Jumat, 22 November 2013

70.28 Menutupi Cela-cela Kaum Muslimin


RIYADUSH SHALIHIN
[DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH]



Menutupi Cela-cela Kaum Muslimin
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Lisan adalah  senjata manusia untuk berbicara menyampaikan maksud dalam bentuk bahasa, dengan kemahiran lisan seseorang dapat terangkat derajatnya di masyarakat, karena mampu menyalurkan maksud serta jeritan hati umat, dengan lisan da’wah dapat dilakukan sampai kepada propaganda dan obral barang di  pasar. Efek positif memang banyak, tetapi banyak pula segi negatifnya, karena lidah ada orang terlempar jauh dari masyarakat sampai terbenam ke penjara.

Memang enak mengumbar lisan, tapi jangan tanyakan akibatnya. Hanya sepatah kata, tanpa disadari bisa menjadi sebab bagi seseorang untuk masuk ke jurang neraka yang amat dalam. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya, ada seseorang yang berkata sepatah kata saja di mana dia menganggap tak ada dampaknya namun itu (menjadi sebab) dia terlempar ke dalam neraka sejauh tujuh puluh musim.” (HR. at-Tirmidzi).

Kebanyakan orang yang masuk neraka juga karena lisannya, seperti sabda Nabi SAW: “Adakah yang menenggelamkan hidung (wajah) manusia ke dalam neraka selain dari hasil perbuatan lisan mereka?” (HR. Ahmad).

Sabda Nabi SAW tersebut menunjukkan bahwa lisan adalah penyebab yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka, meskipun dia seorang muslim. Namun, siksa yang menimpa muslim pasti ada akhirnya..

Para sahabat yang memahami betapa dahsyatnya bahaya lisan, sangat berhati-hati menjaga lisannya. Ibnu Mas’ud ra. berkata: “Tiada yang lebih layak untuk banyak dipenjarakan selain dari lisan saya.”

Iblis juga memahami hal ini. Menjerumuskan manusia ke dalam dosa lisan menjadi wilayah garap utamanya. Maka diangkatlah seorang anaknya menjadi pasukan khusus penyebar gosip. Qatadah menyebutkan, Iblis memiliki anak bernama al-Masuth yang bertugas khusus untuk membuat gosip, menyebarkan kabar burung yang tak jelas asalnya dan belum tentu kebenarannya, sekaligus menyebarkan kedustaan. Al-Masuth memperalat orang-orang yang hobi menyebar gosip menjadi perpanjangan lidahnya.

Gosip berpotensi besar merusak kehormatan muslim, merapuhkan ukhuwah Islamiyah dan bahkan memicu terjadinya peperangan antara kaum muslimin.  Orang-orang yang menyebarkan gosip tidak berada pada satu level dosa, tetapi tergantung besar kecil andilnya dalam menyebarkan gosip.
Nabi SAW memvonis orang yang gemar menceritakan setiap kabar yang didengarnya dengan predikat ‘pendusta.’ Beliau SAW bersabda:“Cukuplah seseorang dikatakan dusta jika dia menceritakan setiap apa yang dia dengar.” (HR. Muslim)

Mengapa orang yang menceritakan semua yang didengarnya divonis sebagai pendusta? Karena tidak setiap kabar yang sampai kepadanya itu fakta yang benar-benar terjadi. Besar kemungkinan bahkan pasti ada diantaranya yang ternyata dusta. Jika dia menceritakan semua yang didengarnya, berarti ada juga berita dusta yang dia ceritakan kepada orang lain, maka jadilah dia pendusta.

Di sisi lain, ada informasi yang meski benar namun tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Seperti berita tentang aib maupun rahasia orang lain. Inilah yang disebut dengan ghibah. Nabi SAW bersabda: “Tahukah kalian, apakah ghibah itu? Ghibah adalah ketika engkau menceritakan tentang saudaramu apa yang tidak dia sukai?” Para sahabat bertanya: “Bagaimana menurut Anda jika apa yang kami katakan memang ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan benar, maka berarti engkau telah menghibahnya, dan jika yang kamu katakan tidak ada padanya maka berarti engkau telah berdusta tentangnya.” (HR. Muslim)

Kegiatan ‘memakan bangkai’ saudaranya dan mengumbar gosip, menyebarkan kabar burung dan rumor dianggap sebagai menu yang renyah oleh kebanyakan orang. Ada yang bertujuan untuk menjatuhkan kehormatan, sekedar mengisi waktu atau untuk menghibur diri. [Al - Masuth, Setan Penyebar Gosip, Fiqih Quran & Hadist Oleh : Redaksi 18 Oct, 04 - 2:17 am].

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 28 dengan judulMenutupi Cela-cela Kaum Muslimin Dan Melarang Untuk Menyiar-nyiarkannya Tanpa Adanya Dharurat”.

Allah Ta'ala berfirman:"Sesungguhnya orang-orang yang suka jikalau keburukan itu merata di kalangan orang-orang yang beriman, maka orang-orang yang bersikap demikian itu akan memperoleh siksa yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat.".

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Setiap ummatku itu dimaafkan, kecuali orang-orang yang menampak-nampakkan - kejahatannya sendiri. Sesungguhnya setengah dari cara menampakkan - keburukan sendiri - itu ialah jikalau seseorang melakukan sesuatu perbuatan di waktu malam, kemudian berpagi-pagi, sedangkan Allah telah menutupi keburukannya itu, tiba-tiba ia berkata - paginya itu: "Hai Fulan, saya tadi malam melakukan demikian, demikian." Orang itu semalam-malaman telah ditutupi oleh Allah celanya, tetapi pagi-pagi ia membukatutup Allah yang diberikan kepadanya itu." (Muttafaq 'alaih).

Dari Abu Hurairah r.a. pula dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Jikalau seseorang Amah - hambasahaya wanita - itu berzina, kemudian benar-benar nyata zinanya itu, maka hendaklah ia dijalad - sebanyak lima puluh kali pukulan dengan cemeti - sesuai dengan had yang ditentukan dan jangan mengolok-oloknya. Kemudian jikalau ia berzina lagi, maka jaladlah pula sebagai hadnya dan jangan pula diperolok-olokkan. Selanjutnya jikalau ia berzina untuk ketiga kalinya, maka hendaklah ia dijual saja - dengan menunjukkan perilakunya yang tercela kepada calon pembelinya - sekalipun dengan harga sebanding dengan seutas tali dari rambut." (Muttafaq 'alaih).

Dari Abu Hurairah r.a. lagi, katanya: "Nabi s.a.w. didatangi oleh sahabat-sahabatnya dengan membawa seorang lelaki yang telah minum arak.. kemudian beliau bersabda: "Pukullah ia-sebagai hadnya." Abu Hurairah berkata: "Di antara kita ada yang memukul orang itu dengan tangannya, ada pula yang memukulnya dengan terumpahnya, bahkan ada yang memukulnya dengan pakaiannya. Setelah orang itu pergi, lalu sebagian orang banyak itu ada yang berkata: "Semoga engkau dihinakan oleh Allah." Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jangan berkata demikian itu, janganlah engkau semua memberikan pertolongan kepada syaitan - untuk menggodanya lagi." (Riwayat Bukhari).

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim).

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara, dia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yanga membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim).

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar lalu menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai sekalian orang yang hanya berislam dengan lisannya namun keimanan belum tertancap di dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan pula kalian memperolok mereka, dan jangan pula kalian menelusuri.mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya niscaya Allah akan mencari-cari aibnya, dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah niscaya Allah akan mempermalukan dia meskipun dia berada di dalam rumahnya sendiri.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi).

Allah Subhanahu wa Ta’ala senang untuk menutupi kesalahan hamba-hambaNya, dan Dia menganjurkan agar para hamba-Nya juga melakukannya di antara sesama mereka. Untuk itu Allah Ta’ala telah menyediakan bagi mereka pahala yang sesuai dengan amalan baik mereka, yaitu Allah Ta’ala akan menyembunyikan aib dan mengampuni dosa mereka pada hari kiamat karena mereka telah menyembunyikan aib saudaranya di dunia. Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata, “Tentang ditutupnya aib si hamba pada hari kiamat, maka ada dua kemungkinan makna:

Pertama: Allah akan menutupi kemaksiatan dan aibnya dengan cara tidak mengumumkannya kepada manusia di padang mahsyar.

Kedua: Allah Ta’ala tidak akan menghisab aibnya dan tidak akan menyebut aibnya tersebut.” Makna pertama di atas di dukung oleh hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya (pada hari kiamat) Allah akan mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir dan menutupinya. Lalu Allah berfirman, “Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah engkau tahu dosa itu?” Dia menjawab, “Ia, betul saya tahu wahai Rabbku.” Hingga ketika Allah telah membuat dia mengakui semua dosanya dan dia mengira dirinya sudah akan binasa,, Allah berfirman kepadanya, “Aku telah menutupi dosa-dosa ini di dunia, maka pada hari ini Aku mengampuni dosa-dosamu itu.” Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya.” (HR. Al-Bukhari).

Sebaliknya, Allah Ta’ala telah melarang dan mengharamkan untuk memata-matai dan mencari-cari aib seorang muslim, walaupun itu dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Dan Allah telah mempersiapkan hukuman yang menghinakan bagi pelakunya di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia maka Allah pasti akan menghinakan dirinya walaupun dia tengah bersembunyi di dalam rumahnya. Adapun di akhirat, maka siksaan akhirat lebih besar dan lebih hina, yaitu Allah akan membukan secara terang-terangan semua dosa dan aibnya ketika di dunia, agar seluruh makhluk di padang mahsyar bisa melihatnya, wal ‘iyadzu billah.
Ini dosa jika dia sekedar mencari-cari aib sesama muslim, walaupun dia tidak menceritakannya kepada orang lain. Akan tetapi jika setelah dia mencari-cari tahu aib saudaranya lalu dia menceritakannya kepada orang lain, maka dia telah terjatuh ke dalam dosa besar kedua yang tidak kalah kecil dosanya dibandingkan dosa yang pertama, yaitu dosa ghibah. Karena sungguh, barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia adalah termasuk orang-orang yang menghendaki kejelekan tersebar di tengah-tengah kaum muslimin. [Menutupi Aib Sesama Muslim, Al Atsariyah.com. 29 Jumadil Akhir].

Lebih jauh dalam surat Ibrahim ayat 24-26 Allah memberikan suatu perumpamaan tentang kata-kata yang baik dan keji, ”Tidakkah engkau lihat Allah mengumpamakan kata baik dengan pohon yang subur yang akarnya kokoh, cabangnya meninggi ke langit dan senantiasa menghasilkan buah dengan izin Allah. Demikianlah Allah memberikan perumpamaan kepda manusia semoga mereka ingat. Dan kata keji serupa dengan pohon busuk yang tercabut diatas bumi dan tidak mempunyai dasar”.

            Kata-kata baik serupa dengan pohon subur yang akarnya teguh dan rantingnya meninggi ke langit, dan kata-kata buruk serupa dengan pohon yang dekat mati dan akan tercabut dari tanah karena tidak mempunyai dasar. Lidah memang tidak bertulang, demikian sebuah pepatah yang sering kita dengar ditujukan kepada orang-orang yang mudah memutarbalik kata, perayu dengan segala basa-basinya sehingga orang tertarik, segala ucapan yang tidak ada faktanya, dengan segala kemampuan lidahpun dapat mencerai beraikan ukhuwah islamiyah yang telah lama    terjalin melalui fitnah, mentertawakan orang atau memanggil seseorang dengan panggilan yang buruk.

            Rasulullah memberikan teladan, beliau tidak pernah memberikan panggilan yang jelek kepada para sahabatnya, selalu dengan panggilan yang menyenangkan dan menyejukkan hati seperti As Siddik kepada Abu Bakar, Al Faruq kepada  Umar bin Khattab, Saifullah kepada Hamzah dan Khumairah kepada isterinya Siti Aisyah serta lainnya yang mengangkat derajat manusia dimata manusia lainnya meskipun melalui panggilan.

            Bukan sebaliknya yang sering kita dengar di masyarakat dengan panggilan si Buncit, si Pincang, si Picek hal ini ditujukan kepada manusia yang dalam kekurangan. Betapa sakitnya orang yang dalam kekurangan dipanggil pula dengan panggilan yang tidak menyenangkan. Demikian hebatnya senjata ini sehingga mampu mengantarkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi dengan segala kesenangan dan keselamaan baik  di dunia maupun sampai ke akherat kelak. Wallahu a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 02 Zulqaidah 1434.H/07 September 2013].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar