RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]
Taubat
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Pada suatu hari, Rasulullah SAW ditanya
tentang kebajikan dan keburukan (dosa). Jawabnya, "Kebajikan (al-birr)
adalah budi pakerti luhur (husn al-huluq), sedangkan keburukan atau dosa
(al-itsm) adalah apa yang membuat hatimu resah, dan kamu tidak ingin
orang lain mengetahuinya." (HR. Muslim dari Ibn Sam`an al-Anshari)
Hakikat dosa, kata pakar hadis
al-Munawi, adalah sesuatu yang membuat jiwa tak tenang dan hati tak tenteram.
Hal ini, karena menurut fitrahnya, manusia lebih condong kepada kebenaran. Hati
ibarat cahaya yang bersih dan terang. Oleh sebab itu, bila orang
melakukan kebaikan, maka akan timbul sinergi dan harmoni (antara dua cahaya),
yang selanjutnya mendatangkan kedamaian. Sebaliknya, demikian al-Munawi,
jika orang melakukan kejahatan (dosa), maka cahaya hati bakal meredup dan tak
terjadi sinergi, sehingga timbul kegelisahan. (Faydh al-Qadir :3/825).
Dalam satu hadis, dosa-dosa besar itu disebut ada empat, yaitu syirik, durhaka kepada ibu-bapak, membunuh, dan sumpah palsu (pembohongan publik). Dalam riwayat lain, disebeutkan ada tujuh, yaitu empat di atas, ditambah sihir, riba, makan harta anak yatim, disersi, dan tuduhan zina kepada wanita mulia (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Di luar semua itu, ada tiga dosa yang
dianggap sebagai biang dan pangkal kejahatan. Pertama, dosa sombong dan
membanggakan diri (al-kibr), dosa yang dahulu dilakukan oleh Iblis (QS
al-Baqarah [2]: 34). Kedua, dosa serakah dan loba, dosa yang dahulu pernah
dibuat oleh Nabi Adam AS dan istrinya, Hawa (QS al-Baqarah [2]: 36). Ketiga,
dosa dengki dan iri hati, dosa yang dahulu pernah dilakukan oleh Qabil. Karena
iri hati, Qabil tega menghabisi nyawa adik kandungnya sendiri. (QS al-Ma'idah
[5]: 27).
Ketiga dosa ini, karena sifatnya yang
besar dan berpotensi mendorong lahirnya dosa-dosa lain, serta pernah terjadi
dan dilakukan oleh manusia pada masa yang paling awal, maka tak berlebihan bila
ketiga dosa tersebut dinamai "Dosa Primordial".[Republika Online, A Ilyas
Ismail,Dosa Primordial,
Selasa, 01 Februari 2011, 15:46
WIB].
Secara umum perbuatan dosa terbagi menjadi dua, yang
pertama adalah dosa besar. Rasulullah dalam
beberapa haditsnya secara ekspisit menjelaskan sejumlah dosa yang termasuk
dalam kategori dosa besar. Seperti syirik,
sihir, memakan harta riba, durhaka kepada orangtua, saksi palsu dan sebagainya.
Dosa seperti ini, bila sipelaku tidak sempat bertaubat,
akan mendatangkan balasan yang berat dan pedih dari Allah SWT. Artinya, taubat
dari dosa besar, masih mungkin dilakukan selama yang bersangkutan
sungguh-sungguh meninggalkan perkara dosa tersebut.
Disamping dosa besar, ada pula dosa kecil. Umumnya
sedikit orang yang memperhatikan dosa kecil ini sebagai suatu kemaksiatan. Padahal ampunan Allah
terhadap hamba-Nya yang melakukan dosa, selama tidak dilakukan berulang, lebih
besar kemungkinan terkabulnya dibandingkan ampunan terhadap dosa kecil yang
dilakukan kembali secara berulang-ulang.
Imam An Nawawi dalam bukunya
Riyadush Shalihin Bab 2 dengan judul “Taubat”
menuntun kita untuk bertaubat kepada Allah atas segala dosa dan maksiat yang
dilakukan.
Para
alim-ulama berkata:
"Mengerjakan taubat itu hukumnya wajib dari segala
macam dosa. Jikalau kemaksiatan itu terjadi antara seseorang hamba dan antara
Allah Ta'ala saja, yakni tidak ada hubungannya dengan hak seseorang manusia yang
lain, maka untuk
bertaubat itu harus menetapi tiga macam syarat, yaitu:
Pertama hendaklah menghentikan sama sekali-seketika itu juga -dari kemaksiatan
yang dilakukan, kedua ialah supaya merasa menyesal kerana telah melakukan
kemaksiatan tadi dan ketiga supaya berniat tidak akan kembali mengulangi
perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya. Jikalau salah satu dari tiga syarat
tersebut di atas itu ada yang ketinggalan maka tidak sahlah taubatnya.
Apabila kemaksiatan itu ada hubungannya dengan sesama
manusia, maka syarat-syaratnya itu ada empat macam, yaitu tiga syarat yang
tersebut di atas dan keempatnya ialah supaya melepas-kan tanggungan itu dari
hak kawannya. Maka jikalau tanggungan itu berupa harta atau yang semisal dengan
itu, maka wajiblah mengembalikannya kepada yang berhak tadi, jikalau berupa
dakwaan zina atau yang semisal dengan itu, maka hendaklah mencabut dakwaan tadi
dari orang yang didakwakan atau meminta saja pengampunan daripada kawannya dan
jikalau merupakan pengumpatan, maka hendaklah meminta penghalalan yakni
pemaafan dari umpatannya itu kepada orang yang diumpat olehnya.
Seseorang itu wajiblah bertaubat dari segala macam dosa,
tetapi jikalau seseorang itu bertaubat dari sebagian dosanya, maka taubatnya
itupun sah dari dosa yang dimaksudkan itu, demikian pendapat para alim-ulama
yang termasuk golongan ahlulhaq, namun saja dosa-dosa yang lain-lainnya masih
tetap ada dan tertinggal - yakni belum lagi ditaubati.
Sudah jelaslah dalil-dalil yang tercantum dalam Kitabullah,
Sunnah Rasulullah s.a.w. serta ijma' seluruh ummat perihal wajibnya mengerjakan
taubat itu.
Allah Ta'ala berfirman: "Dan bertaubatlah engkau
semua kepada Allah, hai sekalian orang Mu'min, supaya engkau semua memperoleh
kebahagiaan." (an-Nur: 31)
Allah Ta'ala berfirman lagi:"Mohon ampunlah kepada
Tuhanmu semua dan bertaubatlah kepadaNya." (Hud: 3)
Dan lagi firmanNya:"Hai sekalian orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang nashuha - yakni yang
sebenar-benarnya." (at-Tahrim: 8).
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda: "Demi Allah, sesungguhnya saya itu niscayalah memohonkan
pengampunan kepada Allah serta bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih dari
tujuh puluh kali." (Riwayat Bukhari)
Dari Aghar bin Yasar al-Muzani r.a. katanya: Rasulullah
s.a.w. bersabda:"Hai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan
mohonlah pengampunan daripadaNya, kerana sesungguhnya saya ini bertaubat dalam
sehari seratus kali." (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hamzah yaitu Anas bin Malik al-Anshari r.a.,
pelayan Rasulullah s.a.w., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Niscayalah
Allah itu lebih gembira dengan taubat hambaNya daripada gembiranya seseorang
dari engkau semua yang jatuh di atas untanya dan oleh Allah ia disesatkan di
suatu tanah yang luas." (Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy'ari r.a., dari Nabi
s.a.w., sabdanya "Sesungguhnya Allah Ta'ala itu membeberkan tanganNya -
yakni kerahmatanNya -di waktu malam untuk menerima taubatnya orang yang berbuat
kesalahan di waktu siang dan juga membeberkan tanganNya di waktu siang untuk
menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu malam. Demikian ini
terus menerus sampai terbitnya matahari dari arah barat - yakni di saat hampir
tibanya hari kiamat, karena setelah ini terjadi, tidak diterima lagi taubatnya
seseorang." (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat, maka Allah
menerima taubatnya orang itu." (Riwayat
Muslim).
Uraian dalam Hadis di atas sesuai dengan firman Allah dalam
al-Quran al-Karim, surat Nisa', ayat 18 yang berbunyi:"Taubat itu
tidaklah diterima bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan, sehingga di kala
salah seorang dari mereka itu telah didatangi kematian - sudah dekat ajalnya
dan ruhnya sudah di kerongkongan - tiba-tiba ia mengatakan: "Aku sekarang
bertaubat."
Dari Abu Abdur Rahman yaitu Abdullah bin Umar bin
al-Khaththab radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya
Allah 'Azzawajalla itu menerima taubatnya seseorang hamba selama ruhnya belum
sampai di kerongkongannya - yakni ketika akan meninggal dunia."
Dari Abu Said, yaitu Sa'ad bin Sinan al-Khudri r.a.
bahwasanya Nabiullah s.a.w. bersabda: "Ada seorang lelaki dari golongan
ummat yang sebelummu telah membunuh sembilanpuluh sembilan manusia, kemudian ia
menanyakan tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, ialu ia ditunjukkan
pada seorang pendeta. lapun mendatanginya dan selanjutnya berkata bahwa
sesungguhnya ia telah membunuh sembilanpuluh sembilan manusia, apakah masih
diterima untuk bertaubat. Pendeta itu menjawab: "Tidak dapat."
Kemudian pendeta itu dibunuhnya sekali dan dengan demikian ia telah
menyempurnakan jumlah seratus
dengan ditambah seorang
lagi itu. Lalu
ia bertanya lagi tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, kemudian
ditunjukkan pada seorang yang alim, selanjutnya ia mengatakan bahwa
sesungguhnya ia telah membunuh seratus manusia, apakah masi'h diterima
taubatnya. Orang alim itu menjawab: "Ya, masih dapat. Siapa yang dapat
menghalang-halangi antara dirinya dengan taubat itu. Pergilah engkau ke tanah
begini-begini, sebab di situ ada beberapa kelompok manusia yang sama menyembah
Allah Ta'ala, maka menyembahlah engkau kepada Allah itu bersama-sama dengan
mereka dan janganlah engkau kembali ke tanahmu sendiri, sebab tanahmu adalah
negeri yang buruk." Orang itu terus pergi sehingga di waktu ia telah
sampai separuh perjalanan, tiba-tiba ia didatangi oleh kematian.
Kemudian bertengkarlah untuk mempersoalkan diri orang tadi
malaikat kerahmatan dan malaikat siksaan - yakni yang bertugas memberikan
kerahmatan dan bertugas memberikan siksa, malaikat kerahmatan berkata:
"Orang ini telah datang untuk bertaubat sambil menghadapkan hatinya kepada
Allah Ta'ala." Malaikat siksaan berkata: "Bahwasanya orang ini
samasekali belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun."
Selanjutnya ada seorang malaikat yang mendatangi mereka
dalam bentuk seorang manusia, lalu ia dijadikan sebagai pemisah antara
malaikat-malaikat yang berselisih tadi, yakni dijadikan hakim pemutusnya -
untuk menetapkan mana yang benar. Ia berkata: "Ukurlah olehmu semua antara
dua tempat di bumi itu, ke mana ia lebih dekat letaknya, maka orang ini adalah
untuknya - maksudnya jikalau lebih dekat ke arah bumi yang dituju untuk
melaksanakan taubatnya, maka ia adalah milik malaikat kerahmatan dan jikalau
lebih dekat dengan bumi asalnya maka ia adalah milik malaikat siksaan."
Malaikat-malaikat itu mengukur, kemudian didapatinya bahwa orang tersebut
adalah lebih dekat kepada bumi yang dikehendaki -yakni yang dituju untuk
melaksanakan taubatnya. Oleh sebab itu maka ia dijemputlah oleh malaikat
kerahmatan." (Muttafaq 'alaih).
Dalam sebuah riwayat yang shahih disebutkan demikian:
"Orang tersebut lebih dekat sejauh sejengkal saja pada pedesaan yang baik
itu - yakni yang hendak didatangi, maka dijadikanlah ia termasuk golongan
penduduknya."
Dalam riwayat lain yang shahih pula disebutkan: Allah Ta'ala
lalu mewahyukan kepada tanah yang ini - tempat asalnya - supaya engkau menjauh
dan kepada tanah yang ini - tempat yang hendak dituju - supaya engkau mendekat
- maksudnya supaya tanah asalnya itu memanjang sehingga kalau diukur akan
menjadi jauh, sedang tanah yang dituju itu menyusut sehingga kalau diukur
menjadi dekat jaraknya. Kemudian firmanNya: "Ukurlah antara
keduanya." Malaikat-malaikat itu mendapatkannya bahwa kepada yang ini
-yang dituju - adalah lebih dekat sejauh sejengkal saja jaraknva. Maka orang
itupun diampunilah dosa-dosanya."
Dari Abu Nujaid (dengan dhammahnya nun dan fathahnya jim)
yaitu lmranbin Hushain al-Khuza'i radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang
wanita dari suku Juhainah mendatangi Rasulullah s.a.w. dan ia sedang dalam
keadaan hamil kerana perbuatan zina. Kemudian ia berkata: "Ya Rasulullah,
saya telah melakukan sesuatu perbuatan yang harus dikenakan had - hukuman -
maka tegakkanlah had itu atas diriku." Nabiullah s.a.w. lalu memanggil
wali wanita itu lalu bersabda: "Berbuat baiklah kepada wanita ini dan
apabila telah melahirkan - kandungannya, maka datanglah padaku dengan
membawanya." Wali tersebut melakukan apa yang diperintahkan. Setelah
bayinya lahir - lalu beliau s.a.w.
memerintahkan untuk memberi hukuman, wanita itu diikatlah pada
pakaiannya, kemudian dirajamlah. Selanjutnya beliau s.a.w. menyembahyangi
jenazahnya.
Umar berkata pada beliau: "Apakah Tuan menyembahyangi
jenazahnya, ya Rasulullah, sedangkan ia telah berzina?" Beliau s.a.w.
bersabda: "Ia telah bertaubat benar-benar, andaikata taubatnya itu dibagikan
kepada tujuhpuluh orang dari penduduk Madinah, pasti masih mencukupi. Adakah
pernah engkau menemukan seseorang yang lebih
utama dari orang yang suka mendermakan jiwanya semata-mata kerana
mencari keridhaan Allah 'Azzawajalla." (Riwayat Muslim)
Dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik radhiallahu 'anhum
bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Andaikata seorang anak Adam -
yakni manusia - itu memiliki selembah emas, ia tentu menginginkan memiliki dua
lembah dan samasekali tidak akan memenuhi mulutnya kecuali tanah – yaitu
setelah mati - dan
Allah menerima taubat kepada orang yang bertaubat." (Muttafaq 'alaih)
Semua
dosa dan maksiat yang diperbuat oleh hamba yang beriman kalau dia
bertaubat maka akan diampuni dosanya itu kecuali dosa syirik dan bid’ah, tentu
taubat yang sungguh-sungguh,tapi kalau dia tidak bertaubat maka terserah Allah
kelak untuk menentukan keputusan-Nya. Pelaku syirik dan ahli bid’ah tidak ada
tempat baginya dalam syurga, tempat mereka adalah di neraka, hal ini sesuai
dengan firman Allah dan hadits Rasulullah, Wallahu a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 27 Syawal 1434.H/03 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar