RIYADUSH
SHALIHIN
[DITAMAN
ORANG-ORANG SHALIH]
Menutupi
Cela-cela Kaum Muslimin
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros
Lisan adalah senjata manusia untuk berbicara menyampaikan
maksud dalam bentuk bahasa, dengan kemahiran lisan seseorang dapat terangkat
derajatnya di masyarakat, karena mampu menyalurkan maksud serta jeritan hati
umat, dengan lisan da’wah dapat dilakukan sampai kepada propaganda dan obral
barang di pasar. Efek positif memang
banyak, tetapi banyak pula segi negatifnya, karena lidah ada orang terlempar
jauh dari masyarakat sampai terbenam ke penjara.
Memang
enak mengumbar lisan, tapi jangan tanyakan akibatnya. Hanya sepatah kata, tanpa
disadari bisa menjadi sebab bagi seseorang untuk masuk ke jurang neraka yang amat
dalam. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya, ada seseorang yang berkata sepatah
kata saja di mana dia menganggap tak ada dampaknya namun itu (menjadi sebab)
dia terlempar ke dalam neraka sejauh tujuh puluh musim.” (HR. at-Tirmidzi).
Kebanyakan
orang yang masuk neraka juga karena lisannya, seperti sabda Nabi SAW: “Adakah
yang menenggelamkan hidung (wajah) manusia ke dalam neraka selain dari hasil
perbuatan lisan mereka?” (HR. Ahmad).
Sabda
Nabi SAW tersebut menunjukkan bahwa lisan adalah penyebab yang paling banyak
menjerumuskan manusia ke dalam neraka, meskipun dia seorang muslim. Namun,
siksa yang menimpa muslim pasti ada akhirnya..
Para
sahabat yang memahami betapa dahsyatnya bahaya lisan, sangat berhati-hati
menjaga lisannya. Ibnu Mas’ud ra. berkata: “Tiada yang lebih layak untuk banyak
dipenjarakan selain dari lisan saya.”
Iblis
juga memahami hal ini. Menjerumuskan manusia ke dalam dosa lisan menjadi
wilayah garap utamanya. Maka diangkatlah seorang anaknya menjadi pasukan khusus
penyebar gosip. Qatadah menyebutkan, Iblis memiliki anak bernama al-Masuth yang
bertugas khusus untuk membuat gosip, menyebarkan kabar burung yang tak jelas
asalnya dan belum tentu kebenarannya, sekaligus menyebarkan kedustaan.
Al-Masuth memperalat orang-orang yang hobi menyebar gosip menjadi perpanjangan
lidahnya.
Gosip
berpotensi besar merusak kehormatan muslim, merapuhkan ukhuwah Islamiyah dan
bahkan memicu terjadinya peperangan antara kaum muslimin. Orang-orang yang menyebarkan gosip tidak
berada pada satu level dosa, tetapi tergantung besar kecil andilnya dalam
menyebarkan gosip.
Nabi
SAW memvonis orang yang gemar menceritakan setiap kabar yang didengarnya dengan
predikat ‘pendusta.’ Beliau SAW bersabda:“Cukuplah seseorang dikatakan dusta
jika dia menceritakan setiap apa yang dia dengar.” (HR. Muslim)
Mengapa
orang yang menceritakan semua yang didengarnya divonis sebagai pendusta? Karena
tidak setiap kabar yang sampai kepadanya itu fakta yang benar-benar terjadi.
Besar kemungkinan bahkan pasti ada diantaranya yang ternyata dusta. Jika dia
menceritakan semua yang didengarnya, berarti ada juga berita dusta yang dia
ceritakan kepada orang lain, maka jadilah dia pendusta.
Di
sisi lain, ada informasi yang meski benar namun tidak boleh diceritakan kepada
orang lain. Seperti berita tentang aib maupun rahasia orang lain. Inilah yang
disebut dengan ghibah. Nabi SAW bersabda: “Tahukah kalian, apakah ghibah itu?
Ghibah adalah ketika engkau menceritakan tentang saudaramu apa yang tidak dia
sukai?” Para sahabat bertanya: “Bagaimana menurut Anda jika apa yang kami
katakan memang ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu
katakan benar, maka berarti engkau telah menghibahnya, dan jika yang kamu
katakan tidak ada padanya maka berarti engkau telah berdusta tentangnya.” (HR.
Muslim)
Kegiatan
‘memakan bangkai’ saudaranya dan mengumbar gosip, menyebarkan kabar burung dan
rumor dianggap sebagai menu yang renyah oleh kebanyakan orang. Ada yang
bertujuan untuk menjatuhkan kehormatan, sekedar mengisi waktu atau untuk menghibur
diri. [Al - Masuth, Setan Penyebar
Gosip, Fiqih Quran & Hadist Oleh : Redaksi 18 Oct,
04 - 2:17 am].
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 28 dengan judul
“Menutupi
Cela-cela Kaum Muslimin Dan Melarang Untuk Menyiar-nyiarkannya Tanpa Adanya
Dharurat”.
Allah Ta'ala berfirman:"Sesungguhnya
orang-orang yang suka jikalau keburukan itu merata di kalangan
orang-orang yang beriman, maka orang-orang yang bersikap demikian itu akan
memperoleh siksa yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat.".
Dari Abu Hurairah r.a.,
katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Setiap ummatku itu
dimaafkan, kecuali orang-orang yang menampak-nampakkan - kejahatannya sendiri.
Sesungguhnya setengah dari cara menampakkan - keburukan sendiri - itu ialah
jikalau seseorang melakukan sesuatu perbuatan di waktu malam, kemudian
berpagi-pagi, sedangkan Allah telah menutupi keburukannya itu, tiba-tiba ia
berkata - paginya itu: "Hai Fulan, saya tadi malam melakukan demikian,
demikian." Orang itu semalam-malaman telah ditutupi oleh Allah celanya,
tetapi pagi-pagi ia membukatutup Allah yang diberikan kepadanya itu."
(Muttafaq 'alaih).
Dari Abu Hurairah r.a.
pula dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Jikalau seseorang Amah - hambasahaya
wanita - itu berzina, kemudian benar-benar nyata zinanya itu, maka hendaklah ia
dijalad - sebanyak lima puluh kali pukulan dengan cemeti - sesuai dengan had
yang ditentukan dan jangan mengolok-oloknya. Kemudian jikalau ia berzina lagi,
maka jaladlah pula sebagai hadnya dan jangan pula diperolok-olokkan.
Selanjutnya jikalau ia berzina untuk ketiga kalinya, maka hendaklah ia dijual
saja - dengan menunjukkan perilakunya yang tercela kepada calon pembelinya -
sekalipun dengan harga sebanding dengan seutas tali dari rambut."
(Muttafaq 'alaih).
Dari Abu Hurairah r.a.
lagi, katanya: "Nabi s.a.w. didatangi oleh sahabat-sahabatnya dengan
membawa seorang lelaki yang telah minum arak.. kemudian beliau bersabda:
"Pukullah ia-sebagai hadnya." Abu Hurairah berkata: "Di antara
kita ada yang memukul orang itu dengan tangannya, ada pula yang memukulnya
dengan terumpahnya, bahkan ada yang memukulnya dengan pakaiannya. Setelah orang
itu pergi, lalu sebagian orang banyak itu ada yang berkata: "Semoga engkau
dihinakan oleh Allah." Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jangan
berkata demikian itu, janganlah engkau semua memberikan pertolongan kepada
syaitan - untuk menggodanya lagi." (Riwayat Bukhari).
Dari
Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau
bersabda:“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia,
melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim).
Dari
Abdullah bin Umar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:“Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah
bersaudara, dia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya.
Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.
Barangsiapa yanga membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah
akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang
menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat
kelak.” (HR. Muslim).
Dari
Ibnu Umar radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menaiki mimbar lalu menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai
sekalian orang yang hanya berislam dengan lisannya namun keimanan belum
tertancap di dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan
pula kalian memperolok mereka, dan jangan pula kalian menelusuri.mencari-cari
aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya niscaya Allah
akan mencari-cari aibnya, dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah
niscaya Allah akan mempermalukan dia meskipun dia berada di dalam rumahnya
sendiri.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi).
Allah
Subhanahu wa Ta’ala senang untuk menutupi kesalahan hamba-hambaNya, dan Dia
menganjurkan agar para hamba-Nya juga melakukannya di antara sesama mereka.
Untuk itu Allah Ta’ala telah menyediakan bagi mereka pahala yang sesuai dengan
amalan baik mereka, yaitu Allah Ta’ala akan menyembunyikan aib dan mengampuni
dosa mereka pada hari kiamat karena mereka telah menyembunyikan aib saudaranya
di dunia. Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata, “Tentang ditutupnya aib si
hamba pada hari kiamat, maka ada dua kemungkinan makna:
Pertama:
Allah akan menutupi kemaksiatan dan aibnya dengan cara tidak mengumumkannya
kepada manusia di padang mahsyar.
Kedua:
Allah Ta’ala tidak akan menghisab aibnya dan tidak akan menyebut aibnya
tersebut.” Makna pertama di atas di dukung oleh hadits Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya (pada hari kiamat) Allah akan
mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir dan menutupinya. Lalu
Allah berfirman, “Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah engkau tahu dosa
itu?” Dia menjawab, “Ia, betul saya tahu wahai Rabbku.” Hingga ketika Allah
telah membuat dia mengakui semua dosanya dan dia mengira dirinya sudah akan
binasa,, Allah berfirman kepadanya, “Aku telah menutupi dosa-dosa ini di dunia,
maka pada hari ini Aku mengampuni dosa-dosamu itu.” Lalu diberikanlah padanya
catatan kebaikan-kebaikannya.” (HR. Al-Bukhari).
Sebaliknya,
Allah Ta’ala telah melarang dan mengharamkan untuk memata-matai dan
mencari-cari aib seorang muslim, walaupun itu dalam rangka amar ma’ruf nahi
mungkar. Dan Allah telah mempersiapkan hukuman yang menghinakan bagi pelakunya
di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia maka Allah pasti akan menghinakan
dirinya walaupun dia tengah bersembunyi di dalam rumahnya. Adapun di akhirat,
maka siksaan akhirat lebih besar dan lebih hina, yaitu Allah akan membukan
secara terang-terangan semua dosa dan aibnya ketika di dunia, agar seluruh
makhluk di padang mahsyar bisa melihatnya, wal ‘iyadzu billah.
Ini dosa jika dia sekedar mencari-cari aib sesama muslim, walaupun dia tidak menceritakannya kepada orang lain. Akan tetapi jika setelah dia mencari-cari tahu aib saudaranya lalu dia menceritakannya kepada orang lain, maka dia telah terjatuh ke dalam dosa besar kedua yang tidak kalah kecil dosanya dibandingkan dosa yang pertama, yaitu dosa ghibah. Karena sungguh, barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia adalah termasuk orang-orang yang menghendaki kejelekan tersebar di tengah-tengah kaum muslimin. [Menutupi Aib Sesama Muslim, Al Atsariyah.com. 29 Jumadil Akhir].
Ini dosa jika dia sekedar mencari-cari aib sesama muslim, walaupun dia tidak menceritakannya kepada orang lain. Akan tetapi jika setelah dia mencari-cari tahu aib saudaranya lalu dia menceritakannya kepada orang lain, maka dia telah terjatuh ke dalam dosa besar kedua yang tidak kalah kecil dosanya dibandingkan dosa yang pertama, yaitu dosa ghibah. Karena sungguh, barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia adalah termasuk orang-orang yang menghendaki kejelekan tersebar di tengah-tengah kaum muslimin. [Menutupi Aib Sesama Muslim, Al Atsariyah.com. 29 Jumadil Akhir].
Lebih jauh dalam surat Ibrahim
ayat 24-26 Allah memberikan suatu perumpamaan tentang kata-kata yang baik dan
keji, ”Tidakkah engkau lihat Allah
mengumpamakan kata baik dengan pohon yang subur yang akarnya kokoh, cabangnya
meninggi ke langit dan senantiasa menghasilkan buah dengan izin Allah.
Demikianlah Allah memberikan perumpamaan kepda manusia semoga mereka ingat. Dan
kata keji serupa dengan pohon busuk yang tercabut diatas bumi dan tidak
mempunyai dasar”.
Kata-kata baik serupa dengan pohon subur yang akarnya
teguh dan rantingnya meninggi ke langit, dan kata-kata buruk serupa dengan
pohon yang dekat mati dan akan tercabut dari tanah karena tidak mempunyai
dasar. Lidah memang tidak bertulang, demikian sebuah pepatah yang sering kita
dengar ditujukan kepada orang-orang yang mudah memutarbalik kata, perayu dengan
segala basa-basinya sehingga orang tertarik, segala ucapan yang tidak ada
faktanya, dengan segala kemampuan lidahpun dapat mencerai beraikan ukhuwah
islamiyah yang telah lama terjalin
melalui fitnah, mentertawakan orang atau memanggil seseorang dengan panggilan
yang buruk.
Rasulullah memberikan teladan, beliau tidak pernah
memberikan panggilan yang jelek kepada para sahabatnya, selalu dengan panggilan
yang menyenangkan dan menyejukkan hati seperti As Siddik kepada Abu Bakar, Al
Faruq kepada Umar bin Khattab, Saifullah
kepada Hamzah dan Khumairah kepada isterinya Siti Aisyah serta lainnya yang
mengangkat derajat manusia dimata manusia lainnya meskipun melalui panggilan.
Bukan sebaliknya yang sering kita dengar di masyarakat
dengan panggilan si Buncit, si Pincang, si Picek hal ini ditujukan kepada
manusia yang dalam kekurangan. Betapa sakitnya orang yang dalam kekurangan
dipanggil pula dengan panggilan yang tidak menyenangkan. Demikian hebatnya senjata
ini sehingga mampu mengantarkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi dengan
segala kesenangan dan keselamaan baik di
dunia maupun sampai ke akherat kelak. Wallahu a’lam [Cubadak Pianggu Solok, 02
Zulqaidah 1434.H/07 September 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar