RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Yakin Dan Tawakkal
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Rasulullah menyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Thabrani, ”Iman adalah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan dan
pengamalan dengan anggota”.
Bahwa iman itu adalah
pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan dan pengamalan dengan anggota,
dia bukanlah angan-angan tapi harus disertai dengan amal perbuatan sebagaimana
dengan yang difirmankan Allah dalam dua surat berikut ini;
-Surat Al Baqarah
ayat 25, ”Berilah kabar gembira pada orang-orang yang beriman dan beramal
shaleh bahwa bagi mereka adalah penghuni syurga”.
-Surat Maryam ayat
96, ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bahwa mereka
itu akan memperoleh syurga”.
Iman adalah sarana untuk
mengokohkan ibadah, tanpa iman dan taqwa, ibadah yang kita lakukan gersang dan
tidak bermakna, dia akan bercampur dengan syirik, bid’ah, kurafat dan tahyul
sehingga ibadah itu sia-sia belaka. Justru itu Lukman Al Hakim mengajarkan dan
menamamkan iman kepada anaknya sebelum menunaikan ibadah lebih dahulu. Ini
digambarkan Allah dalam firman-Nya di surat Lukman ayat 13, ”Hai anakku jangan
berbuat syirik karena syirik itu adalah kezhaliman yang besar”. Demikian pula
halnya firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 21,”Hai manusia, sembahlah
Tuhanmu yang menjadikanmu dan orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa”.
Imam An
Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 7 dengan judul Yakin Dan Tawakkal menyebutkan tentang
hal itu yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw.
Allah
Ta'ala berfirman:
"Setelah orang-orang
yang beriman itu melihat pasukan serikat - musuh - mereka berkata: "Inilah
yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya kepada kita dan Allah dan
RasutNya itu berkata benar. Hal yang sedemikian itu tidaklah menambahkan kepada
orang-orang yang beriman tadi melainkan kelmanan dan penyerahan
bulat-bulat." (al-Ahzab: 22).
Allah Ta'ala berfirman
pula:
"Para manusia
berkata kepada orang-orang yang beriman itu: "Sesungguhnya orang-orang
telah berkumpul untuk melawan engkau semua, oleh karena itu takutlah kepada
mereka." Tetapi hal itu makin menambah keimanan mereka. Mereka menjawab:
Allah cukup menjadi pelindung kita dan sebaik-baiknya yang dijadikan tempat
bertawakkal.
Kemudian mereka kembali
dengan mendapatkan kenikmatan dan keutamaan dari Allah, mereka tidak terkena
sesuatu halanganpun dan mereka mengikuti keridhaan Allah dan Allah itu memiliki
keutamaan yang agung." (ali-lmran: 173-174).
Allah Ta'ala berfirman
lagi:
"Dan bertawakkallah
kepada Tuhan yang Maha Hidup yang tidak akan mati." (al-Furqan: 58).
Lagi Allah Ta'ala
berfirman:
"Dan kepada Allah,
hendaklah orang-orang yang beriman itu sama bertawakkal," (Ibrahim: 11).
Allah Ta'ala berfirman
pula:
"Jikalau engkau
telah bulat tekad - untuk melaksanakan sesuatu - maka bertawakkallah kepada
Allah." (ali-lmran: 159).
Juga Allah Ta'ala
berfirman:
"Dan barangsiapa
bertawakkal kepada Allah, maka Dia pasti mencukupi untuknya." (at-Thalaq: 3)
Lagi firmannya Allah
Ta'ala:
"Hanyasanya
orang-orang yang beriman itu, ialah mereka yang apabila disebutkan nama Allah,
maka hati mereka itu menjadi ketakutan, juga apabila ayat-ayatNya dibacakan
kepada mereka, maka bertambah-tambahlah keimanan mereka dan mereka itu sama
bertawakkal kepada Tuhannya." (al-Anfal: 2)
Banyak sekali orang yang
salah mengerti dalam melaksanakan ketawakkalan kepada Allah Ta'ala itu. Ada
yang berpendapat, tawakkal ialah menyerah bulat-bulat kepada Tuhan tanpa
berbuat daya-upaya dan usaha untuk mencari mana-mana yang baik dan menyebabkan
kebahagiaan. Ringkasnya enggan berikhtiar atau menyingsingkan lengan baju.
Anehnya ia meminta yang enak-enak belaka. Orang semacam di atas itu rupanya
berpendapat, bahwa tidak perlu ia belajar, jika Tuhan menghendaki ia menjadi
orang pandai, tentu pandai juga nantinya. Juga tidak perlu bekerja, jika Tuhan
menghendaki ia menjadi kaya, tentu kaya juga nantinya. Atau ketika sakit, tidak
perlu ia berobat, jika Tuhan menghendaki sembuh tentu sehat kembali pula.
Semuanya itu samalah halnya dengan orang yang sedang lapar, sekalipun
macam-macam makanan di hadapan mukanya, tetapi ia berpendapat, jika Tuhan
menghendaki kenyang, tanpa makanpun akan menjadi kenyang juga. Cara berfikir
semacam di atas itu, apabila diterus-teruskan, pasti akan membuat kesengsaraan
diri sendiri, bahkan merusak akalnya sendiri.
Adapun maksud tawakkal
yang diperintahkan oleh agama itu ialah menyerahkan diri kepada Allah sesudah
berdaya-upaya dan berusaha serta bekerja sebagaimana mestinya. Misalnya
meletakkan sepeda di muka rumah, setelah dikunci baik-baik, lalu bertawakkal.
Artinya apabila setelah dikunci itu masih juga hilang umpama dicuri orang, maka
dalam pandangan agama orang itu sudah tidak bersalah, sebab telah melakukan ikhtiar
supaya jangan sampai hilang. Hal yang semacam itu pernah terjadi di zaman
Rasulullah s.a.w., yaitu ada seorang sahabatnya yang meninggalkan untanya tanpa
diikatkan pada sesuatu, seperti pohon, tonggak dan lain-lain, lalu
ditinggalkan.
Beliau s.a.w. bertanya:
"Mengapa tidak kamu ikatkan?" Ia menjawab: "Saya sudah
bertawakkal kepada Allah." Rasulullah s.a.w. tidak dapat menyetujui cara
berfikir orang itu, lalu bersabda:
"Ikatlah dulu lalu bertawakkallah."
Ringkasnya tawakkal
tanpa usaha lebih dulu adalah salah dan keliru menurut pandangan Islam.
Jikalau kita sudah dapat
meletakkan arti tawakkal pada garis yang sebenarnya, maka sangat sekali dipuji
dan pasti kita tidak akan kekurangan rezeki, sebab Allah Ta'ala akan menjamin
bahwa kita akan diberi bagian rezeki kita masing-masing sebagairnana halnya
burung yang pergi pagi-pagi dalam keadaan kosong perut, sedang pada sore
harinya telah menjadi kenyang.
Selain itu Allah
berfirman bahwa srfat-sifat kaum mu'minin itu di antaranya ialah selalu
bertawakkal kepada Allah Ta'ala dengan pengertian tawakkal yang tidak
disalah-rnengertikan.
FirmanNya:
"Hanyasanya
orang-orang yang beriman itu apabila nama Allah disebutkan, menjadi gentarlah
hati mereka dan apabila ayat-ayat Allah dibacakan, maka bertambahlah keimanan
mereka dan hanya kepada Allah jualah mereka bertawakkal." (al-Anfal: 2)
Yang perlu kita
perhatikan, sehubungan dengan persoalan ini ialah:
Dalam mengejar
cita-cita, supaya dapat berhasil kecuali amat diperlukan adanya sifat
kesabaran, juga wajib disertai sifat tawakkal ini. Karena yang menentukan
berhasil atau tidaknya sesuatu maksud itu hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala
sendiri. Lebih besar yang dicita-citakan, wajib lebih besar pula sabar dan
tawakkalnya, misalnya ingin menjadi seorang yang alim, ingin memajukan agama,
ingin mendirikan sesuatu negara yang benar-benar diridhai oleh Allah Ta'ala,
ingin melaksanakan hukum-hukum dan syariat Islam dalam negara dan lain-lain
sebagainya. Setelah bersabar dan bertawakkal wajib pula disertai doa, memohon
kepada Allah semoga yang dicita-citakan itu berhasil, jangan bosan-bosan berdoa
dan yakinlah bahwa Allah akan mengabulkan. Insya Allah.
Adapun Hadis-hadisnya
ialah:
Dari
Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Dipertontonkanlah padaku berbagai ummat, maka
saya melihat ada seorang Nabi dan besertanya adalah sekelompok manusia kecil -
antara tiga orang sampai sepuluh, ada pula Nabi dan besertanya adalah seorang
lelaki atau dua orang saja, bahkan ada pula seorang Nabi yang tidak disertai
seseorangpun. Tiba-tiba diperlihatkanlah padaku suatu gerombolan manusia yang
besar, lalu saya mengira bahwa mereka itulah ummatku. Lalu dikatakanlah padaku:
"Ini adalah Musa dengan kaumnya. Tetapi lihatlah ke ufuk - sesuatu sudut."
Kemudian sayapun melihatnya, lalu saya lihatlah dan tiba-tiba tampaklah di situ
suatu gerombolan ummat yang besar juga. Selanjutnya dikatakan pula kepadaku:
"Kini lihatlah pula ke ufuk yang lain lagi itu." Tiba-tiba di situ
terdapatlah suatu kelompok yang besar pula, lalu dikatakanlah padaku:
"Inilah ummatmu dan beserta mereka itu ada sejumlah tujuhpuluh ribu orang
yang dapat memasuki syurga tanpa dihisab dan tidak terkena siksa."
Kemudian Rasulullah
s.a.w. bangun dan terus memasuki rumahnya. Orang-orang banyak sama
bercakap-cakap mengenai para manusia yang memasuki syurga tanpa dihisab dan
tanpa disiksa itu. Sebagian dari sahabat itu ada yang berkata: "Barangkali
mereka itu ialah orang-orang yang telah menjadi sahabat Rasulullah s.a.w."
Sebagian lagi berkata: "Barangkali mereka itu ialah orang-orang yang
dilahirkan di zaman sudah munculnya agama Islam, kemudian tidak pernah
mempersekutukan sesuatu dengan Allah." Banyak lagi sebutan -
percakapan-percakapan - mengenai itu yang mereka kemukakan.
Rasulullah s.a.w. lalu
keluar menemui mereka kemudian bertanya: "Apakah yang sedang engkau semua
percakapkan itu." Para sahabat memberitahukan hal itu kepada beliau.
Selanjutnya beliau s.a.w. bersabda:
"Orang-orang yang
memasuki syurga tanpa hisab dan siksa itu ialah mereka yang tidak pernah
memberi mentera-mentera tidak meminta mentera-mentera dari orang lain - karena
sangatnya bertawakkal kepada Allah, tidak pula merasa akan memperoleh bahaya
karena adanya burung-burung - atau adanya hal yang lain-lain atau ringkasnya
meyakini guhon tuhon atau khurafat yang sesat - dan pula sama bertawakkal
kepada Tuhannya."
'Ukkasyah bin Mihshan
al-Asadi, kemudian berkata: "Doakanlah saya - ya Rasulullah - kepada Allah
supaya Allah menjadikan saya termasuk golongan mereka itu - tanpa hisab dan
siksa dapat memasuki syurga." Beliau s.a.w. lalu bersabda: "Engkau
termasuk golongan mereka." Selanjutnya ada pula orang lain yang berdiri
lalu berkata: "Doakanlah saya kepada Allah supaya saya oleh Allah
dijadikan termasuk golongan mereka itu pula." Kemudian beliau bersabda:
"Permohonan seperti itu telah didahului oleh 'Ukkasyah." (Muttafaq
'alaih)
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhuma juga bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda - dalam
berdoa:"Ya Allah, kepadaMulah saya menyerahkan diri, denganMu saya beriman,
atasMu saya bertawakkal, ke hadhiratMu saya bertaubat, denganMu saya berbantah
- menghadapi musuh-musuh agama."
"Ya Allah, saya
mohon perlindungan dengan kemuliaanMu, tiada Tuhan melainkan Engkau, kalau
sampai Engkau menyesatkan diriku. Engkau Maha Hidup yang tidak akan mati,
sedangkan semua jin dan manusia pasti mati." (Muttafaq 'alaih)
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu'anhuma pula, katanya: "Lafaz: Hasbunallah wa ni'mal wakil, artinya:
Cukuplah Allah itu sebagai penolong kita dan Dia adalah sebaik-baiknya yang
diserahi, itu pernah diucapkan oleh Ibrahim a.s. ketika beliau dilemparkan ke
dalam api, Juga pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ketika orang-orang
sama berkata: "Sesungguhnya orang-orang banyak telah berkumpul-bersatu-untuk
memerangi engkau,maka takutilah mereka itu," tetapi ucapan sedemikian itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang beriman melainkan keimanan belaka dan
mereka berkata: Hasbunallah wa ni'mal wakil. (Riwayat Bukhari)
Dalam riwayat Bukhari
pula dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma disebutkan: Ucapan Nabi Ibrahim yang
terakhir sekali ketika beliau dilemparkan ke dalam api yaitu: Hasbiallah wa
ni'mal wakil artinya: "Cukuplah Allah itu sebagai penolongku dan Dia
adalah sebaik-baiknya yang diserahi."
Jabir berkata:
"Kita semua bersama-sama Rasulullah s.a.w. dalam peperangan Dzatur Riqa',
kemudian datanglah kita pada pohon yang rindang - nyaman digunakan sebagai
tempat berteduh - pohon itu kita biarkan untuk digunakan oleh Rasulullah
s.a.w., kemudian datanglah seseorang lelaki dari golongan kaum musyrikin
sedangkan pedang Rasulullah s.a.w. digantungkan pada pohon tersebut. Orang itu
menghunus pedangnya lalu berkata: "Adakah engkau takut padaku?"
Rasulullah s.a.w. menjawab: "Tidak." Orang itu berkata lagi:
"Siapakah yang dapat menghalang-halangi engkau dari perbuatanku ini."
Beliau s.a.w. menjawab: "Allah."
Disebutkan pula dalam
riwayat lainnya lagi yaitu riwayat Abu Bakar al-lsma'ili dalam kitab shahihnya
demikian:
Orang itu berkata:
"Siapakah yang dapat menghalang-halangi engkau dari perbuatanku ini."
Beliau s.a.w. bersabda: "Allah," kemudian jatuhlah pedang itu dari
tangannya.
Selanjutnya pedang itu
diambil oleh Rasulullah s.a.w., lalu bersabda: "Siapakah yang dapat
menghalang-halangi engkau dari padaku ini?" Orang tadi berkata:
"Jadilah engkau - hai Muhammad -sebaik-baiknya orang yang dimintai
perlindungan." Rasulullah s.a.w. bersabda pula: "Sukakah engkau
menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwasanya saya ini utusan
Allah?" Ia menjawab: "Tidak suka aku demikian, tetapi saya berjanji
padamu bahwa saya tidak akan memerangi lagi padamu dan tidak pula akan
menyertai kaum yang memerangi engkau."
Oleh Rasulullah s.a.w.
orang tersebut dilepaskan jalannya -dibebaskan, kemudian ia mendatangi
sahabat-sahabatnya lalu berkata: "Saya telah datang padamu sekalian ini
dari sisi sebaik-baik manusia - yang dimaksud ialah baru datang dari Nabi
Muhammad s.a.w.
Sabda Nabi s.a.w.: Ikhtarathas
saifa, artinya mengacungkan pedang dalam keadaan terhunus dan Wa huwa fi
yadihi shaltan, artinya: pedang itu di tangannya sudah terhunus. Lafaz
shaltan itu boleh difathahkan shadnya dan boleh pula didhammahkan.
Dari Umar r.a., katanya:
"Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:"Andaikata engkau sekalian
itu suka bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscayalah
Dia akan memberikan rezeki padamu sekalian sebagaimana Dia memberikan rezeki
kepada burung. Pagi-pagi burung-burung berperut kosong dan sore-sore kembali
dengan perut penuh berisi.
Adapun makna Hadis itu
ialah bahwa burung-burung itu pada permulaan hari siang, yakni mulai pagi
harinya sama pergi dalam keadaan khimash, artinya kosong perutnya, sebab
lapar, sedangkan pada akhir siang, yakni pada sore harinya sama kembali dalam
keadaan bithaan, artinya perutnya penuh sebab kenyang. Inilah tanda
tawakkalnya burung pada Allah.
Orang yang telah bekerja dan
berusaha disertai tawakal kepada Allah, maka Allah akan menambah rezeki itu
menurut banyaknya tanggungan. Yang penting manusia itu berusaha dan berdo’a, jangan
cemas dengan rezeki yang telah disediakan Allah. Dapat diiibaratkan, bila kita
mengundang orang untuk makan di rumah kita sebanyak 50 orang maka tentu
persediaan makanan akan kita sediakan lebih banyak dari jumlah undangan, demikian pula bila Allah menentukan
jumlah manusia di dunia ini sebanyak tiga milyar berarti persediaan makanan di
dunia ini lebih banyak dari jumlah manusia untuk sekian masa dengan syarat mau
untuk mengeksplorasi, bekerja yang diiringi dengan do’a, Allah menjelaskan
dalam firman-Nya surat Jumu’ah 62 ;10
”Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu
di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung”
Rasululah bersabda,”Sesungguhnya
apabila seseorang diantara kamu semua itu mengambil tambangnya [tali] kemudian mencari kayu bakar dan diletakkan
diatas punggungnya , hal itu adalah
lebih baik daripada ia mendatangi seseorang yang telah dikarunia oleh
Allah dari keutamaan-Nya, kemudian meminta kepada kawannya itu, adakalanya
diberi dan adakalanya ditolak”[HR.Bukhari dan Muslim].
Walaupun meminta itu pekerjaan yang dibolehkan tapi
posisi seseorang tadi ibarat tangan yang diatas sekaligus akan menurunkan izzah
[harga diri] dimata temannya. Orang yang terbiasa menerima pemberian orang lain
tidak punya keberanian untuk memberikan tausiyah [nasehat dan kritik] karena
dia sudah terlanjur menerima budi baik seseorang, berhutang budilah jadinya,
sehingga cendrung membela atau membiarkan temannya tadi dalam kesalahan.
Pada suatu ketika Rasulullah Saw sedang duduk-duduk
dengan para sahabatnya, tiba-tiba nampaklah disana seorang yang masih muda yang
amat kuat dan perkasa tubuhnya. Ia pagi-pagi itu telah bekerja dengan penuh
semangat. Para sahabat itu berkata,”Kasihan sekali orang itu, andaikata
kemudahan dan kekuatannya itu dipergunakan
untuk sabilillah alangkah baiknya dia”, demi mendengar ucapan salah
seorang sahabatnya, beliau lalu bersabda,”Jangan kamu semua mengatakan
demikian, sebab orang itu kalau keluarnya dari rumah untuk bekerja guna
mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil maka ia telah berusaha
sabilillah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai
meminta-minta pada orang lain, itupun fisabilillah. Tetapi apabila ia bekerja
karena untuk pamer atau untuk bermegah-megahan, maka itulah fisabili syaithan
atau karena mengikuti jalan syaitan”.
Dalam seluruh asfek kehidupan, seorang muslim dituntut
untuk bekerja seoptimal dan semaksimal mungkin dengan tidak melupakan do’a
kepada Allah agar usahanya dapat menemukan keberhasilan, semua diserahkan
kepada Allah, inilah yang dimaksud dengan tawakal. Wallahu a’lam [Cubadak
Pianggu Solok, 27 Syawal 1434.H/03 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar