PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
ISTIQAMAH
عَنْ أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ : أَبِي عَمْرَةَ سُفْيَانُ بْنِ عَبْدِ
اللهِ الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ
لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ . قَالَ :
قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
[رواه مسلم]
Terjemah hadits
Dari Abu Amr, -ada juga yang mengatakan- Abu
‘Amrah, Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqofi radhiallahuanhu dia berkata, saya
berkata : Wahai Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, katakan kepada saya
tentang Islam sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada
seorangpun selainmu. Beliau bersabda: Katakanlah: saya beriman kepada Allah,
kemudian berpegang teguhlah.(Riwayat Muslim).
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1. Iman kepada Allah
ta’ala harus mendahului ketaatan.
2. Amal shalih dapat
menjaga keimanan
3. Iman dan amal saleh
keduanya harus dilaksanakan.
4. Istiqomah merupakan
derajat yang tinggi.
5. Keinginan yang kuat
dari para shahabat dalam menjaga agamanya dan merawat keimanannya.
6. Perintah untuk
istiqomah dalam tauhid dan ikhlas beribadah hanya kepada Allah semata hingga
mati.
Pembahasan;
Dalam kehidupan yang penuh dengan ujian
dan cobaan ini salah satu yang sangat diperlukan adalah ketahanan fisik dan
kemantapan jiwa, walaupun berat dan kerasnya pukulan yang datang dapat diatasi
dengan baik, inilah sikap istiqamah yang harus kita punyai agar hidup kita
tidak tergelincir kepada kemaksiatan dan dosa.
Buya Hamka berpendapat,"Istiqomahlah
laksana batu karang di ujung pulau, menerima hempasan segala ombak dan
gelombang yang menggulung, setiap ombak dan gelombang datang, setiap itu pula
menambah kekokohannya. Istiqamahlah, laksana sebatang pohon beringin, menerima
segala angin sepoi dan angin badai, kadangkala berderak derik laksana akan
runtuh, terhoyong ke kiri dan ke kanan, demi angin berhenti dan alam tenang,
dia tegak pula kembali dan uratnya bertambah terhunjam ke petala bumi............
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami
ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat
akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan
janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah
dijanjikan Allah kepadamu"[Fushilat
41;30]
Dr.
Saad Riyadh dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw,
menyatakan tentang Istiqamah ;
Target
akhir yang diinginkan Islam dari seorang muslim bukanlah sekedar melakukan
kebaikan, tetapi lebih lanjut adalah sikap istiqamah dalam kebaikan tersebut.
Hal inilah yang dapat kita tangkap dari berbagai wasiat yang banyak disampaikan
Rasulullah Saw.
Diriwayatkan
bahwa Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafiy Ra, berkata,”Saya pernah bertanya kepada
Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada saya suatu perkataan
dan perbuatan yang menjadi ajaran [inti] Islam yang saya tidak akan pernah lagi
menanyakan hal yang sama kepada siapapun sesudah engkau?”. Rasululah Saw, lalu menjawab,”Katakanlah,
“Aku beriman kepada Allah Swt, kemudian beristiqamahlah [dalam keyakinan
tersebut]” [HR. Muslim].
Ibnu
Majah meriwayatkan hadits yang hampir senada juga dari Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafiy Ra. Antara
lain dia berkata,” ,”Saya pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai
Rasulullah, beritahukanlah kepada saya suatu perkara, yang akan saya jadikan
pegangan [dalam hidup]?”.
Rasululah
Saw, lalu menjawab,”Katakanlah, “Tuhanku adalah Allah Swt,” kemudian
beristiqamahlah [dalam keyakinan tersebut]”.
Saya
bertanya lagi, “Wahai Rasulullah Saw, hal apa yang paling engkau khawatirkan
terhadap saya?”. Beliau kemudian menunjuk ke arah lidahnya seraya
berkata,”Ini”.[Gema Insani, 2007, hal 110].
Istiqomah, sebuah perkara yang
sangat agung dan tidak bisa diremehkan, sampai-sampai Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma
mengatakan tatkala menjelaskan firman Allah ta’ala,
“Istiqomahlah engkau sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu.”
(QS. Huud :
112)
Ibnu Abbas mengatakan, “Tidaklah
turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam keseluruhan
al-Qur’an suatu ayat yang lebih berat dan lebih sulit bagi beliau daripada ayat
ini.” (lihat Syarh Nawawi [2/92]).
Sampai-sampai sebagian ulama
-sebagaimana dinukil oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi- mengatakan,
“Tidak ada yang bisa benar-benar istiqomah melainkan orang-orang besar.”
(Disebutkan oleh an-Nawawi dalam Syarh Muslim [2/92])
Oleh sebab itu ikhwah
sekalian, semoga Allah meneguhkan kita di atas jalan-Nya, marilah kita
mengingat besarnya nikmat yang Allah karuniakan kepada Ahlus Sunnah yang tetap tegak di
atas kebenaran di antara berbagai golongan yang menyimpang dari
jalan-Nya. Inilah nikmat teragung dan anugerah terindah yang menjadi cita-cita setiap
mukmin. Allah ta’ala berfirman,“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan; Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka istiqomah
akan turun kepada mereka para malaikat seraya mengatakan; Janganlah kalian
takut dan jangan sedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepada
kalian.” (QS. Fusshilat : 30).
al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah
mengatakan bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas -QS. Fusshilat : 30- adalah orang-orang yang
mentauhidkan Allah dan beriman kepada-Nya lalu istiqomah dan
tidak berpaling dari tauhid. Mereka konsisten dalam melaksanakan ketaatan
kepada Allah subhanahu wa ta’ala sampai akhirnya mereka
meninggal dalam keadaan itu (lihat Syarh Nawawi
[2/92]).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa mereka itu adalah
orang-orang yang mengakui dan mengikrarkan -keimanan mereka-, mereka ridha akan
rububiyah Allah ta’ala serta pasrah kepada
perintah-Nya. Kemudian mereka istiqomah di atas jalan yang lurus dengan ilmu dan amal
mereka, mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan kabar gembira di dalam
kehidupan dunia dan di akhirat (lihat Taisir al-Karim
ar-Rahman [2/1037-1038]).
Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu’anhu
mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas (yang artinya), “Kemudan
mereka tetap istiqomah”, maka beliau mengatakan, “Artinya
mereka tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Diriwayatkan pula dari
beliau, “Yaitu mereka tidak berpaling kepada sesembahan selain-Nya.”
(Disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali di dalam Jami’ al-’Ulum,
hal. 260).[Abu Mushlih Ari Wahyudi, Istiqomah di Atas Tauhid, www.muslim.or.id, 26
February 2011].
Ust.
Arief Munandar beberapa tahun yang lalu di Masjid Fakultas Kehutanan UGM,
beliau menjelaskan bahwa ada beberapa makna Istiqamah yang bisa kita ambil
hikmahnya, di antaranya adalah, Konsisten, Persisten, dan Konsekuen. Ketiga
unsur makna ini adalah bentuk dari perwujudan sebuah makna keistiqamahan dalam
berjuang dengan idealisme dakwah yang tinggi., yang akan tetap memperjuangkan
dakwah dengan keistiqamahan idealisme hingga syahid menjadi penutup akhir hidup
seorang manusia.
1.
Konsisten
Idealisme tidak dibatasi oleh waktu. Ia tak hanya
berumur 4 atau 5 tahun dan bersemayam di jiwa hanya ketika berada di kampus.
Idealisme harus dibentuk dengan penuh pemahaman bahwa apa yang selama ini
diperjuangkan dan diyakini adalah memang sebuah kebenaran. Bukan hanya sekedar
taklid, mengikut tanpa tahu maksud. Idealisme tidak akan bertahan lama bila
dibangun di atas fondasi pemahaman yang rapuh. serta tidak ditegakkan secara
konsisten. Karena hanya orang-orang beridealisme tinggilah yang mampu menghadapi
berbagai gelombang ujian kehidupan. Konsisten berarti apa yang dikatakannya
hari ini adalah juga merupakan perkataannya hari esok.
2.
Persisten
Ketika
sebuah usaha mengalami kegagalan atau menemui berbagai macam benturan
kepentingan yang saling melemahkan, maka persistensi seseorang yang memiliki
idealisme tinggi harus menjadi senjata ampuh untuk bisa menjadi tameng dalam
menghadapi beratnya cobaan itu. Ketika terjatuh, ia harus kembali bangkit,
bukan sekedar menyesali kesalahannya. Introspeksi memang penting, tapi jauh
lebih penting lagi bila kita tak hanya menyesali kesalahan, akan tetapi juga
mampu mencari solusi untuk bangkit dari kegagalan. Karena orang yang kuat bukan
hanya yang mampu melewati terpaan ujian semata, tapi mampu kembali mendongakkan
wajah saat raganya mulai tersungkur dan mampu mengepalkan kembali semangat
juang dari keterjatuhan. Persisten harus dibangun dalam diri setiap
mujahid-mujahid dakwah karena akan banyak sekali tenaga yang dibutuhkan dalam
memperjuangkan kalimatullah dan kemenangan dakwah di muka bumi ini.
3.
Konsekuen
Hal
yang menjadi penting bagi seseorang yang memiliki idealisme adalah ia harus
konsekuen dengan apapun yang ia perbuat. Ia harus mampu berada di garis
terdepan ketika banyak orang yang mencela. Bukan sembunyi dibalik ketakutan
yang menghantui. Apapun yang telah kita perjuangkan pasti ada konsekuensinya.
Memperjuangkan dakwah berarti kita harus siap dengan segala macam hambatan dan
musuh-musuh dakwah yang pasti akan selalu mencari celah untuk menghancurkan kita.
Memperjuangkan dakwah berarti kita harus rela mengorbankan segala potensi yang
kita miliki, selama itu masih bisa kita lakukan. Harta, waktu, tenaga bahkan
jiwa adalah potensi-potensi itu. Dakwah ini membutuhkan orang-orang yang tetap
tegar memperjuangkan dakwah sehingga ia mampu menjadi seorang pejuang yang tak
kenal lelah. Karena kelelahan hanya akan membuat kita semakin terpedaya untuk
meminimalisir waktu perjuangan yang ada. Kelelahan hanya akan membuat
produktivitas dakwah ini menurun. Oleh karena itu sangat dibutuhkan sekali
energi pembaharu semangat dakwah yang akan menjadi obat bagi kelelahan
menyusuri jalan Perjuangan ini.[Jupri Supriadi, Istiqamah: Konsisten,
Persisten, Konsekuen, dakwatuna.com27/10/2011 | 30 Zulqaedah 1432 H].
Ustadz Abdullah Taslim, Lc
dalam buku Penjelasan Hadits Arba'in,
yang kemudian Amrullah Akadhinta dalam www.muslim.or.id
menyatakan tentang pentingnya sikap istiqamah tersebut dalam tulisan Meniti Jalan Istiqomah
Di dalam al-Qur’an maupun
Sunnah telah ditegaskan cara-cara yang dapat ditempuh oleh seorang hamba untuk
bisa meraih istiqomah. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama,
memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar. Allah Ta’ala
berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang
beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” (QS.
Ibrahim [14] : 27). Makna “ucapan yang teguh” adalah
dua kalimat syahadat. Sehingga, Allah akan meneguhkan orang yang beriman yang
memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat ini di dunia dan di akhirat.
Kedua,
membaca al-Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya. Allah berfirman yang
artinya, “Katakanlah: ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur‘an
itu dari Robb-mu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang
yang beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah).” (QS. An Nahl [16]:102)
Ketiga, berkumpul dan bergaul di lingkungan orang-orang saleh. Hal
ini sangat membantu seseorang untuk senantiasa istiqomah di jalan Allah ta’ala.
Teman-teman yang saleh akan senantiasa mengingatkan kita untuk berbuat baik
serta mengingatkan kita dari kekeliruan. Bahkan dalam al-Qur’an disebutkan
bahwa hal yang sangat membantu meneguhkan keimanan para sahabat adalah
keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah
berfirman yang artinya, “Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian
menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rosul-Nya
pun berada di tengah-tengah kalian? Dan barang siapa yang berpegang teguh
kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan
yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran [3]:101)
Keempat,
berdoa kepada Allah ta’ala agar Dia senantiasa
memberikan kepada kita istiqomah hingga akhir hayat. Bahkan Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha mengatakan bahwa doa yang paling sering dibaca oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah doa, “Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala
diinik ” artinya “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah
hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dishahihkan oleh Adz
Dzahabi, lihat pula Shahihul Jami’)
Kelima,
membaca kisah Rasulullah, para sahabat dan para ulama terdahulu untuk mengambil
teladan dari mereka. Dengan membaca kisah-kisah mereka, bagaimana perjuangan
mereka dalam menegakkan diinul Islam, maka kita dapat mengambil pelajaran dari
kisah tersebut sebagaimana firman Allah ta’ala yang
artinya, “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Huud [11]: 120).
Rasulullah Muhammad sering
menasehati agar kita menjadi seorang yang memiliki pendirian teguh pada agama
ini.
Orang mukmin yang sejati
mempunyai harga diri, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang hina. Apabila ia
terpaksa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas. Muk,im yang punya
harga diri, ia juga malu membuka aib saudaranya atau jika tau kekurangan
saudaranya. Ia malu mempertontonkan di hadapan orang banyak jika aib itu
diketaui orang lain.
Seorang mukmin yang memiliki harga dini, ia
pasti berani menegakkan kebenaran sekalipun rasanya pahit. Ia rela mendapat
cacian, hinaan atau stigma-stigma buru sekalipun. Karena ia tak memburu urusan
jangka pendek dan kenikmatan sesaat (mata’uddunya).
Seorang mukmin teguh pendirianya, bagaikan batu karang di tengah lautan. Tegar
dari amukan badai dan hempasan gelombang serta pasang surut lautan.
Kekuatan jiwa seorang muslim,
terletak pada kuat dan tidaknya keyakinan yang dipegangnya. Jika akidahnya
teguh, kuat pula jiwanya. Tetapi jika aqidahnya lemah, lemah pula jiwanya. Ia
tinggi karena menghubungkan dirinya kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha
Tinggi.
Diriwayatkan dari ‘Auf bin
Malik, ia berkata: Rasulullah saw memberikan keputusan terhadap sebuah kasus
antara dua orang laki-laki. Ketika kedua-duanya sudah pulang, yang kalah dalam
sidangnya ia berkata : "Hasbiyallahu wa ni’mal wakil" (Allahlah
yang mencukupkan daku, dan Dialah sebaik-baik tempat berlindung).
Orang mukmin adalah sosok
manusia yang memiliki prinsip hidup yang dipeganginya dengan erat. Ia berkerja
sama dengan siapapun dalam kebaikan dan ketakwaan. Namun jika lingkungan
sosialnya mengajak kepada kemungkaran, ia akan mengambil jarak bahkan akan
“keluar” dari lingkungan itu. Bukan sebaliknya, ikut arus. Seorang mukmin
sejati dia akan tetap istiqomah dan amanah,
meski seluruh lingkungannya tercemah ‘korupsi’.
Rasulullah melarang orang Muslim tak tak
memiliki pendirian. “Saya ikut bersama-sama orang, kalau
orang-orang berbuat baik, saya juga berbuat baik, dan kalau orang-orang berbuat
jahat sayapun berbuat jahat. Akan tetapi teguhkanlah pendirianmu. Apabila
orang-orang berbuat kebajikan, hendaklah engkau juga berbuat kebajikan, dan
kalau mereka melakukan kejahatan, hendaknya engkau menjauhi perbuatan jahat
itu.” (HR. Turmudzi).[Shalih Hasyim, Jadilah Mukmin yang Berpendirian, www.hidayatullah.com,
Kamis, 17 Maret 2011].
Sejarah mencatat, bagaimana
istiqamahnya sahabat Rasulullah dalam menerima ujian hidup ini, lihatlah Bilal bin Rabah yang mendapat siksaan dari
tuannya, dia dipukul wajahnya, di hantam dengan tombak fisiknya, di tengah
matahari terbit yang demikian panasnya dia dijemur kemudian dihimpitkan batu
besar di atas badannya, hal itu dilakukan terus menerus, tapi iman sudah
melekat di hatinya, siksaan itu malah indahnya jiwa istiqamah di jiwanya.
Bagitu juga dengan Mushaib bin Umair mengalami penyiksaan dari majikannya hanya
karena memeluk islam, dengan berbagai cara azab diberikan kepadanya, namun tak
mampu untuk menggugurkan keimanannya.
Masih banyak kaum muslimin
yang mencontohkan kepada kita agar
menjalani hidup ini dengan sikap istiqamah dalam situasi dan kondisi
bagaimanapun, belum lama lepas dari ingatan kita bagaimana Sayid Qutb yang
harus mengakhiri hidupnya di tiang
gantungan hanya karena keistiqamahannya dalam menjalankan dan menegakkan agama
ini, Hasan Al Banna diberondong dengan peluru oleh rezim zhalim Gamal Abdul
Nasher karena istiqamahnya menjalankan dakwah ini sesuai dengan manhaj Nabi
Muhammad Saw, selayaknya kita menjadikan kisah-kisah orang-orang shaleh
tersebut jadi teladan agar kitapun jadi ummat yang istiqamah, Wallahu A’lam [Cubadak
Solok, 01 Februari 2012.M/ 08 Rabi’ul Awal 1433.H].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar