RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Kewajiban Mengikuti Hukum
Allah
Oleh Drs. St. Mukhlis
Denros
Hukum yang
diberikan Allah untuk hamba-Nya merupakan karunia besar kepada manusia agar
hidup dalam keadaan baik, sesuai dengan keberadaan manusia yaitu hamba yang
hanya mengabdi kepada hukum dan undang-undang yang diturunkan Allah. Dapat
dibayangkan, apa jadinya dunia ini bila Allah tidak mengutus rasul untuk
menyampaikan risalah islam ke dunia, tentu saja zaman ini masih kelam dengan
karakter jahiliyah dengan segala kehancurannya, Allah menerangkan dalam surat
Ali Imran 3;164 “Sungguh Allah Telah
memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara
mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Perangkat hidup itu diantaranya adalah aturan, syariat
atau hukum yang harus diterapkan, diperjuangkan oleh hamba di dunia ini dengan
menjadikan hukum Allah itu satu-satunya hukum yang wajib ditaati oleh semua
makhluk, pembawa dan penyampai aturan itu adalah para nabi dan rasul yang diutus kepada semua kaum dan pada setiap
masa. Dikala aturan Allah sudah ditinggalkan maka ketika itu datang rasul untuk
mengingatkan kembali kepada ummat manusia khususnya, agar kembali menerapkan
hukum dari Allah.
Rasulullah
datang ke dunia ini untuk menjaga peraturan hidup yang selama ini telah mereka
injak-injak dengan peraturan baru buatan manusia dengan berbagai isme, Allah menegaskan; “Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa
yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya)” [Asy Syuura 42;13].
Al Hakam,
Allah Yang Menetapkan Hukum, maka kewajiban hamba-Nya untuk menjalankan hukum
itu, yaitu hukum yang menjunjung harkat dan martabat manusia, hukum yang
menegakkan keadilan, hukum yang jauh dari intervensi dari pelakunya, hanya
Allah saja hukum-Nya yang layak dan wajib diikuti, hal itu berangkat dari makna
yang terkandung dalam kalimat Shahadat yaitu La Hukmu Ilallah, tidak ada hukum
kecuali hukum Allah.
Kalimat
syahadat adalah kalimat yang ringan diucapkan tetapi berat pada timbangan,
artinya timbangan pahalanya besar, hal itu juga karena kalimat ini memberikan
resiko yang besar kepada pejuangnya sebagaimana Nabi Musa berhadapan dengan
Fir’aun, Nabi Ibrahim melakukan perlawanan terhadap Namrudz dan Nabi Muhammad
harus rela menghadapi perlawanan Abu Jahal serta tokoh-tokoh Quraisy lainnya.
Salah
satu makna kalimat ini adalah “Laa Hakim Illallah” artinya tidak ada hakim yang
bijaksana kecuali Allah yang mengandung resiko bahwa segala keputusan yang
mutlak ada pada tangan-Nya
Imam An
Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 17 dengan judul
“Kewajiban Mengikuti Hukum Allah Dan Apa-apa YangDiucapkan Oleh Orang Yang
Diajak KeArah Itu Dan Yang Diperintah Berbuat Kebaikan Atau Dilarang Berbuat
Keburukan” menyatakan dalam beberapa ayat dan hadits Rasulullah Saw.
Allah Ta'ala berfirman:
"Tetapi tidak, demi
Tuhanmu. Mereka belum sebenarnya beriman sebelum mereka meminta keputusan
kepadamu perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan dalam hatinya terhadap
putusan yang engkau berikan itu dan mereka menyerah dengan penyerahan yang
bulat-bulat." (an-Nisa': 65)
Allah Ta'ala berfirman
pula:
"Hanyasanya ucapan
kaum mu'minin, apabila mereka diseru kepada jalan Allah dan RasulNya untuk
memberikan hukum di antara mereka itu iaiah mereka itu mengucapkan: "Kita
semua mendengarkan dan mentaati." Mereka itu adalah orang-orang yang berbahagia."
(an-Nur: 51)
Setiap orang sudah pasti
mengerti bahwa Islam adalah suatu agama yang sudah cukup lengkap hukum-hukumnya
serta peraturan-peraturannya. Dalam segala macam persoalan Islam sudah
menyediakan hukum yang wajib diterapkan untuknya itu, mulai dari hal yang
sekecil-kecilnya seperti berkawan, adab pergaulan,berumah tanggadan lain-lain,
juga sampai yang sebesarnya, misalnya menegakkan tertib hukum, mengatur
keamanan dalam negara dan sebagainya. Dalam hal perselisihan antara orang
seorang, antara golongan satu dengan lainnya, bahkan antara bangsa dengan lain
bangsapun tercantum pula hukumnya.
Jadi kita sebagar
penganut agama Islam berkewajiban mengamalkan hukum-hukum itu tanpa membantah
samasekali, jika memang benar-benar nyata hukum itu dari Tuhan dan RasulNya dan
bukan semata-mata dibuat-buat sendiri oleh manusia yang gemar pada kebid'ahan,
jelasnya orang-orang yang mengada-adakan hukum dari kehendaknya sendiri dan
dikatakan bahwa itulah hukum agama dari Tuhan.
Sementara itu segala
persoalan yang terjadi, maka untuk menerapkan hukumnya jangan menggunakan hukum
yang selain dari Tuhan dan RasulNya. Jadi persoalan itu kita cocokkan sesuai
dengan hukum yang ada dalam agama Islam. Manakala kita mengerjakan
kebalikannya, tentulah salah, yaitu persoalan yang ada itu kita carikan
hukumnya dalam agama yang kiranya dapat sesuai dengan kehendak atau kemauan
hawa nafsu kita sendiri, atau disesuaikan dengan kemauan orang lain yang kita
anggap terhormat agar mendapatkan pujian atau sekedar harta daripadanya. Oleh
sebab itu jikalau hukum agama itu diibaratkan sebagai kepala atau kaki,
sekiranya kita ingin membeli kopyah atau sepatu, hendaknya kopyah dan sepatu
itu yang kita cocokkan dengan kepala atau kaki kita dan tidak sebaliknya, yakni
kepala atau kaki yang kita cocokkan dengan kopyah atau sepatu tersebut. Kalau
kekecilan, kepala dan kaki diperkecilkan dan kalau kebesaran, lalu kepala atau
kaki dipukuli agar bengkak sehingga cocok dengan kopyah atau sepatu yang
berukuran besar tadi.
Ringkasnya dalam segala
hal, jangan sampai hukum agama yang dikalahkan, sebaliknya itulah yang justeru
wajib dimuliakan dan dijunjung setinggi-tingginya, sebab memang datangnya dari
Tuhan Rabbul 'Alamin. Semogalah
kita dapat melaksanakan
yang sedemikian ini, sehingga
berbahagialah hidup kita sejak di dunia sampai di akhirat nanti. Amin.
Dalam bab ini ada
beberapa Hadis, di antaranya;
Dari Abu Hurairah
r.a.katanya: "Ketika ayat ini turun pada Rasulullah s.a.w. yaitu-yang
artinya: Bagi Allah adalah apa-apa yang ada di dalam langit dan apa yang ada di
bumi. Jikalau engkau semua terangkan apa-apa yang dalam hatimu alau jikalau
engkau semua sembunyikan itu, niscayalah Allah akan memperhitungkan
semuanya," sampai akhir ayat.
Dikala itu, maka hal
yang sedemikian tadi dirasa amat berat oleh para sahabat Rasulullah s.a.w.
Mereka lalu mendatangi Rasulullah s.a.w. kemudian mereka berjongkok di atas
lutut mereka lalu berkata: "Ya Rasulullah, kita telah dipaksakan untuk
melakukan amalan-amalan yang kita semua juga kuat melaksanakannya, yaitu shalat,
puasa, jihad dan sedekah. Tetapi kini telah diturunkan kepada Tuan sebuah ayat
dan kita rasanya tidak kuat melaksanakannya.
Rasulullah s.a.w. lalu
bersabda: "Adakah engkau semua hendak mengatakan sebagaimana yang
dikatakan oleh dua golongan ahlul kitab-kaum Nasrani dan Yahudi -yang hidup
sebelummu semua ini, yaitu ucapan: "Kita mendengar tetapi kita
menyalahi." Tidak boleh sedemikian itu, tetapi ucapkanlah: "Kita
mendengar dan kita mentaati. Kita memohonkan pengampunan padaMu,ya Tuhan kita,
dan kepadaMulah tempat kembali."
Setelah kaum -
sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. - membaca itu, lagi pula lidah-lidah mereka
telah tunduk - tidak bisa bercakap sesuatu, lalu Allah Ta'ala menurunkan lagi
sesudah itu ayat - yang artinya:
"Rasul itu
mempercayai apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, begitu pula
orang-orang yang beriman. Semuanya percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya, dan rasul-rasulNya. Mereka berkata: "Kita tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara rasul-rasul Allah itu." Mereka
berkata lagi: "Kita mendengar
dan kita mentaati.
Kita memohonkan pengampunan daripadaMu, ya Tuhan kita dan
kepadaMulah tempat kembali."
Selanjutnya setelah
mereka telah melaksanakan sebagaimana isi ayat di atas itu, lalu Allah
'Azzawajalla menurunkan lagi ayat - yang artinya:
"Allah tidak
melaksanakan kewajiban kepada seseorang, hanyalah sekedar kekuatannya belaka,
bermanfaat untuknya apa-apa yang ia lakukan dan berbahaya pula atasnya apa-apa
yang ia lakukan. Ya Tuhan kita, janganlah Engkau menghukum kita atas sesuatu
yang kita lakukan karena kelupaan atau kekhilafan - yang tidak disengaja."
[al-Baqarah 286].
Beliau s.a.w. bersabda:
"Benar - kita telah
melaksanakan."
"Ya Tuhan kita,
janganlah Engkau pikulkan kepada kita beban yang berat, sebagaimana yang telah
Engkau pikulkan kepada orang-orang yang terdahulu sebelum kita."
Beliau bersabda:
"Benar."
"Ya Tuhan kita,
janganlah Engkau pikulkan kepada kita sesuatu yang kita tidak kuat
melaksanakannya."
Beliau bersabda:
"Benar."
"Dan berilah maaf
dan pengampunan, belas kasihanlah kita. Engkau pelindung kita, maka tolonglah
kita terhadap kaum kafirin itu."
Beliau bersabda:
"Benar." (Riwayat Muslim).
Itulah
makanya orang-orang kafir Quraisy tidak mau mengucapkan kalimat syahadat sebab
selama ini mereka telah menjadikan hukum thaghut sebagai undang-undang yang
harus diikuti, seandainya mereka mengucapkan syahadat sebagai pernyataan
seorang muslim, otomatis segala hukum dan kebijaksanaan dikuasai oleh Allah,
karena memang Dia yang berhak menentukan hukum, bahkan siapa saja yang mencari
hukum diluar hukum Allah dapat dijuluki sebagai kafir, fasiq dan zhalim [Al
Maidah 5;44,45,47].
“……..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.[Al Maidah
5;44].
Hanya orang-orang kafir saja yang tidak
mau memutuskan sesuatu itu sesuai dengan ketentuan Allah dan hal itu wajar
karena memang mereka menentang dan tidak beriman kepada syairat yang diturunkan
Allah, tapi bila penegakkan hukum di dunia ini adalah orang-orang islam namun
tidak menegakkan hukum Allah maka mereka tidak bedanya dengan orang kafir,
karena keimanan seseorang bukan hanya terletak dari shalat, puasa dan ibadah
haji yang dikerjakan, lebih-lebih dalam penegakan aturan Allah.
“……... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. .[Al Maidah
5;45].
Bila memutuskan perkara tidak sesuai
dengan hukum Allah dan malah menginjak-injak hukum Allah maka mereka adalah orang-orang
yang menzhalimi diri sendiri dan menzhalimi orang lain. Kezhaliman ini akan
mengantarkan seseorang kepada rusaknya agama walaupun dia muslim sekalipun.
Kezhaliman yang dilakukan oleh orang kafir wajar terjadi karena mereka tidak
punya hidayah dan hati nuraninya sudah terpatri untuk menerima kebenaran.
“…..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” .[Al Maidah
5;47].
Orang yang tidak mau mengakui Allah
sebagai Al Hakam atau Hakim Yang Maha Tinggi, Yang Berhak Menentukan dan
Memutuskan Hukum sehingga memakai hokum lain maka mereka adalah orang yang
fasiq, yaitu orang yang tahu dengan kebenaran hokum syariat tapi berusaha untuk
meninggalkannya dengan berbagai dalih.
Allah sebagai hakim memberikan
putusan dan hukum sesuai dengan prinsip keadilan yaitu menempatkan sesuatu
sesuai dengan proporsinya tanpa menzhalimi. Segala sesuatu itu berproses mengikuti sunnah dan kehendak Allah, sesuai
dengan sunnatullah dan situasi serta kondisi yang ditentukan Allah. Tapi hukum
buatan manusia cendrung bersifat subyektif, suatu ketika nabi Muhammad melihat
wanita Yahudi dirajam karena berzina, dikesempatan lain adalah pula kabar
tersiar seorang wanita berzina tapi tidak dirajam, tidak dihukum karena wanita
itu orang terpandang, maka rasul menyatakan,”Celaka kalian yang menerapkan
hukum kepada orang yang rendahan sedangkan orang terpandang kalian lindungi”.
Al Hakam, Dialah Yang Menciptakan dunia dan isinya, Yang
Menciptakan Makhluk-Nya, maka Dia pula yang berhak memberikan hukum dan aturan
yang layak diikuti, hukum-Nya berlaku untuk semua makhluk, bersifat obyektif,
adil dan bijaksana.
Dikisahkan, suatu hari ada seorang musafir yang sedang
beristirahat pada sebuah ladang, di
bawah pohon beringin, disamping pohon itu ada ladang semangka. Sejenak dia
tertegun melihat pohon semangka yang kecil menjalar tapi buahnya besar,
sedangkan pohon beringin yang demikian besar tapi buahnya kecil-kecil, dalam
hati dia bergumam, sungguh ini tidak bijaksana, pohon semangka buahnya besar
sementara pohon beringin buahnya kecil, seharusnya buah beringin milik pohon
semangka dan buah semangka adalah
buahnya beringin, ini baru adil dan bijaksana.
Saat terlena demikian, jatuhlah sebiji buah beringin
tepat mengenai matanya,sakitnya luar biasa, saat itu juga berubahlah fikirannya
dengan ucapan, untung buah beringin itu kecil-kecil, kalau sebesar buah
semangka maka hancurlah muka saya, memang Allah itu Maja Adil lagi Maha
Bijaksana.
Itulah manusia yang berfikir tidak obyektif tapi sesuai
dengan hawa nafsu dan kehendaknya, sementara Allah bertindak sesuai dengan
perannya yaitu Al Hakam, yang membuat dan memutuskan hukum dan Al Hakim yang
arif dan bijaksana dalam memutuskan balasan, semoga akan meningkatkan dan
memperbaharui iman dan syahadat kita dengan ucapan “Tidak ada Hakim yang tinggi
kecuali hanya Allah”, tidak ada hukum yang tinggi kecuali hukum Ilahi. Wallahu
a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 29 Syawal 1434.H/05 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar