RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Menambah Kebaikan Pada Akhir-akhir Umur
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Hidup adalah ibarat sebuah perjalanan. Jika kita hendak
melakukan sebuah perjalanan maka segala sesuatunya harus dipersiapkan. Sebagai
contoh: Jika kita ingin melakukan perjalanan menuju Surabaya, maka kita harus
mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari biaya (ongkos), pakaian,
obat-obatan, bahkan jalan mana yang harus kita lewati sehingga kita selamat
sampai tujuan seperti yang kita kehendaki.
Demikian pula dalam hidup ini, tempat tujuan akhir kita
adalah kematian. Lalu apa yang harus kita siapkan menghadapi kematian itu?. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang dapat
menahan hawa nafsunya, dan ia beramal untuk persiapan setelah ia meninggal
dunia” (HR: Muslim).
Orang yang melakukan perjalanan, akan tetapi orang itu
tidak tahu tempat tujuannya maka dia aldah orang bodoh. Dan jika dia sudah tahu
tempat tujuannnya, akan tetapi tidak mempersiapkan bekal, maka ia pun termasuk
orang bodoh.
Orang cerdas adalah orang yang dalam melakukan suatu
perjalanan, mengetahui ke mana tujuannya? Kemudian ia pun mempersiapkan bekal
untuk perjalanan tersebut agar tiba di tempat tujuan dengan selamat.
Dengan demikian, jika kita hidup di dunia ini yang
diibaratkan seperti melakukan perjalanan, maka kita harus mengerti bahwa tujuan
akhir kita adalah akhirat, kemudian kita pun harus mempersiapkan bekal untuk
sampai ke akhirat dengan selamat dan bahagia.
Orang yang hanya sibuk dan menyibukkan diri untuk
kebahagiaan dunia saja tanpa memikirkan bekal untuk akhirat, naka sama saja dia
melakukan sebuah perjalanan akan tetapi dia tidak mengetahui kemana tempat
tujuannya dan dimana dia akan berakhir. Demikian pula orang yang mengetahui
bahwa tujuan akhir hidup ini adalah akhirat akan tetapi dia tidak
mempersiapkan bekal untuk akhiratnya, maka sama saja dengan orang bodoh.
Imam An
Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 12 dengan
judul Menganjurkan Untuk Menambah-nambah
Kebaikan Pada Akhir-akhir Umur menyatakan pendapatnya yang berasal
dari Al Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw.
Allah Ta'ala berfirman:"Bukankah
Kami telah memberikan umur yang cukup kepadamu semua. Dalam masa itu orang yang
mau mengerti dapatlah mengambil pengertian dan orang yang memberikan
peringatanpun telah datang padamu semua." (Fathir: 37).
Ibnu Abbas serta para
muhaqqiq - ahli penyelidik agama -mengatakan bahwa artinya umur cukup itu
ialah: Bukankah Kami telah memberikan padamu semua umur sampai enampuluh tahun.
Diterangkan pula oleh ulama-ulama yang lain bahwa maknanya itu ialah
delapanbelas tahun. Ada pula yang mengatakan empatpuluh tahun. Keterangan ini
diucapkan oleh Al-hasan, Alkalbi dan Masruq, juga dikutip dari keterangan Ibnu Abbas
yang lain. Mereka itu mengutip pula bahwa para ahli Madinah, apabila seseorang
dari mereka itu telah mencapai umur empat puluh tahun, maka selalulah ia
menghabiskan waktunya untuk beribadat.
Ada pula yang mengatakan
bahwa umur cukup itu artinya ialah jikalau telah baligh.
Adapun firman Allah
Ta'ala yang artinya: "Telah pula datang padamu semua seorang yang bertugas
memberikan peringatan." Ibnu Abbas dan Jumhur ulama mengatakan bahwa yang
dimaksud itu ialah Nabi s.a.w. Ada lagi yang menerangkan bahwa maksudnya itu
ialah adanya uban. Ini diucapkan oleh 'Ikrimah, Ibnu 'Uyainah dan lain-lainnya.
Adapun Hadis-hadisnya
ialah:
Dari Abu Hurairah r.a.
dari Nabi s.a.w., sabdanya:"Allah tetap menerima uzur - alasan - seseorang
yang diakhirkan ajalnya, sehingga ia berumur enampuluh tahun." (Riwayat
Bukhari).
Para ulama berkata bahwa
maknanya itu ialah Allah tidak akan membiarkan-tidak menerima-uzur seseorang
yang sudah berumur enampuluh tahun itu, sebab telah dilambatkan oleh Allah
sampai masa yang setua itu.
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhuma, katanya: "Umar r.a. memasukkan diriku dalam barisan
sahabat-sahabat tua yang pernah mengikuti perang Badar. Maka sebagian
orang-orang tua itu seolah-olah ada yang merasakan tidak enak dalam jiwanya,
lalu berkata: "Mengapa orang ini masuk beserta kita,sedangkan kita
mempunyai anak-anak yang sebaya umurnya dengan dia?" Umar kemudian
menjawab: "Sebenarnya dia itu sebagaimana yang engkau semua ketahui,"
- maksudnya bahwa Ibnu Abbas itu diasuh dalam rumah kenabian dan ia adalah
sumber ilmu pengetahuandan berbagai pendapat yang tepat."
Selanjutnya pada suatu
hari Umar memanggil saya, lalu memasukkan saya bersama-sama dengan para orang
tua di atas. Saya tidak mengerti bahwa Umar memanggil saya pada hari itu,
melainkan hanya untuk memperlihatkan keadaan saya kepada mereka itu. Umar itu
berkata: "Bagaimanakah pendapat saudara-saudara mengenai firman Allah -
yang artinya: "Jikalau telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan." Maka sebagian para sahabat tua-tua itu berkata: "Maksudnya
ialah kita diperintah supaya memuji kepada
Allah serta memohonkan pengampunan daripadaNya
jikalau kita diberi pertolongan serfa kemenangan."
Sebagian mereka yang
lain diam saja dan tidak mengucapkan sepatah katapun. Umar lalu berkata
kepadaku: "Adakah demikian itu pula pendapatmu, hai Ibnu Abbas?" Saya
lalu menjawab: "Tidak." Umar bertanya lagi: "Jadi bagaimanakah
pendapatmu?" Saya menjawab: "Itu adalah menunjukkan tentang ajal
Rasulullah s.a.w., Allah telah memberi tahukan pada beliau tentang dekat tibanya
ajal itu. Jadi Allah berfirman - yang artinya: "Jikalau telah datang
pertolongan dari Allah serta kemenangan," maka yang sedemikian itu adalah
sebagai tanda datangnya ajalmu. Oleh sebab itu maka memaha sucikanlah dengan
mengucapkan puji-pujian kepada Tuhanmu dan mohonlah pengampunan padaNya,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penerima taubat."
Umar r.a. lalu berkata:
"Memang, saya sendiri tidak mempunyai pendapat selain daripada seperti apa
yang telah engkau ucapkan itu." (Riwayat Bukhari)
Dari Aisyah radhiallahu
'anha, katanya: "Tidaklah Rasulullah s.a.w. bersembahyang sesuatu shalat
setelah turunnya ayat: Idza ja-a nashrullahi walfathu - Apabila telah
tiba pertolongan dari Allah dan kemenangan, melainkan dalam shalatnya itu
selalu mengucapkan: Subhanaka rabbana wa bihamdik. Allahummaghfirli - Maha
Suci Engkau wahai Tuhan kami dan saya mengucapkan puji-pujian kepadaMu. Ya
Allah berilah pengampunan padaku." (Muttafaq 'alaih).
Dalam riwayat yang
tertera dalam kedua kitab shahih - yakni Bukhari dan Muslim, disebutkan dari
Aisyah pula demikian:"Rasulullah s.a.w. itu memperbanyakkan ucapannya
dalam ruku' dan sujudnya yaitu: Subhanakallahumma rabbana wa bihamdika,
Allahummaghf'ir Hi - Maha Suci Engkau ya Allah Tuhan kami dan saya
mengucapkan puji-pujian kepadaMu. Ya Allah, berikanlah pengampunan
padaku," beliau mengamalkan benar-benar apa-apa yang menjadi isi al-Quran.
Makna: Yata-awwalul
Quran ialah mengamalkan apa-apa yang diperintahkan pada beliau itu yang
tersebut dalam al-Quran, yakni dalam firman Allah Ta'ala: Fasabbih bihamdi
rabbika wastaghfirhu, artinya: Maka maha sucikanlah dengan mengucapkan
puji-pujian kepada TuhanMu dan mohonlah pengampunan kepadaNya.
Dalam riwayat Muslim
disebutkan:"Rasulullah s.a.w. itu memperbanyak ucapannya sebelum wafatnya,
yaitu: Subhanaka wa bihamdika, astaghfiruka wa atubu ilaik - Maha Suci
Engkau dan saya mengucapkan puji-pujian kepadaMu, saya mohon pengampunan serta
bertaubat kepadaMu.
Aisyah berkata: Saya
berkata: "Hai Rasulullah, apakah artinya kalimat-kalimat yang saya lihat
Tuan baru mengucapkannya itu?" Beliau s.a.w. bersabda: "Itu dijadikan
sebagai alamat bagiku untuk ummatku, jikalau saya telah melihat alamat
tersebut. Itu saya ucapkan apabila telah datang pertolongan dari Allah dan
kemenangan." Beliau membaca surat an-Nashr itu sampai selesai.
Dalam riwayat Muslim
lainnya disebutkan:"Rasulullah s.a.w. memperbanyakkan ucapan: Subhanallah
wabihamdih, astaghfirullah wa atubu ilaih - Maha Suci Allah dan saya
mengucapkan puji-pujian kepadaNya, saya mohon pengampunan serta bertaubat
kepadaNya.
Aisyah berkata: Saya
berkata: "Ya Rasulullah, saya lihat Tuan selalu memperbanyak ucapan: Subhanallah
wa bihamdih, astaghfirullah wa atubu ilaih. Rasulullah s.a.w. lalu
bersabda:"Tuhanku telah memberitahukan kepadaku bahwasanya aku akan
melihat sesuatu alamat untuk ummatku. Jikalau saya melihatnya itu, maka aku
memperbanyakkan ucapan Subhanallah wa bihamdih astaghfirullah wa atubu
ilaih. Kini aku telah melihat alamat tersebut, yaitu jikalau telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan yakni dengan dibebaskannya kota Makkah. Dan
engkau melihat para manusia masuk dalam agama Allah dengan berduyun-duyun. Maka
maha sucikanlah dengan mengucapkan puji-pujian kepada Tuhanmu dan mohonlah
pengampunan kepadaNya, sesungguhnya Allah adalah Maha Penerima taubat."
Dari Jabir r.a.,
katanya: "Nabi s.a.w. bersabda: "Dibangkitkan setiap hamba itu - dari
kuburnya, menurut apa yang ia mati atasnya." (Riwayat Muslim).
Hadis ini menyerukan
setiap manusia muslim lagi mu'min agar senantiasa berbuat kebaikan kepada
siapapun, mengerjakan apa-apa yang diridhai Allah, menetapi sunnah-sunnahnya
Rasulullah s.a.w. dalam segala waktu, tempat dan keadaan. Juga menyerukan
supaya terus menerus memiliki keikhlasan hati dalam mengamalkan segala hal
semata-mata untuk Allah Ta'ala jua, baik dalam ucapan ataupun perbuatan.
Kepentingannya ialah agar di saat kita ditemui oleh ajal, maka kematian kitapun
menetapi keadaan sebagaimana yang tersebut di atas itu, sehingga pada hari kita
diba'ats atau dibangunkan dari kubur nanti, keadaan kitapun sebagaimana halnya
apa yang kita tetapi sewaktu kita berada di dunia ini. Semogalah kita memperoleh
husnul-khatimah atau penghabisan yang bagus dan terpuji.
Kematian dan akhir hidup seseorang akan selalu menjemputnya, kapan Allah
Ta'ala menghendaki niscaya tidak ada seorangpun yang dapat merubahnya, dia
tidak dapat menghindari dari sebuah kenyataan yang akan menjemputnya. Allah Ta'ala berfirman, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS.
Ali Imran:185)
Bagaimanapun
padatnya agenda kehidupan yang akan dilakukan sejak dari urusan pribadi,
keluarga, masyarakat hingga untuk kepentingan bangsa dan negara semua itu ada
akhirnya dikala kematian mendekat, saat semuanya itu akan berakhir, keluarnya
ruh dari jasad. Ada orang yang mengakhiri hidupnya penuh derita dan
kesengsaraan saat sakaratulmaut dan akan berujung hingga menerima azab di alam
kubur dan neraka dialam akherat, inilah akhir kehidupan yang buruk yang disebut
dengan suul khatimah. Mungkin saja saat masih muda hingga dewasa hidupnya
sesuai dengan ajaran Islam, lalu mendekati tua dosa, maksiat, kemungkaran,
kesyirikan kezhaliman, kemunafikan dan kefasikan dia lakukan dan hal itu tidak
sempat untuk bertaubat kepada Allah saat ajal menjemput.Wallahu a’lam [Cubadak
Pianggu Solok, 28 Syawal 1434.H/04 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar