hal yang terpuji, tapi kadangkala egoisme,
kesombongan dan keangkuhan dapat memicu dan memacu konflik, maka sikap pribadi
muslim adalah berupaya untuk menyelesaikan konflik itu dengan baik sesuai
dengan prosedur yang berlaku, upaya untuk meredam konflik dan menyelesaikan
konflik itu dinilai sebagai sedekah yang bernilai pahala dalam islam
sebagaimana hadits Rasulullah, Dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari selagi
matahari masih terbit. Mendamaikan dua
orang (yang berselisih) adalah sedekah, menolong orang hingga ia dapat naik
kendaraan atau mengangkatkan barang bawaan ke atas kendaraannya merupakan
sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, setiap langkah kaki yang engkau
ayunkan menuju ke masjid adalah sedekah dan menyingkirkan aral (rintangan,
ranting, paku, kayu, atau sesuatu yang mengganggu) dari jalan juga merupakan
sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, usaha mendamaikan
pihak-pihak yang berseteru merupakan ajaran dasar yang bersifat sosial. Upaya
damai itu dalam Alquran dikaitkan dengan iman dan takwa sebagai bentuk
kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. "Oleh sebab itu, bertakwalah kepada
Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu. Taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang yang beriman." (QS Al-Anfal [8]:
1).
Upaya damai itu, dalam ayat di atas, dinamakan dengan ishlah, yang secara bahasa bermakna memperbaiki sesuatu (ja`l-u al-syay'i shalahan). Menurut Zamachsyari, ishlah itu merupakan kelanjutan logis dari iman, dan menjadi kewajiban manusia. Jadi, tidak ada iman dalam arti yang sebenarnya manakala kita tidak memiliki kepedulian untuk membangun kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat.
Rasul SAW menerangkan, usaha mendamaikan kelompok masyarakat yang bertikai itu merupakan kebaikan yang derajatnya lebih tinggi daripada puasa, shalat, dan sedekah. Sebaliknya, rusaknya keharmonisan dan komunikasi antarkelompok masyarakat tersebut dipandang sebagai al-haliqah, yaitu sesuatu yang merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan. (HR Abu Daud dan Ahmad dari Abu Darda).
Keterlibatan seorang mukmin dalam
meredam dan menyelesaikan konflik yang terjadi haruslah dengan cara adil, tidak
berat sebelah, bantulah saudara kita yang dizhalimi juga membantu saudara yang
zhalim, secara etisnya diampaikan oleh Rasulullah dalam Hadis riwayat Jabir bin
Abdullah ra., ia berkata:
Dua orang pemuda, yang satu dari golongan Muhajirin dan yang lain dari kaum Ansar, saling berbaku-hantam. Seorang dari kaum Muhajirin berteriak: Wahai kaum Muhajirin! Dan seorang dari Ansar juga berteriak: Wahai orang-orang Ansar! Kemudian keluarlah Rasulullah saw. dan berkata: Ada apa ini? Kenapa harus berteriak dengan seruan jahiliah? Mereka menjawab: Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah! Kecuali ada dua pemuda yang berkelahi sehingga seorang dari keduanya memukul tengkuk yang lain. Rasulullah saw. bersabda: Kalau demikian, tidak apa-apa! Tapi hendaklah seseorang itu menolong saudaranya yang lain baik yang zalim maupun yang dizalimi. Kalau ia berbuat kezaliman hendaklah dicegah karena begitulah cara memberikan pertolongan kepadanya dan apabila dizalimi maka hendaklah ia membelanya. (Shahih Muslim )
Dua orang pemuda, yang satu dari golongan Muhajirin dan yang lain dari kaum Ansar, saling berbaku-hantam. Seorang dari kaum Muhajirin berteriak: Wahai kaum Muhajirin! Dan seorang dari Ansar juga berteriak: Wahai orang-orang Ansar! Kemudian keluarlah Rasulullah saw. dan berkata: Ada apa ini? Kenapa harus berteriak dengan seruan jahiliah? Mereka menjawab: Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah! Kecuali ada dua pemuda yang berkelahi sehingga seorang dari keduanya memukul tengkuk yang lain. Rasulullah saw. bersabda: Kalau demikian, tidak apa-apa! Tapi hendaklah seseorang itu menolong saudaranya yang lain baik yang zalim maupun yang dizalimi. Kalau ia berbuat kezaliman hendaklah dicegah karena begitulah cara memberikan pertolongan kepadanya dan apabila dizalimi maka hendaklah ia membelanya. (Shahih Muslim )
Ketegasan untuk menjauhkan konflik,
permusuhan dan kezhaliman dari saudara sesama muslim merupakan implementasi
dari sikap kasih sayang, senasib dan sepenanggungan dalam ujud ukhuwah
islamiyyah, karena memang keberadaan muslim satu dengan lainnya ibarat sebuah
tubuh yang saling merasakan apa yang diderita oleh yang lain, Hadis riwayat
Nukman bin Basyir ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang dan saling cinta adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam. (Shahih Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang dan saling cinta adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam. (Shahih Muslim)
Banyak kerugian yang akan diderita oleh
ummat islam bila terjadi konflik antara pemeluknya, padahal islam adalah agama
yang membawa perdamaian bahkan seorang muslim itu diibaratkan seperti hewan
lebah, yang mengeluarkan sesuatu bermanfaat bagi manusia yaitu berupa madu,
lebah kalau hinggap pada ranting yang paling rapuh sekalipun maka ranting itu
tidak akan patah, itulah karakter muslim, pribadinya seperti lebah, wallahu
a'lam[Cubadak Solok, 23 Zulhijjah 1431.H/30 Nofember 2010.M].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar