RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Kasih-sayang
kepada Kaum Muslimin
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Sebagai ummat Muhammad Saw, tentu saja harus mempunyai
identitas atau jati diri sebagai bukti yang dapat diperlihatkan di masyarakat
bahkan di hadapan Allah kelak. Dapat diibaratkan kita mengikuti suatu rombongan
perjalanan yang resmi, tapi tidak ada tanda pengenal tentu saja akan mengalami
kesulitan dalam perjalanan walaupun kita mengaku ikut rombongan, namun bukti
yang dapat meyakinkan tidak ada, demikian pula ummat Nabi Muhammad bukan
sekedar mengaku saja, tapi harus ada identitas yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Jati diri Nabi Saw, dan
ummat pendukungnya dapat dibaca dalam surat Al Fath, surat ke 48 ayat 29, ”Muhammad
itu adalah utusan Allah,dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
[tegas] terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka
[sesama muslim], kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”.
Ciri ummat Islam, yaitu kasih sayang kepada sesamanya,
yang tua menyayangi yang muda, yang muda hormat kepada yang tua, sikaya
membantu simiskin, sementara simiskin mendoakan yang kaya. Bukannya ummat Islam
yang saling tekan dan tindas, yang
pintar menjual yang bodoh, sikuat menekan yang lemah. Ummat Islam harus saling
asah, asih, asuh, bukan saling gasak, gesek dan gosok.
Imam An Nawawi
dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 27 dengan judul ‘’Mengagungkan
Kehormatan-Kehormatan Kaum Muslimin Dan Uraian Tentang Hak-hak Mereka Serta
Kasih-sayang Dan Belas-kasihan Kepada Mereka’’
Allah Ta'ala
berfirman:"Dan barangsiapa yang mengagungkan peraturan suci dari Allah,
maka itulah yang lebih baik baginya di sisi Tuhannya." (al-Haj: 30).
Allah Ta'ala berfirman
pula: "Dan
barangsiapa yang mengagungkan tanda-tanda suci - yakni agama Allah, maka sesungguhnya perbuatan
sedemikian itu adalah karena ketaqwaan hati." (al-Haj: 32).
Lagi Allah Ta'ala
berfirman: “Dan tundukkantah sayapmu - bersikap sopan
santunlah -dap kaum mu'minin" (al-Hijr:
88).
Allah Ta'ala juga
berfirman: "Barangsiapa yang membunuh seseorang manusia bukan
karena sebagai hukuman membunuh orang atau dengan sebab membuat kerusakan di
bumi - merampok dan lain-lain, maka ia seolah-olah membunuh manusia seluruhnya
dan barangsiapa memelihara kehidupan
seseorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia
seluruhnya." (al-Maidah: 32).
Dari Abu Musa r.a.,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seorang mu'min terhadap mu'min
yang lain itu adalah sebagai bangunan yang sebagiannya mengokohkan kepada bagian yang
lainnya," dan beliau s.a.w. menjalinkan antara jari-jarinya."
(Muttafaq 'alaih)
Dalam menguraikan Hadis
di atas. Imam al-Qurthubi berkata sebagai berikut: "Apa yang disabdakan oleh
Rasulullah s.a.w. itu adalah sebagai suatu tamsil perumpamaan yang isi
kandungannya adalah menganjurkan dengan sekeras-kerasnya agar seorang mu'min
itu selalu memberikan pertolongan kepada sesama mu'minnya, baik pertolongan
apapun sifatnya (asal bukan yang ditujukan untuk sesuatu kemungkaran), Ini
adalah suatu perintah yang dikokohkan yang tidak boleh tidak, pasti kita
laksanakan.
Perumpamaan yang
dimaksudkan itu adalah sebagai suatu bangunan yang tidak mungkin sempurna dan
tidak akan berhasil dapat dimanfaatkan atau digunakan, melainkan wajiblah yang
sebagian dari bangunan itu mengokohkan dan erat-erat saling pegang-memegang
dengan yang bagian lain. Jikalau tidak demikian, maka bagian-bagian dari
bangunan itu pasti berantakan sendiri-sendiri dan musnahlah apa yang dengan
susah payah didirikan.
Begitulah semestinya
kaum Muslimin dan mu'minin antara yang seorang dengan yang lain, antara yang
sekelompok dengan yang lain, antara yang satu bangsa dengan yang lain.
Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri, baik dalam urusan keduniaan,
keagamaan dan keakhiratan, melainkan dengan saling tolong-menolong,
bantu-membantu serta kokoh-mengokohkan. Manakala hal-hal tersebut di atas tidak
dilaksanakan baik-baik, maka jangan diharapkan munculnya keunggulan dan
kemenangan, bahkan sebaliknya yang akan terjadi, yakni kelemahan seluruh ummat
Islam, tidak dapat mencapai kemaslahatan yang sesempurna-sempurnanya, tidak
kuasa pula melawan musuh-musuhnya ataupun menolak bahaya apapun yang menimpa
tubuh kaum Muslimin secara keseluruhan. Semua itu mengakibatkan tidak
sempurnanya ketertiban dalam urusan kehidupan duniawiyah, juga urusan diniyah
(keagamaan) dan ukhrawiyah. Malahan yang pasti akan ditemui ialah kemusnahan,
malapetaka yang bertubi-tubi serta bencana yang tiada habis-habisnya.
Dari Abu Musa r.a. juga,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa yang berjalan di sesuatu tempat
dari masjid-masjid kita atau pasar-pasar kita sedang ia membawa anak-anak
panah, maka hendaklah memegang atau menutupi ujung-ujungnya dengan tapak
tangannya, sebab dikuatirkan akan mengenai seseorang dari kaum Muslimin dengan
sesuatu yang dibawanya tadi." (Muttafaq 'alaih)
Dari an-Nu'man bin
Basyir radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Perumpamaan kaum Mu'minin
dalam hal saling sayang-menyayangi, saling kasih-mengasrhi dan saling
iba-mengibai itu adalah bagaikan sesosok tubuh. Jikalau salah satu anggota dari
tubuh itu ada yang merasa sakit, maka tertarik pula seluruh tubuh - karena ikut
merasakan sakitnya - dengan berjaga - tidak tidur - serta merasa panas."
(Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Hurairah r.a.,
katanya: "Nabi s.a.w. mencium al-Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma dan di
dekat beliau s.a.w. itu ada seorang bernama al-Aqra' bin Habis, lalu al-Aqra'berkata:
"Saya ini mempunyai sepuluh orang anak, belum pernah saya mencium
seseorangpun dari mereka itu." Rasulullah s.a.w. lalu memperhatikan orang
itu, kemudian bersabda: "Barangsiapa yang tidak menaruh belas kasihan -
kepada sesamanya, maka tidak dibelas kasihani - oleh Allah." (Muttafaq
'alaih)
Dari Abu Hurairah r.a.
bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:"Jikalau seseorang dari engkau semua
bersembahyang menjadi imamnya orang banyak, maka hendaklah meringankannya,
sebabdi kalangan para makmum itu ada orang lemah, ada orang sakit dan ada pula
yang berusia tua. Tetapi jikalau bersembahyang sendirian -munfarid, maka
hendaklah memperpanjangkan shalatnya itu sekehendak hatinya." (Muttafaq
'alaih)
Dari Aisyah radhiallahu
'anha juga, katanya: "Nabi s.a.w. melarang para sahabat melakukan puasa
wishal - tidak berbuka dalam malam hari puasa, sehingga dua hari puasa
dijadikan satu dan terus berpuasa saja. Larangan ini adalah karena
belas-kasihan kepada mereka. Para sahabat bertanya: "Sesungguhnya Tuan
sendiri suka berpuasa wishal." Beliau s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya
saya ini tidaklah seperti keadaanmu semua, karena sesungguhnya saya ini diberi
makan serta minum oleh Tuhanku." (Muttafaq 'alaih) Artinya ialah: Saya itu diberi
kekuatan seperti orangyang makan dan minum.
Dari Ibnu Umar
radhiallahu anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seorang Muslim adalah
saudaranya orang Muslim lainnya. Janganlah ia menganiayanya, jangan pula
menyerahkannya kepada musuhnya. "Barangsiapa
memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam
hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang Muslim dari
sesuatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari sesuatu kesusahan
dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi cela
seseorang Muslim, maka Allah akan menutupi cela orang itu pada hari
kiamat." (Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Hurairah r.a.,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Seorang Muslim adalah saudaranya orang Muslim
yang lain. Janganlah ia berkhianat kepada saudaranya itu dan jangan pula
mendustainya, juga jangan menghinakannya - juga enggan memberikan pertolongan
padanya bila diperlukan. Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya itu adalah haram
kehormatannya - tidak boleh dinodai, haram hartanya - tidak boleh dirampas -
dan haram darahnya - tidak boleh dibunuh tanpa dasar kebenaran. Ketaqwaan itu di sini - dalam hati. Cukuplah seseorang itu
menjadi orang jelek, jikalau ia menghinakan saudaranya yang sama
Muslimnya."
Dari Abu Hurairah r.a.
pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Janganlah engkau semua hasad-menghasad, jangan
pula kicuh-mengicuh, jangan benci-membenci, jangan seteru-menyeteru dan jangan
pula setengah dari engkau semua itu menjual atas jualannya orang lain. Dan
jadilah hamba Allah sebagai saudara. Seorang
Muslim itu adalah saudara orang Muslim yang lain. Janganlah ia menganiaya
saudaranya, jangan merendahkannya dan jangan
menghinakannya - enggan
memberikan pertolongan padanya.
Ketaqwaan itu ada di sini - dan beliau menunjuk ke arah dadanya sampar tiga
kali. Cukuplah seseorang itu menjadi orang jelek, jikalau ia menghinakan
saudaranya sesama Muslimnya. Setiap orang Muslim terhadap orang Muslim yang
lain itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya." (Riwayat Muslim).
Dari
Anas r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tidaklah sempurna keimanan
seseorang dari engkau semua itu, sehingga ia mencintai untuk diterapkan kepada
saudaranya sebagaimana ia mencintai kalau itu diterapkan untuk dirinya
sendiri." (Muttafaq 'alaih)
Dari Anas r.a. juga,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tolonglah saudaramu itu, baik
ia sebagai orang yang menganiaya atau yang dianiaya." Ada seorang lelaki
bertanya: "Ya Rasulullah, saya dapat menolongnya jikalau ia memang
dianiaya. Tetapi bagaimanakah pendapat Tuan, jikalau ia sebagai orang yang
menganiaya? Bagaimanakah cara saya menolongnya itu?" Beliau s.a.w.
menjawab: "Hendaklah ia engkau cegah atau engkau larang dari perbuatan
penganiayaannya itu, sebab demikian itulah cara menolongnya." (Riwayat
Bukhari)
Dari Abu Hurairah r.a.
bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:"Haknya seorang Muslim terhadap
orang Muslim yang lain itu ada lima perkara yaitu menjawab salam, meninjau yang
sakit, mengikuti jenazahnya, mengabulkan undangannya dan bertasymit kepada yang
bersin - yakni kalau seseorang bersin dan mengucapkan Alhamdulillah, maka yang
mendengar hendaklah mentasymitkan - mendoakan - dengan mengucapkan: Yarhamukalhh,
artinya: Semoga Allah merahmatimu, kemudian yang bersin itu menjawab: Yahdikumullah
wa yushtihu balakum, artinya: Semoga Allah memberi petunjuk padamu dan
memperbaiki hatimu." (Muttafaq 'alaih).
Dalam riwayat Muslim
disebutkan demikian:"Hak seorang Muslim terhadap orang Muslim lainnya itu
ada enam perkara, yaitu jikalau engkau bertemu dengannya, maka berilah salam
kepadanya, jikalau ia mengundangmu, maka kabulkanlah undangannya, jikalau ia
meminta nasihat kepadamu, maka berilah ia nasihat, jikalau ia bersin kemudian
mengucapkan Alhamdulillah, maka tasymitkanlah ia, jikalau ia sakit, tinjaulah
ia dan jikalau ia meninggal dunia, maka ikutilah jenazahnya." (Riwayat
Muslim).
Menurut Imam Al Ghazali, ummat
Islam itu ibarat dua tangan yang kompak, ketika tangan kanan berayun ke depan
maka yang kiri mengalah ke belakang dan sebaliknya sehingga enak dipandang.
Sungguh tidak serasi dipandang bila tangan kanan dan kiri tidak saling
pengertian, ketika berjalan keduanya ingin kedepan atau keduanya ingin ke
belakang, lebih luas ummat Islam diibaratkan pula seperti lima jari pada satu
tangan yang bersatu, bila lima jari bersatu dapat berbuat sesuatu, tapi kalau
bercerai tidak satupun beban yang dapat diangkat.
Ibu jari adalah simbul penguasa atau umara/ pemerintah
yang punya tugas mengayomi, membina, membimbing dan mensejahterakan rakyatnya.
Tidak ubahnya sebagai seorang itu, keadilan akan ditegakkan walaupn yang melakukan
orang terpandang, kebenaran akan dibela meskipun penguasa atau pemerintah.
Jari telunjuk adalah para hartawan yang dermawan, dengan
hartanya dia mampu menunjuk bangunan yang terbengkalai, fakir miskin dan anak
yatim dapat dia bantu. Hartawan yang dermawanlah yang dapat berperan sebagai
jari telunjuk untuk menjalin kasih sesama ummat bukan hartawan yang kikir lagi
bakhil.
Orang yang dilambangkan dengan jari tengah adalah para
ulama yang berperan sebagai penyampai denyut nadi ummat melalui fatwanya yang
berdasarkan Al ur’an dan Hadits.
Letaknya di tengah mempunyai makna yang dalam artinya. Dia tidak boleh
terlalu rapat dengan penguasa dan terlalu kental dengan orang kaya. Karena
kehadirannya membela kepentingan rakyat dan ummat serta menegakkan kebenaran
dengan ajaran Allah. Kalau dia terlalu dekat dengan penguasa dan orang kaya
dapat mengaburkan misi yang diembannya, apalagi dia rela diperalat sehingga
fatwa yang disampaikannya sesuai dengan pesan sponsor dari penguasa dan
konglomerat.
Ulama yang diharapkan adalah ulama yang dapat menjalin
persahabatan dengan lapisan masyarakat manapun tapi tetap tegar dan tegas
dengan prinsip da’wah yaitu menyampaikan kebenaran walaupun pahit dirasakannya.
Dia mampu untuk mengatakan hitam walaupun dipaksa untuk mengatakan putih. Dia tidak bisa berkata haram kalau hal tersebut halal dan
sebaliknya.
Jari manis adalah keindahan. Letak cincin berlian disini.
Dia ibarat pemuda yang dihiasi dengan berbagai keindahan cita-cita dan harapan,
baik orang tua, agama maupun bangsa. Kehadirannya di tengah masyarakat harus
bermanfaat bagi kelansungan hidup suatu bangsa melalui bidang pendidikan atau
keterampilan yang dimiliki.
Jari yang terakhir adalah kelingking. Kedudukannya pada
urutan terakhir dan bentuknyapun paling kecil di bandingkan dengan jari lain.
Tapi perannya tidak dapat diabaikan begitu saja. Dia adalah kaum ibu dan
wanita. Posisinya bukan hanya segi tiga; dapur, kasur dan sumur saja, tapi pada
zaman sekarang telah merambah ke dunia yang pada umumnya dilakukan oleh lelaki.
Satu sisi dia disebut dengan wanita yang berperan ganda.
Sebagai pendamping suami, peran
ganda wanita mengamankan kedudukan suami dari segala macam rongrongan yang
dapat melemahkan keteguhan pendirian dan pengabdiannya. Sebagai ibu, peran
ganda wanita dapat menyumbangkan pada negara putra-putri yang berguna dan
berbudi luhur. Dan terakhir sebagai ibu rumah tangga yang harmonis, sakinah dan
mawaddah yaitu rumah tangga yang tenang dan tentram. Wallahu a’lam [Cubadak
Pianggu Solok, 02 Zulqaidah 1434.H/07 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar