RIYADUSH SHALIHIN [DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]
Keikhlasan
Dan Menghadirkan Niat
Dalam Segala
Perbuatan
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Pengabdian merupakan tujuan penciptaan
makhluk yang bernama manusia sebagaimana firman Allah dalam surat Adz Dzariat;56,
”Tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa ibadah [penghambaan] adalah sebuah kata yang menyeluruh,
meliputi apa saja yang dicintai dan diridhai Allah. ia menyangkut seluruh seperti
shalat, zakat, puasa, haji, berkata-kata yang benar dan menunaikan amanah.
Selain itu adalah berbuat baik
kepada kedua orangtua, bersilaturahim, memenuhi janji, menyuruh berbuat baik,
dan melarang dari perbuatan mungkar. Juga termasuk ibadah yaitu berperang
melawan kekufuran dan kemunafikan , lemah lembut terhadap tetangga dan anak
yatim, menyantuni orang-orang miskin, ibnu sabil,hamba sahaya dan binatang,
serta do’a, dzikir dan membaca al Qur’an.
Mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut
kepada Allah dan taubat kepada-Nya, ikhlas dalam beribadah, menerima hukumnya,
bersyukur atas nikmatNya, rela terhadap keputusan-Nya, berserah diri [tawakal]
kepada-Nya, mengharap rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya juga termasuk dalam
makna beribadah kepada Allah.
Jadi ruanglingkup ibadah itu sangat luas. Bukan hanya ibadah khasah [khusus], melainkan juga seluruh aktivitas
seorang hamba dalam rangka mencari ridha Allah. Digambarkan dalam sebuah hadits
ada tiga kelompok manusia yang telah melaksanakan amaliyah ibadah di dunia.
Mereka itu adalah orang yang berjihad hingga wafat, orang yang telah
berinfaq,dan orang yang menuntut ilmu serta mengajarkan ilmunya itu kepada
orang lain. Namun sebenarnya mereka telah maksiat kepada Allah. Mengapa ?
Motivasi perbuatan mereka bukan mencari ridha Allah, melainkan karena riya,
yaitu beramal agar dipandang manusia.
Imam An Nawawi dalam bukunya
Riyadush Shalihin Bab 1 dengan judul Keikhlasan
Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata
Dan Yang Samar, menyebutkan pentingnya niat dalam segala perbuatan, berangkat
dari beberapa firman Allah dan hadits Rasulullah Saw.
Allah Ta'ala berfirman:"Dan tidaklah mereka
itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan tulus ikhlas
menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan menegakkan shalat
serta menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar." (al-Bayyinah:
5)
Allah Ta'ala berfirman pula: "Samasekali tidak akan
sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi
akan sampailah padaNya ketaqwaan dan engkau sekalian." [1][1] (al-Haj: 37)
Allah Ta'ala berfirman pula: "Katakanlah - wahai
Muhammad [2][2],sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam
hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh
Allah." (ali-lmran: 29)
Dari Amirul mu'minin Abu Hafs yaitu Umar bin A khaththab bin
Nufail bin Abdul 'Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin
Ka'ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-'Adawi r.a. berkata: Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hanyasanya semua amal perbuatan itu dengan
disertai niat-niatnya dan hanyasanya bagi setiap orang itu apa yang telah
menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya,
maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya
itu untuk harta dunia yang hendak diperolehinya, ataupun untuk seorang wanita
yang hendak dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam
hijrahnya itu."(Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini).
Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu
Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi
Albukhari, - lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin
Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, - lazim disingkat dengan Muslim
saja - radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab masing-masing yang keduanya itu adalah
seshahih-shahihnya kitab Hadis.
Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat.
Rasulullah s.a.w. menyabdakannya itu ialah kerana di antara para sahabat Nabi
s.a.w. sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab
terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau s.a.w. mengetahui maksud
orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.
Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang
bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian
itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang
dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara
terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w.
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan
tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau s.a.w. yang
lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik
yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama
dan keluhuran Kalimatullah.
Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut
sama-sekali. Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun
kosong. Lain sekali
dengan sahabat-sahabat beliau
s.a.w. yang dengan keikhlasan
hati bersusah payah
menempuh jarak yang demikian
jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan
kalbunya, pahalanyapun besar sekali karena hijrahnya memang dimaksudkan
untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu
mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah,
tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu
amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai
niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti
ketika mengambil wudhu', mandi shalat dan lain-lain sebagainya.
Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat
mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia
mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak
melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini
orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:"Niat
seseorang itu lebih baik daripada amalannya."
Maksudnya: Berniatkan
sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat
dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar
dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz
(yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka
jika disertai niat agar kuat beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar
kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan
keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak
disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah
pahalanya.
Dari Ummul mu'minin Aisyah radhiallahu 'anha, berkata: Saya
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ada sepasukan tentera yang hendak
memerangi - menghancurkan - Ka'bah, kemudian setelah mereka berada di suatu
padang dari tanah lapang lalu dibenamkan-dalam tanah yang pertama sampai yang
terakhir dari mereka semuanya."
Aisyah bertanya: "Saya berkata, wahai Rasulullah,
bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang
di antara mereka itu ada yang ahli pasaran - maksudnya para pedagang - serta
ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi - yakni tidak berniat
ikut menggempur Ka'bah?".
Rasulullah s.a.w. menjawab: "Ya, semuanya dibenamkan
dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan
diba'ats - dibangkitkan dari masing-masing kuburnya - sesuai niat-niatnya sendiri - untuk diterapi dosa
atau tidaknya.
Disepakati atas Hadis
ini (Muttafaq 'alaih) - yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim - Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.
Dari uraian yang tersebut dalam Hadis ini, dapat diambil
kesimpulan bahwa seseorang yang shalih, jika berdiam di lingkungan suatu
golongan yang selalu berkecimpung dalam kemaksiatan dan kemungkaran, maka
apabila Allah Ta'ala mendatangkan azab atau siksa kepada kaum itu, orang shalih
itupun pasti akan terkena pula. Jadi Hadis ini mengingatkan kita semua agar
jangan sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli kemaksiatan, kemungkaran dan
kezaliman.
Namun demikian perihal amal perbuatannya tentulah dinilai
sesuai dengan niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya itu.
Dari Aisyah radhiallahu 'anha, berkata: Nabi s.a.w. bersabda:
"Tidak ada hijrah setelah pembebasan - Makkah - tetapi yang ada ialah
jihad dan niat. Maka dari itu, apabila engkau semua diminta untuk keluar - oleh
imam untuk berjihad, - maka keluarlah – yakni berangkatlah." (Muttafaq
'alaih).
Maknanya: Tiada hijrah lagi dari Makkah, sebab saat itu
Makkah telah menjadi perumahan atau
Negara Islam.
Dari Abu Abdillah yaitu Jabir bin Abdullah al-Anshari
radhiallahu'anhuma, berkata: Kita berada beserta Nabi s.a.w. dalam suatu
peperangan - yaitu perang Tabuk - kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya
di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang engkau semua tidak menempuh suatu
perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tadi
ada besertamu - yakni sama-sama memperoleh pahala - mereka itu terhalang oleh
sakit - maksudnya andaikata tidak sakit pasti ikut berperang."
Hadis sebagaimana di atas, juga diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Anas r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:"Kita kembali dari
perang Tabuk beserta Nabi s.a.w., lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya ada
beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah, tiada menempuh kita sekalian
akan sesuatu lereng ataupun lembah, melainkan mereka itu bersama-sama dengan
kita jua -jadi memperoleh pahala seperti yang berangkat untuk berperang itu -
mereka itu terhalang oleh sesuatu keuzuran."
Dari Abu Ishak, yakni Sa'ad bin Abu Waqqash, yakni Malik bin
Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai
al-Qurasyi az-Zuhri r.a., yaitu salah satu dari sepuluh orang yang diberi
kesaksian akan memperoleh syurga radhiallahu 'anhum, katanya: Rasulullah s.a.w.
datang padaku untuk menjengukku pada tahun haji wada' - yakni haji Rasulullah
s.a.w. yang terakhir dan sebagai haji pamitan - kerana kesakitan yang menimpa
diriku, lalu saya berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saja kesakitanku
ini telah mencapai sebagaimana keadaan yang Tuan ketahui, sedang saya adalah
seorang yang berharta dan tiada yang mewarisi hartaku itu melainkan seorang
puteriku saja. Maka itu apakah dibenarkan sekiranya saya bersedekah dengan dua
pertiga hartaku?" Beliau menjawab: "Tidak dibenarkan." Saya
berkata pula: "Separuh hartaku ya Rasulullah?" Beliau bersabda:
"Tidak dibenarkan juga." Saya berkata lagi: "Sepertiga,
bagaimana ya Rasulullah?" Beliau lalu bersabda: "Ya, sepertiga boleh
dan sepertiga itu sudah banyak atau sudah besar jumlahnya. Sesungguhnya jikalau
engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya-kaya, maka itu adalah
lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin
meminta-minta pada orang banyak. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau
berikan dengan niat untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti
akan diberi pahalanya, sekalipun sesuatu yang engkau berikan untuk makanan
isterimu."
5. Dari Abu Yazid yaitu Ma'an bin Yazid bin Akhnas
radhiallahu 'anhum. Ia, ayahnya dan neneknya adalah termasuk golongan sahabat
semua. Kata saya: "Ayahku, yaitu Yazid mengeluarkan beberapa dinar yang
dengannya ia bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan di sisi seseorang di
dalam masjid.
Saya - yakni Ma'an anak Yazid - datang untuk mengambilnya,
kemudian saya menemui ayahku dengan dinar-dinar tadi. Ayah berkata: "Demi
Allah, bukan engkau yang kukehendaki - untuk diberi sedekah itu."
Selanjutnya hal itu saya adukan kepada Rasulullah s.a.w.,
lalu beliau bersabda "Bagimu adalah apa yang engkau niatkan hai Yazid –
yakni bahwa engkau telah memperoleh
pahala sesuai dengan niat sedekahmu itu - sedang bagimu adalah apa yang engkau
ambil, hai Ma'an - yakni bahwa engkau boleh terus memiliki dinar-dinar
tersebut, kerana juga sudah diizinkan oleh orang yang ada di masjid, yang
dimaksudkan oleh Yazid tadi." (Riwayat Bukhari)
Dari Abu Hurairah, yaitu Abdur Rahman bin Shakhr r.a.,
katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:"Sesungguhnya Allah Ta'ala itu tidak
melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk rupamu, tetapi Dia
melihat kepada hati-hatimu sekalian." (Riwayat Muslim)
Dari Abu Musa, yakni Abdullah bin Qais al-Asy'ari r.a.,
katanya: "Rasulullah s.a.w. ditanya perihal seseorang yang berperang
dengan tujuan menunjukkan keberanian, ada lagi yang berperang dengan tujuan
kesombongan - ada yang artinya kebencian - ada pula yang berperang dengan
tujuan pameran - menunjukkan pada orang-orang lain kerana ingin berpamer.
Manakah di antara semua itu yang termasuk dalam jihad fi-sabilillah?
Rasulullah s.a.w. menjawab:"Barangsiapa yang berperang
dengan tujuan agar kalimat Allah - Agama Islam - itulah yang luhur, maka ia
disebut jihad fi-sabilillah." (Muttafaq 'alaih).
Dari Abu Bakrah, yakni Nufai' bin Haris as-Tsaqafi r.a.
bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Apabila dua orang Muslim
berhadap-hadapan dengan membawa masing-masing pedangnya - dengan maksud ingin
berbunuh-bunuhan - maka yang membunuh dan yang terbunuh itu semua masuk di
dalam neraka."
Saya bertanya: "Ini yang membunuh - patut masuk neraka
-tetapi bagaimanakah halnya orang yang terbunuh - yakni mengapa ia masuk neraka
pula?"
Rasulullah s.a.w. menjawab:"Kerana sesungguhnya orang
yang terbunuh itu juga ingin sekali hendak membunuh kawannya." (Muttafaq
'alaih)
Dari Abu Hurairah
r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Shalatnya seseorang
lelaki dengan berjamaah itu melebihi shalatnya di pasar atau rumahnya - secara
sendirian atau munfarid - dengan duapuluh lebih - tiga sampai sembilan tingkat
derajatnya. Yang sedemikian itu ialah kerana apabila seseorang itu berwudhu'
dan memperbaguskan cara wudhu'nya, kemudian mendatangi masjid, tidak
menghendaki ke masjid itu melainkan hendak bersembahyang, tidak pula ada yang
menggerakkan kepergiannya ke masjid itu kecuali hendak shalat, maka tidaklah ia
melangkahkan kakinya selangkah kecuali ia dinaikkan tingkatnya sederajat dan
kerana itu pula dileburlah satu kesalahan daripadanya - yakni tiap selangkah
tadi - sehingga ia masuk masjid.
Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia memperoleh
pahala seperti dalam keadaan shalat, selama memang shalat itu yang menyebabkan
ia bertahan di dalam masjid tadi, juga para malaikat mendoakan untuk
mendapatkan kerahmatan Tuhan pada seseorang dari engkau semua, selama masih
berada di tempat yang ia bersembahyang disitu. Para malaikat itu berkata:
"Ya Allah, kasihanilah orang ini; wahai Allah, ampunilah ia; ya Allah,
terimalah taubatnya." Hal sedemikian ini selama orang tersebut tidak
berbuat buruk -yakni berkata-kata soal keduniaan, mengumpat orang lain, memukul
dan lain-lain - dan juga selama ia tidak berhadas - yakni tidak batal
wudhu'nya.
Dari Abu Abdur Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin
al-Khaththab radhiallahu 'anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda:
"Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu
sama berangkat bepergian, sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna
bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar
dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahwasanya tidak
ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau
engkau semua berdoa kepada Allah Ta'ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang
baik-baik.
Seorang dari mereka itu berkata: "Ya Allah. Saya
mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak
pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga
ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu -
yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada
kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya sayapun terus memerah
minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk
membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seseorang sebelum
keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam
keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di
tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, Anak-anak kecil sama menangis
kerana kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya
setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya
mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan
keridhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar
yang menutup ini." Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka
belum lagi dapat keluar dari gua.
Yang lain berkata: "Ya Allah, sesungguhnya saya
mempunyai seorang anak paman wanita - jadi sepupu wanita - yang merupakan orang
yang tercinta bagiku dari sekalian manusia - dalam sebuah riwayat disebutkan:
Saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang lelaki yang amat sangat kepada
wanita - kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu,
sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran. lapun mendatangi tempatku,
lalu saya memberikan seratus duapuluh dinar padanya dengan syarat ia suka
menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya suka dikumpuli dalam
seketiduran. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya -
dalam sebuah riwayat lain disebutkan: Setelah saya dapat duduk di antara kedua
kakinya - sepupuku itu lalu berkata: "Takutlah engkau pada Allah dan
jangan membuka cincin - maksudnya cincin di sini adalah kemaluan, maka
maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini - melainkan dengan haknya -
yakni dengan perkawinan yang sah -, lalu sayapun meninggalkannya, sedangkan ia
adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya
berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang
sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran
yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya
saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya.
Orang yang ketiga lalu berkata: "Ya Allah, saya
mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing,
kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu
saya perkembangkan sehingga ber-tambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah
beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba
Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang
engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta,
lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah
engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan
engkau. Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring
dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang
sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita
dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu lalu membuka
lagi dan merekapun keluar dari gua itu. (Muttafaq 'alaih).
Dengan sikap
ikhlas seorang muslim akan merasa tentram di dunia, tanpa keraguan dan mencapai
kebahagiaan hakiki, dalam surat Al An’am ayat
82 Allah berfirman, ”Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman [syirik]
mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan petunjuk”.
Mereka yang hidupnya dipenuhi dengan keikhlasan akan
diselamatkan dari neraka jahanam dan akan menghuni syurga jannatun na’im,
sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat berikut, ”Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu, yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya, padahal tidak
seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi dia
memberikan itu semata-mata karena mencari keridhaan Rabbnya Yang Maha Tinggi.
Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” [Al Lail 92;17-21].
Demikian pentingnya niat dan keikhlasan dalam seluruh
amal yang kita lakukan dalam rangka menjadikan amal-amal itu berkualitas di
hadapan Allah sehingga mendapatkan pahala dari-Nya dan sungguh sia-sianya jika
niat dan keikhlasan ditujukan selain kepada Allah, Wallahu a’lam [Cubadak
Pianggu Solok, 27 Syawal 1434.H/03 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar