Rabu, 20 November 2013

31. Zuhud



PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

ZUHUD
عَنْ أَبِي الْعَبَّاس سَهْل بِنْ سَعْد السَّاعِدِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ .
[حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث
Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi radhiallahuanhu dia berkata : Seseorang mendatangi Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata : Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku, maka beliau bersabda: Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.
(Hadits hasan riwayat Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan) .
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث:
1.     Menuntut kecukupan terhadap dunia adalah perkara wajib, sedang zuhud adalah tidak adanya ketergantungan dan terpusatnya perhatian terhadapnya.
2.     Bersikap qanaah terhadap rizki yang halal dan ridho terhadapnya serta bersikap ‘iffah dari perbuatan haram dan hati-hati terhadap syubhat.
3.     Jiwa yang merasa cukup dan iffah serta berkorban dengan harta dan jiwa di jalan Allah merupakan hakekat zuhud.
Pembahasan;
Islam membuka kesempatan untuk mencari harta sebanyak-banyaknya demi kehidupan di dunia ini, Islam tidak melarang untuk menikmati kemilaunya dunia ini, Islam tidak menghambat manusia untuk makan yang lezat-lezat, silahkan. Akan tetapi dari mana harta serta kenikmatan itu, apakah dari jalan halal atau haram. Perlu pula diingat, harta serta kenikmatan yang diperoleh itu bukanlah milikmu mutlak, Islam mengaturnya dengan baik, melalui zakat, sedekah, infaq dan derma lainnya.

Rasulullah bersabda, ”Carilah rezeki dari celah-celah perut bumi”, ”Siapa yang menghidupkan atau menyuburkan tanah yang gersang, maka tanah itu adalah miliknya”.

            Allah juga berfirman dalam surat Al Jumuah 62; 10,;”Jika kamu telah selesai shalat maka bertebaranlah dimuka bumi ini untuk mencari karunia Allah”.

Tidak begitu jauh jarak antara ibadah dengan mencari rezeki, bahkan mencari rezekipun salah satu dari asfek ibadah, sehingga dalam mencari rezeki tersebut seorang mukmin selalu memaknai dengan ibadah, salah satu watak mukmin terhadap rezeki adalah qana'ah. Qana’ah adalah sifat mulia seorang mukmin terhadap rezeki yang diberi Allah, dia menerima berapapun jumlahnya sambil terus berusaha memperbaiki nasibnya. Jangan sekali-kali tamak pada milik orang lain, tidak pula menginginkan sesuatu yang ada di tangan orang, jangan pula berhati loba untuk mencari harta itu dengan segala jalan yang ada tanpa melihat baik buruknya serta halal haramnya.

Sifat qana’ah akan dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai aqidah yang mantap, dia yakin bahwasanya seluruh harta yang diberikan allah kepadanya merupakan amanah bukan hadiah, yang kelak harus dipertanggungjawabkan kehadapan Allah.

Memang kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sementara apabila dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang abadi. Namun demikian dengan keras diingatkan agar kehidupan di dunia ini janganlah dijadikan alasan untuk hidup dengan laku penuh penyesalan, jangan dijadikan  penantian dengan mental yang senantiasa was-was dan was-was. Sama sekali tidak dibenarkan untuk mengartikan sebuah ungkapan bahwa ”dunia ini adalah bangkai dan barangsiapa yang berlaku asyik dengannya sama dengan anjing” dengan pengertian yang harfiah.

Seorang sahabat datang kepada Nabi Saw dan bertanya, "Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bila aku amalkan niscaya aku akan dicintai Allah dan manusia." Rasulullah Saw menjawab, "Hiduplah di dunia dengan berzuhud (bersahaja) maka kamu akan dicintai Allah, dan jangan tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya kamu akan disenangi manusia." (HR. Ibnu Majah).

Dua sikap mulia yang akan disenangi Allah dan disayangi manusia yaitu zuhud dan tidak tamak. Orang yang hidupnya zuhud yaitu sederhana terhadap kehidupan dunia walaupun dia punya dan mampu untuk bermewah-mewah dan berpoya-poya tapi tidak dilakukannya karena keimanan dan ketinggian harga dirinya untuk menjadikan harta itu sebagai sarana ibadah, hartanya digunakan untuk kepentingan yang prioritas bagi keluarga, agama  dan masyarakatnya.

Orang yang zuhud dan qana'ah, tercermin pada sikap sederhana dan bersahaja bukan karena ketidakmampuannya, untuk bersahaja ketika miskin siapapun orang bisa, tapi ketika kaya kadangkala nafsu buas diperturutkan, egoisme semakin menjadi-jadi, orang yang  bijak adalah orang yang bisa untuk  bersahaja dikala kaya apalagi dikala miskin. Bahkan ketika Rasulullah ditawari dengan kekayaan, beliau menolaknya, beliau lebih memilih hidup dalam keadaan sederhana, "Robbku menawarkan kepadaku untuk menjadikan lembah Mekah seluruhnya emas. Aku menjawab, "Jangan ya Allah, aku ingin satu hari kenyang dan satu hari lapar. Apabila aku lapar aku akan memohon dan ingat kepada-Mu dan bila kenyang aku akan bertahmid dan bersyukur kepada-Mu." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

            Jadi yang dinamakan dengan zuhud bukanlah meninggalkan segala kenikmatan dunia, mencampakkannya ke belakang, tapi zuhud itu adalah sikap hidup yang bersahaja walaupun harta selalu mendekatinya, jadi bukan dia lagi yang mencari harta tapi hartalah yang mencarinya, tapi dia tidak terperdaya dengan kesenangan duniawi itu, sebagaimana Abu Bakar berdo'a pada satu kesempatan,"Ya Allah, letakkanlah dunia itu di tanganku agar bisa aku bisa mendistribusikannya, jangan kau letakkan harta itu di hatiku maka dia akan menguasaiku", Rasulullah bersabda, "Barangsiapa ridha dengan rezeki yang sedikit dari Allah maka Allah akan ridha dengan amal yang sedikit dari dia, dan menanti-nanti (mengharap-harap) kelapangan adalah suatu ibadah'' (HR. Bukhari).

Bila seorang mukmin sejak dini dia sudah dididik dengan nilai-nilai islam, dengan akhlakul karimah, maka dia akan menyikapi segala yang diperolehnya berupa harta, kehormatan dan ilmu dengan cara baik, karena tiga hal itu merupakan titipan Allah, orang yang diberi kekayaan tapi hidup bergelimang dengan kemewahan, ketika dagang kemiskinan dia akan mengalami depresi dan stres, orang yang terhormat karena jabatan bila sombong dan membusungkan dada karena jabatannya itu maka nanti ketika jabatan itu tidak ada dia bisa panik dan gila karena tidak ada lagi orang yang menghargainya, orang yang punya ilmu bila tidak tawadhu' [rendah hati], maka ketika orang tidak lagi menghargai ilmunya maka dia akan kesal, kecewa dan panik, untuk itulah Rasulullah menasehati ummatnya untuk berpandai-pandai menyikapi hidup dan kehidupan ini dengan bijak, "Kasihanilah tiga golongan orang yaitu orang kaya dalam kaumnya lalu melarat, seorang yang semula mulia (terhormat dalam kaumnya) lalu terhina, dan seorang 'alim yang dipermainkan (diperolok-olok) oleh orang-orang yang dungu dan jahil.; (HR. Asysyihaab).

Terhadap tiga kelompok orang ini yaitu orang yang jatuh melarat, orang yang jatuh jabatannya dan orang yang ilmuyang tidak dihargai lagi, kita hanya bisa merasa kasihan, tidak ada daya upaya untuk menolongnya kecuali bersikap santun kepada mereka, itulah hikmahnya agar terhadap harta kekayaan kita bersikap zuhud, terhadap jabatan bersikap tawadhu' dan terhadap ilmu agar kita mengamalkannya, bila hal ini berlansung maka kehidupan akan harmonis jadinya, Rasul menyatakan tentang keutamaan orang yang zuhur "Barangsiapa zuhud di dunia maka ringan baginya segala musibah" (HR. Asysyihaab), dan menyatakan pula tentang orang yang tamak terhadap dunia, :Ketamakan menghilangkan kebijaksanaan dari hati para ulama" (HR. Ath-Thabrani).

Kekhawatiran Rasulullah terhadap ummatnya bukanlah kemelaratan, sebab dengan kemelaratan yang diderita semua orang mampu untuk mempertahankan iman dan ibadahnya, zuhud dalam kemelaratan, tapi yang dikhawatirkan adalah ummat ini tidak mampu untuk zuhud dikala datangnya kekayaan, "Demi Allah, bukanlah kemelaratan yang aku takuti bila menimpa kalian, tetapi yang kutakuti adalah bila dilapangkannya dunia bagimu sebagaimana pernah dilapangkan (dimudahkan) bagi orang-orang yang sebelum kalian, lalu kalian saling berlomba sebagaimana mereka berlomba, lalu kalian dibinasakan olehnya sebagaimana mereka dibinasakan" (HR. Ahmad)

Kita lihatlah bagaimana ummat-ummat terdahulu dihancurkan dengan azab bukan karena kemiskinan mereka tapi karena hidup yang kaya, mewah dan berpoya-poya sehingga lupa dengan kepentingan akherat, padahal kesenangan di dunia ini hanya sementara dan sangat terbatas sekali, sehingga segala apapun yang kita miliki di dunia ini, tidak mampu mengantarkan kita ke pintu bahagia ke akherat bila ambisius dunia diperturutkan, bila nafsu serakah tidak mampu direm dan bila egoisme tidak dapat dijinakkan, "Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, "Hai Muhammad, hiduplah sesukamu namun engkau pasti mati. Berbuatlah sesukamu namun engkau pasti akan diganjar, dan cintailah siapa yang engkau sukai namun pasti engkau akan berpisah dengannya. Ketahuilah, kemuliaan seorang mukmin tergantung shalat malamnya dan kehormatannya tergantung dari ketidakbutuhannya kepada orang lain." (HR. Ath-Thabrani).

Bukan berarti kita harus hidup dalam keadaan miskin dan melarat, kewajiban untuk mencari nafkah, mengais rezeki dan meraup keuntungan dunia tidaklah dilarang, karena harta yang kita miliki itu sangat berharga untuk kelansungan sebuah generasi, untuk anak-anak dan cucu-cucu kelak dikemudian hari sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah melalui dialoq bersama sahabatnya, " Sa'ad bin Abi Waqqash berkata, "Ketika aku sakit, Rasulullah datang menjenguk dan aku berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku mewakafkan seluruh hartaku?" Nabi Saw menjawab, "Tidak." Aku bertanya lagi, "Separonya?", Nabi menjawab, "Tidak." Aku bertanya lagi, "Sepertiganya?" Beliau menjawab, "Meninggalkan keluargamu dalam keadaan baik (senang) lebih baik daripada membiarkan mereka miskin mengemis pada orang-orang." (HR. Bukhari).

Hidup yang dihiasi dengan sikap zuhud akan mendatangkan mental kuat dan kokoh, dikala mendapatkan harta dengan segala upaya untuk meraihnya semakin dekat kepada Allah dengan syukur yang mendalam dan mengeluarkan harta itu sesuai keperluan kehidupan, meraikhnyapun tidak tamak sehingga melupakan kepentingan akherat, mengeluarkannya tidak kikir apalagi boros tapi sesuai dengan skala prioritas, dikala harta itu jauh darinya, sikap sabar jadi bentengnya karena bagi orang yang zuhud, kekayaan hakiki itu adalah kekayaan yang ada di dalam jiwanya, wallahu a'lam [Cubadak Solok, 21 Zulhijjah 1431.H/28 Nofember 2010.M].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar