Jumat, 22 November 2013

59.17 Kewajiban Mengikuti Hukum Allah




RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]



Kewajiban  Mengikuti Hukum Allah 
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Hukum yang diberikan Allah untuk hamba-Nya merupakan karunia besar kepada manusia agar hidup dalam keadaan baik, sesuai dengan keberadaan manusia yaitu hamba yang hanya mengabdi kepada hukum dan undang-undang yang diturunkan Allah. Dapat dibayangkan, apa jadinya dunia ini bila Allah tidak mengutus rasul untuk menyampaikan risalah islam ke dunia, tentu saja zaman ini masih kelam dengan karakter jahiliyah dengan segala kehancurannya, Allah menerangkan dalam surat Ali Imran 3;164 “Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

            Perangkat hidup itu diantaranya adalah aturan, syariat atau hukum yang harus diterapkan, diperjuangkan oleh hamba di dunia ini dengan menjadikan hukum Allah itu satu-satunya hukum yang wajib ditaati oleh semua makhluk, pembawa dan penyampai aturan itu adalah para nabi dan rasul  yang diutus kepada semua kaum dan pada setiap masa. Dikala aturan Allah sudah ditinggalkan maka ketika itu datang rasul untuk mengingatkan kembali kepada ummat manusia khususnya, agar kembali menerapkan hukum dari Allah.

Rasulullah datang ke dunia ini untuk menjaga peraturan hidup yang selama ini telah mereka injak-injak dengan peraturan baru buatan manusia dengan berbagai isme,  Allah menegaskan; “Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)” [Asy Syuura 42;13].

Al Hakam, Allah Yang Menetapkan Hukum, maka kewajiban hamba-Nya untuk menjalankan hukum itu, yaitu hukum yang menjunjung harkat dan martabat manusia, hukum yang menegakkan keadilan, hukum yang jauh dari intervensi dari pelakunya, hanya Allah saja hukum-Nya yang layak dan wajib diikuti, hal itu berangkat dari makna yang terkandung dalam kalimat Shahadat yaitu La Hukmu Ilallah, tidak ada hukum kecuali hukum Allah.

Kalimat syahadat adalah kalimat yang ringan diucapkan tetapi berat pada timbangan, artinya timbangan pahalanya besar, hal itu juga karena kalimat ini memberikan resiko yang besar kepada pejuangnya sebagaimana Nabi Musa berhadapan dengan Fir’aun, Nabi Ibrahim melakukan perlawanan terhadap Namrudz dan Nabi Muhammad harus rela menghadapi perlawanan Abu Jahal serta tokoh-tokoh Quraisy lainnya.

Salah satu makna kalimat ini adalah “Laa Hakim Illallah” artinya tidak ada hakim yang bijaksana kecuali Allah yang mengandung resiko bahwa segala keputusan yang mutlak ada pada tangan-Nya

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 17 dengan judul “Kewajiban  Mengikuti Hukum Allah  Dan Apa-apa YangDiucapkan Oleh Orang Yang Diajak KeArah Itu Dan Yang Diperintah Berbuat Kebaikan Atau Dilarang Berbuat Keburukan” menyatakan dalam beberapa ayat dan hadits Rasulullah Saw.

Allah Ta'ala berfirman:
"Tetapi tidak, demi Tuhanmu. Mereka belum sebenarnya beriman sebelum mereka meminta keputusan kepadamu perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan dalam hatinya terhadap putusan yang engkau berikan itu dan mereka menyerah dengan penyerahan yang bulat-bulat." (an-Nisa': 65)
Allah Ta'ala berfirman pula:
"Hanyasanya ucapan kaum mu'minin, apabila mereka diseru kepada jalan Allah dan RasulNya untuk memberikan hukum di antara mereka itu iaiah mereka itu mengucapkan: "Kita semua mendengarkan dan mentaati." Mereka itu adalah orang-orang yang berbahagia." (an-Nur: 51)

Setiap orang sudah pasti mengerti bahwa Islam adalah suatu agama yang sudah cukup lengkap hukum-hukumnya serta peraturan-peraturannya. Dalam segala macam persoalan Islam sudah menyediakan hukum yang wajib diterapkan untuknya itu, mulai dari hal yang sekecil-kecilnya seperti berkawan, adab pergaulan,berumah tanggadan lain-lain, juga sampai yang sebesarnya, misalnya menegakkan tertib hukum, mengatur keamanan dalam negara dan sebagainya. Dalam hal perselisihan antara orang seorang, antara golongan satu dengan lainnya, bahkan antara bangsa dengan lain bangsapun tercantum pula hukumnya.

Jadi kita sebagar penganut agama Islam berkewajiban mengamalkan hukum-hukum itu tanpa membantah samasekali, jika memang benar-benar nyata hukum itu dari Tuhan dan RasulNya dan bukan semata-mata dibuat-buat sendiri oleh manusia yang gemar pada kebid'ahan, jelasnya orang-orang yang mengada-adakan hukum dari kehendaknya sendiri dan dikatakan bahwa itulah hukum agama dari Tuhan.

Sementara itu segala persoalan yang terjadi, maka untuk menerapkan hukumnya jangan menggunakan hukum yang selain dari Tuhan dan RasulNya. Jadi persoalan itu kita cocokkan sesuai dengan hukum yang ada dalam agama Islam. Manakala kita mengerjakan kebalikannya, tentulah salah, yaitu persoalan yang ada itu kita carikan hukumnya dalam agama yang kiranya dapat sesuai dengan kehendak atau kemauan hawa nafsu kita sendiri, atau disesuaikan dengan kemauan orang lain yang kita anggap terhormat agar mendapatkan pujian atau sekedar harta daripadanya. Oleh sebab itu jikalau hukum agama itu diibaratkan sebagai kepala atau kaki, sekiranya kita ingin membeli kopyah atau sepatu, hendaknya kopyah dan sepatu itu yang kita cocokkan dengan kepala atau kaki kita dan tidak sebaliknya, yakni kepala atau kaki yang kita cocokkan dengan kopyah atau sepatu tersebut. Kalau kekecilan, kepala dan kaki diperkecilkan dan kalau kebesaran, lalu kepala atau kaki dipukuli agar bengkak sehingga cocok dengan kopyah atau sepatu yang berukuran besar tadi.

Ringkasnya dalam segala hal, jangan sampai hukum agama yang dikalahkan, sebaliknya itulah yang justeru wajib dimuliakan dan dijunjung setinggi-tingginya, sebab memang datangnya dari Tuhan Rabbul  'Alamin.  Semogalah  kita  dapat  melaksanakan  yang  sedemikian ini, sehingga berbahagialah hidup kita sejak di dunia sampai di akhirat nanti. Amin.

Dalam bab ini ada beberapa Hadis, di antaranya; 
Dari Abu Hurairah r.a.katanya: "Ketika ayat ini turun pada Rasulullah s.a.w. yaitu-yang artinya: Bagi Allah adalah apa-apa yang ada di dalam langit dan apa yang ada di bumi. Jikalau engkau semua terangkan apa-apa yang dalam hatimu alau jikalau engkau semua sembunyikan itu, niscayalah Allah akan memperhitungkan semuanya," sampai akhir ayat.

Dikala itu, maka hal yang sedemikian tadi dirasa amat berat oleh para sahabat Rasulullah s.a.w. Mereka lalu mendatangi Rasulullah s.a.w. kemudian mereka berjongkok di atas lutut mereka lalu berkata: "Ya Rasulullah, kita telah dipaksakan untuk melakukan amalan-amalan yang kita semua juga kuat melaksanakannya, yaitu shalat, puasa, jihad dan sedekah. Tetapi kini telah diturunkan kepada Tuan sebuah ayat dan kita rasanya tidak kuat melaksanakannya.

Rasulullah s.a.w. lalu bersabda: "Adakah engkau semua hendak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh dua golongan ahlul kitab-kaum Nasrani dan Yahudi -yang hidup sebelummu semua ini, yaitu ucapan: "Kita mendengar tetapi kita menyalahi." Tidak boleh sedemikian itu, tetapi ucapkanlah: "Kita mendengar dan kita mentaati. Kita memohonkan pengampunan padaMu,ya Tuhan kita, dan kepadaMulah tempat kembali."

Setelah kaum - sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. - membaca itu, lagi pula lidah-lidah mereka telah tunduk - tidak bisa bercakap sesuatu, lalu Allah Ta'ala menurunkan lagi sesudah itu ayat - yang artinya:
"Rasul itu mempercayai apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, begitu pula orang-orang yang beriman. Semuanya percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, dan rasul-rasulNya. Mereka berkata: "Kita tidak membeda-bedakan seorangpun di antara rasul-rasul Allah itu." Mereka berkata lagi: "Kita  mendengar dan   kita  mentaati.   Kita   memohonkan  pengampunan daripadaMu, ya Tuhan kita dan kepadaMulah tempat kembali."
Selanjutnya setelah mereka telah melaksanakan sebagaimana isi ayat di atas itu, lalu Allah 'Azzawajalla menurunkan lagi ayat - yang artinya:
"Allah tidak melaksanakan kewajiban kepada seseorang, hanyalah sekedar kekuatannya belaka, bermanfaat untuknya apa-apa yang ia lakukan dan berbahaya pula atasnya apa-apa yang ia lakukan. Ya Tuhan kita, janganlah Engkau menghukum kita atas sesuatu yang kita lakukan karena kelupaan atau kekhilafan - yang tidak disengaja." [al-Baqarah 286].

Beliau s.a.w. bersabda: "Benar -  kita telah melaksanakan."
"Ya Tuhan kita, janganlah Engkau pikulkan kepada kita beban yang berat, sebagaimana yang telah Engkau pikulkan kepada orang-orang yang terdahulu sebelum kita."
Beliau bersabda: "Benar."
"Ya Tuhan kita, janganlah Engkau pikulkan kepada kita sesuatu yang kita tidak kuat melaksanakannya."
Beliau bersabda: "Benar."
"Dan berilah maaf dan pengampunan, belas kasihanlah kita. Engkau pelindung kita, maka tolonglah kita terhadap kaum kafirin itu."
Beliau bersabda: "Benar." (Riwayat Muslim).
Itulah makanya orang-orang kafir Quraisy tidak mau mengucapkan kalimat syahadat sebab selama ini mereka telah menjadikan hukum thaghut sebagai undang-undang yang harus diikuti, seandainya mereka mengucapkan syahadat sebagai pernyataan seorang muslim, otomatis segala hukum dan kebijaksanaan dikuasai oleh Allah, karena memang Dia yang berhak menentukan hukum, bahkan siapa saja yang mencari hukum diluar hukum Allah dapat dijuluki sebagai kafir, fasiq dan zhalim [Al Maidah 5;44,45,47].

 “……..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.[Al Maidah 5;44].

Hanya orang-orang kafir saja yang tidak mau memutuskan sesuatu itu sesuai dengan ketentuan Allah dan hal itu wajar karena memang mereka menentang dan tidak beriman kepada syairat yang diturunkan Allah, tapi bila penegakkan hukum di dunia ini adalah orang-orang islam namun tidak menegakkan hukum Allah maka mereka tidak bedanya dengan orang kafir, karena keimanan seseorang bukan hanya terletak dari shalat, puasa dan ibadah haji yang dikerjakan, lebih-lebih dalam penegakan aturan Allah.

“……... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. .[Al Maidah 5;45].

Bila memutuskan perkara tidak sesuai dengan hukum Allah dan malah menginjak-injak hukum Allah maka mereka adalah orang-orang yang menzhalimi diri sendiri dan menzhalimi orang lain. Kezhaliman ini akan mengantarkan seseorang kepada rusaknya agama walaupun dia muslim sekalipun. Kezhaliman yang dilakukan oleh orang kafir wajar terjadi karena mereka tidak punya hidayah dan hati nuraninya sudah terpatri untuk menerima kebenaran.

“…..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” .[Al Maidah 5;47].

Orang yang tidak mau mengakui Allah sebagai Al Hakam atau Hakim Yang Maha Tinggi, Yang Berhak Menentukan dan Memutuskan Hukum sehingga memakai hokum lain maka mereka adalah orang yang fasiq, yaitu orang yang tahu dengan kebenaran hokum syariat tapi berusaha untuk meninggalkannya dengan berbagai dalih.

            Allah sebagai hakim memberikan putusan dan hukum sesuai dengan prinsip keadilan yaitu menempatkan sesuatu sesuai dengan proporsinya tanpa menzhalimi. Segala sesuatu itu berproses mengikuti sunnah dan kehendak Allah, sesuai dengan sunnatullah dan situasi serta kondisi yang ditentukan Allah. Tapi hukum buatan manusia cendrung bersifat subyektif, suatu ketika nabi Muhammad melihat wanita Yahudi dirajam karena berzina, dikesempatan lain adalah pula kabar tersiar seorang wanita berzina tapi tidak dirajam, tidak dihukum karena wanita itu orang terpandang, maka rasul menyatakan,”Celaka kalian yang menerapkan hukum kepada orang yang rendahan sedangkan orang terpandang kalian lindungi”.

            Al Hakam, Dialah Yang Menciptakan dunia dan isinya, Yang Menciptakan Makhluk-Nya, maka Dia pula yang berhak memberikan hukum dan aturan yang layak diikuti, hukum-Nya berlaku untuk semua makhluk, bersifat obyektif, adil dan bijaksana.

            Dikisahkan, suatu hari ada seorang musafir yang sedang beristirahat  pada sebuah ladang, di bawah pohon beringin, disamping pohon itu ada ladang semangka. Sejenak dia tertegun melihat pohon semangka yang kecil menjalar tapi buahnya besar, sedangkan pohon beringin yang demikian besar tapi buahnya kecil-kecil, dalam hati dia bergumam, sungguh ini tidak bijaksana, pohon semangka buahnya besar sementara pohon beringin buahnya kecil, seharusnya buah beringin milik pohon semangka dan buah semangka adalah  buahnya beringin, ini baru adil dan bijaksana.

            Saat terlena demikian, jatuhlah sebiji buah beringin tepat mengenai matanya,sakitnya luar biasa, saat itu juga berubahlah fikirannya dengan ucapan, untung buah beringin itu kecil-kecil, kalau sebesar buah semangka maka hancurlah muka saya, memang Allah itu Maja Adil lagi Maha Bijaksana.

            Itulah manusia yang berfikir tidak obyektif tapi sesuai dengan hawa nafsu dan kehendaknya, sementara Allah bertindak sesuai dengan perannya yaitu Al Hakam, yang membuat dan memutuskan hukum dan Al Hakim yang arif dan bijaksana dalam memutuskan balasan, semoga akan meningkatkan dan memperbaharui iman dan syahadat kita dengan ucapan “Tidak ada Hakim yang tinggi kecuali hanya Allah”, tidak ada hukum yang tinggi kecuali hukum Ilahi. Wallahu a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 29 Syawal 1434.H/05 September 2013].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar