PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
ZUHUD
عَنْ أَبِي الْعَبَّاس سَهْل بِنْ سَعْد السَّاعِدِي رَضِيَ الله
عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ
اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ،
وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ .
[حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة]
Terjemah hadits / ترجمة
الحديث
Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi
radhiallahuanhu dia berkata : Seseorang mendatangi Rasulullah shollallohu
‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata : Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku
sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku, maka
beliau bersabda: Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan
zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.
(Hadits hasan riwayat Ibnu Majah dan lainnya
dengan sanad hasan) .
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث:
1. Menuntut kecukupan
terhadap dunia adalah perkara wajib, sedang zuhud adalah tidak adanya
ketergantungan dan terpusatnya perhatian terhadapnya.
2. Bersikap qanaah
terhadap rizki yang halal dan ridho terhadapnya serta bersikap ‘iffah dari
perbuatan haram dan hati-hati terhadap syubhat.
3. Jiwa yang merasa
cukup dan iffah serta berkorban dengan harta dan jiwa di jalan Allah merupakan
hakekat zuhud.
Pembahasan;
Islam membuka
kesempatan untuk mencari harta sebanyak-banyaknya demi kehidupan di dunia ini,
Islam tidak melarang untuk menikmati kemilaunya dunia ini, Islam tidak
menghambat manusia untuk makan yang lezat-lezat, silahkan. Akan tetapi dari
mana harta serta kenikmatan itu, apakah dari jalan halal atau haram. Perlu pula
diingat, harta serta kenikmatan yang diperoleh itu bukanlah milikmu mutlak,
Islam mengaturnya dengan baik, melalui zakat, sedekah, infaq dan derma lainnya.
Rasulullah bersabda, ”Carilah rezeki dari celah-celah
perut bumi”, ”Siapa yang menghidupkan atau menyuburkan tanah yang gersang, maka
tanah itu adalah miliknya”.
Allah juga berfirman dalam
surat Al Jumuah 62; 10,;”Jika kamu telah selesai shalat maka bertebaranlah
dimuka bumi ini untuk mencari karunia Allah”.
Tidak begitu jauh jarak antara ibadah dengan
mencari rezeki, bahkan mencari rezekipun salah satu dari asfek ibadah, sehingga
dalam mencari rezeki tersebut seorang mukmin selalu memaknai dengan ibadah,
salah satu watak mukmin terhadap rezeki adalah qana'ah. Qana’ah adalah sifat mulia seorang mukmin terhadap rezeki yang diberi Allah, dia
menerima berapapun jumlahnya sambil terus berusaha memperbaiki nasibnya. Jangan
sekali-kali tamak pada milik orang lain, tidak pula menginginkan sesuatu yang
ada di tangan orang, jangan pula berhati loba untuk mencari harta itu dengan
segala jalan yang ada tanpa melihat baik buruknya serta halal haramnya.
Sifat
qana’ah akan dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai aqidah yang mantap, dia
yakin bahwasanya seluruh harta yang diberikan allah kepadanya merupakan amanah
bukan hadiah, yang kelak harus dipertanggungjawabkan kehadapan Allah.
Memang
kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sementara apabila dibandingkan
dengan kehidupan akhirat yang abadi. Namun demikian dengan keras diingatkan
agar kehidupan di dunia ini janganlah dijadikan alasan untuk hidup dengan laku
penuh penyesalan, jangan dijadikan
penantian dengan mental yang senantiasa was-was dan was-was. Sama sekali
tidak dibenarkan untuk mengartikan sebuah ungkapan bahwa ”dunia ini adalah bangkai dan barangsiapa yang berlaku asyik dengannya
sama dengan anjing” dengan pengertian yang harfiah.
Seorang
sahabat datang kepada Nabi Saw dan bertanya, "Ya Rasulullah, tunjukkan
kepadaku suatu amalan yang bila aku amalkan niscaya aku akan dicintai Allah dan
manusia." Rasulullah Saw menjawab, "Hiduplah di dunia dengan berzuhud
(bersahaja) maka kamu akan dicintai Allah, dan jangan tamak terhadap apa yang
ada di tangan manusia, niscaya kamu akan disenangi manusia." (HR. Ibnu
Majah).
Dua
sikap mulia yang akan disenangi Allah dan disayangi manusia yaitu zuhud dan
tidak tamak. Orang yang hidupnya zuhud yaitu sederhana terhadap kehidupan dunia
walaupun dia punya dan mampu untuk bermewah-mewah dan berpoya-poya tapi tidak
dilakukannya karena keimanan dan ketinggian harga dirinya untuk menjadikan
harta itu sebagai sarana ibadah, hartanya digunakan untuk kepentingan yang
prioritas bagi keluarga, agama dan
masyarakatnya.
Orang
yang zuhud dan qana'ah, tercermin pada sikap sederhana dan bersahaja bukan
karena ketidakmampuannya, untuk bersahaja ketika miskin siapapun orang bisa,
tapi ketika kaya kadangkala nafsu buas diperturutkan, egoisme semakin
menjadi-jadi, orang yang bijak adalah
orang yang bisa untuk bersahaja dikala
kaya apalagi dikala miskin. Bahkan ketika Rasulullah ditawari dengan kekayaan,
beliau menolaknya, beliau lebih memilih hidup dalam keadaan sederhana, "Robbku
menawarkan kepadaku untuk menjadikan lembah Mekah seluruhnya emas. Aku
menjawab, "Jangan ya Allah, aku ingin satu hari kenyang dan satu hari
lapar. Apabila aku lapar aku akan memohon dan ingat kepada-Mu dan bila kenyang
aku akan bertahmid dan bersyukur kepada-Mu." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Jadi yang dinamakan dengan zuhud
bukanlah meninggalkan segala kenikmatan dunia, mencampakkannya ke belakang,
tapi zuhud itu adalah sikap hidup yang bersahaja walaupun harta selalu
mendekatinya, jadi bukan dia lagi yang mencari harta tapi hartalah yang
mencarinya, tapi dia tidak terperdaya dengan kesenangan duniawi itu, sebagaimana
Abu Bakar berdo'a pada satu kesempatan,"Ya Allah, letakkanlah dunia itu
di tanganku agar bisa aku bisa mendistribusikannya, jangan kau letakkan harta
itu di hatiku maka dia akan menguasaiku", Rasulullah bersabda, "Barangsiapa
ridha dengan rezeki yang sedikit dari Allah maka Allah akan ridha dengan amal
yang sedikit dari dia, dan menanti-nanti (mengharap-harap) kelapangan adalah
suatu ibadah'' (HR. Bukhari).
Bila
seorang mukmin sejak dini dia sudah dididik dengan nilai-nilai islam, dengan
akhlakul karimah, maka dia akan menyikapi segala yang diperolehnya berupa
harta, kehormatan dan ilmu dengan cara baik, karena tiga hal itu merupakan
titipan Allah, orang yang diberi kekayaan tapi hidup bergelimang dengan
kemewahan, ketika dagang kemiskinan dia akan mengalami depresi dan stres, orang
yang terhormat karena jabatan bila sombong dan membusungkan dada karena
jabatannya itu maka nanti ketika jabatan itu tidak ada dia bisa panik dan gila
karena tidak ada lagi orang yang menghargainya, orang yang punya ilmu bila tidak
tawadhu' [rendah hati], maka ketika orang tidak lagi menghargai ilmunya maka
dia akan kesal, kecewa dan panik, untuk itulah Rasulullah menasehati ummatnya
untuk berpandai-pandai menyikapi hidup dan kehidupan ini dengan bijak, "Kasihanilah
tiga golongan orang yaitu orang kaya dalam kaumnya lalu melarat, seorang yang
semula mulia (terhormat dalam kaumnya) lalu terhina, dan seorang 'alim yang
dipermainkan (diperolok-olok) oleh orang-orang yang dungu dan jahil.; (HR.
Asysyihaab).
Terhadap
tiga kelompok orang ini yaitu orang yang jatuh melarat, orang yang jatuh
jabatannya dan orang yang ilmuyang tidak dihargai lagi, kita hanya bisa merasa
kasihan, tidak ada daya upaya untuk menolongnya kecuali bersikap santun kepada
mereka, itulah hikmahnya agar terhadap harta kekayaan kita bersikap zuhud,
terhadap jabatan bersikap tawadhu' dan terhadap ilmu agar kita mengamalkannya,
bila hal ini berlansung maka kehidupan akan harmonis jadinya, Rasul menyatakan
tentang keutamaan orang yang zuhur "Barangsiapa zuhud di dunia maka
ringan baginya segala musibah" (HR. Asysyihaab), dan menyatakan pula
tentang orang yang tamak terhadap dunia, :Ketamakan menghilangkan kebijaksanaan
dari hati para ulama" (HR. Ath-Thabrani).
Kekhawatiran
Rasulullah terhadap ummatnya bukanlah kemelaratan, sebab dengan kemelaratan
yang diderita semua orang mampu untuk mempertahankan iman dan ibadahnya, zuhud
dalam kemelaratan, tapi yang dikhawatirkan adalah ummat ini tidak mampu untuk
zuhud dikala datangnya kekayaan, "Demi Allah, bukanlah kemelaratan yang
aku takuti bila menimpa kalian, tetapi yang kutakuti adalah bila dilapangkannya
dunia bagimu sebagaimana pernah dilapangkan (dimudahkan) bagi orang-orang yang
sebelum kalian, lalu kalian saling berlomba sebagaimana mereka berlomba, lalu
kalian dibinasakan olehnya sebagaimana mereka dibinasakan" (HR. Ahmad)
Kita
lihatlah bagaimana ummat-ummat terdahulu dihancurkan dengan azab bukan karena
kemiskinan mereka tapi karena hidup yang kaya, mewah dan berpoya-poya sehingga
lupa dengan kepentingan akherat, padahal kesenangan di dunia ini hanya
sementara dan sangat terbatas sekali, sehingga segala apapun yang kita miliki
di dunia ini, tidak mampu mengantarkan kita ke pintu bahagia ke akherat bila
ambisius dunia diperturutkan, bila nafsu serakah tidak mampu direm dan bila
egoisme tidak dapat dijinakkan, "Malaikat Jibril datang kepada Nabi
Saw, lalu berkata, "Hai Muhammad, hiduplah sesukamu namun engkau pasti
mati. Berbuatlah sesukamu namun engkau pasti akan diganjar, dan cintailah siapa
yang engkau sukai namun pasti engkau akan berpisah dengannya. Ketahuilah,
kemuliaan seorang mukmin tergantung shalat malamnya dan kehormatannya
tergantung dari ketidakbutuhannya kepada orang lain." (HR.
Ath-Thabrani).
Bukan
berarti kita harus hidup dalam keadaan miskin dan melarat, kewajiban untuk
mencari nafkah, mengais rezeki dan meraup keuntungan dunia tidaklah dilarang,
karena harta yang kita miliki itu sangat berharga untuk kelansungan sebuah
generasi, untuk anak-anak dan cucu-cucu kelak dikemudian hari sebagaimana yang
diungkapkan oleh Rasulullah melalui dialoq bersama sahabatnya, " Sa'ad
bin Abi Waqqash berkata, "Ketika aku sakit, Rasulullah datang menjenguk
dan aku berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku mewakafkan seluruh
hartaku?" Nabi Saw menjawab, "Tidak." Aku bertanya lagi,
"Separonya?", Nabi menjawab, "Tidak." Aku bertanya lagi,
"Sepertiganya?" Beliau menjawab, "Meninggalkan keluargamu dalam
keadaan baik (senang) lebih baik daripada membiarkan mereka miskin mengemis pada
orang-orang." (HR. Bukhari).
Hidup yang dihiasi dengan sikap zuhud
akan mendatangkan mental kuat dan kokoh, dikala mendapatkan harta dengan segala
upaya untuk meraihnya semakin dekat kepada Allah dengan syukur yang mendalam
dan mengeluarkan harta itu sesuai keperluan kehidupan, meraikhnyapun tidak
tamak sehingga melupakan kepentingan akherat, mengeluarkannya tidak kikir
apalagi boros tapi sesuai dengan skala prioritas, dikala harta itu jauh
darinya, sikap sabar jadi bentengnya karena bagi orang yang zuhud, kekayaan
hakiki itu adalah kekayaan yang ada di dalam jiwanya, wallahu a'lam [Cubadak Solok, 21 Zulhijjah 1431.H/28 Nofember 2010.M].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar