PEMBAHASAN HADITS ARBA’IN AN NAWAWIYAH
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
JANGAN
MARAH
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ : لاَ تَغْضَبْ
فَرَدَّدَ مِرَاراً، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ
[رواه البخاري]
Terjemah hadits / ترجمة
الحديث :
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu sesungguhnya
seseorang bertanya kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam : (Ya
Rasulullah) nasihatilah saya. Beliau bersabda : Jangan kamu marah. Beliau menanyakan
hal itu berkali-kali. Maka beliau bersabda : Jangan engkau marah.
(Riwayat Bukhori )
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد
من الحديث :
1. Anjuran bagi setiap
muslim untuk memberikan nasihat dan mengenal perbuatan-perbuatan kebajikan,
menambah wawasan ilmu yang bermanfaat serta memberikan nasihat yang baik.
2. Larangan marah.
3. Dianjurkan untuk
mengulangi pembicaraan hingga pendengar menyadari pentingnya dan kedudukannya
Pembahasan;
Semua orang bisa marah bila diganggu
ketenangannya atau diusik kesenangannya, karena marah itu memang manusiawi,
bahkan orang yang sabar sekalipun bukan tidak bisa marah tapi dia bisa
mengendalikan marahnya atau menempatkan marah pada tempat tertentu, tidak asal
marah, jangankan manusia, kata Buya Hamka, sedangkan cacing bila diganggu dia
mengadakan perlawanan karena tidak suka diperlakukan demikian. Banyak alasan
kenapa kita bisa marah, mungkin karena tensi yang sedang naik, sibuk bekerja,
fikiran yang tidak tenang atau masalah rumah tangga yang tidak harmonis dengan
pasangan.
Saat perempuan mendekati masa
menstruasi, umumnya suasana hatinya tak menentu. Marah tanpa sebab kepada siapa
saja, terutama pasangannya. Suasana hati tak menentu ini juga dialami pria
namun dengan alasan berbeda.
Ada lima alasan yang bikin pria mudah tersinggung,
menumpahkan amarah tanpa sebab kepada pasangan atau orang lain di sekitarnya.
1. Tim-nya
kalah tanding
Kalau soal olahraga, pria
menjadi brutal. Apalagi jika ia penggemar setia tim sepakbola atau olahraga
lainnya. Anda perlu juga memerhatikan pertandingan olahraga. Jika seusai
pertandingan, tim pasangan Anda kalah, bersiaplah dengan sikap uring-uringan
pria, yang sebenarnya serupa dengan perempuan.
Kekalahan tim dalam
pertandingan selalu muncul di kepala pria, terus menerus. Kemarahan ini, tak
disadari, memengaruhi perilaku pria. Jadi jangan heran jika tiba-tiba pasangan
Anda marah tanpa sebab lantaran tim sepakbola jagoannya kalah tanding.
3. Stres karena
pekerjaan
Saat pria marah-marah tanpa
sebab, tekanan di pekerjaan dijadikan salah satu alasan. Meski semestinya,
urusan pekerjaan tak usah dibawa ke rumah. Namun, tekanan tinggi di kantor juga
bisa memengaruhi perilaku pria saat berada di rumah.
2. Kurang
me time
Jika sikap pasangan tak
menyenangkan di rumah, bisa jadi ia sedang merasa tak nyaman dengan dirinya.
Pria juga kerapkali beralasan mereka butuh waktu untuk dirinya. Pria merasa
kurang menikmati me time. Pada akhirnya mereka menjadi mudah
tersinggung seharian.
5. Tersesat
Bukan hanya perempuan yang
mudah panik dan tersinggung dalam keadaan terjepit. Pria juga mengalaminya
namun ditunjukkan dengan cara berbeda. Saat tersesat di jalan, sebenarnya pria
juga panik dan kebingungan. Namun pria berusaha menutupinya. Pria makin mudah
tersinggung dalam posisi seperti ini ketika pasangannya atau teman perempuannya
menawarkan peta. Pria merasa ia bisa menemukan jalan, tak tersesat lagi, tanpa
bantuan apa pun kecuali pikirannya sendiri.[Wardah
Fazriyati, 5 Alasan Pria Marah Tanpa Sebab,KOMPAS.com
Kamis, 9 Juni 2011 | 16:23 WIB].
Salah satu ciri-ciri orang
yang bertakwa adalah mereka yang mampu menahan ghaizh (marah). Ini disebutkan
dalam surah Ali Imran ayat 134. Dalam tafsir Imam Qurthubi dijelaskan, ghoizh
itu artinya hampir mirip dengan ghadhab (marah). Namun, secara rasa bahasa,
ghadhab tidaklah sama persis dengan ghaizh. Ghadhab adalah marah yang
diwujudkan dengan anggota tubuh seseorang. Orang yang marah dalam pengertian
ghadhab, mulutnya akan mengeluarkan kata-kata keji, kadang-kadang tangannya
ikut menampar, memukul, atau membanting barang-barang yang ada di sekitarnya,
sementara kakinya juga ikut bertindak. Arti yang paling tepat untuk kata
ghadhab dalam bahasa Indonesia adalah murka.
Adapun ghaizh adalah marah
yang terjadi pada diri seseorang, namun kemarahan itu hanya bergolak di dalam
hati dan tidak mewujud pada anggota tubuhnya. Paling-paling wajahnya sedikit
memerah atau matanya berkilat. Sementara tangan, kaki, dan lidahnya tidak
mengeluarkan tindakan keji dan merugikan orang lain. Arti yang paling tepat
untuk kata ghaizh itu adalah marah.
Diceritakan dalam banyak hadis
bahwa Rasulullah SAW kalau marah tidak pernah menampakkan wujud pada diri
Beliau hal-hal yang menyakiti orang lain atau merendahkan harga diri sendiri.
"Pernah suatu hari beberapa orang Yahudi lewat di depan rumah Nabi. Saat
itu Nabi sedang bersama Aisyah ra. Orang Yahudi itu memberikan salam dengan
ucapan: "Assaamualaik!"(mati kena racunlah kamu). Nabi menjawab:
"Alaikum" (Atasmu juga). Serta-merta Aisyah menjawab: "Waalaikum
saam wal la'nah" (kamu semua mati kena racun dan kena laknat). Saat itu
Nabi menasihati Aisyah bahwa Allah menyukai kasih sayang pada tiap
sesuatu." (HR Bukhari dan Muslim).[KH
Tengku Zulkarnain, Antara Marah dan Murka,
Republika.co.id.Kamis, 13 Oktober 2011 15:12 WIB].
Tidaklah semua marah itu
dilarang, ada marah yang dibolehkan bahkan terpuji walaupun sifat marah itu
negative dalam kehidupan manusia. Ustadz Muslim Al-Atsari mengungkapkan marah
yang tercela dan marah yang terpuji sebagaimana dalam tulisan berikut ini;
MARAH YANG TERCELA
Seseorang yang marah karena
perkara-perkara dunia, maka kemarahan seperti ini tercela. Oleh karenanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati seseorang dengan
berulang-ulang supaya tidak marah. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa
seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Berilah
wasiat kepadaku.” Nabi menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi
mengulangi perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah
engkau marah.” [HR Bukhari]
Maka jika seseorang ditimpa
kemarahan, jangan sampai kemarahan itu menguasai dirinya. Karena jika telah
dikuasai oleh kemarahan, maka kemarahan itu bisa menjadi pengendali yang akan
memerintah dan melarang kepada dirinya!
Janganlah melampiaskan kemarahan. Karena
kemarahan itu sering menyeret kepada perkara yang haram. Seperti : mencaci,
menghina, menuduh, berkata keji, dan perkataan haram lainnya. Atau memukul,
menendang, membunuh, dan perbuatan lainnya. Tetapi hendaklah mengendalikan diri
dan emosinya agar tidak melampiaskan kemarahan, sehingga keburukan kemarahan
itu akan hilang. Bahkan kemarahan akan segera reda dan hilang. Seolah-olah tadi
tidak marah. Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah dan Rasul Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Ali Imran : 133-134]
Juga firmanNya,Maka sesuatu
apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang
ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah
mereka memberi ma'af. [Asy Syura : 36-37].
Demikian juga orang yang mampu
mengendalikan emosinya itu dipuji oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan dijanjikan dengan bidadari surga. Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Siapakah yang kamu anggap
sebagai shura’ah (orang kuat, jago gulat, orang yang banyak membanting orang
lain)?” Kami menjawab,“Seseorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain.”
Beliau bersabda,“Bukan itu, tetapi shura’ah yaitu orang yang dapat menguasai
dirinya ketika marah.” [HR Muslim].
Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam juga bersabda, ‘’Barangsiapa
menahan kemarahan, padahal mampu melampiaskannya, niscaya pada hari kiamat
Allah ‘Azza Wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, sehingga
Allah memberinya hak memilih di antara bidadari surga yang dia kehendaki’’.
MARAH YANG TERPUJI
Marah yang terpuji adalah
kemarahan karena Allah, karena al haq, dan untuk membela agamaNya. Khususnya
ketika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar.
Imam Ibnu Rajab Al Hambali t
berkata, “Kewajiban atas seorang mukmin (yaitu) agar syahwatnya (kesenangannya)
terbatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah baginya. Hendaklah meraih
syahwat yang dibolehkan tersebut dengan niat yang baik, sehingga mendapatkan
pahala. Dan hendaknya kemarahan seorang mukmin itu untuk menolak gangguan dalam
agama yang menimpanya atau menimpa orang lain dan untuk menghukum orang-orang
yang bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman, “Perangilah mereka,
niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan
Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta
melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan panas hati
orang-orang mu'min. [At Taubah : 14-15].”
Jika kita telah mengetahui hal
di atas, maka hendaklah kita tahu bahwa begitulah keadaan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Yaitu beliau tidaklah membalas dengan hukuman untuk
(membela) dirinya, tetapi beliau membalas dengan hukuman jika perkara-perkara
yang diharamkan Allah dilanggar.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu
'anha, dia berkata,“Tidaklah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam disuruh memilih di antara dua perkara sama
sekali, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, selama hal
itu bukan merupakan dosa. Jika hal itu merupakan dosa, maka beliau adalah
manusia yang paling jauh dari dosa. Dan tidaklah beliau membalas dengan hukuman
untuk (membela) dirinya di dalam sesuatu sama sekali. Kecuali jika
perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas
dengan hukuman terhadap perkara itu karena Allah.”
Demikian juga beliau tidak
pernah memukul pembantu atau seseorang, kecuali jika berjihad di jalan Allah.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu
'anha, dia berkata,“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah sama
sekali memukul sesuatu dengan tangannya, juga tidak pernah memukul wanita
(istri), dan tidak pernah memukul seorang pembantu. Beliau memukul jika
berjihad di jalan Allah. Dan tidaklah beliau disakiti dengan sesuatu sama
sekali, lalu beliau membalas terhadap pelakunya. Kecuali jika ada sesuatu di
antara perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan
membalas dengan hukuman karena Allah ‘Azza Wa Jalla.” [Marah Yang Terpuji,Almanhaj.com
Jumat, 25 Februari 2011 22:38:37 WIB]
Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat seseorang yang
mabuk. Ketika ia ditangkap untuk dihukum dera, tiba-tiba ia dimaki oleh orang
yang mabuk tersebut. Khalifah Umar tidak jadi melaksanakan hukum deranya.
Melihat Khalifah
Umar seperti itu, para sahabat bertanya, "Ya amirul mukminin,
mengapa setelah ia memaki Anda tiba-tiba Anda meninggalkan dia?" Khalifah
menjawab, "Itu karena ia membuat aku jengkel. Kalau aku menghukumnya,
mungkin karena aku marah kepadanya, bukan karena ia melanggar hukum Allah, dan
aku tidak suka memukul seseorang hanya karena membela diriku sendiri."
Sangat tipis dan susah untuk membedakan antara menghukum
karena Allah SWT dan menghukum karena amarah. Karena bagaimanapun, ketika kita
menghukum, amarah akan menyertai bentuk hukuman yang kita berikan. Tidak
seperti yang menimpa Khalifah Umar yang tidak bisa meneruskan eksekusi, karena
takut berbuat salah dengan tidak tulus menghukum orang yang berbuat salah.
Hal yang sama juga pernah dialami Sayyidina Ali ra yang
tidak jadi membunuh ketika sedang berada di medan perang lantaran ia telah
diludahi oleh musuh yang sudah tak berdaya. Ali RA khawatir kalau membunuh
musuhnya tersebut, bukan semata-mata karena menegakkan agama Allah, melainkan
akibat dorongan nafsu dan emosi.
Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak kita temukan
perselisihan di antara manusia. Bahkan, hampir semua manusia akan mudah
terpancing emosinya, hingga kemudian meledaklah kemarahannya.
Mengendalikan
amarah memang tidak mudah. Dan, hanya orang-orang tertentu yang bisa menahan
dan mengendalikan kemarahannya. Amarah ada di dalam diri manusia. Amarah adalah
motivasi atau energi yang mendorong dan menggerakkan seseorang untuk berbuat.
Alangkah baiknya bila amarah itu diarahkan untuk menopang kinerja dan
kreativitas hidup, sehingga menjadi lebih dinamis.
Banyak kerugian yang akan didapatkan ketika seseorang
sedang emosi dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Pekerjaan bisa menjadi
terbengkalai dan rekan sejawat pun bisa kena marah pula. Akibatnya, persoalan
kecil bisa menjadi besar.[Encep Dulwahab,Menahan Marah ,republika.co.id
Sabtu, 04 Juni 2011 12:25 WIB].
Syekh Abdul Azis bin Fathi
as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu'atul Aadaab alIslamiyah, mengungkapkan hendak
nya seorang Muslim memperhatikan adab-abad yang berkaitan dengan marah. Berikut
adab-adab yang perlu diperhatikan terkait marah.
Pertama, jangan marah, kecuali
karena Allah SWT. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah karena Allah merupakan
sesuatu yang disukai dan mendapatkan amal. Misalnya, marah ketika menyaksikan
perbuatan haram merajalela. Seorang Muslim yang marah karena hukum Allah
diabaikan merupakan contoh marah karena Allah.
"Seorang Muslim hendaknya
menjauhi kemarahan karena urusan dunia yang tak mendatangkan pahala,"
tutur Syekh Sayyid Nada. Rasulullah SAW, kata dia, tak pernah marah karena
dirinya, tapi marah karena Allah SWT. Nabi SAW pun tak pernah dendam, kecuali
karena Allah SWT.
Kedua, berlemah lembut dan tak
marah karena urusan dunia. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, sesungguhnya semua
kemarahan itu buruk, kecuali karena Allah SWT. Ia mengingatkan, kemarahan kerap
berujung dengan pertikaian dan perselisihan yang dapat menjerumuskan manusia ke
dalam dosa besar dan bisa pula memutuskan silaturahim.
Ketiga, mengingat keagungan
dan kekuasaan Allah SWT. "Ingatlah kekuasaan, perlindungan, keagungan, dan
keperkasaan Sang Khalik ketika sedang marah," ungkap Syekh Sayyid Nada.
Menurut dia, ketika mengingat kebesaran Allah SWT, maka kemarahan akan bisa
diredam. Bahkan, mungkin tak jadi marah sama sekali. Sesungguhnya, papar Syekh
Sayyid Nada, itulah adab paling bermanfaat yang dapat menolong seseorang untuk
berlaku santun (sabar).
Keempat, menahan dan meredam
amarah jika telah muncul. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, Allah SWT menyukai
seseorang yang dapat menahan dan meredam amarahnya yang telah muncul. Allah SWT
berfirman, " … dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memberi maaf
orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS
Ali Imran:134).
Menurut Ibnu Hajar dalam
Fathul Bahri, ketika kemarahan tengah me muncak, hendaknya segera menahan dan
meredamnya untuk tindakan keji. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa
yang dapat menahan amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan
memanggilnya di hadapan segenap mahluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih
bidadari surga dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki." (HR
Ahmad).
Kelima, berlindung kepada
Allah ketika marah. Nabi SAW bersabda, "Jika seseorang yang marah
mengucapkan; 'A'uudzu billah (aku berlindung kepada Allah SWT, niscaya akan
reda kemarahannya." (HR Ibu 'Adi dalam al-Kaamil.)
Keenam, diam. Rasulullah SAW bersabda,
"Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari
kalian marah, hendaklah ia diam." (HR Ahmad). Terkadang orang yang sedang
marah mengatakan sesuatu yang dapat merusak agamanya, menyalakan api perselisihan
dan menambah kedengkian.
Ketujuh, mengubah posisi
ketika marah. Mengubah posisi ketika marah merupakan petunjuk dan perintah Nabi
SAW. Nabi SAW bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian marah ketika
berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka
hendaklah ia berbaring." (HR Ahmad).
Kedelapan, berwudhu atau
mandi. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah adalah api setan yang dapat
mengakibatkan mendidihnya darah dan terbakarnya urat syaraf. "Maka dari
itu, wudhu, mandi atau semisalnya, apalagi mengunakan air dingin dapat
menghilangkan amarah serta gejolak darah," tuturnya, Kesembilan, memeberi
maaf dan bersabar. Orang yang marah sudah selayaknya memberikan ampunan kepada
orang yang membuatnya marah. Allah SWT memuji para hamba-Nya "... dan jika
mereka marah mereka memberi maaf." (QS Asy-Syuura:37).[Amin Madani,Adab Mengendalikan Amarah Menurut Islam,Republika,Co.id.Ahad, 08 Agustus
2010, 07:54 WIB].
Begitu mulia akhlak yang
diteladani dan diajarkan oleh Rasulullah kepada ummatnya agar hidup saling
memaafkan, penuh kasih sayang, tidak mengedepankan emosi dan egoisme yang mudah
memancing amarah, ternyata kemarahan bukanlah alat dapat melunakkan hati
manusia, Rasulullah berhasil mengajak kafir Quraisy kepada islam karena sifat
mulia ini, beliau tidak mudah marah dan mampu untuk menempatkan marah pada
tempat yang sebenarnya, siapapun orang tidak suka bila punya teman, kenalan dan
sahabat yang pemarah, betapa banyak anak-anak yang harus lari dari rumah
mencari orangtua lain karena di rumah dia selalu bertemu dengan ayah dan ibu
yang pemarah, kenapa suami harus mencari pasangan hidup baru yang lembut,
penyayang, sabar dan santun, karena di rumah dia selalu berhadapan dengan
isteri yang selalu marah, memperlihatkan wajah peperangan, seram dan
menakutkan, Wallahu A’lam [Cubadak Solok, 15 Februari 2012.M/ 22 Rabi’ul Awal
1433.H].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar